Ketika sesuatu dipaksa pergi dari hidupmu, saat itulah Tuhan sedang bersiap menggantinya dengan yang lebih baik.
“Om Aslan akan selalu menjaga Bunda Anaya,” ujar Aslan sambil mengusap kepala gadis kecilku. Jawaban Aslan membuat Anaya tersenyum lebar. Entah apa yang ada di pikirannya. Di usianya yang ke lima, dia tentu belum mengerti apa arti hubungan pria dan wanita. Selama ini hidup kami bersama Mas Fattan baik-baik saja, tanpa konflik yang berarti. Tentu saja, Anaya bahkan tidak mengerti bahwa antara ibu dan ayahnya ada masalah yang sangat serius. Aku mengendarai mobil dan kembali ke kantor. Aslan duduk tenang di sebelahku sambil mengutak atik ponselnya. Sebaiknya aku mulai bicara dengan Aslan sebelum kami tiba di kantor. Walau Aslan berniat baik, tapi perasaan tidak nyaman ini tetap harus kusampaikan. “Maaf, Aslan. Saat ini aku belum menjadi wanita bebas. Tentu tidak baik jika kau sering berkunjung ke rumahku. Ehm, maksudnya rumahmu yang aku tempati. Bisa menimbulkan fitnah dan prasangka orang lain.” “Aku mengerti. Aku hanya ingin memastikan Anaya baik-baik saja dan bisa beradaptasi dengan
“Sekarang atau nanti, aku tetap harus bertemu dengannya.” “Kau masih mencintai Fattan?” tanya Marissa. Aku memilih diam untuk tidak mengakui sesuat yang kuanggap sebagai kebodohan. Walau aku sudah tahu semua yang terjadi, tetap saja aku masih berharap semua akan kembali baik-baik saja. Perasaan dan hatiku masih terombang ambing di orang yang sama. “Doakan saja aku akan tetap pada pendirianku. Demi diri dan hidupku,” ucapku sambil tersenyum sebelum turun dari mobil Risa. Setelah mandi, makan malam, aku menemani Anaya di meja belajar. Gadis kecilku itu sedang sibuk mewarnai sebuah gambar yang ingin dia tunjukkan jika nanti ayahnya datang. Aku mengerti kerinduan Anaya pada Mas Fattan pasti sangat dalam. Selama ini hubungan mereka begitu dekat. Kadangkala aku bahkan merasa bahwa Mas Fattan tidak bisa hidup tanpa Anaya. Itulah sebabnya, aku dan Anaya tidak pernah meninggalkan rumah tanpa Mas Fattan. Kenyatataan bahwa Mas Fattan bisa membiarkan aku dan Anaya keluar dari rumah demi memb
“Dia masih suamiku. Aku tidak ingin kau mempermalukannya.” “Adina, kau tidak tahu betapa suamimu telah mempermalukanmu tanpa kau tahu.” Hatiku mengatakan bahwa Aslan menyampaikan hal yang benar. Entah kenapa aku masih saja belum bisa menerima kenyataan. Rasanya, semua ini seperti mimpi. Aku serasa sedang pergi untuk bertempur dengan suamiku sendiri. Pria yang telah enam tahun menjadi imam dan cinta dalam hidupku. Mobil yang Aslan kendarai berhenti di dalam lahan parkir sebuah gedung perkantoran. Di sana terlihat tulisan ‘VIP&VVIP Parking’ itu artinya hanya orang-orang tertentu saja yang boleh memarkirkan kendaraan di sana. Bagian parkir ini pun terlihat bersih, lantainya berkilauan. Mobil-mobil mewah berbaris rapi. Saat keluar dari mobil, udaranya terasa sejuk. Bukan seperti lahan parkir basement mall yang biasa aku kunjungi. Di sana biasanya terasa panas dan pengap. “Ayo,” ajak Aslan memecah kekagumanku. “Aku sedikit gugup.” Aslan melihat padaku. Dia memindai penampilanku dari
“Kalila?” Sebuah kejutan aku bertemu dengan Kalila di tempat ini. Aku sudah tahu kemungkinan bahwa mas Fattan akan datang. Tidak kusangka Kalila akan ada di tempat yang sama. Dari kejauhan kulihat Aslan memandangiku. Dia pasti ingin melihat apa yang akan kulakukan setelah bertemu dengan Kalila. Apa yang sudah dia katakan padaku ternyata benar. Mas Fattan telah mempublikasikan Kalila sebagai pasangan. Bahkan saat kami masih tinggal bersama. Di belakangku, Kalila tenyata telah menggantikan posisi yang seharusnya aku tempati. Kulihat wajah Kalila segera pulih dari ekspresi terkejut. Dia pasti sama sekali tidak menyangka aku akan ada di tempat ini. Dia memandangku sinis dari atas ke bawah. Penampilanku dan Kalila memang seperti langit dan bumi. Gadis yang masih belia dengan tubuh sintal menggoda itu menggunakan baju warna marun berbelahan dada rendah. Dipadu padan dengan sepatu hak tinggi warna senada. Perhiasan berlian menghias di leher dan telinganya. Penampilan yang terlalu tua untu
“Tuan Aslan?” “Apa kabar, Fattan. Sudah lama sejak terakhir kali kita bertemu, bukan?” “Ah, iya. Betul, Tuan. Kalau tidak salah beberapa bulan lalu di acara yang sama.” Aslan tersenyum dan menggeser berdirinya di sampingku. Dia berdiri tepat di belakang bahuku. Aroma wangi parfumnya bisa tercium olehku dengan jelas. Seperti sebuah keajaiban, hanya dengan berdiri di dekatku, Aslan seolah telah memberiku kekuatan. Dengan tatapan ringan, mata Aslan sudah cukup membuat Fattan menciut. Aslan adalah salah satu klien penting di perusahaan Fattan. Delapan puluh persen pekerjaan El Khairi berasal dari Abdurahman Company Group. Tentu saja dia tidak ingin memiliki masalah dengan Fattan yang dapat mengganggu hubungan bisnis mereka. “Saya mendengar keributan dan pengusiran pada Adina. Apa yang terjadi?” tanya Aslan tenang. “Wanita ini masuk ke dalam pertemuan penting kita. Saya pikir dia masuk tanpa izin. Ternyata Tuan Aslan yang mengajaknya?” “Benar, Adina datang bersama saya. Apa kau keber
“Mantan istrimu itu yang jadi masalah! Rencana kita harus berhasil!” Kalila berkata cukup keras. Mungkin dia sengaja agar aku mendengarnya. “Diamlah, Kalila. Ini bukan tempat yang tepat untuk melampiaskan emosimu.” Suara perdebatan Kalila dan Fattan masih kudengar saat aku mulai berjalan menjauh untuk mengikuti langkah Aslan. Sejak kejadian itu, Aslan tidak pernah menjauh dariku. Dia selalu berdiri di sebelahku. Aslan menjagaku dan memperkenalkan aku pada banyak orang. Dia sama sekali tidak pernah menyebutkan bahwa aku adalah karyawannya. Dia memperkenalkan aku pada kolega dan relasinya sebagai partner bisnis. Aku merasa sangat terhormat dan berkelas dengan cara Aslan membawaku sepanjang acara. Percaya diriku pun perlahan terbangun dengan sempurna. Aku tidak ragu lagi untuk menyapa orang-orang dalam acara itu. Dari kejauhan aku lihat sudut mata Fattan selalu mengikuti langkahku. Dia memandangku dengan tatapan heran, emosi dan benci. Fattan tentu tidak menyangka bahwa aku bisa hadir
“Bagus! Kau harus memaafkan tapi tidak melupakan.” “Aku tidak sedang membalas dendam,” jawabku. “Memaafkan adalah untuk menyelesaikan luka dalam dirimu. Tidak melupakan akan membuatmu ingat siapa yang harus kau tinggalkan.” Aslan tersenyum padaku. Senyum yang cukup untuk bisa menguatkan hatiku untuk tetap melaju. Setiap kata-katanya terdengar bijak. “Kau hanya mengambil apa yang menjadi milikmu. Perusahaan itu sejak awal memang milikmu. Ayahmu telah melakukan banyak hal untuk membangun perusahaan itu.” Aku mengangguk tipis. Memang yang kulakukan adalah sebuah kesalahan. Aku telah memberikan perusahaan sebesar El Khairi Company pada orang lain. Sekali pun itu adalah suamiku sendiri. Pemikiran yang sangat sederhana, bahwa pernikahan adalah tentang cinta, setia, bahagia dan selamanya. Apa yang menjadi milik suamiku akan menjadi milikku dan apa yang menjadi milikku akan menjadi milik suamiku. Nyatanya apa yang pernah kubentuk di dalam kepala sebagai pola kehidupan berumah tangga, sem
“Aku tidak bermaksud menyeretmu dalam drama rumah tanggaku,” ujarku di antara isak tangis. “Aku tahu. Aku yang ingin masuk dan membantumu. Apa yang pernah terjadi di masa lalu, tidak akan kubiarkan terjadi di masa depan.” Nada suara Aslan terdengar berat dan dalam. Aku bahkan bisa merasakan dadanya bergemuruh karena menahan amarah. Ada sesuatu yang Aslan pendam dan tahan dalam dirinya. Tidak ingin berlarut dan terbawa suasana, aku segera mengangkat wajahku dari dada Aslan. “Maaf,” ujarku lirih sambil membenahi jilbabku yang berantakan. “Jadilah wanita yang lebih kuat. Demi dirimu dan Anaya. Dalam bada yang sedang berkecamuk ini, kau akan menjadi role model untuk Anaya.” Kata-kata Aslan terdengar kuat. Dia memberikan energi sekaligus menyampaikan perasaannya yang terdalam. Kuberanikan diri melihat kedua matanya. Mata itu menatapku lurus. Entah kenapa, aku melihat luka di mata Aslan. Ada kepedihan yang sulit untuk diobati. Hubungan pertemanan kami yang baru sebentar membuatku tidak