Satu minggu! Welcome to the hell, Fattan.
“Aslan Abdurrahman!” Fattan berteriak hendak menyerang Aslan. Teriakan yang sama sekali tidak dihiraukan oleh Aslan. Dia menggandeng tanganku untuk menuruni panggung pelaminan. Kami sama sekali tidak menoleh ke belakang. Walau tanpa melihat, aku yakin wajah-wajah yang ada di belakang kami adalah wajah penuh kemarahan dan kemalangan. Hisyam segera menahan menantunya itu. Aku dengar Hisyam mengatakan sesuatu pada Fattan. “Biarkan dia pergi. Kita akan mengurus semuanya besok. Kita selesaikan dulu pesta kita malam ini.” Aslan menggenggam erat tanganku. Kami berjalan menuju ke lobby. Ratusan pasang mata memandang kagum dan takjub pada kami. Pasangan ideal yang baru saja memenangkan pertarungan. Begitulah yang aku rasakan saat ini. Aku merasa puas karena telah memukul telak mereka yang bertahun-tahun menjadikanku sebagai bahan mainan. Aku harus berterima kasih pada pria yang sedang menggandengku ini. Dia sungguh seperti malaikan penyelamat. Saat kami tiba di depan lobby, kamera wartawan
“Baik, Tuan.” “Tunggu! Setelah Fattan masuk ke ruangan ini, tidak boleh ada gangguan. Jangan ada tamu atau telepon.” Suara Aslan begitu dominan dan tidak memberikan kesempatan siapa pun untuk menolak perintahnya. “Tentu, Tuan. Permisi.” Gadis sekretaris itu pun keluar dari ruangan. Beberapa menit kemudian dia kembali bersama Fattan. Ketika Fattan melihat aku di dalam ruangan Aslan, dia terlihat terkejut. Keningnya seketika berkerut dan dia berusaha mengalihkan pandangan. Dia berpikir kenapa aku ada di ruangan itu. Pemandangan yang membuat Fattan berpikir aku dan Aslan adalah pasangan yang tidak bisa terpisahkan. Tentu saja itu membuat emosinya seketika bergejolak. Aku melihat jelas bagaimana Fattan berusaha menahan diri dan mengalihkan pandangan dariku. “Selamat Pagi, Tuan Aslan,” ucapnya. “Silahkan duduk, Fattan,” ucap Aslan dingin. Dia menyandarkan tubuhnya ke punggung kursi. Tatapannya begitu mengintimidasi pada Fattan. Sementara Fattan mulai duduk di kursi hitam yang ada di
“Apakah dia akan takut pada ancamanmu?” tanyaku pada Aslan setelah Fattan meninggalkan ruangan. “Dia tidak punya pilihan. Jika dia menolak sekali pun, maka aku bisa menendang Fattan keluar. Surat itu hanyalah bagian dari balas dendammu padanya.” “Surat itu akan melukai harga dirinya,” ujarku perlahan. Aku kenal baik Fattan. Dalam urusan bisnis, dia selalu penuh dengan ambisi. Sekarang tiba-tiba dia harus mengakui posisi sebenarnya an meletakkan bisnis yang selama ini dia akui. Pria itu akan sangat terpukul. “Adina, kadang manusia perlu belajar bagaimana rasanya jatuh. Agar dia mengerti untuk tidak menjatuhkan orang lain. Orang yang hebat bukanlah orang yang bisa menjatuhkan lawan. Orang hebat adalah dia yang bisa membuat orang lain bangkir dari keterpurukan.” Aslan mengucapkan semua kata-katanya tanpa menoleh ke arahku. Dia sibuk memeriksa beberapa berkas. Sikapnya itu justru mebuatku merasa bahwa kata-kata Aslan mengalir dari hatinya. Apa yang dia ucapkan senada dengan apa yang d
“Itu adalah kartu edisi terbatas dari bank. Kartu itu hanya bisa dimiliki oleh pemilik perusahaan dengan batas kekayaan tertentu.” “Apakah kartu ini milikmu?” tanyaku pada Aslan. “Aku tahu, kau tidak ingin mengambil pemberianku. Anggap saja aku sedang meminjamkan kartu ini padamu. Kau bisa menggunakannya. Setelah El Khairi besar, kau akan memiliki kartumu sendiri.” Aku melihat kartu yang ada di tanganku. Kartu itu tampaknya sangat sakti untuk bisa membeli apa pun. Aku pernah mendengar jenis kartu seperti itu dan sekarang kartu itu ada di tanganku. Menerima banyak kebaikan dari Aslan membuatku merasa sangat berhutang budi. Aslan memang melakukan dengan tulus dan tidak berharap apa pun. Pengakuan perasaannya padaku menjadi sebuah dinding tinggi untukku merasa nyaman dengan semua uluran tangannya. Aku tidak tahu, apakah di masa depan aku bisa menerima cinta Aslan. Saat ini tidak ada ruang di pikiran dan hatiku untuk hal itu. Walau kemungkinan itu sudah pernah kukatakn, tampaknya tidak
“Ok. Aku akan selesaikan semua serah terima dengan Fatih hari ini.” Aslan lalu keluar meninggalkan ruangan, Marissa mengikuti di belakangnya. Sebelum pergi Marissa melirikku dengan pandangan mata penuh arti. Marissa tampaknya tau bahwa selama ini Fatih berusaha mendekatiku. Setelah pintu kantor tertutup, tinggallah aku dan Fatih di dalam ruangan. Pria yang biasanya banyak bicara dan hangat itu sekarang hanya terdiam. Dia memandangku dengan tatapan bingung dan sedih. Seperti menunggu sebuah penjelasan. Bagi Fatih pengangkatan jabatannya pasti terlalu mengejutkan. Selama ini Fatih sudah bekerja maksimal. Ketika manager lama dari divisi student Exchage universitas abdurrahman mengundurkan diri, Fatih percaya diri bahwa dialah yang akan menggantikan. Berharap dapat promosi, Fatih justru menemukan aku yang masuk ke divisi ini dan menjadi manager baru. Dia menerima keputusan Aslan dengan hati ringan. Dalam perjalanannya ternyata aku tidak melakukan fungsiku sebagai manager dengan baik. It
“Heh! Tunggu! Siapa kamu? Main masuk aja. Mau ngapain ke sini? Mau ketemu siapa?” Seorang wanita muda dengan headset di kepala dan memakai baju resmi berwarna hitam berteriak dari balik meja resepsionis. Wanita itu melihatku dengan tatapan curiga. Beberapa orang yang ada di lobby gedung El Khairi menoleh ke arah kami. Keributan yang membuat langkah kaki mereka yang sedang melangkah berhenti. Aku melihat ke arah wanita itu. Saat itu aku sudah berdiri di depan sebuah lift untuk masuk ke bagian dalam gedung. Tadi malam, Aslan sudah mengatakan padaku dengan siapa dan di ruangan mana aku harus menuju pagi ini. Melihatku berusaha menaiki lift, gadis resepsionis itu rupanya merasa curiga. Kuputuskan untuk mendekatinya. “Maaf, apa maksud anda, Nona.” “Lho, kok malah balik tanya. Kan tadi saya tanya, kamu siapa dan mau apa di sini? Jangan dikira dengan pakai baju bagus, kamu bisa keluar masuk sembaragan di perusahaan ini ya. Ini tuh perusahaan elit, setiap tamu yang datang harus melalui pe
“Maafkan saya, Nyonya. Saya datang terlambat ke kantor sehingga membuat anda mengalami kejadian tidak menyenangkan.” Yuda meletakkan tangan kanannya ke dada kiri dan sedikit membungkuk. “Hmm…,” jawabku singkat. Dia melirik resepsionis yang berbicara banyak padanya. Juga ada dua security yang berdiri di sana. Tatapan tajamnya membuat mereka diam. Yuda ingin rasanya menenggelamkan ketiga orang itu ke dasar lautan. Mendengar nama belakangku, ketiga orang itu dan juga mereka yang ada di sekitar kami ternganga. Nama yang sama dengan nama gedung dan nama perusahaan tempat kami berada sekarang. Mereka langsung bisa memastikan siapa aku sebenarnya. Skandal yang terjadi di pernikahan Fattan, pastilah sudah menyebar ke semua orang. Beberapa dari mereka mungkin juga hadir di pesta itu. Namun, karena suasana yang kacau, banyak yang tidak melihat jelas wajahku. Sampai aku hari ini datang pun, tidak ada yang mengenaliku sebagai Adina El Khairi. “Saya pastikan anda tidak akan melihat orang-orang
“Aku belum bicara dengan Fattan. Apakah menurutmu, dia akan membutuhkan pekerjaan?” “Saya mendengar bahwa perusahaan yang berada di bawah naungan Tuan Fattan sedang sekarat. Entah bagaimana saham dan jaringan bisnis mereka bisa hancur secepat ini.” Aku mengerutkan kening dan tersenyum sadis. Tentu saja, Aslan adalah orang yang berada di balik semua ini. Dia snegaja membuat Fattan ‘lumpuh’ untuk mempermudah jalanku. Jika bukan karena ancaman Aslan, Fattan tidak akan pernah menyerahkan El Khairi padaku. Sesaat kemudian, pintu ruangan terbuka. Fattan berdiri di sana. Tatapannya begitu tajam dn wajahnya berubah keruh ketika dia melihatku duduk di kursi yang biasa dia duduki. Seperti biasa, Fattan selalu tampil rapi, resmi dan tampan. Ketampanan yang dulu pernah kupuja. Sekarang ketampanan yang sedang berdiri di depanku ini hanyalah ketampanan yang memuakkan. “Sedang apa kau di ruanganku?” tanya Fattan sinis. Yuda merasa risih karena melihat tanda-tanda perang akan meledak di antara ka
“Betul, Adina. Maaf karena aku terlambat memberitahumu tentang hal ini. Atau bahkan sebenarnya aku tidak perlu memberitahumu.” Manaf tertunduk lesu. Berita kematian Vivian seperti tenggelam di telan oleh kabar yang Manaf berikan. Semua ini terjadi secara tiba-tiba. Aku bahkan tidak mengerti bagaimana seharunya berekspresi dengan semua ini. Jika aku adalah anak angkat El Khairi, maka artinya aku dan Tara sama sekali bukan saudara. Tidak ada darah yang sama diantara kami. Keesokan harinya, Maaf meninggalkan Indonesia dan kembali ke Turki. Tara tinggal di mansion yang sama denganku. Hubungan kami menjadi sangat canggung dan aneh, terutama ketika kami hanya berdua saja. Di depan Anaya, Rayyan dan Jafar semua terlihat normal. Namun saat itu hanya tentang aku dan Tara, maka kami menjadi dua orang asing yang sedang belajar saling mengenal. “Nyonya, malam ini akan ada pesta di Deluxe Building. Tuan Tara meminta anda bersiap untuk ikut bersamanya.” Harry menyampaikan pesan Tara saat aku seda
“Adina, maafkan aku. Aku sudah melakukan yang terbaik, tapi ini semua di luar kendaliku.” Kata-kata Tara semakin membuatku khawatir. Aku yakin ada hal buruk yang terjadi. “Tara, katakan dengan jelas. Jangan menganggapku terlalu lemah untuk mendengar apa pun. Aku lebih kuat dari yang kau bayangkan. Aku ingin tahu semuanya. Katakan!” Aku tidak bisa lagi menahan amarah karena Tara terlalu lama diam dan berusaha menahan tiap detik untuk berbicara “Vivian tewas tertembak.” Sebuah bom meledak di kepalaku. Ponsel di tanganku meluncur ke bawah dan mendarat di atas lantai batu taman. Tentu saja panggilan telepon dari Tara terputus. Aku membeku tanpa ekspresi. Berita ini terlalu sulit untuk diterima dan diidentifikasikan dengan kata. Dari kejauhan Harry berlari dan mendekatiku. Setelah sambungan telepon kami terputus, Tara pasti langsung menghubungi Harry. Karena itulah Harry datang untuk memastikan keadaanku baik-baik saja. Harry tertegun elihat ponselku yang hancur di atas tanah. Dia berl
“Ke tempat dimana seharusnya anda berada, Nyonya.” Harry menyahut dari kursi penumpang depan tanpa menoleh ke arahku. Aku yang duduk bersama Anaya di kursi belakang memilih diam. Anaya tertidur nyenyak dengan kepala di pangkuanku sejak kami mulai meninggalkan cluster. Aku tidak pernah meragukan Tara atau Harry. Bahkan dengan menutup mata dan tanpa memberikan detail, aku akan mengikuti mereka dengan rasa percaya. Sebuah tempat yang Harry katakan itu akhirnya adalah sebuah mansion yang berada di perbatasan Jakarta-Bogor. Sesuatu yang tidak pernah aku bayangkan bahkan dengan sebuah imajinasi tentang Adina El Khairi. Pintu gerbang mansion itu berada sekitar dua kilometer dari bangunan utama. Gerbang emas tinggi dengan penjagaan beberapa security berbadan tegap. Saat tiba di depan pintu gerbang, para penjaga mansion berlarian dan bergegas membuka pintu. Mobil yang kami naiki dan empat mobil lain di belakang kami masuk dengan lancar. Jalanan menuju ke bangunan utama adalah sebuah taman de
“Ya kita berangkat.” Aku mengangguk. Harry mengangkat tangan dan memberikan instruksi pada beberapa orang pria yang berbaju hitam di luar gerbang. Mereka masuk ke dalam rumahku dan mulai berbicara dengan para pelayan dan pengasuh. Ibu-ibu tetangga yang melihat pemandangan itu mendadak diam. Mereka tentu saja bingung karena ini adalah hal berbeda dari yang biasa mereka saksikan. Sebaliknya, Meylani justru mencibir. “Oh! Jadi memang kamu sudah berniat tidak tinggal lama ya di cluster ini. Pantas saja kamu tidak peduli dengan ketentraman cluster ini,” ujar Meylani sinis. “Iya! Bener tuh! Baguslah dia pergi. Jadi cluster kita kembali aman dan damai!” “Dia memang tidak pantas tinggal di sini.” “Itu pasti orang-orang suruhan suaminya. Dia mungkin istri kedua atau simpanan seorang pejabat.” Suara-suara terdengar di sekitar telingaku. Para wanita itu bergumam dengn opini mereka sendiri. Satu hal yang pasti, tidak ada opini baik yang kudengar di sana. Aku hanya diam dan membiarkan semuan
“Kita akan menuju ke tempat seharusnya kita berada. Tempat ini bukan tempat seharusnya kita tinggal.” Aku menggeser berdiriku dan melihat keluar jendela. Tatapanu menyapa sekitar di mana sebelumnya kami berharap banyak pada kehidupan. Mbak Pia diam. Dia bingung dengan apa yang aku katakan. Pembantuku itu selalu percaya pad keputusan apa pun yang aku buat. Dia tidak bertanya lebih banyak. Setelah mengangguk tanda mengerti, dia beranjak ke dapur. Beberapa saat kemudian, rumah kami sedikit riuh karena pengasuh Jafar dan Rayyan mulai mengemas barang-barang pribadi dua bayi itu. Belum lagi sesekali tangisan muncul dri keduanya. Aku bahkan perlu sedikit beradaptasi mendengar suara-suara yang tidak biasa aku dengar. Sejak Anaya beranjak dewasa, di rumah kami segalanya menjadi tenang. Nyaris tidak pernah terjadi keributan dan tangisan seperti yang terjadi saat ini. Aku menenangkan diri di dalam kamr setelah Anaya pulang dari sekolah dan menyelesaikan makan siangnya. Sebuah ketukan memaksa
“Banyak hal yang berjalan dan tidak bisa kita ubah.” Aku menegaskan pada Andre. Sejujurnya ini terasa seperti sedang membunuh harapan dalam diriku sendiri. Semua ini jauh lebih baik daripada terus tenggelam dalam mimpi. Harapan tentang hubungan mereka bagiku nyaris seperti hamparan pasir yang tidak ingin digenggamnya. Semakin erat aku merapatkan tangan, akan semakin banyak yang harus rela untuk kulepaskan. “Din, kita sudah jauh berjalan. Masa depan yang pernah aku bayangkan adalah bersamamu.” Andre menggenggam tanganku. Aku tersenyum dan menarik tanganku dari genggaman Andre. “Terima kasih sudah begitu percaya pada hubungan kita, Ndre. Keputusan ini aku ambil bukan murni karenamu. Ini juga tentang diriku sendiri.” “Apa maksudmu dengan tentang dirimu sendiri? Apakah kau memang tidak ingin bersamaku sejak awal? Lalu kenapa kita berdua harus membuang waktu jika kau memang tidak serius dengan semua ini sejak awal?” Andre memaksa agar arah angin berpihak padanya. Aku menggeleng ringan.
“Apakah aku perlu memberikan alasan untuk bertemu denganmu?” tanyaku. Andre tertawa kecil di seberang sambungan. “Tentu saja tidak. Aku hanya terkejut kau ingin bertemu denganku setelah keributan kemarin. Aku pikir kau akan kesal atau marah padaku. Kau bahkan tidak mempersilahkan aku masuk. Kau juga tidak menghubungiku.” Aku diam. Marah dengan Andre? Tentu saja aku marah. Aku bahkan tidak ingin lagi berada di dalam kondisi di mana aku tidak punya kekuatan untuk mengendalikannya. Dua jam kemudian aku sudah duduk di sebuah café dan Andre ada di depanku. Aku lebih tenang meninggalkan rumah karena dua keponakan Mbak Pia sudah datang untuk membantunya mengasuh Jafar dan Rayyan. Seorang security sengaja ditempatkan di rumahku oleh Harry. Pria yang memakai baju security itu sebenarnya adalah salah satu bodyguard Tara dibawah kepemimpinan Harry. Kadang aku merasa takjub dengan hal-hal kecil yang seolah sudah disiapkan oleh Tara. Harry tidak mungkin mengambil keputusan tanpa perintah dari T
“Tuan Tara memberikan alamat ini padaku. Tolong buka pintunya, Tuan Muda Rayyan perlu istirahat segera.” Aku yakin itu adalah orang suruhan Harry yang membawa Rayyan. Ternyata Tara berhasil mengeluarkan Rayyan dari Singapura. Aku bergegas membuka pintu. Saat pintu terbuka seukuran tubuh, aku mundur ke belakang dengan cepat karena pria itu menerobos masuk. Seorang bayi laki-laki tertidur pulas di pelukannya. Pria dengan rambut coklat gelap dan tubuh tegap itu berdiri dengan wajah tegang. Beberapa kali dia menoleh ke belakang seolah sedang cemas jika sesuatu mengikutinya. Aku keluar dari pintu gerbang, menoleh ke kanan dan ke kiri. Entah apa yang aku cari. Aku hanya memastikan semuanya aman. “Kau tidak membawa mobil?” tanyaku ketika masuk kembali ke dalam gerbang. Pria itu menggeleng. Lalu dia melihat ke arah pintu gerbang yang terbuka. “Tolong cepat tutup pintunya,” ujar pria itu. Aku mengangguk dan segera menutup pintu gerbang. Tidak lupa aku kembali memasang gembok pengaman. Wa
“Kembali padamu? Apa kau serius dengan kata-katamu?” tanyaku menyelidik. Segumpal harapan seolah berhasil Fattan dapatkan. Dia terdengar antusias ketika menjawab pertanyaanku. “Tentu saja, aku serius. Aku sangat serius. Aku memang bukan pria yang baik untukmu, tapi aku akan berusaha memperbaiki semuanya.” Jantungku ingin meledak karena tawa yang tertahan di dalam sana. Hari ini benar-benar luar biasa. Begitu banyak kejutan dan kecemasan yang datang bersamaan. Bersama dengan senyum, butiran air mata berjatuhan di pipiku. “Kau bodoh, Fattan!” Aku mengucapkan dengan nada ketus yang pasti menusuk telinga siapa pun yang mendengarnya. “Kau pikir aku selugu dulu ketika masih menjadi istrimu?” “Apa maksudmu, Din? Buka pintunya. Biarkan aku masuk dan mari kita bicara.” Fattan memohon. “Tidak! Jika kau bilang kau bukanlah pria baik, lalu untuk apa aku harus memberikan lagi hidup, waktu dan hatiku untuk pria yang tidak baik? Lalu kau berjanji untuk memperbaiki diri. Kalau kau tidak berhasil