Hidup yang serba kekurangan membuat Muhamad Andio Alfareza dibenci sang mertua. Profesinya sebagai tukang cendol keliling tak bisa membuat hati mertuanya ramah padanya. Dio menguatkan diri menghadapi masalah demi masalah yang menimpanya. Untung saja Marisa selaku istri tercinta selalu menemaninya disaat suka maupun duka. Mertua kejamnya itu tidak mengetahui jati diri pria yang selalu dihina dan di hujatnya setiap hari, yang ternyata adalah sang pewaris utama keluarga terkaya. Akankah Pria yang lebih akrab dengan nama panggilan Dio itu bertahan seatap dengan sang mertua yang super kejam atau malah sebaliknya?
View More"Pa, Ibu demam," ucap Tasya anak Dio yang berusia 5 tahun, terlihat raut wajahnya yang begitu was-was karena melihat ibu sambungnya yang masih terbaring lemah di ranjang dengan badan yang terasa panas.
Dio tersentak ketika mendengar ucapan anak semata wayangnya. Dio pikir Marisa, istrinya hanya tidur kesiangan seperti biasa, makanya sampai saat ini dia belum bangun juga.Terpaksa Dio menghentikan pekerjaannya membereskan adonan cendol untuk nanti siang jualan keliling. Setelah itu ia menghampiri sang istri yang masih berada di dalam kamar.Tatkala Dio membuka daun pintu kamar, terlihat wajah Marisa yang pucat pasi, badannya menggigil kedinginan, hanya dibaluti helaian selimut yang tipis, bibirnya gemetar. Dio menyentuh dahi Marisa dengan punggung tangan, dan ternyata memang panas, suhu tubuhnya sangatlah tinggi."Sayang, kamu demam tinggi seperti ini sejak kapan? perasaan semalam kamu baik-baik saja," tanya Dio sambil membangunkan Marisa yang masih terpejam."Pa, ibu kenapa?" Tasya sangat khawatir melihat keadaan ibunya.Dio tak menghiraukan pertanyaan putri kecilnya. Hal itu karena pikirannya yang dipenuhi kecemasan. Dengan cepat Dio mengambil lap kecil dan air dingin untuk mengompres Marisa. Ia berharap semoga saja dengan cara itu demamnya bisa turun."Mass .…" Akhirnya Marisa terbangun ketika Dio meletakkan lap kecil basah di dahinya."Ada apa, Mar? Apa kau mau sesuatu?" tanya Dio was-was."Kenapa gak bawa saja ke dokter, Pa? Kasian Ibu," ujar Tasya si gadis kecil mungil.Dio hanya menundukkan kepala. Jangankan untuk memeriksa Marisa ke dokter, bahkan untuk makan sehari-hari keluarga Dio sudah kesusahan. Apalagi sekarang musim hujan, hanya mengandalkan jualan cendol keliling kampung saja, rasanya sudah kepayahan karena jarang habis."Mas, kamu tidak berdagang hari ini?" tanya Marisa dengan suara seraknya.Marisa mengerti betul kalau saja hari ini suaminya tidak berjualan keliling, bagaimana nanti sore keluarganya bisa makan? Sedangkan adonan sudah siap. Tidak mungkin kalau Dio membiarkannya begitu saja. Tentu akan merugikan."Keadaan kamu gimana? Mas gak tega, kalau harus ninggalin kamu di sini dengan Tasya.""Aku baik-baik saja, Mas. Nanti Tasya belikan obat di warung. Pasti akan mendingan nanti," ujar Marisa sambil berusaha bangkit dari tidurnya."Iya, semoga saja kamu sembuh," kata Dio berusaha membuang kecemasannya itu. Dia lalu bangkit dari duduknya untuk segera mempersiapkan cendol dan akan segera berangkat berkeliling.Rasanya berat sekali untuk melangkah dengan kondisi istri yang terbaring lemah. Tak ada pilihan lain, Dio mulai mengayunkan kaki yang terasa berat ini menuju arah dapur. Ia lalu mempersiapkan cendol di gerobak, menatanya dengan rapi. Namun, santan ketinggalan, entah tersimpan di mana, Dio lupa. Karena tadi Tasya datang tiba-tiba.Setelah 3 menit Dio mencari, ternyata ketemu di bawah wastafel. Dengan segera tangan Dio meraihnya. Akan tetapi, tak sengaja matanya melirik pada wadah persegi empat yang biasa di isi beras. Wadah itu nampak kosong, hanya ada beberapa butir beras yang tersisa. Lelaki itu mengambil dan memperhatikan wadah tersebut dengan gamang.Nanti bagaimana Marisa dan Tasya akan makan, sedangkan beras sudah habis? Pikirnya. Pagi ini Dio hanya sarapan nasi goreng yang tinggal satu piring. Itu pun Dio sisakan untuk Marisa dan Tasya."Astaghfirullah."Dio bingung, apa yang harus dilakukannya. Ternyata menjalani hidup jauh dari orang tua tidaklah mudah. Sedangkan mertuanya sendiri Bu Minah sangat membenci Dio, karena dia orang tidak punya, dan profesinya hanya tukang cendol keliling yang uangnya tak seberapa.Dio pun menghembuskan napas kasar. 'Mengapa menjalani hidup sepahit ini? Hidup begitu melarat, kasihan sekali anak dan istriku, mereka tersiksa karena aku menjadi suami yang tidak becus memberi mereka kebahagiaan. Jangankan kebahagiaan, mencukupi makan sehari-harinya saja aku sangat kesusahan,' batinnya menyesali diri.Dio mengusap wajah dengan air mata yang menetes membasahi pipi. Pria itu segera mengayunkan kaki dengan rasa cemas merasuki isi kepala sebab istri yang sakit. Akan tetapi, apa boleh buat, mencari uang untuk membeli beras itu lebih penting saat ini.Dio kembali ke kamar untuk melihat kondisi istrinya sekaligus berpamitan sebelum dia berangkat berjualan."Mar, Mas berangkat jualan dulu. Semoga siang kamu sudah sembuh." Dio menatap wajah Marisa dengan sorot yang begitu sendu."Jangan khawatir, Pa. 'Kan ada aku," timpal putri kecilnya sambil tersenyum manis menambahkan semangat Dio."Jagain Ibu ya, Sayang. Papa jualan dulu." Dio mencium pipi Tasya dengan penuh kasih sayang."Iya, Mas. Semoga jualan hari ini laris manis," ucap Marissa yang masih bersandar di kepala ranjang, bibirnya tampak kering dengan wajah pucat.Bagaimana Dio tidak menyayangi Marisa yang sudah menemaninya selama satu tahun lebih. Ia dan Marissa menikah tanpa restu orang tua, karena Bu Minah—ibu dari Marisa—tak merestui sama sekali. Alasannya karena Dio adalah duda beranak satu dan hanya bekerja sebagai tukang cendol keliling.Namun, Marisa dan Dio sudah tidak bisa dipisahkan. Marissa mencintai Dio. Wanita muda itu tak memperdulikan ibunya yang mati-matian melarang hubungannya itu. Hingga akhirnya Marisa memilih minggat dari rumah dan kawin lari bersama Dio. Oleh karena itu, sampai saat ini Marisa pun tidak tahu bagaimana kabar sang bunda.Dio melangkah pelan sambil mendorong gerobak cendolnya berkeliling.Ting! Ting! Ting!Suara itu berasal dari botol yang dipukul dengan sendok, untuk menarik pelanggan. "Cendol, dol, dol, dol!""Dio, sini!" Lambaian tangan Bu Esroh tampak dari kejauhan.Bibir Dio seketika melengkung membentuk senyuman lantaran merasa senang ada yang memanggilnya. Mungkin ini adalah rezekinya yang pertama."Iya, Bu. Mau berapa kantong?" tanya Dio antusias."Berapa kantong apanya! Saya bukan mau beli!" sentak Bu Esroh, tukang warung langganan.Dio tercengang dengan perkataan Bu Esroh yang tiba-tiba ngegas tanpa sebab. Senyuman Dio menghilang begitu saja. "Terus, Bu?""Si Marisa, kemarin dia ngutang! Minggu lalu ngutang, terus kamu kapan bayarnya? Kalau gini caranya, saya bisa bangkrut!" cerca Bu Esroh menjelaskan.Dio tertegun sejenak. "Memangnya hutang istri saya berapa, Bu?" tanya lelaki itu."Tiga ratus! Saya gak mau tahu! Besok kamu mesti bayar walaupun separoh. Apalagi kamu juga tahu, kalau saya punya cicilan Bank Emok!" tegas Bu Esroh sambil mendelikkan mata.Dio hanya bisa mengelus dada saat mendengar ucapan Ibu Esroh yang begitu ketusnya. Pagi-pagi sudah disambut dengan omelan Bu Esroh yang menagih hutangnya. Namun, wajar Bu Esroh berbuat seperti itu, sebab ia pun sama membutuhkan.Tadinya Dio pun berniat hari ini akan ngutang lagi untuk beras dan telur, karena rencananya uang hasil jualan hari ini untuk memeriksa istrinya ke dokter. Akan tetapi, kalau Bu Esroh sudah marah begini Dio pun tak berani.Dada Dio semakin sesak, jantungnya berdegup kencang. Betapa pikiran dia benar-benar frustrasi, mengapa ia bisa menjadi kepala keluarga yang gagal dan pecundang begini.Langkahnya semakin berat, lututnya teramat lemas rasanya. Dengan terpaksa Dio harus terus melangkah untuk melanjutkan berjualan cendol. Dengan sekuat tenaga Dio mencoba melupakan masalah dan beban di dada. Ia harus fokus demi sesuap nasi di hari ini.Melihat tindakan Kania itu membuat Bu Sonia iba memandang air matanya yang tidak henti mengucur deras.Hampir saja Bu Sonia memaafkan Kania namun dengan tiba-tiba Salsa datang bersama pria yang saat itu bersama Kania, yaitu Hendra."Jangan biarkan Ibu memaafkan dia Bu, air mata Kania tidak tulus sama sekali. Itu hanyalah sandiwara semata," sahut Salsa."Diam kamu Salsa kamu tidak apa-apa dengan urusanku!" sentak Kania pada Salsa.Kania tercengang kala melihat Hendra sudah berada di samping Salsa. 'Mengapa Hendra ada disini? Untuk apa dia bersama Salsa?' batin Kania bertanya seraya ada rasa cemas di benaknya."Jangan kamu bilang aku tidak tau urusanmu Kania. Jelas aku sangat tahu betul siapa kamu dan anak siapa yang kamu kandung itu, dulu kamu menghancurkan hidup aku dengan memfitnah berselingkuh dengan Diki, sekarang tak akan ku biarkan kamu melakukan itu lagi pada siapapun Kania!" tunjuk Salsa pada perut Kania.Aku dan Mas Dio juga mertuaku merasa heran. Apa yang dimaksud Salsa sebe
"Mama." Suara seruan anak kecil membuyarkan lamunan Salsa yang sedang termenung duduk di kursi halaman rumahnya.Salsa menoleh ke arah suara anak yang memanggilnya Mama barusan."Tasya," sahut Salsa. Bibir wanita itu membentuk senyuman manis di bibirnya. Tak terkira sama sekali di benaknya bahwa dia akan di panggil Mama oleh anak yang selama ini di tinggalkannya bertahun-tahun.Tasya berlari untuk memeluk sang Mama. Begitu Salsa merentangkan tangan seraya memeluk dengan erat Sanga anak."Nak Mama kangen padamu," bisiknya kala memeluk Tasya. Air matanya begitu deras mengucur membasahi pipi.Dio sungguh terharu tatkala melihat Tasya dan Salsa saling berpelukan. Ternyata tidak ada yang bisa memisahkan ibu dan anak kandung. Berdosakah Dio kerana terlalu melarang Marisa untuk mendekatkan Salsa dan Tasya."Ma, jangan tinggalin Salsa lagi ya, Mama mending tinggal bareng aja sama Papa Dio dan Tasya disana juga ada Ibu Marisa. Pasti Mama betah." Keinginan anak itu begitu polos."Mama tidak bis
Ketika Salsa memilih pulang saja karena Tasya sudah dibawa pergi oleh Bu Sonia. Begitu kejamnya wanita paruh baya itu hingga kini dia masih membenciku dan tidak mau memaafkan ku. Padahal aku dulu di jebak oleh Kania bukan keinginanku untuk berselingkuh dengan Diki -adik ipar Dio.Di tengah perjalan Salsa begitu lesu, anak kandungnya kini malah menjauh akibat dijauhkan oleh mertuanya itu. Bahkan Tasya pun tak merespon sama sekali pada Salsa.Entah harus melakukan apa lagi agar anak semata wayangnya itu tau dan aku menerima Salsa sebagai ibu kandungnya."Aku menyesal Nak, dulu telah meninggalkanmu dengan nenekmu yang jahat ini. Tapi kalau aku bawa kamu pergi dengan Mama. Aku takut tidak bisa merawatnya dan tidak bisa membahagiakannya. Setelah orang tuaku meninggal aku tidak tau harus bagaimana. Aku menyesal!" ungkap Salsa di sela perjalanan ia menangis histeris.Namun Salsa terus saja melangkah walaupun langkahnya begitu berat. Pada saat akan mengembang jalan Salsa melihat Sang anak yan
"Mas, a-aku boleh minta sesuatu dari kamu lagi?" ucap Kania ketika melihat Dio yang telah sibuk dengan laptop di hadapannya."Minta apa? Kalau untuk minta uang maaf aku tidak bisa kasih," sergah Dio.Belum juga Kania berbicara tapi Dio sudah terus terang berbicara seperti itu, seolah sudah tahu kalau Kania akan meminta uang."Mas, tapi aku sangat butuh uang itu sekarang, bolehkan aku minta lagi," bujuk Kania ketika Dio tidak mau memberinya."Kania, kemarin kamu minta uang. Dan sekarang kamu minta uang lagi, kamu pikir gampang cari uang tinggal manjat gitu, aku juga harus kerja keras untuk mendapatkan uang banyak!" gerutu Dio."Mas kok kamu pelit banget sih, aku ini sedang hamil anak kamu! Pengeluaran aku banyak harusnya kamu mengerti dengan keadaan aku yang saat ini berbadan dua!" Kania kembali menggerutu Dio balik."Pokoknya Mas sekarang tidak mau memberimu uang lagi, pengeluaran kamu sekarang semakin banyak tapi Mas tidak tahu uang itu kamu pakai untuk apa?!""Ya untuk keperluan aku
"Mana sih tuh orang jam segini masih belum datang juga! Katanya butuh duit! Malah gue yang harus nunggu!" gerutu Kania pada Hendri. Pria yang di tunggunya belum kunjung datang juga.Wanita itu terus saja celingukan sambil sesekali melirik ponsel untuk melihat jam.Salsa tak sengaja lewat melihat Kania sedang gelisah menunggu seseorang. Akhirnya Salsa berniat menemui Kania yang berada di restoran tersebut."Panik bener wajahnya," sindir Salsa ketika menghampiri Kania yang telah duduk di kursi dalam restoran tersebut.Kania menyimpan ponsel yang baru saja ia ambil. Kania menoleh ke arah Salsa. Wanita itu nampak kesal saat yang di tunggu Hendra yang datang malah musuh bebuyutannya."Heh ngapai Lo disini? Kasihan banget gak diakui sama anak sendiri emangnya enak. Makannya Lo jagain anak Lo dari bayi, biar gak di gondok sama si Marisa. Lo tu insaf jangan mesum mulu. Jadinya begini anak sendiri aja gak mau mengakui kalau Lo adalah ibu kandung yang udah ngelahirin dia. Kasihan, kasihan, kasi
Ting! Benda pipih yang yang tergeletak di atas meja terus saja berbunyi, namun tak ada satupun orang yang mengangkatnya. Entah ponsel siapa? Ku hampiri ponsel yang tersimpan di atas meja itu, memastikan. Dan ternyata adalah ponsel maduku sendiri.Awalnya aku tak ingin mengambilnya, apalagi harus diantarkan pada Kania, rasanya malas sekali. Namun suara deringan ponsel itu tak berhenti membuat berisik.Tak ada pilihan lain, tak ada salahnya kalau aku berikan ponsel miliknya Kania itu. Siapa itu memang telepon penting."Kania, Kania," seruku di balik pintu, namun tak ada sahutan sama sekali. Entah di mana keberadaan wanita itu. Kebetulan pintu kamarnya tidak tertutup rapat, apakah mungkin di dalam kamar mandi. Lalu ku memberanikan diri masuk ke dalam bilik kamarnya."Kalau ku angkat, takutnya penting. Apalagi nomornya dari nomor baru, tapi kalau dibiarkan suara dering nya cukup mengganggu," gumamku seraya mencari keberadaan maduku.Saat mata ini tak sengaja melihat ke halaman belakang
Ting nong!Suara bel rumah berbunyi, aku yang sedang mengepel lantai melenggang untuk membuka pintu tersebut, Kania yang saat ini sedang berasama mertuaku ikut serta akan membuka pintu, namun segera ku tahan. "Biar aku saja Kania," cegahku pada Kania yang hendak akan melenggang juga."Ya sudah sana Lo buka!" titah Kania sambil mendelikan mata.Kania serta Bu Sonia duduk kembali sambil melanjutkan perbincangannya. Aku segera melenggang untuk membuka pintu."Siapa ya?" gumamku seraya membuka pintu.Pada saat itu aku di kejutkan dengan kedatangan Salsabila, wanita itu berdiri di ambang pintu."Siang Mar? Tasya ada di rumah?" tanyanya."Ada kok, ada Bil. Kamu masuk saja kerumah, aku antarkan ke kamarnya," kataku sambil mempersilahkan wanita itu masuk kedalam rumah.Kami berjalan di depan serta Salsa mengikuti dari belakang. Ketika melihat Salsa Bu Sonia serta Kania terperangah. Reaksi mereka begitu susah diartikan. Mereka sepertinya amat kesal ketika melihat Salsa menginjakan kaki di ruma
"Ada apa Mas?""Bila mengapa kamu selalu muncul dimanapun aku berada," ungkap Dio."Mas bolehkah aku jujur padamu, sebenarnya aku mencarimu di setiap waktu. Aku mencari Tasya juga, karena bagaimanapun dia adalah anakku Mas, aku yang melahirkannya." Tatapan Bila begitu tulus.Aku dikejutkan dengan hal itu, ternyata Salsa mantan istri Mas Dio adalah Bila sahabat aku sendiri."Mas, jadi kalian…" ungkapku begitu terkejut tatkala melihat semua itu.Dio dan Salsa menoleh ke arahku bersamaan. Tak ada satu patah kata pun yang menjawab ungkapanku.Aku memberanikan diri untuk menghampiri kediaman Mas Dio dan Salsa, tangan mereka masih saling berpegangan."Mas Bila ini mantan istri kamu yang kamu bilang sudah mati itu?!" tanyaku membuat Bila seketika tercengang."Apa Mas, jadi selama ini kamu anggap aku ini sudah mati," kata Salsa menunjuk dirinya sendiri."Bil, jadi yang kamu maksud suami kamu yang entah dimana itu adalah Mas Dio suamiku juga?" Tebakku tercengang.Kami semua menjadi bimbang dan
"Tapi Bu, aku tidak tau apa-apa. Bahkan Bi Euis juga tahu aku tidak kemasukan bangkai cicak itu pada dalam rujak, mungkin bisa saja bangkai cicak itu terjatuh ketika aku dan Bi Euis sedang sibuk mengerjakan hal lainnya," elakku, semoga saja mertuaku tidak terlalu menyalahkan diri ini. Kalau saja dia tau bahwa aku sengaja, bisa-bisa aku lebih dibenci olehnya."Bohong! Jangan banyak ngelak kamu Marisa! Mana mungkin cicak ini jatuh sendiri tanpa dibantu oleh tangan seseorang. Saya tidak mau tau kamu harus dihukum seberat-beratnya. Hukuman yang pantas untukmu kamu lebih baik minggat dari rumah ini!" Telunjuk mertuaku mengarah jelas padaku.Sungguh aku terbelenggu tatkala mendengar ancaman itu, baru kali ini mertuaku semarah ini."Bu, tidak segampang itu. Aku tidak setuju kalau ibu mengusir Marisa dari sini, dan jika saja ibu mengusir istri pertamaku, maka aku sebagai suaminya akan ikut kemanapun Marisa pergi." Suara pria itu terdengar lantang. Mas Dio tak setuju jika aku pergi dari rumah
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments