Jreng! Jreng!
“Tentu Aslan, itu yang paling utama. Memberikan ucapan selamat pada kedua pasangan yang berbahagia,” jawabku sambil tersenyum sadis melihat ke arah panggung. Kami berjalan meninggalkan Hisyam yang ternganga. Dia pasti tidak menduga bahwa aku memiliki kedekatan dengan Aslan. Bahkan aku hanya memanggil namanya saja saat berbicara. Sementara aku meminta Hisyam memanggilku dengan gelar kehormatan. Dia tampak panik karena tidak bisa memberitahu semua orang yang berada di pelaminan untuk bersiap denga kedatangan kami. Seorang kolega lain keburu datang mengajak Hisyam berbincang. Dia menanggapi kolega itu seadanya sementara tatapannya terus mengikuti aku dan Aslan. “Kenapa Fattan meninggalkan wanita itu? Dia sangat cantik.” “Jadi itu pemilik El Khairi Company yang sebenarnya. Lalu Fattan hanya pekerja?” “Sungguh tidak sebanding istrinya yang sekarang kudengar hanyalah seorang pramugari.” “Wanita yang sangat berkelas dan terihat cerdas.” “Dia lebih cocok dengan Aslan Abdurrahman.” Berb
“Berhenti!” Aslan menggertak Kak Zahra. Telapak tangan yang nyaris mengenai pipiku itu pun mendadak berhenti. Dengan mata bulat khas wanita arab, Kak Zahra melotot ke arah Aslan. Wajahnya memerah karena menahan marah. Suara Aslan terdengar mengejutkan semua orang. Fattan dan Kalila yang sejak tadi tersenyum bahagia menatap ke area pesta pun seketika menoleh. Keduanya tidak kalah terkejut dari Kak Zahra ketika menyadari bahwa aku sudah berdiri di dekat mereka. Keduanya bertukar pandang. Keduanya pasti tidak menyadari kehadiranku. Mereka terlalu sibuk menikmati kebahagiaan. Kalila terlihat kesal dan marah. Dia meremas bucket bunga yang ada di dalam genggamannya. Sementara Fattan terlihat sangat khawatir. Semua tamu undangan melihat ke arah kami. Pemain musik pun menghentikan semua suara. Suasana mendadak hening. Seolah mereka menunggu apa yang akan terjadi. Aku tetap berdiri tenang di depan Kak Zahra. Aslan menggeser berdirinya dan mengambil tempat untuk berada di sebelahku. Kami berh
“Omong kosong apa ini?!” Hisyam berteriak dari area pesta yang berada di depan panggung pelaminan. Mata Aslan mengerling tajam pada Hisyam. Sementara ayah Kalila itu berjalan cepat menuju atas pelaminan. Dia menghampiri Aslan yang masih berdiri tenang sambil memegang mic di tangannya. Hisyam tiba di depan Aslan dengan wajah kacau. Kulitnya merah karena menahan marah. Nafasnya tersenggal karena berjalan cepat dan menaiki panggung pelaminan. Dia juga pucat karena cemas mendengar apa yang Aslan katakan. Aku pun tidak kalah terkejut. Walau sejak awal aku tahu, Aslan akan melakukan sesuatu di tempat ini. Tapi, apa yang dia katakan sama sekali tidak pernah aku pikirkan. Aku harap ini hanyalah bagian skenario yang Aslan lakukan untuk memulai rencana berikutnya. Melibatkan hubungan persaudaraan untuk kepentingan balas dendam, bukan sebuah ide bagus yang bisa kusetujui. “Aslan….” Aku bergumam sambil menggelengkan kepala perlahan. Bagaimana pun sikapnya terlihat berlebihan. Dia membawa keboh
“Manusia-manusia menyedihkan. Harta telah membuat kalian mengorbankan hati nurani kalian sendiri.” Suaraku bergetar, tapi aku tidak ingin menangis. Tidak sekarang! Aku tidak ingin terlihat lemah di depan mereka. Melihat keberanian Aslan membelaku, aku tidak akan membiarkan itu sia-sia. Aku akan memberikan keberanian yang sama untuk membuat wajah kami berdua tetap tegak menghadap ke depan. Mendengar perkataanku, Fattan yang sejak tadi memilih diam akhirnya angkat bicara. Dia melepaskan gandengan Kalila di lengannya dan melangkah mendekati aku juga Aslan. Tamu undangan semua melihat kami di atas pelaminan. Ini seperti menyaksikan sebuah pertunjukan panggung boneka. Mereka diam untuk menunggu adegan selanjutnya. “Adina, kau mengatakan hal buruk tentang kami. Lalu bagaimana denganmu? Apa kau lupa, bahwa kau juga sama menyedihkannya?” tanya Fattan. “Apa maksudmu?” “Kau bahkan sudah tinggal di rumah Aslan sebelum kita resmi bercerai. Aku tidak heran kenapa kau begitu berani memutuskan b
“Aslan Abdurrahman!” Fattan berteriak hendak menyerang Aslan. Teriakan yang sama sekali tidak dihiraukan oleh Aslan. Dia menggandeng tanganku untuk menuruni panggung pelaminan. Kami sama sekali tidak menoleh ke belakang. Walau tanpa melihat, aku yakin wajah-wajah yang ada di belakang kami adalah wajah penuh kemarahan dan kemalangan. Hisyam segera menahan menantunya itu. Aku dengar Hisyam mengatakan sesuatu pada Fattan. “Biarkan dia pergi. Kita akan mengurus semuanya besok. Kita selesaikan dulu pesta kita malam ini.” Aslan menggenggam erat tanganku. Kami berjalan menuju ke lobby. Ratusan pasang mata memandang kagum dan takjub pada kami. Pasangan ideal yang baru saja memenangkan pertarungan. Begitulah yang aku rasakan saat ini. Aku merasa puas karena telah memukul telak mereka yang bertahun-tahun menjadikanku sebagai bahan mainan. Aku harus berterima kasih pada pria yang sedang menggandengku ini. Dia sungguh seperti malaikan penyelamat. Saat kami tiba di depan lobby, kamera wartawan
“Baik, Tuan.” “Tunggu! Setelah Fattan masuk ke ruangan ini, tidak boleh ada gangguan. Jangan ada tamu atau telepon.” Suara Aslan begitu dominan dan tidak memberikan kesempatan siapa pun untuk menolak perintahnya. “Tentu, Tuan. Permisi.” Gadis sekretaris itu pun keluar dari ruangan. Beberapa menit kemudian dia kembali bersama Fattan. Ketika Fattan melihat aku di dalam ruangan Aslan, dia terlihat terkejut. Keningnya seketika berkerut dan dia berusaha mengalihkan pandangan. Dia berpikir kenapa aku ada di ruangan itu. Pemandangan yang membuat Fattan berpikir aku dan Aslan adalah pasangan yang tidak bisa terpisahkan. Tentu saja itu membuat emosinya seketika bergejolak. Aku melihat jelas bagaimana Fattan berusaha menahan diri dan mengalihkan pandangan dariku. “Selamat Pagi, Tuan Aslan,” ucapnya. “Silahkan duduk, Fattan,” ucap Aslan dingin. Dia menyandarkan tubuhnya ke punggung kursi. Tatapannya begitu mengintimidasi pada Fattan. Sementara Fattan mulai duduk di kursi hitam yang ada di
“Apakah dia akan takut pada ancamanmu?” tanyaku pada Aslan setelah Fattan meninggalkan ruangan. “Dia tidak punya pilihan. Jika dia menolak sekali pun, maka aku bisa menendang Fattan keluar. Surat itu hanyalah bagian dari balas dendammu padanya.” “Surat itu akan melukai harga dirinya,” ujarku perlahan. Aku kenal baik Fattan. Dalam urusan bisnis, dia selalu penuh dengan ambisi. Sekarang tiba-tiba dia harus mengakui posisi sebenarnya an meletakkan bisnis yang selama ini dia akui. Pria itu akan sangat terpukul. “Adina, kadang manusia perlu belajar bagaimana rasanya jatuh. Agar dia mengerti untuk tidak menjatuhkan orang lain. Orang yang hebat bukanlah orang yang bisa menjatuhkan lawan. Orang hebat adalah dia yang bisa membuat orang lain bangkir dari keterpurukan.” Aslan mengucapkan semua kata-katanya tanpa menoleh ke arahku. Dia sibuk memeriksa beberapa berkas. Sikapnya itu justru mebuatku merasa bahwa kata-kata Aslan mengalir dari hatinya. Apa yang dia ucapkan senada dengan apa yang d
“Itu adalah kartu edisi terbatas dari bank. Kartu itu hanya bisa dimiliki oleh pemilik perusahaan dengan batas kekayaan tertentu.” “Apakah kartu ini milikmu?” tanyaku pada Aslan. “Aku tahu, kau tidak ingin mengambil pemberianku. Anggap saja aku sedang meminjamkan kartu ini padamu. Kau bisa menggunakannya. Setelah El Khairi besar, kau akan memiliki kartumu sendiri.” Aku melihat kartu yang ada di tanganku. Kartu itu tampaknya sangat sakti untuk bisa membeli apa pun. Aku pernah mendengar jenis kartu seperti itu dan sekarang kartu itu ada di tanganku. Menerima banyak kebaikan dari Aslan membuatku merasa sangat berhutang budi. Aslan memang melakukan dengan tulus dan tidak berharap apa pun. Pengakuan perasaannya padaku menjadi sebuah dinding tinggi untukku merasa nyaman dengan semua uluran tangannya. Aku tidak tahu, apakah di masa depan aku bisa menerima cinta Aslan. Saat ini tidak ada ruang di pikiran dan hatiku untuk hal itu. Walau kemungkinan itu sudah pernah kukatakn, tampaknya tidak