Bab 7
Ponselku berkedip beberapa kali, nama Dika tercetak di sana. Kusambar ponsel kemudian mendekatkannya ke arah telinga. Tumben di jam kantor seperti ini Dika menghubungi. Tiba-tiba saja entah kenapa perasaanku tidak enak."Ya, Dik. Apa kamu ketinggalan sesuatu?" tanyaku."Eum, nggak, sih. Tapi …." Ragu-ragu Dika bicara."Ada apaan sih, kok malah diem?!""Ibumu datang ke kantor, Sas. Sengaja menemuiku untuk mencarimu. Ketika kukatakan kamu belum masuk kerja karena kakimu cedera, Ibumu bersimpuh di depan para karyawan. Dia juga menjelek-jelekkanmu. Imbasnya, Pak Anton yang melihat itu langsung membawanya ke ruangan dan memberikan sejumlah uang.""Ya ampun Ibu, bisa-bisanya dia datang ke kantor," ucapku geram.Aku tak sangka ibu akan melakukan hal nekat sejauh itu. Sejak minggat aku memang memblokir nomor orang rumah, hingga baik Dion maupun Sinta tidak bisa menghubungiku. Siapa sangka Ibu malah bertindak nekat."Lalu sekarang bagaimana, apa Ibu masih ada di sana?" tanyaku penasaran. Setahuku jika tujuannya datang untuk mencariku, Ibu tidak akan menyerah semudah itu."Aku dan yang lainnya sudah berusaha untuk menyuruhnya pergi, tapi sepertinya ibumu terlalu bebal. Makanya kami membiarkannya duduk di kursi tunggu. Katanya lagi dia nggak akan pulang sebelum ketemu dengan kamu." Terdengar helaan nafas di ujung telepon."Ya udah aku ke sana," putusku kemudian."Sas, ingat pesanku, ya. Kau harus teguh dengan pendirianmu, jangan goyah meski ibumu menghiba padamu. Kamu tahu 'kan, bagaimana selama ini kau hanya diperbudak?!""Iya, Dik. Aku tahu. Makasih udah mengingatkan," ujarku sambil memutus sambungan, lalu memesan go-car untuk sampai ke kantor.***Begitu aku sampai, Ibu memburu di depan pintu masuk. Wajahnya terlihat senang melihatku ada di depannya."Sasty, Ibu tahu kamu akan datang. Ayo kita pulang. Banyak kerjaan rumah butuh sentuhan kamu. Ibu nggak bisa menghandlenya sendiri. Lagian urusan Dion 'kan belum selesai."Kupasang wajah datar dengan kening berlipat. Bukannya rindu dan mengajakku pulang baik-baik, Ibu ternyata hanya memikirkan keadaan di rumah. Hadeuh, padahal aku sedikit bersyukur Ibu mengkhawatirkan keadaanku meskipun sedikit. Nyatanya, aku tetap saja harus menelan pil pahit itu sendiri."Ngapain Ibu datang ke kantor dan cari masalah? Apa Ibu nggak malu dilihatin banyak orang?""Sasty, bukan begitu maksud Ibu. Kamu ini nggak pulang-pulang, ya jelas Ibu khawatir. Makanya—""Makanya Ibu nekat datang ke sini, merendahkan harga diri dengan bersimpuh di depan orang-orang agar mereka merasa kasihan, gitu? Semua itu Ibu lakukan demi uang, begitu 'kan?" ujarku sinis. Tak habis pikir dengan wanita yang satu ini. Di otaknya hanya ada uang saja."Jangan bicara begitu, Sasty. Aku ini ibumu, ibu kandung yang melahirkanmu. Sudah sepantasnya kamu berbakti padaku. Lagian ngapain kamu minggat dari rumah, nyusahin orang saja." Ibu berdecak. Sebentar saja sudah kelihatan watak aslinya."Karena Ibu sudah mendapatkan uangnya, sekarang pulang dan jangan coba-coba datang ke tempat ini lagi. Atau aku benar-benar akan berhenti memberikan nafkah untuk kalian, kalau perlu aku akan pergi ke luar kota dan melupakan hubungan kita!!"Mendengar ucapanku, wajah Ibu memerah. Ditariknya kuat-kuat rambutku yang dicepol asal, hingga kepalaku rasanya mau pecah."Kamu sudah berani mengancam Ibu, hah? Anak nggak tahu diri. Susah payah aku besarkanmu, berani-beraninya ya kamu berkata begitu di depan ibumu sendiri. Mau jadi apa kamu kalau kabur ke luar kota, dasar anak durhaka! Lagian tanpa kami semua, kamu itu bukan apa-apa. Emangnya hidup sebatang kara itu enak?!""Itu lebih baik daripada aku harus ditindas setiap hari oleh kalian!!" ujarku berapi-api.Tak peduli meskipun beberapa orang mulai berbisik-bisik membicarakan kami. Biar saja aku disebut anak durhaka. Mereka tidak tahu saja bagaimana perangai Ibu terhadapku, yang selama ini telah menjadikan aku seorang babu demi untuk memuaskan seluruh kebutuhannya."Udah, nggak usah berdebat. Ayo pulang sekarang, Ibu nggak mau sampai kamu keluar dari rumah.""Aku nggak akan pulang, Bu. Ibu saja yang pulang sana!!!""Sasty, jangan jadi anak pembangkang kamu. Ayo pulang!" Ibu menyeretku dengan paksa. Aku menepis tangannya berkali-kali, namun kakiku yang terluka membuatku tidak berdaya.'Ya Tuhan … tolong selamatkan aku. Jangan biarkan aku pulang ke neraka yang menyiksaku selama ini,' jeritku dalam hati."Tolong berhenti!! Apa-apaan ini? Kenapa anda menyeret seorang wanita yang jelas-jelas tidak berdaya?!" Tiba-tiba suara seorang pria menghentikan tangan ibu yang mencengkram bahu hendak menyeretku pergi."Pak Anton," ucapku serupa gumaman. Wajah Pak Anton mengeras melihat keadaanku yang acak-acakan."Tadinya saya membiarkan ibumu menunggu di kantor karena dia tak mau saat saya menyuruhnya pergi baik-baik. Bahkan saya sudah memberikan ongkos, yang saya pikir cukup untuk keperluan ibumu. Ternyata begini kelakuannya. Pantas saja selama ini kamu tersiksa, Sasty. Bahkan di rumah sakit tidak ada satu orang pun keluargamu yang menunggu." Wajah Ibu pucat mendengar penuturan dari pimpinanku ini. Wanita itu melepaskan tangannya dan memasang wajah sendu."Anda tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi putriku ini, Pak. Dia—""Cukup, Ibu tak perlu menjelek-jelekkan aku pada orang lain," ujarku menyela agar Ibu tak kembali menebarkan kebohongan."Tapi, Sas—""Pulanglah!" Aku mendekat ke arah Pak Anton yang sepertinya akan pergi."Saya nebeng di mobil bapak, ya. Hanya sampai pertigaan jalan." Lihat situasi yang tidak mengenakkan, mau tak mau Pak Anton pun mengangguk. Mungkin bingung kenapa aku memilih pergi dengannya alih-alih pulang bersama dengan ibu.Bisa kulihat dari spion mobil, Ibu mendengus kesal. Dia masih berdiri di tepi jalan. Aku bersyukur kali ini bisa menolak ajakan ibu. Semoga kedepannya aku bisa Istiqomah, agar aku bisa melanjutkan hidup meskipun harus berjalan seorang diri."Sebenarnya saya tidak mengerti ada masalah apa antara kamu dan ibumu, Sas. Tapi dibalik itu semua saya yakin kamu adalah seorang anak yang baik. Terbukti selama ini kamu tidak pernah macam-macam di kantor. Ya, kamu tahu 'kan bagaimana kelakuan anak anak di luar jam kantor?!"Aku mengangguk. "Banyak hal yang tidak bisa saya jelaskan kepada bapak, namun intinya selama ini keluarga saya hanya hidup dari hasil kerja keras saya, tanpa sedikitpun mau berterima kasih atau menghargai usaha saya, Pak. Dan Ibu hanya menginginkan uang saya saja tanpa peduli dengan keadaan saya."Pak Anton manggut-manggut mendengar penjelasanku. Tentunya pria yang memiliki IQ diatas rata-rata itu, cukup mengerti saat ibu dan keluargaku tidak mau mendatangiku di rumah sakit."Baiklah apapun masalahmu, saya harap kamu bisa menyelesaikannya dengan baik. Coba ikuti saran saya, berbakti kepada orang tua dan keluarga adalah kewajiban. Namun bukan berarti kita harus menyerahkan segalanya, terutama hidup dan penghasilan kamu. Lagian kamu 'kan cerdas, bisa mengatur keuangan dengan baik. Pisahkan mana untuk dirimu, masa depanmu, juga untuk keluargamu. Lagian gaji sebagai manajer lapangan cukup besar. Maka dari itu baik-baiklah mengelolanya."Aku tersenyum sekilas dan melirik ke samping. Pak Anton juga tersenyum meski kedua tangannya fokus pada kemudi."Terima kasih atas nasehatnya, Pak, meskipun sedikit terlambat Insya Allah saya akan mengubahnya.""Ingat Sasty, tidak ada kata terlambat untuk merubah semuanya."***"Gila ya ibumu, Sas. Aku nggak nyangka dia sampai nyeret kamu untuk pulang."Dika terkejut ketika kuceritakan kejadian setelah aku sampai ke kantor tadi. Dia kebetulan berada di lantai 14, di ruangannya, hingga tidak sempat melihat keadaan di lobby."Itulah, Dik. Makanya niatku semakin bulat untuk pergi jauh dari keluargaku. Biarlah, aku akan memberikan jatah untuk mereka secukupnya saja. Melihat mereka pun sudah dewasa dan sudah saatnya mencari jalan kehidupan sendiri."Dika mengangguk. "Meskipun terlambat aku mendukung keputusanmu. Ingat Sas, kamu tidak akan selamanya muda, lagi pula jika kamu terus-terusan melajang mereka juga belum tentu mau mengurusmu saat kamu tua nanti. Mulai sekarang pikirkan hidupmu. Kau juga perlu seseorang untuk melindungimu. Saat ini mungkin ibumu selalu mengancam jika hanya mereka keluargamu. Tapi semua itu akan berubah begitu kamu menikah dan memiliki keluarga sendiri. Aku yakin ibu dan keluargamu akan berhenti merecoki hidupmu." Aku mendengarkan ucapan dari Dika dan memasukkannya dalam hati. Dia benar.Pada akhirnya aku bersyukur karena dikelilingi orang-orang yang sangat menyayangiku, dengan memberikan nasihat-nasihatnya; mulai dari Pak Anton dan Dika. Tentu saja melihat dari kacamata mereka, mungkin merasa miris dengan keadaan hidupku yang diperbudak oleh orang keluargaku sendiri ini.***Bab 8"Kamu udah siap?" tanya Dika begitu aku keluar dari kamar kos. "Udah, yuk." Pria itu tersenyum simpul dan membawaku ke parkiran. Dika tampak telaten membantuku menuruni satu persatu tangga, tidak peduli meskipun beberapa penghuni lain yang berlalu lalang kerap melirik aneh ke arahku.Sampai di pinggir jalan, mobil yang dipesan oleh Dika datang. Kami langsung pergi ke rumah sakit untuk kontrol sore itu. Mengganti perban sekaligus mengecek keadaan kaki di bagian dalam."Lumayan bagus. Tapi masih butuh beberapa minggu lagi untuk bisa berdiri normal. Pastikan jangan terkena air dan jangan terlalu dipaksa berjalan." Penjelasan dari dokter membuatku lega. Setelah menyelesaikan administrasi dan mengambil obat, Dika membawaku ke kantin dekat rumah sakit. Memesan beberapa makanan, lalu menikmatinya sambil sesekali bercanda."Kakak ada di sini rupanya!" Aku dan Dika sontak menoleh. Dia lagi.Entah dari mana datangnya hingga Dion tiba-tiba saja ada di sini. Kuperhatikan dengan malas pe
Bab 9Otot-ototku terasa lemas dan tak bertulang melihat pemandangan miris di depanku. Teganya Dion melakukan hal ini. Satu-satunya sumber mata pencaharian yang kusediakan untuknya, malah dia sia-siakan begitu saja."Padahal dua minggu yang lalu saat aku datang bareng temanku, tempat ini baik-baik saja, Sas. Meski ya nggak banyak stok baju yang dijual. Lalu kenapa sekarang jadi begini?" Dika yang berdiri menopang tubuhku pun merasa heran. Aku menggeleng lemah. Bukan hanya dia yang heran, aku lebih dari itu tentu saja. Aku sengaja mengarahkan Dion dengan membuka usaha untuk menghidupi keluarga dari hasil penjualannya. Tapi ternyata, nggak ada gunanya jika di empunya nggak berniat maju. Tak ingin dirundung kesedihan terlalu lama akhirnya aku memilih kembali ke dalam mobil, lalu pulang sambil memikirkan rencana selanjutnya.Tidak. Mereka tak bisa dibiarkan. Ibu, Dion dan Sinta mereka benar-benar menguras pikiranku. Jika seperti ini caranya, bahkan sampai aku membungkuk tua dengan ra
Bab 10Sekuat apapun aku mencoba menghindari Pakde, nyatanya pria itu tidak akan pernah berhenti sebelum memarahiku habis-habisan. Ibu. Kenapa dia begitu dekat dengan pria itu, padahal bude sudah lama meninggal. Seharusnya mereka jaga jarak karena bukan mahram. Rasanya risih saja saat melihat mereka tetap saling berhubungan."Ada apa, Pakde?" tanyaku to the point setelah panggilan kesekian kalinya masuk ke ponsel."Kamu tentu tahu untuk apa Pakde nelpon kalau bukan atas aduan ibumu.Kenapa kamu tega pada mereka, Sas? Kamu tidak memberikan uang serta meninggalkan rumah begitu saja, lepas tanggung jawab. Kamu biarkan ibu dan adik-adikmu kelaparan. Jawab. Apa kamu sengaja? Atau ada seseorang yang mempengaruhimu?!" "Itukah yang Ibu katakan?" tanyaku balik. Pintar sekali ibu bersandiwara."Kau pikir ibumu berdusta?" hardik Pakde. Suara baritonnya terdengar bergemuruh. "Bukankah Ibu selalu seperti itu. Menjual namaku pada orang-orang, lalu menjelek-jelekkanku demi meraih simpati, te
Bab 11"Apa yang terjadi di rumah?" tanyaku cepat. Melihat wajah Sinta yang pias entah karena apa."Kak, Dion digebukin oleh orang-orang yang datang ke rumah tempo hari. Kasihan dia, Kak. Aku mohon, pulanglah. Penyakit Ibu juga kumat lagi.""Kau tidak bohong, 'kan?" Tatapanku menyelidik. Keluargaku yang manipulatif membuatku sedikit tidak percaya pada setiap aduan mereka."Aku nggak bohong, Kak. Kasihan Dion. Tolong pulanglah, hanya Kakak yang bisa menyelamatkan dia," ujarnya setengah memohon. Aku mengangguk pelan, tapi karena kesulitan aku hanya bisa berjalan pelan-pelan. "Kalau tidak keberatan, biarkan saya mengantar kalian apalagi jika rumahnya jauh. Kebetulan saya punya mobil." Pria yang baru kukenal beberapa menit itu menawarkan bantuan. Dengan cepat pula aku menolaknya. "Tidak usah, saya bisa naik angkutan umum," ujarku tak enak hati."Kak, terima aja tawarannya. Nanti Dion keburu mati." Aku melotot pada Sinta. Bisa-bisanya dia menerima bantuan orang asing. Tapi Ibas m
Bab 12Sepertinya bukan hanya aku yang terkejut. Dika yang berdiri bersama dengan seorang wanita berambut panjang itu, juga melotot tajam ke arahku."Sasty?" "Oh jadi wanita ini yang sudah mengambil alih tempat kostku? Pantas saja kamu ngelarang aku masuk ke tempat ini. Katakan siapa dia, Mas? Apa dia simpananmu yang lain?" tanya wanita itu yang sepertinya pacar Dika."Jaga mulut kamu, Nia. Dia seniorku di kantor. 'Gak pantas kamu ngomong seperti itu pada Sasty," ucap Dika menjelaskan."Oh halo, kenalkan saya Sasty," sapaku. Mencoba bersikap ramah. Meskipun wanita itu memasang wajah jutek, 'tak urung menyambut juga uluran tanganku."Maaf kalau kamu merasa terganggu kamarnya aku tempati. Aku kira kamu nggak ngekost lagi di sini." Wanita itu memindaiku dari atas hingga ke bawah, lalu terpaku pada kaki yang diperban."Eumh, nggak apa-apa, kok. Lagian aku mau tinggal dengan suamiku sekarang," jawab wanita itu melirik ke arah Dika. Sontak saja aku terkejut. Sementara Dika kulihat me
Bab 13Boleh saja bergaya dan menikmati semuanya, asal tidak merugikan dan membebankan orang lain. Ya Tuhan, semoga mereka tidak berhutang dan membebankan semuanya padaku.***"Sasty, masih nyari sarapan aja. Apa yang semalam aku udah beliin masih kurang?"Lagi dan lagi aku bertemu pria itu. Seolah-olah ini adalah takdir hingga tiap pagi kami bertemu. Ibas."Pak Ibas, ngapain lagi Anda di sini? Atau Anda tinggal di daerah sini juga ya?" Aku memindai sekeliling. Hanya ada rumah-rumah yang besar dengan pagarnya yang tinggi. Entah itu salah satunya rumahnya Ibas atau bukan."Kamu belum jawab pertanyaanku, malah balik bertanya," ujarnya sambil terkekeh menampilkan barisan giginya yang rapi. Oh Tuhan, kenapa ada pria setampan itu di depanku."Eh, sebenarnya masih ada banyak. Kebetulan saja aku mau pergi, ada urusan bersama dengan seseorang," ucapku jujur. Memang pagi ini aku janjian dengan seseorang dari bengkel."Apa perlu aku antar? Aku lagi free nih. Bosen juga di rumah nggak
Bab 14"Eh, Sasty. Ngapain kamu bengong di situ. Atau jangan-jangan kamu mau nganterin uang buat Ibu. Sini, mana duitnya."Seakan tersadar dari lamunan, aku menoleh ke arah Ibu yang mendekat. Rupanya postingan Sinta bukan omong kosong semata. Tapi, dari mana mereka dapat uang.Kedua tangannya penuh dengan belanjaan. Keningku mengernyit memikirkan dari mana Ibu punya uang untuk belanja. Kuhalangi langkah Ibu untuk lewat."Ibu lagi banyak duit, ya? Dari mana Ibu dapatkan semua itu?""Eh, kok malah nanya. Ibu minta sama kamu bukan kamu yang nanyain duit Ibu," balasnya sewot. "Ibu ngakunya 'gak punya uang, 'kan. Tapi itu, kanan kiri penuh dengan belanjaan. Dapat dari mana coba uangnya?" tanyaku menyelidik. Ibu juga memakai gelang keroncong di tangan kiri dan kanan, bahkan ada cincin menghiasi di jarinya."Eh, ini? Ini mah semua titipan tetangga. Kebetulan tadi Ibu mau ke warung, sekalian mereka nitip. Kamu tahu 'kan Ibu nggak punya duit lagi. Gimana sih kamu ini," jawab Ibu ketus."
Bab 15"Baiklah, karena semuanya sudah berkumpul di sini, maka saya perkenalkan kepada kalian semua, pimpinan baru kita. Beliau ini tentunya hadir untuk menggantikan saya. Bapak Bastian Pramana, yakni putra direktur kita. pak Bagas. Silahkan, Pak Ibas." Pak Anton bersuara.Bisik-bisik kemudian terdengar dari seluruh gadis yang ada di ruangan ini. Betapa antusiasnya mereka melihat pria tampan di depannya.Ibas menyalaminya satu persatu tanpa terkecuali, hingga sampai di posisiku. "Bu Sasty, senang bertemu dengan Anda."Ibas mengulurkan tangan yang 'ku sambut dengan senyum ramah. Sementara Vina dan yang lainnya saling melirik. Mungkin mereka tidak menyangka bagaimana aku sampai mengenal pria di depanku ini."Sama-sama, Pak Ibas." "Kuharap Anda tidak bosan karena setelah ini mungkin akan bertemu setiap hari," ujarnya menuturkan."Tentu saja tidak, Pak. Semoga saya tidak mengecewakan Anda," balasku lagi.Pria itu manggut-manggut. "Saya sudah mendengar kinerja kamu di perusahaan ini.
Bab 35"Tentu saja tentang pertanyaanku waktu itu. Kurasa sepertinya sudah cukup waktu yang kuberikan padamu. Sasty, jadi gimana jawabannya. Aku nungguin kamu selama 8 bulan ini dengan harap-harap cemas, lho." Ibas terus mendesak jawaban atas permintaannya waktu itu. Sesekali dia melirik, namun selebihnya berpandangan ke depan mengingat jalanan sore ini sedikit macet dan Ibas harus tetap mengemudi dengan aman."Apa harus aku jawab sekarang, ya?" Ibas terkekeh sambil menyentuh ujung jilbabku."Kalau nggak sekarang, kapan lagi? Masa' aku harus menunggu sampai 2 atau 3 tahun lagi. Bisa keburu putih rambutku," ujarnya setengah bercanda. "Kita cari tempat yang enak buat ngobrol," kata Ibas lagi.Aku mengalihkan pandangan pada jalanan yang dilewati oleh kendaraan ini, kemudian mobil terus melewati jalan-jalan yang dikelilingi gunung dan lembah, sebelum akhirnya kendaraan itu membawa kami menepi.Ibas memarkirkan mobil di tepi jalan, lalu mengajakku turun kemudian berjalan menyusuri panta
Bab 34"Dari mana kamu? Kenapa sampai sore begini baru pulang?!" Mia langsung menatap suaminya dengan tatapan nyalang dan penuh rasa curiga. Wanita yang pura-pura hamil demi untuk dinikahi Dika itu, selalu saja cemburuan dan curiga manakala suaminya berada di luar rumah."Apa kau tidak lihat keadaanku?" tanya Dika sambil memperlihatkan keadaan dirinya; yang selain lusuh terdapat bercak darah di bagian perut dan juga pergelangan tangannya."Apa yang terjadi padamu?" tanyanya dengan intonasi suara sedikit melembut. Sejak awal mereka menikah, keduanya tidak pernah akur, terlebih setelah borok Mia ketahuan oleh Dika."Seseorang masuk rumah sakit tepat di depan mataku. Dan aku merasa bertanggung jawab hingga mengantarnya ke sana dan menunggunya hingga beberapa jam. Apa jawabanku ini cukup puas untuk membuatmu tenang?!" ujar Dika lagi sambil melepas jaket dan kaos, yang kemudian melemparnya ke keranjang cucian dan masuk ke dalam kamar mandi.Sedikit percaya dengan ucapan Dika, tapi wanit
Bab 33"Kalian benar-benar keterlaluan!" hardik Dika sambil membopong Isma dan menyetop mobil yang lewat. Dia melempar kunci motor miliknya berharap Dion agar ikut menyusul.Seseorang turun dari kendaraan hitam dan terkejut saat Dika meminta bantuan."Ada apa ini?" tanyanya melihat wanita hamil itu sudah bersimbah darah."Tolong antar kami ke rumah sakit," jawab Dika dengan panik. Pria itu kemudian segera membukakan pintu mobil agar Dika dan wanita tersebut bisa masuk. Tak lama kemudian, kendaraan hitam itu segera melaju membelah jalanan kota menuju ke rumah sakit."Bagaimana ini, Dion? Dia pendarahan dan sudah pasti keguguran," ujar Erna dengan cemas sambil menatap mobil yang perlahan menjauh. "Tenang aja, Bu. Aku yakin Isma nggak akan apa-apa," jawab Dion padahal hatinya tak kalah cemas.Pria itu bukan mencemaskan Isma, tapi takut andaikan Raka dan keluarganya kembali menyerang dirinya, dan mungkin saja kali ini membuat nyawanya melayang setelah menyakiti adiknya."Ya udah, cepat k
Bab 32"Oh, Bapak sudah tahu rupanya. Syukurlah, jadi saya tidak perlu repot-repot menjelaskannya lagi pada bapak," balasku setelah memaksa lepas dari pelukannya."Kenapa kau lakukan hal ini padaku, Sasty? Kau sengaja ingin menghindariku, menghindari keluargamu dan keluargaku?" Bertubi-tubi Ibas bertanya yang kutanggapi dengan santai."Jangan salah paham, Pak Ibas. Banyak hal yang sudah saya pikirkan matang-matang dan inilah pilihan saya," jawabku berharap dia mengerti dan menghargai keputusanku untuk pergi."Dengar, Sasty, aku sudah menjelaskan kalau kita sebaiknya menikah saja. Urusan mereka, aku akan turut bertanggung jawab sepenuhnya. Uang yang kuhasilkan lebih dari cukup, hingga kamu tidak perlu menanggungnya sendirian." Panjang lebar Ibas berkata, tapi sama sekali tidak membuatku iba atau terharu."Terima kasih, aku menghargai niat baik Bapak. Tapi itu bukan solusi untuk semuanya. Bapak harus tahu, memang sudah saatnya aku meninggalkan mereka. Lagi pula aku butuh suasana yang b
Bab 31"Kenapa kau datang kemari dengan membawa para preman ini? Dasar perempuan kepa rat, tega-teganya kau membuat Pakde terluka!!" Dion balik menyerangku dengan kata-katanya. Namun aku tidak gentar. Para debt kolektor yang kuajak mendatangi rumah Ibu, menjadi tameng untukku."Kenapa memangnya, bukankah seharusnya kau juga turut membantu ibumu untuk melunasi hutangnya? Lalu kenapa kau malah menyerahkan semuanya padaku, dasar pria tidak berguna!!' ucapku kesal.Apa dia lupa, wanita yang disebutnya keparat ini adalah orang yang didatanginya kemarin pagi, saat hendak memberondong masuk ke dalam rumahku."Kau benar, Mbak. Adikmu yang tidak berguna ini malah memanfaatkanku juga!!" sambar Isma tanpa kuminta. Entah apa maksudnya itu, aku tak tahu. "Sudah, sudah, tidak usah diperpanjang. Sebaiknya sekarang cari solusi. Terutama Anda Pak Harun dan Bu Erna. Lunasi semua hutang-hutangnya, agar kami tidak perlu mendatangi kalian dengan cara kekerasan seperti ini." Pria berjaket kulit yang ber
Bab 30"Ok, jika itu keputusanmu, kebetulan kantor cabang di daerah Surabaya tengah membutuhkan manajer lapangan yang cekatan dan disiplin sepertimu. Ini masih berupa tawaran, jika kamu setuju, dua hari dari sekarang kamu bisa mulai bekerja di sana." Bu Sonia menjelaskan lebih lanjut. "Ya ampun, Bu, serius?" Aku tersenyum dengan mata berkaca-kaca saat kulihat Bu Sonia mengangguk yakin."Tentu saja, Sasty. Masa' untuk berita sebesar ini saya bohong. Tapi ingat, masa percobaannya dua minggu. Kamu bisa survey dulu ke sana, jika dalam dua minggu itu kamu tidak betah dan merasa jika di sana tidak seperti yang kamu pikirkan, maka kamu masih bisa kembali lagi ke kantor pusat," ujarnya lagi. Aku cukup senang dengan tawaran dari Bu Sonia dan menanggapinya dengan antusias.Yes, setelah memikirkan berkali-kali akhirnya benar-benar keputusan ini yang akan kutempuh sekarang. Aku butuh tempat dan kehidupan yang baru untuk memulai segalanya dari awal.Bismillah ….Pembicaraan dengan Bu Sonia tadi s
Bab 29Segera kubereskan berkas-berkas yang bertumpuk di atas meja, kebetulan jam kerja baru saja usai. Seharian ini tidak ada yang mengganggu. Ponsel kunonaktifkan agar tidak ada telepon nyasar yang meminta sedekah dari para benalu. Pun tadi siang aku sengaja tidak pergi ke kantin, setelah sekalian memesan makanan online dengan yang lain.Kalau dihitung dengan jari, pertemuan Ibu dengan dua pria di resto waktu itu, maka hari ini jatuh tempo di mana Ibu harus membayar sebagian besar utangnya. Makanya ponselku aman karena mati.Kuhembuskan nafas sambil meregangkan otot-ototku yang terasa kaku. Di depan pintu, Dika sudah menunggu dengan senyum menghias di bibirnya."Yuk, pergi sekarang," ajaknya sambil berjalan bersisian denganku."Ke mana kita sore ini?" Aku bertanya sambil menyampirkan tas ke bahu. "Nyari tempat nongki. Udah lama kita nggak pergi bersama.""Baiklah sesekali kurasa nggak apa-apa. Semoga nggak ada orang yang motret terus laporin ke istrimu."Dika mengangkat bahu cue
Bab 28"Mau apa kamu kemari?" sergahku. Saat Dion ingin masuk ke dalam rumah, segera kutahan badannya dan mendorongnya dengan kasar. Pria itu hampir terjengkang ke belakang dengan wajah yang memerah, setelah mendapat perlakuan kasar dariku.Biar dia tahu siapa sekarang kakaknya ini. Wanita bodoh yang berubah menjadi kasar akibat perlakuan mereka sebelumnya. "Kenapa Kakak kasar padaku? Awas, aku mau masuk!" Dion tidak menggubris pandanganku yang semakin menajam badannya."Siapa yang menyuruhmu masuk ke rumahku? Pergi kalau tidak ingin kuteriaki maling!" Dion mendecih sinis. Dia melihat penampilanku dari atas hingga ke bawah. Lalu senyum merendahkan tersungging di bibirnya. Senyum yang sama saat dia berhasil mengambil uang tunjangan ketika aku sakit."Mentang- mentang sudah keluar dari rumah, sepertinya banyak sekali orang yang mempengaruhi Kakak hingga melepaskan tanggung jawab dari Ibu dan kami berdua." Dion mendecih. Apa? Aku ingin terbahak mendengar perkataannya."Tanggung j
Bab 27"Anda jangan khawatir, urusan hutang piutang keluarga saya itu bukan urusan Anda maupun urusan Ibas. Lagipula saya tidak tertarik untuk mengambil hati putra Anda. Sebaiknya Anda cari tahu lebih dulu tentang hubungan kami yang tidak lebih dari sekedar atasan dan bawahan! Permisi!"Aku berbalik setelah puas mematahkan argumen wanita itu. Tak memperdulikan meskipun wanita itu menggeram marah. Segera kubanting pintu dan keluar dari rumah mewah yang penghuninya sangat sombong dan dingin itu."Sas, Sasty! Tunggu!" Ibas menarik tanganku hingga aku terpaksa berbalik menatapnya marah."Kenapa Anda membawa saya ke sini hanya untuk dipermalukan, hah? Apakah Anda juga berpikir kalau saya ingin menjerat Anda dan menjadikanmu sebagai suamiku, lalu setelahnya saya akan menjadikan Anda mesin ATM untuk membayar hutang-hutang Ibu saya?! Jika iya, Anda keliru Pak Ibas! Saya tidak membutuhkan Anda. Bahkan saya tidak ingin menjalin hubungan lebih serius dari sekedar atasan dan bawahan!! Camka