Ah, Aslan. Kenapa sih nggak langsung aja gitu sepuluh tahun lalu. Gemes!
“Keinginanmu atasku? Maksudmu kau ingin menikah denganku?”“Kau adalah motivasiku untuk berhasil dan membangun sebuah bisnis. Kau tujuanku, agar aku diterima oleh pemilik El Khairi Company sebagai menantu. Ayahmu tidak akan menerimaku jika aku hanya pria biasa.”Dua butir air mata jatuh di pipiku. Selama ini tidak pernah ada orang yang memujaku sebanyak Aslan. Aslan selalu berada di sekitarku tanpa kutahu. Aku tidak tahu apa pun tentang pria sebelum menikah dengan Fattan. Dia adalah pria pertamaku.Bahkan jika Aslan menunjukkan wajah saat itu di depanku, aku mungkin tidak akan tertarik. Pemikiran konvensional yang dibuat oleh Abi dan Umi sangat kental dalam diriku. Bagiku, hidupku hanyalah bagaimana taat dan patuh pada orang tua. Lalu mengabdikan diri pada suami.Ternyata skenario Sang Pencipta tidak seindah harapan dan doa Abi Umi.“Kenapa kau tidak pernah mencoba? Apakah kekayaan ayahku membuatmu takut sebelum menemuinya?”Aslan memejamkan mata, menarik nafas sebelum dia mulai bicar
“Selamat datang, di Istanbul. Kami menyambut anda, Nyonya Adina.” Seorang gadis muda degan baju warna hitam dan hijab warna cream tersenyum dan mengulurkan tangan padaku. Aku menjabat tangannya dengan senyuman ramah. Ini adalah hari pertama aku tiba di Istanbul untuk memimpin rombongan mahasiswa yang akan melakukan pertukaran pelajar. Setelah banyak pertimbangan, akhirnya aku setuju untuk pergi. Marissa benar, aku perlu berlibur dan memiliki waktu untuk diriku sendiri. Setelah aku kembali ke Indonesia nanti, ‘perang besar’ telah menanti. Tugas mengantar mahasiswa ini kujadikan ajang untuk menyegarkan diri. Sementara Anaya dan Mbak Pia berada di bawah pengawasan orang tua Marissa. Mereka menyambut Anaya dengan gembira. Dalam hitungan menit, Anaya bahkan telah akrab dengan keluarga Marissa. Perjalanan ini bisa kulakukan dengan tenang. Istanbul, lebih dari tujuh tahun lalu ketika aku terakhir kali mengunjunginya. Sejak menikah dengan Fattan, aku tidak pernah berlibur sendiri atau bersa
“Aku Adina,” “Aku Rasyid,” jawabnya tanpa kuminta. Sebenarnya aku tidak tertarik untuk berkenalan dengan pria ini. Tapi, menolak mentah-mentah dia yang sudah memberikan bantuan tentu bukanlah sesuatu yang sopan. Aku tersenyum tipis. Entah kenapa kami harus berkenalan dalam situasi seperti ini. Setibanya di klinik, seorang dokter segera melayani kami dan mengobati lukaku. Rasyid duduk di sudut ruangan dan memperhatikan dokter melakukan beberapa tindakan. “Lukanya tidak besar tapi cukup dalam. Saya memberikan tiga jahitan untuk menutup lukanya agar segera sembuh. Dua tiga hari ke depan sebaiknya jangan terlalu banyak bergerak agar tidak bengkak.” Pernyataan dokter membuatku jadi gelisah. Aku sedang di negara orang untuk melakukan pekerjaan, bagaimana mungkin tidak bergerak. Satu minggu di Turki, banyak agenda yang harus kuselesaikan. Rasyid rupanya membaca kegelisahanku dari pandangan mata hazelnya. Dia berdiri mendekati ranjang tempatku berbaring. Setelah memeriksa luka di kakiku
“Fattan? Apa yang sedang kau katakan?” “Aku pikir kau mengajukan gugatan cerai karena membenciku dan Kalila. Karena kau tidak ingin dimadu. Ternyata kau mengajukan gugatan cerai hanya untuk mendapatkan kebebasanmu sendiri. Kau bahkan meninggalkan Anaya bersama orang asing dan bukan pada keluargaku! Wanita jalang!” “Fattan! Tutup mulutmu! Sampai kapan kau akan terus berusaha melukaiku?” “Kau memang jalang! Kau keluar negeri untuk menjual diri? Karena kau tidak becus dalam bekerja dan menghasilkan uang? Jadi kau mencari jalan mudah. Begitu?!” “Kau menjijikkan, Fattan! Apakah hanya sex yang ada di kepalamu. Sehingga kau berpikir semua orang sama.” “Jangan munafik Adina. Kita semua tahu Aslan adalah pria Turki. Kau di sana bersenang-senang dengannya dan menterlantarkan Anaya. Ibu macam apa kau ini?! Aku akan tetap mengambil Anaya!” Aku menutup sambungan telepon. Hatiku bergejolak tidak karuan. Semua tuduhan Fattan kembali mengingatkan aku betapa bodohnya aku selama menjadi istrinya.
“Anaya dalam perlindunganku. Fattan tidak akan bisa menyentuh kalian berdua selama aku masih hidup.” Kalimat Aslan membuat hatiku terasa hangat. Sudah sejak lama saat Abi meninggal dan aku hanya berlindung kepada Fattan untuk menjagaku. Dia juga yang akhirnya menjadi pemberi luka terbesar dalam hidupku. Fattan juga yang menjadi ancaman nyata dalam hidupku. Ketika Aslan berdiri di depanku untuk menjaga aku dan Anaya, rasanya tidak ada yang perlu kutakutkan lagi di dunia ini. Kami memang tidak memiliki hubungan, tapi aku yakin Aslan berniat baik. Aku bahkan mulai berpikir membuka hatiku untuk Aslan setelah perceraianku dan Fattan selesai. “Terima kasih, Aslan. Baiklah, aku akan tetap di Turki sampai semua tugas selesai.” “Adina, tolong buatlah dirimu nyaman bersamaku. Jika kau menghadapi masalah yang tidak bisa kau selesaikan, katakan padaku dan jadikan aku orang pertama yang akan mengatasi masalah itu.” “Ya, Aslan. Maafkan aku. Sebenarnya aku berusaha untuk tidak merepotkanmu atau
“Tidak pantas kau mengatakan hal itu padaku. Setelah kau tahu bahwa aku adalah bagian dari management universitas. Aku juga mengatakan padamu bahwa aku memiliki seorang anak.” Aku berdiri dari kursi roda. Rasyid tampak terkejut dengan reaksiku. Sepasang mata hazel indah itu seolah tidak percaya bahwa aku baru saja mengatakan sesuatu untuk menolaknya. “Kenapa? Aku berhak menyukai siapa pun. Bahkan setelah kau menikah, kau juga berhak meyukai siapa pun. Menikah bukan berarti kau kehilangan hidupmu, bukan?” “Itu adalah pandangan dan pendapat pria muda sepertimu. Kau mungkin terbiasa playboy dengan mendekati banyak gadis. Harus kuingatkan lagi bahwa aku bukan gadis belia yang akan mabuk hanya dengan rayuan saja. Kau tidak perlu mengawal dan membantuku. Aku akan bicara dengan Miss Nadia untuk menghentikan tugasmu. Permisi!” Langkahku masih terpincang ketika aku menjauhi Rasyid yang berdiri terpaku. Dengan caranya berbicara dan mendekatiku, juga penampilannya yang rapi, aku yakin, Rasyid
“Tolong jangan berlebihan. Kita masing-masing punya batasan yang harus dihormati. Selamat tinggal, Rasyid. Terima kasih!” ujarku menutup pembicaraan. Lalu aku pun bergegas menjauh. Langkahku cepat dan panjang semabri menarik dua tas troli besar yang tidak terlalu berat. Aku meninggalkan Rasyid yang tidak sempat mengucapkan salam perpisahan. Pria itu terlihat obsesif dan ambisius. Sikap yang mambuatku merasa ingin segera menghindar. Tidak sekali pun aku menoleh ke belakang. Aku tahu sepasang mata hazel Rasyid masih mengikuti langkahku sampai menghilang di belakang gate keberangkatan. Setelah pesawat lepas landas, aku bahkan mulai melupakan Rasyid. Selain ketampanannya, tidak ada hal yang aku sukai dari pria muda itu. Dia bahkan membuatku sesekali merasa terintimidasi. Pikiranku melayang ke Indonesia untuk bisa segera menemui Anaya. Gadis kecilku itu tidak pernah terlihat sedih saat kami melakukan video call. Marissa dan Mbak Pia menjaganya dengan sangat baik. Dia adalah gadis yang ta
“Waktunya untuk berhenti berlari, Adina. Cukuplah sudah lelahmu karena bertahan dalam kondisi yang tidak selayaknya kau dapatkan.” “Tapi, Aslan. Aku tidak tahu apakah aku sekuat itu untuk menghadapi merek berdua di pelaminan. Ini terlalu cepat.” Aslan menghentikan mobilnya di tempat parkir yang berbentuk sebuah lift di basement bangunan apartment. Lift itu membawa kami dan mobil yang kami kendarai langsung menuju ke lantai delapan puluh. Sehingga Aslan tidak perlu mengemudikan mobilnya dengan susah payah dan aku juga tidak perlu keluar dari mobil. Sebuah fasilitas luar biasa dari apartement yang sangat mewah. Lagi pula sebagai penghuni penthouse, Aslan pasti mendapatkan fasilitas VVIP. Lift berhenti dan pintu terbuka. Kami ternyata sudah berada di dalam ruangan penthouse yang mewah. Saat aku melangkah keluar pintu mobil. Hanya sebuah pintu kaca yang membatasi tempat parkir itu dan ruang tamu. Design penthouse yang sangat bagus dan mewah. Dindingnya berwarna putih, interiornya didom