Ancam teross!! Maju, Adina!
“Kau sedang mengancamku?” Aku melangkah perlahan mendekati Fattan. Aku terlihat berani di depan Fattan. Jika sudah berkaitan dengan Anaya, semua rasa takut akan segera kusingkirkan. Fattan boleh saja mengusik dan merusak pernikahan kami tapi tidak dengan hati dan jiwa Anaya. “Aku tidak mengancam. Akan kuwujudkan jika kau benar-benar mengajukan gugatan cerai itu.” “Lihat Fattan, betapa egosinya dirimu. Kau membawa Kalila ke rumahmu, kau menikahinya tapi kau sama tidak mau melepaskan aku.” “Demi Anaya, aku melakukan semua demi Anaya. Jangan kau pikir aku melakukan ini karena masih menginginkanmu. Kalila sudah memberiku semua yang tidak kudapatkan darimu.” Fattan berkata dengan geraham terkatup di depan wajahku. Betapa teganya Fattan menyiram lukaku dengan air garam. Begitu bangga dia dengan hubungannya dan Kalila. Inilah Fatta degan sifat aslinya. Aku yakin bahwa selama ini Fattan tidak pernah mencintaiku. Semua yang dia lakukan selama pernikahan kami hanya palsu. Sekarang dia dan
“Hak atas El Khairi Company? Apa maksud, Kakak?” “Jangan berlagak bodoh, Adina. Perusahaan itu adalah peninggalan Abi. Sebagai anaknya tentu saja aku juga berhak atas perusahaan itu.” “Kak, Abi sudah memberikan perusahaan itu padaku lima tahun lalu. Kenapa baru sekarang semua ini kau permasalahkan?” “Jangan banyak bicara Adina. Datanglah ke rumah dan aku akan memberitahumu semuanya!’ Kak Zahra begitu saja mematikan sambungan telepon. Aku tercengang sambil menatap layar ponselku. “Telepon dari siapa? Kamu keliatan shock banget,” tanya Marissa. “Kak Zahra.” “Oh, kakakmu. Ibunya Kalila ya?” “Kenapa Kak Zahra tiba-tiba ingin bertemu denganku dan membicarakan tentang perusahaan? Ini aneh.” “Aneh gimana?” tanya Marissa. “Selama ini Kak Zahra tidak pernah peduli dengan El Khairi Company. Bahkan ketika dia tau bahwa namanya tidak tercantum dalam surat warisan Abi, Kak Zahra tetap diam dan tidak peduli.” “Kau tidak akan tahu jika kau tidak datang menemuinya. Lagi pula, di rumah itu t
“Bukankah aku sudah katakan padamu, bahwa gugatan cerai yang kau layangkan hanya akan menambah panjang daftar masalah di antara kita.” Dua sosok yang telah menghancurkan hidupku beberapa bulan terakhir, muncul di depan pintu. Aku menoleh dan menatap tajam pada mereka. Beberapa bulan lalu, melihat pemandangan seperti ini pasti akan membuat mataku berlinangan air. Sekarang, aku tidak merasakan apa pun ketika Kalila bergelayut manja di lengan Fattan. Dia memang sengaja melakukan itu untuk memancing emosiku. Kalila selalu merasa bersaing denganku. Saatini dia sedang menunjukkan kemenangannya. Kemenangan yang bagiku tidak ada artinya lagi. Fattan hanyalah seonggok sampah yang layak dibuang. Bahkan, aku akan bersedia membuang Kak Zahra dan keluarganya dari hidupku jika mereka hanya akan menjadi duri yang menyakitkan. “Apa kau pikir caramu mengintimidasiku akan berhasil?” jawabku dengan nada tenang. “Aku tidak sedang mengintimiasimu. Ini hanya sebuah cara agar kau sadar bahwa tindakanmu
“Kenapa kau ada di sini malam-malam begini?” tanyaku pada Aslan setelah aku sampai di depan rumah. Alih-alih menjawab pertanyaanku, Aslan justru melihat ke arah dalam rumah. “Anaya sudah tidur?” “Ya, dia selalu tidur sebelum jam sembilan.” “Apakah Anaya bahagia berada di rumah ini?” Wajah Aslan terlihat dipenuhi dengan beban. Matanya begitu dalam dan gelap menembuskan pandangan ke dalam rumah yang berdinding kaca di hadapannya. Lampu dalamrumah sudah kami. Aku juga sedang bersiap untuk tidur ketika telepon dari Aslan masuk ke ponselku. “Anaya baik-baik saja. Dia bisa beradaptasi dengan mudah,” jawabku. “Ayo, akui ingin mengajakmu ke sebuah tempat.” “Sekarang? Di malam selarut ini?” “Kau tidak khawatir aku menculikmu, kan?” Aku tertawa kecil. Tentu saja aku tidak takut Aslan menculikku. Walau kami tidak banyak berinteraksi, tapi aku percaya pria itu tidak pernah punya niat buruk padaku. Selama ini Aslan juga tidak terlihat genit atau berusaha menggoda walau dia adalah orang ya
“Keinginanmu atasku? Maksudmu kau ingin menikah denganku?”“Kau adalah motivasiku untuk berhasil dan membangun sebuah bisnis. Kau tujuanku, agar aku diterima oleh pemilik El Khairi Company sebagai menantu. Ayahmu tidak akan menerimaku jika aku hanya pria biasa.”Dua butir air mata jatuh di pipiku. Selama ini tidak pernah ada orang yang memujaku sebanyak Aslan. Aslan selalu berada di sekitarku tanpa kutahu. Aku tidak tahu apa pun tentang pria sebelum menikah dengan Fattan. Dia adalah pria pertamaku.Bahkan jika Aslan menunjukkan wajah saat itu di depanku, aku mungkin tidak akan tertarik. Pemikiran konvensional yang dibuat oleh Abi dan Umi sangat kental dalam diriku. Bagiku, hidupku hanyalah bagaimana taat dan patuh pada orang tua. Lalu mengabdikan diri pada suami.Ternyata skenario Sang Pencipta tidak seindah harapan dan doa Abi Umi.“Kenapa kau tidak pernah mencoba? Apakah kekayaan ayahku membuatmu takut sebelum menemuinya?”Aslan memejamkan mata, menarik nafas sebelum dia mulai bicar
“Selamat datang, di Istanbul. Kami menyambut anda, Nyonya Adina.” Seorang gadis muda degan baju warna hitam dan hijab warna cream tersenyum dan mengulurkan tangan padaku. Aku menjabat tangannya dengan senyuman ramah. Ini adalah hari pertama aku tiba di Istanbul untuk memimpin rombongan mahasiswa yang akan melakukan pertukaran pelajar. Setelah banyak pertimbangan, akhirnya aku setuju untuk pergi. Marissa benar, aku perlu berlibur dan memiliki waktu untuk diriku sendiri. Setelah aku kembali ke Indonesia nanti, ‘perang besar’ telah menanti. Tugas mengantar mahasiswa ini kujadikan ajang untuk menyegarkan diri. Sementara Anaya dan Mbak Pia berada di bawah pengawasan orang tua Marissa. Mereka menyambut Anaya dengan gembira. Dalam hitungan menit, Anaya bahkan telah akrab dengan keluarga Marissa. Perjalanan ini bisa kulakukan dengan tenang. Istanbul, lebih dari tujuh tahun lalu ketika aku terakhir kali mengunjunginya. Sejak menikah dengan Fattan, aku tidak pernah berlibur sendiri atau bersa
“Aku Adina,” “Aku Rasyid,” jawabnya tanpa kuminta. Sebenarnya aku tidak tertarik untuk berkenalan dengan pria ini. Tapi, menolak mentah-mentah dia yang sudah memberikan bantuan tentu bukanlah sesuatu yang sopan. Aku tersenyum tipis. Entah kenapa kami harus berkenalan dalam situasi seperti ini. Setibanya di klinik, seorang dokter segera melayani kami dan mengobati lukaku. Rasyid duduk di sudut ruangan dan memperhatikan dokter melakukan beberapa tindakan. “Lukanya tidak besar tapi cukup dalam. Saya memberikan tiga jahitan untuk menutup lukanya agar segera sembuh. Dua tiga hari ke depan sebaiknya jangan terlalu banyak bergerak agar tidak bengkak.” Pernyataan dokter membuatku jadi gelisah. Aku sedang di negara orang untuk melakukan pekerjaan, bagaimana mungkin tidak bergerak. Satu minggu di Turki, banyak agenda yang harus kuselesaikan. Rasyid rupanya membaca kegelisahanku dari pandangan mata hazelnya. Dia berdiri mendekati ranjang tempatku berbaring. Setelah memeriksa luka di kakiku
“Fattan? Apa yang sedang kau katakan?” “Aku pikir kau mengajukan gugatan cerai karena membenciku dan Kalila. Karena kau tidak ingin dimadu. Ternyata kau mengajukan gugatan cerai hanya untuk mendapatkan kebebasanmu sendiri. Kau bahkan meninggalkan Anaya bersama orang asing dan bukan pada keluargaku! Wanita jalang!” “Fattan! Tutup mulutmu! Sampai kapan kau akan terus berusaha melukaiku?” “Kau memang jalang! Kau keluar negeri untuk menjual diri? Karena kau tidak becus dalam bekerja dan menghasilkan uang? Jadi kau mencari jalan mudah. Begitu?!” “Kau menjijikkan, Fattan! Apakah hanya sex yang ada di kepalamu. Sehingga kau berpikir semua orang sama.” “Jangan munafik Adina. Kita semua tahu Aslan adalah pria Turki. Kau di sana bersenang-senang dengannya dan menterlantarkan Anaya. Ibu macam apa kau ini?! Aku akan tetap mengambil Anaya!” Aku menutup sambungan telepon. Hatiku bergejolak tidak karuan. Semua tuduhan Fattan kembali mengingatkan aku betapa bodohnya aku selama menjadi istrinya.