Yeay! Waktunya memberi pelajaran!
“Bagus! Kau harus memaafkan tapi tidak melupakan.” “Aku tidak sedang membalas dendam,” jawabku. “Memaafkan adalah untuk menyelesaikan luka dalam dirimu. Tidak melupakan akan membuatmu ingat siapa yang harus kau tinggalkan.” Aslan tersenyum padaku. Senyum yang cukup untuk bisa menguatkan hatiku untuk tetap melaju. Setiap kata-katanya terdengar bijak. “Kau hanya mengambil apa yang menjadi milikmu. Perusahaan itu sejak awal memang milikmu. Ayahmu telah melakukan banyak hal untuk membangun perusahaan itu.” Aku mengangguk tipis. Memang yang kulakukan adalah sebuah kesalahan. Aku telah memberikan perusahaan sebesar El Khairi Company pada orang lain. Sekali pun itu adalah suamiku sendiri. Pemikiran yang sangat sederhana, bahwa pernikahan adalah tentang cinta, setia, bahagia dan selamanya. Apa yang menjadi milik suamiku akan menjadi milikku dan apa yang menjadi milikku akan menjadi milik suamiku. Nyatanya apa yang pernah kubentuk di dalam kepala sebagai pola kehidupan berumah tangga, sem
“Aku tidak bermaksud menyeretmu dalam drama rumah tanggaku,” ujarku di antara isak tangis. “Aku tahu. Aku yang ingin masuk dan membantumu. Apa yang pernah terjadi di masa lalu, tidak akan kubiarkan terjadi di masa depan.” Nada suara Aslan terdengar berat dan dalam. Aku bahkan bisa merasakan dadanya bergemuruh karena menahan amarah. Ada sesuatu yang Aslan pendam dan tahan dalam dirinya. Tidak ingin berlarut dan terbawa suasana, aku segera mengangkat wajahku dari dada Aslan. “Maaf,” ujarku lirih sambil membenahi jilbabku yang berantakan. “Jadilah wanita yang lebih kuat. Demi dirimu dan Anaya. Dalam bada yang sedang berkecamuk ini, kau akan menjadi role model untuk Anaya.” Kata-kata Aslan terdengar kuat. Dia memberikan energi sekaligus menyampaikan perasaannya yang terdalam. Kuberanikan diri melihat kedua matanya. Mata itu menatapku lurus. Entah kenapa, aku melihat luka di mata Aslan. Ada kepedihan yang sulit untuk diobati. Hubungan pertemanan kami yang baru sebentar membuatku tidak
“Dalam tiga bulan ke depan kau akan tetap di kantorku. Aku akan mengirimkan semua data perusahaan El Khairi yang perlu kau pelajari. Sampai kau siap untuk megambil alih perusahaan milikmu itu.” “Kau punya data El Khairi Company? Bukankah kalian hanya sekedar mitra bisnis?” “Memang. Tapi, aku bisa mendapatkan yang kuinginkan. Data-data seperti ini akan selalu bsia didapat selama masih ada orang yang tertarik dengan uang.” “Maksudmu kau membayar seseorang di dalam El Khairi Company untuk mengkhianati perusahaannya sendiri?” “Lebih tepatnya adalah sebuah barter tanda jasa. Orang itu tidak berniat buruk pada perusahaanmu. Dia tahu bahwa aku menggunakan semua data ini untuk membantumu.” “Tetap saja, kau akhirnya tahu semua rahasia perusahaanku,” ujarku bersikukuh. Cara Aslan mendapatkan semua data ini mengusikku. Membayangkan seseorang menjadi pengkhianat di dalam perusahaan ayahku, telah membuatku tidak nyaman. “Apakah kita akan memperdebatkan ini? Atau kau bisa mulai mempelajari se
“Kenapa semua aliran uang ini tidak ada keterangan lengkap. Di catat sebagai keperluan pribadi.” Sejak Abi meninggal, perusahaan El Khairi memang tidak dibagi dua. Perusahaan itu diberikan padaku secara utuh oleh Abi. Kak Zahra berhak atas pembagian keuntungan tapi tidak berhak atas management dan kepemilikan Kami berdua tidak pernah mempermasalahkan dan memperdebatkan keputusan Abi. Aku dan Kak Zahra tahu bahwa Abi selalu adil dan bijak dalam memperlakukan kami. Saat itu, suami Kak Zahra sudah sangat berhasil dengan bisnisnya. Sementara Fattan memiliki bisnis yang baru saja berkembang dan masih membutuhkan banyak bantuan modal. Mungkin inilah yang menjadi pertimbangan Abi memberikan El Khairi Company padaku. Di tangan Fattan El Khairi berkembang pesat dan luar biasa. Perusahaan pengelola tour dan sektor pariwisata dengan keuntungan milyaran rupiah setiap bulannya. Perusahaan yang akan segera kuambil alih sebagai mana mestinya. Kejanggalan laporan keuangan, membuatku berpikir keras
“Bukankah Fattan sendiri yang sejak awal meminta saya menjadi istri yang selalu berada di rumah?” “Ya, paling nggak kamu bisa donk meringankan beban suamimu. Jangan hanya tahunya belanja dan menikmati uang. Kamu harus tahu juga bagaimana membuat suamimu bisa berpikir tenang dalam menjalankan bisnisnya.” Perkataan ibu mertuaku itu benar-benar membuatku meradang. Fattan pasti tidak menceritakan masalah sebenarnya. Komitmentku untuk menjadi istri sesuai keinginan Fattan, justru sekarang menjadi menjadi senjata utama untuk memukulku. “Apakah Mamah tahu bahwa Fattan menceraikan aku bukan hanya karena aku tidak bisa membantunya mengelola perusahaan? Fattan mungkin tidak akan pernah mengatakan pada Mamah bahwa dia mengkhianatiku dengan keponakanku sendiri karena tidak mampu mengendalikan nafsu dalam dirinya.” Salama terlihat terkejut karena aku bisa mengatakan hal itu dengan jujur. Namun dia tetap berusaha membela diri. “Ya, apalagi kalau masalahnya itu. Bagaimana seorang wanita bisa mel
“Adina! Ini sudah keterlaluan. Berani sekali kau mengungkit kehidupan masa laluku!” teriak Salama. “Kenapa, Nyonya? Bukankah semua orang memiliki pengalaman hidup? Justru dengan pengalaman pahit itu, ita belajar untuk mengubah hidup orang lain. Kita bisa mencegah mereka untuk tenggelam ke lubang yang sama. Atau Nyonya berbeda? Anda ingin orang lain justru merasakan penderitaan yang ibu rasakan?” Salama terlihat terengah-engah menahan emosi dalam dirinya. Selama ini aku tidak peduli dengan latar belakang keluarga Fattan. Beberapa kali Fattan pernah menceritakan padaku bahwa saat dia kecil dulu, ayahnya pernah menduakan ibunya. Pernikahan kedua yang telah mengubah ibunya. Sejak saat itu Fattan kehilangan sosok ibu penyayang dan lembut. Ibunya lebih banyak di luar rumah untuk bersenang-senang dengan teman-teman sosialitanya. Dia bisa merasakan luka ibunya lebih dari apa pun. Saat di rumah, dia akan melihat ibunya lebih banyak menangis atau bertengkar dengan ayahnya. Kebodohan yang sam
“Fattan?” desisku. Sayup aku mendengar suara Mbak Pia. “Silahkan masuk, Tuan,” ujar Mbak Pia. Aku yang sedang menyelesaikan secangkir kopi di ruang kerja, segera berdiri dan keluar. Baru saja pintu kubuka, mataku langsung menangkap sosok tampan yang pernah menjadi segalanya bagiku enam tahun terakhir. Rambut ikal, mata lebar dengan bulu mata lentik dan hidung macung, perpaduan keindahan yang pernah kupuja dengan cara luar biasa. Seorang pria yang pernah menjadi canduk bagi hidupku. Ini adalah pertemuan pertama kami setelah aku keluar dari rumah karena semua tragedi yang terjadi. Hatiku berdegub kencang. Dia adalah pria yang sampai sekarang masih berstatus sebagai suamiku. Perasaan ini muncul bukan lagi karena cinta. Tapi, karena kekhawatiran dan rasa benci yang berlebihan. Fattan yang sedang berdiri dengan kedua tangan masuk ke dalam kantung celana, menoleh ke arahku. Senyum sinis muncul di wajahnya, bahkan sebelum dia mulai bicara. “Hebat Adina, kau sangat luar biasa. Tidak hera
“Kau sedang mengancamku?” Aku melangkah perlahan mendekati Fattan. Aku terlihat berani di depan Fattan. Jika sudah berkaitan dengan Anaya, semua rasa takut akan segera kusingkirkan. Fattan boleh saja mengusik dan merusak pernikahan kami tapi tidak dengan hati dan jiwa Anaya. “Aku tidak mengancam. Akan kuwujudkan jika kau benar-benar mengajukan gugatan cerai itu.” “Lihat Fattan, betapa egosinya dirimu. Kau membawa Kalila ke rumahmu, kau menikahinya tapi kau sama tidak mau melepaskan aku.” “Demi Anaya, aku melakukan semua demi Anaya. Jangan kau pikir aku melakukan ini karena masih menginginkanmu. Kalila sudah memberiku semua yang tidak kudapatkan darimu.” Fattan berkata dengan geraham terkatup di depan wajahku. Betapa teganya Fattan menyiram lukaku dengan air garam. Begitu bangga dia dengan hubungannya dan Kalila. Inilah Fatta degan sifat aslinya. Aku yakin bahwa selama ini Fattan tidak pernah mencintaiku. Semua yang dia lakukan selama pernikahan kami hanya palsu. Sekarang dia dan
“Betul, Adina. Maaf karena aku terlambat memberitahumu tentang hal ini. Atau bahkan sebenarnya aku tidak perlu memberitahumu.” Manaf tertunduk lesu. Berita kematian Vivian seperti tenggelam di telan oleh kabar yang Manaf berikan. Semua ini terjadi secara tiba-tiba. Aku bahkan tidak mengerti bagaimana seharunya berekspresi dengan semua ini. Jika aku adalah anak angkat El Khairi, maka artinya aku dan Tara sama sekali bukan saudara. Tidak ada darah yang sama diantara kami. Keesokan harinya, Maaf meninggalkan Indonesia dan kembali ke Turki. Tara tinggal di mansion yang sama denganku. Hubungan kami menjadi sangat canggung dan aneh, terutama ketika kami hanya berdua saja. Di depan Anaya, Rayyan dan Jafar semua terlihat normal. Namun saat itu hanya tentang aku dan Tara, maka kami menjadi dua orang asing yang sedang belajar saling mengenal. “Nyonya, malam ini akan ada pesta di Deluxe Building. Tuan Tara meminta anda bersiap untuk ikut bersamanya.” Harry menyampaikan pesan Tara saat aku seda
“Adina, maafkan aku. Aku sudah melakukan yang terbaik, tapi ini semua di luar kendaliku.” Kata-kata Tara semakin membuatku khawatir. Aku yakin ada hal buruk yang terjadi. “Tara, katakan dengan jelas. Jangan menganggapku terlalu lemah untuk mendengar apa pun. Aku lebih kuat dari yang kau bayangkan. Aku ingin tahu semuanya. Katakan!” Aku tidak bisa lagi menahan amarah karena Tara terlalu lama diam dan berusaha menahan tiap detik untuk berbicara “Vivian tewas tertembak.” Sebuah bom meledak di kepalaku. Ponsel di tanganku meluncur ke bawah dan mendarat di atas lantai batu taman. Tentu saja panggilan telepon dari Tara terputus. Aku membeku tanpa ekspresi. Berita ini terlalu sulit untuk diterima dan diidentifikasikan dengan kata. Dari kejauhan Harry berlari dan mendekatiku. Setelah sambungan telepon kami terputus, Tara pasti langsung menghubungi Harry. Karena itulah Harry datang untuk memastikan keadaanku baik-baik saja. Harry tertegun elihat ponselku yang hancur di atas tanah. Dia berl
“Ke tempat dimana seharusnya anda berada, Nyonya.” Harry menyahut dari kursi penumpang depan tanpa menoleh ke arahku. Aku yang duduk bersama Anaya di kursi belakang memilih diam. Anaya tertidur nyenyak dengan kepala di pangkuanku sejak kami mulai meninggalkan cluster. Aku tidak pernah meragukan Tara atau Harry. Bahkan dengan menutup mata dan tanpa memberikan detail, aku akan mengikuti mereka dengan rasa percaya. Sebuah tempat yang Harry katakan itu akhirnya adalah sebuah mansion yang berada di perbatasan Jakarta-Bogor. Sesuatu yang tidak pernah aku bayangkan bahkan dengan sebuah imajinasi tentang Adina El Khairi. Pintu gerbang mansion itu berada sekitar dua kilometer dari bangunan utama. Gerbang emas tinggi dengan penjagaan beberapa security berbadan tegap. Saat tiba di depan pintu gerbang, para penjaga mansion berlarian dan bergegas membuka pintu. Mobil yang kami naiki dan empat mobil lain di belakang kami masuk dengan lancar. Jalanan menuju ke bangunan utama adalah sebuah taman de
“Ya kita berangkat.” Aku mengangguk. Harry mengangkat tangan dan memberikan instruksi pada beberapa orang pria yang berbaju hitam di luar gerbang. Mereka masuk ke dalam rumahku dan mulai berbicara dengan para pelayan dan pengasuh. Ibu-ibu tetangga yang melihat pemandangan itu mendadak diam. Mereka tentu saja bingung karena ini adalah hal berbeda dari yang biasa mereka saksikan. Sebaliknya, Meylani justru mencibir. “Oh! Jadi memang kamu sudah berniat tidak tinggal lama ya di cluster ini. Pantas saja kamu tidak peduli dengan ketentraman cluster ini,” ujar Meylani sinis. “Iya! Bener tuh! Baguslah dia pergi. Jadi cluster kita kembali aman dan damai!” “Dia memang tidak pantas tinggal di sini.” “Itu pasti orang-orang suruhan suaminya. Dia mungkin istri kedua atau simpanan seorang pejabat.” Suara-suara terdengar di sekitar telingaku. Para wanita itu bergumam dengn opini mereka sendiri. Satu hal yang pasti, tidak ada opini baik yang kudengar di sana. Aku hanya diam dan membiarkan semuan
“Kita akan menuju ke tempat seharusnya kita berada. Tempat ini bukan tempat seharusnya kita tinggal.” Aku menggeser berdiriku dan melihat keluar jendela. Tatapanu menyapa sekitar di mana sebelumnya kami berharap banyak pada kehidupan. Mbak Pia diam. Dia bingung dengan apa yang aku katakan. Pembantuku itu selalu percaya pad keputusan apa pun yang aku buat. Dia tidak bertanya lebih banyak. Setelah mengangguk tanda mengerti, dia beranjak ke dapur. Beberapa saat kemudian, rumah kami sedikit riuh karena pengasuh Jafar dan Rayyan mulai mengemas barang-barang pribadi dua bayi itu. Belum lagi sesekali tangisan muncul dri keduanya. Aku bahkan perlu sedikit beradaptasi mendengar suara-suara yang tidak biasa aku dengar. Sejak Anaya beranjak dewasa, di rumah kami segalanya menjadi tenang. Nyaris tidak pernah terjadi keributan dan tangisan seperti yang terjadi saat ini. Aku menenangkan diri di dalam kamr setelah Anaya pulang dari sekolah dan menyelesaikan makan siangnya. Sebuah ketukan memaksa
“Banyak hal yang berjalan dan tidak bisa kita ubah.” Aku menegaskan pada Andre. Sejujurnya ini terasa seperti sedang membunuh harapan dalam diriku sendiri. Semua ini jauh lebih baik daripada terus tenggelam dalam mimpi. Harapan tentang hubungan mereka bagiku nyaris seperti hamparan pasir yang tidak ingin digenggamnya. Semakin erat aku merapatkan tangan, akan semakin banyak yang harus rela untuk kulepaskan. “Din, kita sudah jauh berjalan. Masa depan yang pernah aku bayangkan adalah bersamamu.” Andre menggenggam tanganku. Aku tersenyum dan menarik tanganku dari genggaman Andre. “Terima kasih sudah begitu percaya pada hubungan kita, Ndre. Keputusan ini aku ambil bukan murni karenamu. Ini juga tentang diriku sendiri.” “Apa maksudmu dengan tentang dirimu sendiri? Apakah kau memang tidak ingin bersamaku sejak awal? Lalu kenapa kita berdua harus membuang waktu jika kau memang tidak serius dengan semua ini sejak awal?” Andre memaksa agar arah angin berpihak padanya. Aku menggeleng ringan.
“Apakah aku perlu memberikan alasan untuk bertemu denganmu?” tanyaku. Andre tertawa kecil di seberang sambungan. “Tentu saja tidak. Aku hanya terkejut kau ingin bertemu denganku setelah keributan kemarin. Aku pikir kau akan kesal atau marah padaku. Kau bahkan tidak mempersilahkan aku masuk. Kau juga tidak menghubungiku.” Aku diam. Marah dengan Andre? Tentu saja aku marah. Aku bahkan tidak ingin lagi berada di dalam kondisi di mana aku tidak punya kekuatan untuk mengendalikannya. Dua jam kemudian aku sudah duduk di sebuah café dan Andre ada di depanku. Aku lebih tenang meninggalkan rumah karena dua keponakan Mbak Pia sudah datang untuk membantunya mengasuh Jafar dan Rayyan. Seorang security sengaja ditempatkan di rumahku oleh Harry. Pria yang memakai baju security itu sebenarnya adalah salah satu bodyguard Tara dibawah kepemimpinan Harry. Kadang aku merasa takjub dengan hal-hal kecil yang seolah sudah disiapkan oleh Tara. Harry tidak mungkin mengambil keputusan tanpa perintah dari T
“Tuan Tara memberikan alamat ini padaku. Tolong buka pintunya, Tuan Muda Rayyan perlu istirahat segera.” Aku yakin itu adalah orang suruhan Harry yang membawa Rayyan. Ternyata Tara berhasil mengeluarkan Rayyan dari Singapura. Aku bergegas membuka pintu. Saat pintu terbuka seukuran tubuh, aku mundur ke belakang dengan cepat karena pria itu menerobos masuk. Seorang bayi laki-laki tertidur pulas di pelukannya. Pria dengan rambut coklat gelap dan tubuh tegap itu berdiri dengan wajah tegang. Beberapa kali dia menoleh ke belakang seolah sedang cemas jika sesuatu mengikutinya. Aku keluar dari pintu gerbang, menoleh ke kanan dan ke kiri. Entah apa yang aku cari. Aku hanya memastikan semuanya aman. “Kau tidak membawa mobil?” tanyaku ketika masuk kembali ke dalam gerbang. Pria itu menggeleng. Lalu dia melihat ke arah pintu gerbang yang terbuka. “Tolong cepat tutup pintunya,” ujar pria itu. Aku mengangguk dan segera menutup pintu gerbang. Tidak lupa aku kembali memasang gembok pengaman. Wa
“Kembali padamu? Apa kau serius dengan kata-katamu?” tanyaku menyelidik. Segumpal harapan seolah berhasil Fattan dapatkan. Dia terdengar antusias ketika menjawab pertanyaanku. “Tentu saja, aku serius. Aku sangat serius. Aku memang bukan pria yang baik untukmu, tapi aku akan berusaha memperbaiki semuanya.” Jantungku ingin meledak karena tawa yang tertahan di dalam sana. Hari ini benar-benar luar biasa. Begitu banyak kejutan dan kecemasan yang datang bersamaan. Bersama dengan senyum, butiran air mata berjatuhan di pipiku. “Kau bodoh, Fattan!” Aku mengucapkan dengan nada ketus yang pasti menusuk telinga siapa pun yang mendengarnya. “Kau pikir aku selugu dulu ketika masih menjadi istrimu?” “Apa maksudmu, Din? Buka pintunya. Biarkan aku masuk dan mari kita bicara.” Fattan memohon. “Tidak! Jika kau bilang kau bukanlah pria baik, lalu untuk apa aku harus memberikan lagi hidup, waktu dan hatiku untuk pria yang tidak baik? Lalu kau berjanji untuk memperbaiki diri. Kalau kau tidak berhasil