Watak Asli Keluargaku ketika Aku Sakit

Watak Asli Keluargaku ketika Aku Sakit

last updateTerakhir Diperbarui : 2023-08-01
Oleh:  Bun sayTamat
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
Belum ada penilaian
35Bab
6.8KDibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi

Beban berat yang kutanggung setelah Ayah menitipkan Ibu dan kedua adikku padaku, rupanya sudah mereka salah artikan. Semua ketahuan dan terlihat wajah aslinya ketika aku sakit. Baca novel kesekian saya di app ini. Happy reading ...!

Lihat lebih banyak

Bab 1

Bab 1

Bab 1

"Sinta, ayo bangun!"

Aku mengetuk pintu kamar adikku yang perempuan. Tapi hingga berkali-kali, gadis itu tidak kunjung juga membuka pintunya. Penasaran, aku membuka pintu kamarnya kemudian menyibak gorden. Kulihat Sinta masih terlelap di bawah selimut tebal.

"Sinta, bangun dulu. Cepat mandi, sholat dan sarapan. Kamu bisa terlambat kuliah nanti," ujarku sambil mengguncang bahunya.

Gadis itu hanya menggeliat dan mengangguk pelan.

"Iya Kak, bentar lagi. Udah sana keluar, ganggu aja," jawabnya masih dengan mata terpejam.

"Ya udah, awas kalau telat nyalahin kakak." Aku segera keluar dari kamarnya sambil memunguti baju kotor yang tercecer.

Tak langsung ke dapur, aku memilih mengetuk pintu kamar adik pertamaku. Keadaan Dion tidak jauh berbeda dengan Sinta. Pria bujangan super pemalas itu lebih bebal lagi.

Kamarnya bau asap rokok dan bau segala macam aroma menusuk hidung. Dion tampak terlelap dan ngorok. Selimutnya entah ada dimana. Dia tidur hanya mengenakan boxer saja.

Dasar anak ini, padahal usianya sudah di atas 25 tahun. Tapi kebiasaannya tidur tidak memakai baju dan celana, membuatku kadang-kadang sedikit risih. Dia bukan anak kecil yang bebas bertelanjang meskipun di kamarnya sendiri.

"Dion, hei, bangun. Ini udah jam berapa? Bukannya ngasih contoh ke adikmu, malah sama sama kebluk. Ayo bangun, biasakan sholat subuh."

Aku membangunkan pria itu tanpa lelah bahkan sejak akil baligh, sebelas tahun lalu.

Kuguncang bahunya dengan ujung telunjuk. Tapi bukannya menurut, Dion malah melemparku dengan bantal.

Bugh!!

Sontak saja aku terdorong ke belakang dengan posisi terduduk di lantai. Sakit!

"Dion! Nggak sopan kamu, ya!!"

"Ahh … berisik, sana pergi, ganggu orang aja," semburnya marah. Tanpa membuka mata.

"Yang penting kakak sudah mencoba membangunkan kamu, ya. Urusan ibadah dan yang lainnya terserah padamu," ujarku kesal sambil membanting pintu.

Aku menghela nafas dan berjalan gontai menuju ke ruang makan.

Belum selesai perasaan dongkol itu, Ibu sudah keluar dari dalam kamar. Rambut yang acak-acakan disertai daster kusut menandakan jika Ibu tak jauh berbeda dengan kedua putra-putrinya.

"Ibu juga baru bangun?!" Aku melirik ke arahnya dengan malas.

"Iya. Memangnya kenapa? Masalah buat kamu?!" Ibu menyahut ketus. Wanita itu memilih duduk di meja makan alih-alih pergi ke kamar mandi untuk cuci muka. Benar-benar perbuatan yang tidak patut untuk dicontoh.

"Sikat gigi dan sholat dulu, Bu. Itu jigong juga harusnya dibersihin dulu."

"Bawel!"

Arggh, kadang aku lelah melihat keadaan keluargaku yang jauh dari adab dan agama. Sampai kapan aku memaklumi watak-watak mereka.

Ibu mengambil bakwan dan melahapnya, tentunya setelah meneguk teh manis untuk berkumur-kumur.

Benar-benar jorok.

Tak bicara lagi karena pasti ujung-ujungnya Ibu akan mengomel tak tahu waktu, aku memilih diam dan mengambil sarapan.

Kutatap meja makan. Aku sudah menyiapkan makanan sejak pagi buta, hanya untuk menyenangkan tiga orang manusia yang tinggal di rumah ini. Tapi bukannya bersyukur, mereka malah marah dan merasa terganggu. Seolah-olah apa yang kulakukan semuanya salah di mata mereka.

Aku kembali masuk ke dalam kamar, meraih tas dan bersiap pergi. Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Bisa macet di jalan jika aku terlambat pergi. Tahu sendiri jalanan di ibukota seperti apa.

"Sasty, jangan lupa uang untuk arisan Ibu. Mana? Malu Ibu kalau hari ini nggak bayar."

Langkahku terhenti. Aku diam saja. Tiada hari tanpa uang untuk Ibu. Baginya aku hanyalah mesin uang.

Tak ingin menyahutinya, segera kukeluarkan lima lembar uang merah dari dalam dompet. Wajah khas bangun tidur Ibu, berubah sumringah.

Mata Ibu berbinar. Namun detik berikutnya, beliau kembali menadahkan tangan.

"Apalagi, Bu?" tanyaku malas. "Uangku hanya tinggal untuk bensin dan makan siang. Apa Ibu tega mengambil jatahku juga, sedangkan sampai gaji turun masih tersisa 2 minggu lagi!"

"Issh, lima puluh ribu lagi. Masa nggak ada? Kamu kan bisa nyelip nyelipin uang dari mana saja, lagian kamu kerja di perusahaan bonafit," ucap Ibu santai.

Enteng sekali Ibu berkata seolah-olah aku bisa mengeruk uang dari mana saja.

"Cepat, Sas. Atau kamu telat pergi!!"

Membuang nafas kasar, kuletakkan uang sepuluh ribuan, lima lembar di depan Ibu. Wanita itu mencebik karena kuberi uang recehan.

"Biar saja, toh itu sama-sama uang juga, kan?! Kita belum bisa mencetaknya sendiri."

"Terus jatah Sinta, Dion? Mana? Kamu tahu kan mereka bakal ngomel ke Ibu kali nggak dapat jatah."

"Mereka sudah dewasa, suruh cari duit sendiri. Emang enak kerja! Nggak, Bu. Capek! Lagian Sinta sudah kuberi uang bulanan, masa udah habis aja."

"Ya udah, sana pergi, bawel, ah. Jangan lupa kalau ada lembur kamu ambil buat nambah-nambahin uang gaji kamu."

Kutinggalkan wanita yang sudah puas setelah memegang lembaran rupiah tersebut. Aku berjalan ke parkiran dan menaiki motor keluaran lama, karena belum mampu membeli motor baru.

Sedangkan Dion dan Sinta sudah memiliki motor baru untuk pergi kuliah dan bekerja. Siapa lagi yang membelinya kalau bukan aku.

Aku Prasasty Dewi, 30 tahun, si tulang punggung keluarga.

Seharusnya hidup kami nyaman dan mandiri, andaikan saja Ibu bisa memberi contoh untuk kedua adikku. Tapi Ibu tak jauh berbeda dengan kedua adikku itu. Ibu adalah wanita gila uang yang tiap waktu selalu saja merengek meminta uang untuk memenuhi keinginannya; entah itu arisanlah, jalan-jalanlah, atau hunting ke tempat-tempat mahal demi untuk memanjakan matanya.

Dion sendiri adalah pria pengangguran yang tidak lulus kuliah. Selama beberapa tahun dia mengecohku dengan mengatakan kuliahnya baik-baik saja. Aku baru mengetahuinya di tahun kedua setelah Sinta keceplosan bicara. Yang ternyata dia di DO dari kampus.

Lalu Sinta sendiri masih kuliah semester lima, meskipun belakangan aku sedikit curiga karena Sinta sering sekali bolos kuliah dan malah pergi keluyuran dengan teman-temannya.

Tak jarang gadis itu pulang tengah malam dengan keadaan mabuk. Untuk yang satu ini aku masih belum menyelidikinya lebih lanjut, toh nanti juga kebenaran akan terbuka sendiri. Aku tidak ingin terlalu pusing memikirkannya, karena semua orang di rumahku hanya mementingkan uangku saja.

"Bu Sasty, langsung ke lapangan saja, ya. Cek bahan apa saja yang kemarin malam datang."

"Baik, Pak!"

Suara Pak Anton di ujung telepon membuatku lagi-lagi harus menarik nafas pelan. Sebagai manajer lapangan, tugasku adalah mengontrol proyek yang sedang dibangun.

Kukemudikan roda dua ini menuju tempat tujuan. Membutuhkan waktu sekitar tiga puluh menit, hingga akhirnya aku sampai di sana. Para pekerja sudah sampai lebih dulu, meskipun jam kerja belum dimulai.

"Bu Sasty, udah datang saja." Para pekerja yang sudah mengenalku menyapa dengan ramah. Ada kopi mengepul dalam gelas plastik di tangannya.

"Iya Pak, takut keburu macet di jalan," ujarku sambil berkeliling dengan beberapa orang. Banyak yang kami bicarakan pagi itu, sebelum akhirnya besi steger yang bersusun di sebelah timur, roboh dan porak-poranda karena bertumpuk terlalu banyak.

"Bu Sasty, awas!!" Seorang pekerja berteriak. Naas aku yang hendak mengelak, tertimpa besi sehingga engkel kaki terluka.

"Argghh!!"

"Bu Sasty!"

"Ya ampun, cepat bawa Bu Sasty dari sini." Para pekerja yang lain berteriak. Mereka mendekat dengan perasaan khawatir.

Jujur saja aku ingin menangis merasakan rasa nyeri dan ngilu di saat bersamaan. Bukan hanya tulang yang terasa retak, namun darah mengucur dari bagian kaki.

Meski tidak sampai pingsan, jelas aku merasa nyeri di bagian engkel. Aku tidak bisa bergerak dan hanya bisa pasrah, saat para pekerja itu membawaku ke salah satu mobil yang mengiringiku ke rumah sakit.

Akibat pengaruh obat aku tidak sadarkan diri. Tahu-tahu aku mengerjapkan mata dengan kaki yang sudah terbungkus kain kasa tebal. Rasanya berat, sakit dan kaku. Aku tidak bisa menggerakkannya sama sekali.

Perawat yang melihatku sadar, langsung mendekat dan tersenyum.

"Bu Sasty, sudah sadar?!"

"Suster, di mana keluarga saya?!" Itu yang pertama kali aku tanyakan mengingat ruangan ini terlihat sangat sepi.

Kemana mereka? Bukankah seharusnya Ibu, Dion dan Sinta ada di sini?

"Eumh, maaf, Bu. Tadi rekan Ibu sudah menghubungi keluarga di rumah, namun sepertinya mereka beralasan untuk tidak datang ke sini."

Deg!

Tampilkan Lebih Banyak
Bab Selanjutnya
Unduh

Bab terbaru

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen

Tidak ada komentar
35 Bab
Bab 1
Bab 1"Sinta, ayo bangun!" Aku mengetuk pintu kamar adikku yang perempuan. Tapi hingga berkali-kali, gadis itu tidak kunjung juga membuka pintunya. Penasaran, aku membuka pintu kamarnya kemudian menyibak gorden. Kulihat Sinta masih terlelap di bawah selimut tebal."Sinta, bangun dulu. Cepat mandi, sholat dan sarapan. Kamu bisa terlambat kuliah nanti," ujarku sambil mengguncang bahunya.Gadis itu hanya menggeliat dan mengangguk pelan."Iya Kak, bentar lagi. Udah sana keluar, ganggu aja," jawabnya masih dengan mata terpejam. "Ya udah, awas kalau telat nyalahin kakak." Aku segera keluar dari kamarnya sambil memunguti baju kotor yang tercecer.Tak langsung ke dapur, aku memilih mengetuk pintu kamar adik pertamaku. Keadaan Dion tidak jauh berbeda dengan Sinta. Pria bujangan super pemalas itu lebih bebal lagi. Kamarnya bau asap rokok dan bau segala macam aroma menusuk hidung. Dion tampak terlelap dan ngorok. Selimutnya entah ada dimana. Dia tidur hanya mengenakan boxer saja. Dasar an
last updateTerakhir Diperbarui : 2023-05-10
Baca selengkapnya
Bab 2
Bab 2"Sinta, kakak di rumah sakit sekarang. Kamu ke sini, ya. Temenin kakak." "Aku harus kuliah, Kak. Lagian kakak juga pasti nggak akan memberiku uang transport dan makan. Ah, pusing. Gimana ini. Harusnya kakak hati-hati agar tidak sampai celaka dan nyusahin banyak orang."Hatiku nyeri. Bukan berempati atas keadaanku Sinta malah berkeluh kesah di ujung telepon. Adik yang kujaga siang malam saat sakit itu, nyatanya sama sekali tidak menyayangiku.Kubiarkan dia nyerocos sendirian sampai akhirnya telepon ditutup dari seberang. Ingin menghubungi Dion, tapi percuma, pria itu pasti tidak sudi mengangkat panggilanku.Beberapa orang pekerja yang satu kantor denganku, bergantian datang ke rumah sakit untuk menjenguk. Aku begitu terharu mendapatkan perhatian dari mereka, juga biaya rumah sakit yang langsung ditanggung oleh perusahaan.Pak Anton senior diatasku tersenyum begitu masuk ruangan. Beliau sigap datang ke rumah sakit dan mengurus semuanya setelah mendengar kabar kecelakaan itu."Kar
last updateTerakhir Diperbarui : 2023-05-10
Baca selengkapnya
Bab 3
Bab 3Aku menarik nafas panjang sebelum akhirnya membuka pintu. Raut wajah jelek Ibu berada persis di depanku. Sedangkan Sinta berdiri dengan wajah masam di belakangnya.Sekilas mata wanita itu memindai kakiku, sebelum akhirnya berubah ke wajah aslinya."Ada apa, Bu? Tidak bisakah Ibu membuat pikiranku sedikit tenang walau sebentar?" "Orang yang kemarin mobilnya ditabrak oleh Dion, udah dateng. Cepat kamu temui dulu mereka. Ibu takut melihat tampangnya yang garang.""Iya, Kak. Mereka sepertinya nungguin kakak," sambung Sinta dengan wajah khawatir. "Apalagi ini, kenapa harus aku yang menemuinya, sih? Apa Ibu nggak lihat kalau untuk berjalan saja aku kesulitan?" ujarku dengan geram. Benar-benar keterlaluan. Siapa yang seharusnya yang bertanggung jawab, dan siapa yang seharusnya menghadap pada mereka, aneh. Kenapa harus aku lagi?"Ck, ini anak. Kamu 'kan bisa jalan pakai tongkat, gimana sih. Pokoknya Ibu nggak mau tahu, cepat kamu temui mereka dulu, jangan diem di kamar terus," ger
last updateTerakhir Diperbarui : 2023-05-10
Baca selengkapnya
Bab 4
"Tega-teganya ya, Kakak berpikir seperti itu. Padahal jelas Kakak tahu sendiri bagaimana kondisi jantung Ibu!" Sinta berteriak kesal sambil menatap nyalang. Duduk menyangga tubuh Ibu, tak menyurutkan wajahnya untuk mendongak memasang wajah kebencian.Membuang napas berat, kutatap balik wajahnya. Enak saja dia meninggikan suaranya di depanku. Mungkin lupa kalau isi perut dan pakaiannya dibelikan olehku. "Bawa ibu ke kamar dan suruh istirahat. Itupun kalau ibu benar-benar sakit. Dan kau, ajak kakakmu untuk membereskan kamarku. Lipat lagi baju-baju yang sudah kalian acak-acak. Aku tidak mau tahu, dalam waktu satu jam, kamarku harus kembali bersih!" "Apa Kakak sudah gila? Aku nggak mau!!" teriaknya kesal. Makin lama sikapnya makin tidak bisa ditolerir."Terserah, jika kau ingin membangkang, itu artinya kau sudah siap kehilangan uang jajan dan biaya transport. Uang untuk kuliahmu juga kau yang tanggung sendiri!!" Ancamanku tidak main-main. Mereka sudah dewasa dan seharusnya sudah lepas
last updateTerakhir Diperbarui : 2023-05-15
Baca selengkapnya
Bab 5
Bab 5Sinta segera berdiri sambil menghentakkan kakinya. Dia menatapku dengan wajah kesal, setelah itu langsung masuk ke dalam kamar Ibu dan berteriak-teriak, memanggil wanita yang selalu menjadi pelindungnya. Benar-benar kekanak-kanakan."Bu, Ibu, aku sedang butuh uang. Dan ternyata Kakak memiliki uang banyak. Aku hendak meminjamnya, tapi dia tidak memberikannya, Bu. Ayo dong, Bu. Bantu aku!" Dasar tukang ngadu."Apa, biar Ibu yang bicara dengan kakakmu!" Wanita yang rambutnya dicepol asal itu segera menghampiriku.Kebetulan aku masih berdiri di tempatku, siap mendengar ceramah dan permintaannya soal uang. Jika berhubungan dengan uang, jangan harap Ibu akan mundur atau mengalah. Tidak akan pernah terjadi. Wanita itu rela melakukan apa saja asal mendapatkan sesuatu yang menjadi idolanya; yaitu uang."Mana uangnya, Sasty. Cepat berikan pada Ibu. Jangan sampai Sinta nangis-nangis hanya karena masalah ini," pintanya tak tahu diri."Kenapa aku harus memberikannya pada dia, Bu? Ini uang
last updateTerakhir Diperbarui : 2023-05-15
Baca selengkapnya
Bab 6
Bab 6"Awas ya, kalau sampai kamu berani lakuin itu. Sekarang juga aku akan pergi dari rumah. Biar kalian mikir, hidup tanpa uang itu menyedihkan!!" ancamku tak main-main."Coba aja kalau berani. Emangnya kakak kuat hidup tanpa keluarga, nggak mungkin. Aku berani taruhan!!" Dion membalas dengan wajahnya yang mengejek. Aku menghela nafas. Kukira adikku yang bajing*n itu akan gentar dengan ancamanku. Tapi ternyata aku salah. Orang-orang yang sudah digilakan oleh uang, bisa melakukan apa saja bahkan mencelakai saudara kandungnya sendiri. Miris."Dion, Sasty, apa-apaan kalian ini? Kerjaannya ribut terus. Dasar berandal. Lepasin Kakakmu, Dion. Kamu mau punya kakak yang kakinya cacat, iya? Siapa yang mau nikah sama dia nanti." Ibu menarik-narik kaos oblong Dion dengan berbagai umpatan keluar dari bibirnya."Kak Sasty nggak mau ngasih uangnya, Bu! Bikin naik darah aja dia," balasnya tak mau disalahkan."Sasty, kamu ini kenapa sih jadi pelit gini, heran Ibu. Dan kamu Dion, ambil tuh uangny
last updateTerakhir Diperbarui : 2023-07-21
Baca selengkapnya
Bab 7
Bab 7Ponselku berkedip beberapa kali, nama Dika tercetak di sana. Kusambar ponsel kemudian mendekatkannya ke arah telinga. Tumben di jam kantor seperti ini Dika menghubungi. Tiba-tiba saja entah kenapa perasaanku tidak enak."Ya, Dik. Apa kamu ketinggalan sesuatu?" tanyaku."Eum, nggak, sih. Tapi …." Ragu-ragu Dika bicara."Ada apaan sih, kok malah diem?!""Ibumu datang ke kantor, Sas. Sengaja menemuiku untuk mencarimu. Ketika kukatakan kamu belum masuk kerja karena kakimu cedera, Ibumu bersimpuh di depan para karyawan. Dia juga menjelek-jelekkanmu. Imbasnya, Pak Anton yang melihat itu langsung membawanya ke ruangan dan memberikan sejumlah uang.""Ya ampun Ibu, bisa-bisanya dia datang ke kantor," ucapku geram. Aku tak sangka ibu akan melakukan hal nekat sejauh itu. Sejak minggat aku memang memblokir nomor orang rumah, hingga baik Dion maupun Sinta tidak bisa menghubungiku. Siapa sangka Ibu malah bertindak nekat."Lalu sekarang bagaimana, apa Ibu masih ada di sana?" tanyaku penasara
last updateTerakhir Diperbarui : 2023-07-21
Baca selengkapnya
Bab 8
Bab 8"Kamu udah siap?" tanya Dika begitu aku keluar dari kamar kos. "Udah, yuk." Pria itu tersenyum simpul dan membawaku ke parkiran. Dika tampak telaten membantuku menuruni satu persatu tangga, tidak peduli meskipun beberapa penghuni lain yang berlalu lalang kerap melirik aneh ke arahku.Sampai di pinggir jalan, mobil yang dipesan oleh Dika datang. Kami langsung pergi ke rumah sakit untuk kontrol sore itu. Mengganti perban sekaligus mengecek keadaan kaki di bagian dalam."Lumayan bagus. Tapi masih butuh beberapa minggu lagi untuk bisa berdiri normal. Pastikan jangan terkena air dan jangan terlalu dipaksa berjalan." Penjelasan dari dokter membuatku lega. Setelah menyelesaikan administrasi dan mengambil obat, Dika membawaku ke kantin dekat rumah sakit. Memesan beberapa makanan, lalu menikmatinya sambil sesekali bercanda."Kakak ada di sini rupanya!" Aku dan Dika sontak menoleh. Dia lagi.Entah dari mana datangnya hingga Dion tiba-tiba saja ada di sini. Kuperhatikan dengan malas pe
last updateTerakhir Diperbarui : 2023-07-21
Baca selengkapnya
Bab 9
Bab 9Otot-ototku terasa lemas dan tak bertulang melihat pemandangan miris di depanku. Teganya Dion melakukan hal ini. Satu-satunya sumber mata pencaharian yang kusediakan untuknya, malah dia sia-siakan begitu saja."Padahal dua minggu yang lalu saat aku datang bareng temanku, tempat ini baik-baik saja, Sas. Meski ya nggak banyak stok baju yang dijual. Lalu kenapa sekarang jadi begini?" Dika yang berdiri menopang tubuhku pun merasa heran. Aku menggeleng lemah. Bukan hanya dia yang heran, aku lebih dari itu tentu saja. Aku sengaja mengarahkan Dion dengan membuka usaha untuk menghidupi keluarga dari hasil penjualannya. Tapi ternyata, nggak ada gunanya jika di empunya nggak berniat maju. Tak ingin dirundung kesedihan terlalu lama akhirnya aku memilih kembali ke dalam mobil, lalu pulang sambil memikirkan rencana selanjutnya.Tidak. Mereka tak bisa dibiarkan. Ibu, Dion dan Sinta mereka benar-benar menguras pikiranku. Jika seperti ini caranya, bahkan sampai aku membungkuk tua dengan ra
last updateTerakhir Diperbarui : 2023-07-21
Baca selengkapnya
Bab 10
Bab 10Sekuat apapun aku mencoba menghindari Pakde, nyatanya pria itu tidak akan pernah berhenti sebelum memarahiku habis-habisan. Ibu. Kenapa dia begitu dekat dengan pria itu, padahal bude sudah lama meninggal. Seharusnya mereka jaga jarak karena bukan mahram. Rasanya risih saja saat melihat mereka tetap saling berhubungan."Ada apa, Pakde?" tanyaku to the point setelah panggilan kesekian kalinya masuk ke ponsel."Kamu tentu tahu untuk apa Pakde nelpon kalau bukan atas aduan ibumu.Kenapa kamu tega pada mereka, Sas? Kamu tidak memberikan uang serta meninggalkan rumah begitu saja, lepas tanggung jawab. Kamu biarkan ibu dan adik-adikmu kelaparan. Jawab. Apa kamu sengaja? Atau ada seseorang yang mempengaruhimu?!" "Itukah yang Ibu katakan?" tanyaku balik. Pintar sekali ibu bersandiwara."Kau pikir ibumu berdusta?" hardik Pakde. Suara baritonnya terdengar bergemuruh. "Bukankah Ibu selalu seperti itu. Menjual namaku pada orang-orang, lalu menjelek-jelekkanku demi meraih simpati, te
last updateTerakhir Diperbarui : 2023-07-26
Baca selengkapnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status