Bab 16Aku mengangguk pelan. Wajah Ibu berubah semakin kelam. Wanita itu bersungut-sungut dan menatapku nyalang."Yang benar saja! Uang ini cuma cukup untuk satu minggu. Belum lagi Dion dan Sinta. Bagaimana Ibu mengaturnya jika—""Kebutuhanku juga banyak. Lagi pula kita sudah tidak tinggal satu rumah lagi. Gunakan uang itu dengan sebaik-baiknya. Urusan Dion, dia sudah dewasa. Aku sudah lepas tanggung jawab dan dia bukan urusanku lagi. Lagipula dia tidak sepantasnya menadahkan tangan padaku lagi, Bu. Kuharap Ibu mengerti bagaimana dia memperlakukanku selama ini. Dan kuharap Ibu bisa memberi pengertian padanya. Suruh dia bekerja dan mencari jalannya sendiri!!" Aku memotong ucapan ibu dengan cepat, sebelum perkataannya merembet ke mana-mana. Brak!!Ibu menggebrak meja, tak terima dengan perkataanku. Dia lantas berdiri dan berkacak pinggang."Selama 30 tahun aku membesarkanmu. Inikah balasannya padaku!! Anak kurang ajar, tidak tahu malu. Jaman sekarang uang segini tidak cukup. Ap
Bab 17Badanku tiba-tiba saja gemetar dengan keringat membasahi seluruh badan. Rasa panas dan bergejolak dari perut menekan hingga ke bagian ulu hati. Padahal hanya makan tak kurang dari lima sendok yang kumasukkan ke dalam mulut, tapi efeknya benar-benar luar biasa. Aku gemetar dengan pandangan yang terasa gelap. Rasanya nyeri ini sudah tidak bisa kujelaskan lagi bagaimana sakitnya."Sas, kamu kenapa?" Tak mungkin kutahan rasa yang campur aduk ini. Setengah berlari ke luar dari tempat itu, aku memuntahkan seluruh isinya di pinggir jalan. Bahkan untuk berdiri saja aku tidak mampu. Seluruh tubuh dan persendian terasa lemas belum lagi pandangan yang berkunang-kunang. Tubuhku gemetar tidak karuan. Bahkan aku tidak bisa mengontrol diriku sendiri.Beruntung bagian ini terlihat sepi tanpa ada orang berlalu lalang."Ya Tuhan, kenapa jadi begini?" Ibas tampak bingung melihat keadaanku.Entah sudah keberapa kalinya aku memuntahkan semuanya. Lagi dan lagi."Antar aku ke klinik," ujarku lemas
Bab 18Rasanya aku baru saja terlelap sebentar, ketika mendengar bunyi ponsel yang terus-terusan berdering. Nomor tiga orang yang belakangan ini sudah kubuka blokirnya, tak berhenti menghubungi. Sepertinya aku harus siap mendengar ocehan pagi dari mereka.Kubiarkan benda itu terus berbunyi dan bergetar. Kebutuhanku di kamar mandi lebih penting mengingat aku kebelet pipis dan ingin menunaikan hajatku. Setengah jam kemudian, setelah beres aku lanjut membuat sarapan. Telur dadar, roti dan segelas susu hangat siap masuk ke perutku. Di saat yang sama, dari arah pintu seseorang menggedornya dengan kasar. Lalu suara cempreng Ibu mulai terdengar setelahnya."Sasty, buka pintunya!""Sasty, Ibu tahu kamu ada di dalam! Ayo cepat buka!!"Mungkin karena aku tidak mengindahkannya, gedoran itu semakin lama semakin berisik. Aku menarik nafas berat sebelum membukanya. Kupasang badan dan mempersiapkan mental untuk menghadapi mereka."Ada apa pagi-pagi sudah bertamu?" tanyaku malas meladeni.Ibu dan
Bab 19"Jangan bercanda, Bu Sasty. Masih pagi ini," kata Ibas dengan senyuman."Saya serius nggak bohong, Pak."Ibas tampak berpikir sebelum akhirnya mengajakku masuk ke ruangan miliknya."Kamu yakin mau di oper ke kantor cabang?"Ibas menghela nafas sambil berdiri gagah. Dia memperhatikan wajahku dari jarak dekat."Ya," jawabku singkat. Kurasa inilah satu-satunya jalan untuk menghindari ibu dan adik-adikku yang tidak tahu diri itu."Wajahmu memerah dan ada bekas tamparan di pipimu. Apakah itu perlakuan ibu dan saudaramu?"Aku tersenyum samar. Jika mengingat kejadian sebelum berangkat kerja rasanya aku ingin menangis. Tapi tidak, aku bukan wanita lemah yang akan menangisi sesuatu yang sudah terjadi.Aku menanggukkan kepala. "Tolong pertimbangkan kepindahan saya! Saya mohon," pintaku lagi. "Baiklah. Aku beri waktu tiga hari untuk menyelesaikan tugasmu. Panggil Dika untuk membantu. Aku akan mencari tempat yang aman untukmu tapi tidak perlu pindah ke kantor cabang. Tempat itu letakny
Bab 20Suara motor menderu di halaman rumah Erna yang luas. Setelahnya, ada delapan orang pemuda dengan jaket hitam dan helm yang dipakainya, bergegas masuk ke dalam ruangan setelah mendobrak pintu. Erna yang baru saja keluar dari kamar tidur dibuatnya terkejut. Orang-orang itu memecahkan barang apa saja yang ada di dalam rumah. Kaca, meja, termasuk hiasan yang berjajar di dalam lemari, tak luput dari serangan tangan-tangan jahil."Apa-apaan ini! Berhenti, kenapa kalian menghancurkan barang-barang di rumahku?!" Erna berteriak histeris. Suara nyaringnya bersahutan dengan kaca-kaca yang pecah. "Tolong! Tolong!" Erna panik sambil berteriak. Tapi tak ada seorangpun yang datang untuk menolong; padahal jarak dari satu rumah ke rumah lain cukup dekat.Prang …!! Prang ….!!!"Suruh si Dion keluar, atau aku bakar sekalian rumah ini!!" ujar salah satu dari mereka. Ia menatap Erna dengan wajah dingin. Di tangannya tongkat baseball berputar-putar siap memecah apa saja."Cepat!!" ulangnya lagi
Bab 21Setelah tidak berhasil mendatangi kos-kosan tempat Sasty berada, Erna tidak putus asa. Kali ini dia berinisiatif mendatangi kantor dimana wanita itu bekerja. Siapa tahu dia bisa mendapat jalan keluar berupa alamat putrinya sekarang."Seperti yang kami beritakan sebelumnya, Bu Prasasty yang Anda cari sudah dipindahkan ke kantor cabang, dan kami tidak memiliki akses untuk memberitahu Ibu alamat lengkapnya," ujar seorang pria setelah Erna bertanya-tanya."Tapi saya ibunya. Tolonglah, Nak. Salah satu anggota keluarganya berada di rumah sakit sekarang. Sasty harus tahu keadaan adiknya.""Maaf, saya tidak bisa membantu!""Kalau kamu tidak memberikan alamatnya, coba berikan nomor telepon kantor atau apa saja yang bisa dihubungi. Ini darurat, Nak. Saya mohon," ujar Erna dengan wajah dibuat sesedih mungkin. Berharap dengan tatapannya yang menghiba akan membuat pria tampan di depannya kasihan.Pria itu lagi-lagi menggeleng dan hampir kehabisan akal. "Sekali lagi saya minta maaf, Bu.
Bab 22Erna keluar dari Bank bersama Harun dengan uang dalam tas yang dipeluknya erat. Pada akhirnya wanita itu berhasil menggadaikan sertifikat rumah senilai 100 juta rupiah."Mas, aku masih ragu apakah keputusanku ini benar atau tidak. Bagaimana kalau aku tidak sanggup membayarnya." Erna berkata dengan lesu sementara Harun memasang senyum sumringah. Dia hanya tinggal membujuk Erna untuk meminjami uangnya, seperti biasa."Sudah, nanti kita bicara di rumah. Bahaya kalau di jalan seperti ini kita bicara uang. Meleng sedikit, copet dan begal berkeliaran." Harun melirik ke sana ke mari. Ada beberapa motor dengan si pengemudi duduk di atasnya. Mereka tentu saja begal kelas kakap. Bukan hal yang tabu lagi, mereka kerap mengintai para nasabah yang habis mencairkan uang dari bank. Bahkan sebagian besar ada yang bersekongkol dengan satpam atau pekerja di dalam."Ya sudah." Erna menurut. Dia naik boncengan di belakang Harun. Motor pun melaju ke gang-gang sempit untuk mengecoh setelah dibuntu
Bab 23Melangkah pelan aku masuk ke ruanganku. Setiap hari adalah awal baru yang indah bagiku. Tanpa Ibu, Dion dan Sinta, kini hidupku semakin tenang tanpa gangguan mereka. Aku juga tak perlu sembunyi-sembunyi dan takut ada yang mengenali, karena sekarang penampilanku sudah tertutup dengan hijab dan masker, yang kukenakan ketika berada di luar lingkungan kantor.Pintu diketuk dari luar. Setelahnya Dika melongokkan kepala."Ada apa, Dik?" tanyaku tanpa basa- basi."Sas, boleh aku masuk?" Aku terkekeh. Sejak kapan dia perlu izinku untuk masuk me ruanganku."Nggak boleh. Memangnya ini kafe lantas kamu bisa masuk seenaknya. " "Idih, gitu amat, Bu."Dika satu- satunya sahabatku itu nyengir. Dia masuk dan mendudukkan badannya pada kursi di depanku. Kunyalakan monitor di depanku sambil menunggu tujuannya datang ke mari, yang sepertinya bukan akan membicarakan tentang pekerjaan. Background pantai menyapa kala layar sudah sepenuhnya menyala."Kalau ada perlu, cepat ngomong. Aku banyak ker
Bab 35"Tentu saja tentang pertanyaanku waktu itu. Kurasa sepertinya sudah cukup waktu yang kuberikan padamu. Sasty, jadi gimana jawabannya. Aku nungguin kamu selama 8 bulan ini dengan harap-harap cemas, lho." Ibas terus mendesak jawaban atas permintaannya waktu itu. Sesekali dia melirik, namun selebihnya berpandangan ke depan mengingat jalanan sore ini sedikit macet dan Ibas harus tetap mengemudi dengan aman."Apa harus aku jawab sekarang, ya?" Ibas terkekeh sambil menyentuh ujung jilbabku."Kalau nggak sekarang, kapan lagi? Masa' aku harus menunggu sampai 2 atau 3 tahun lagi. Bisa keburu putih rambutku," ujarnya setengah bercanda. "Kita cari tempat yang enak buat ngobrol," kata Ibas lagi.Aku mengalihkan pandangan pada jalanan yang dilewati oleh kendaraan ini, kemudian mobil terus melewati jalan-jalan yang dikelilingi gunung dan lembah, sebelum akhirnya kendaraan itu membawa kami menepi.Ibas memarkirkan mobil di tepi jalan, lalu mengajakku turun kemudian berjalan menyusuri panta
Bab 34"Dari mana kamu? Kenapa sampai sore begini baru pulang?!" Mia langsung menatap suaminya dengan tatapan nyalang dan penuh rasa curiga. Wanita yang pura-pura hamil demi untuk dinikahi Dika itu, selalu saja cemburuan dan curiga manakala suaminya berada di luar rumah."Apa kau tidak lihat keadaanku?" tanya Dika sambil memperlihatkan keadaan dirinya; yang selain lusuh terdapat bercak darah di bagian perut dan juga pergelangan tangannya."Apa yang terjadi padamu?" tanyanya dengan intonasi suara sedikit melembut. Sejak awal mereka menikah, keduanya tidak pernah akur, terlebih setelah borok Mia ketahuan oleh Dika."Seseorang masuk rumah sakit tepat di depan mataku. Dan aku merasa bertanggung jawab hingga mengantarnya ke sana dan menunggunya hingga beberapa jam. Apa jawabanku ini cukup puas untuk membuatmu tenang?!" ujar Dika lagi sambil melepas jaket dan kaos, yang kemudian melemparnya ke keranjang cucian dan masuk ke dalam kamar mandi.Sedikit percaya dengan ucapan Dika, tapi wanit
Bab 33"Kalian benar-benar keterlaluan!" hardik Dika sambil membopong Isma dan menyetop mobil yang lewat. Dia melempar kunci motor miliknya berharap Dion agar ikut menyusul.Seseorang turun dari kendaraan hitam dan terkejut saat Dika meminta bantuan."Ada apa ini?" tanyanya melihat wanita hamil itu sudah bersimbah darah."Tolong antar kami ke rumah sakit," jawab Dika dengan panik. Pria itu kemudian segera membukakan pintu mobil agar Dika dan wanita tersebut bisa masuk. Tak lama kemudian, kendaraan hitam itu segera melaju membelah jalanan kota menuju ke rumah sakit."Bagaimana ini, Dion? Dia pendarahan dan sudah pasti keguguran," ujar Erna dengan cemas sambil menatap mobil yang perlahan menjauh. "Tenang aja, Bu. Aku yakin Isma nggak akan apa-apa," jawab Dion padahal hatinya tak kalah cemas.Pria itu bukan mencemaskan Isma, tapi takut andaikan Raka dan keluarganya kembali menyerang dirinya, dan mungkin saja kali ini membuat nyawanya melayang setelah menyakiti adiknya."Ya udah, cepat k
Bab 32"Oh, Bapak sudah tahu rupanya. Syukurlah, jadi saya tidak perlu repot-repot menjelaskannya lagi pada bapak," balasku setelah memaksa lepas dari pelukannya."Kenapa kau lakukan hal ini padaku, Sasty? Kau sengaja ingin menghindariku, menghindari keluargamu dan keluargaku?" Bertubi-tubi Ibas bertanya yang kutanggapi dengan santai."Jangan salah paham, Pak Ibas. Banyak hal yang sudah saya pikirkan matang-matang dan inilah pilihan saya," jawabku berharap dia mengerti dan menghargai keputusanku untuk pergi."Dengar, Sasty, aku sudah menjelaskan kalau kita sebaiknya menikah saja. Urusan mereka, aku akan turut bertanggung jawab sepenuhnya. Uang yang kuhasilkan lebih dari cukup, hingga kamu tidak perlu menanggungnya sendirian." Panjang lebar Ibas berkata, tapi sama sekali tidak membuatku iba atau terharu."Terima kasih, aku menghargai niat baik Bapak. Tapi itu bukan solusi untuk semuanya. Bapak harus tahu, memang sudah saatnya aku meninggalkan mereka. Lagi pula aku butuh suasana yang b
Bab 31"Kenapa kau datang kemari dengan membawa para preman ini? Dasar perempuan kepa rat, tega-teganya kau membuat Pakde terluka!!" Dion balik menyerangku dengan kata-katanya. Namun aku tidak gentar. Para debt kolektor yang kuajak mendatangi rumah Ibu, menjadi tameng untukku."Kenapa memangnya, bukankah seharusnya kau juga turut membantu ibumu untuk melunasi hutangnya? Lalu kenapa kau malah menyerahkan semuanya padaku, dasar pria tidak berguna!!' ucapku kesal.Apa dia lupa, wanita yang disebutnya keparat ini adalah orang yang didatanginya kemarin pagi, saat hendak memberondong masuk ke dalam rumahku."Kau benar, Mbak. Adikmu yang tidak berguna ini malah memanfaatkanku juga!!" sambar Isma tanpa kuminta. Entah apa maksudnya itu, aku tak tahu. "Sudah, sudah, tidak usah diperpanjang. Sebaiknya sekarang cari solusi. Terutama Anda Pak Harun dan Bu Erna. Lunasi semua hutang-hutangnya, agar kami tidak perlu mendatangi kalian dengan cara kekerasan seperti ini." Pria berjaket kulit yang ber
Bab 30"Ok, jika itu keputusanmu, kebetulan kantor cabang di daerah Surabaya tengah membutuhkan manajer lapangan yang cekatan dan disiplin sepertimu. Ini masih berupa tawaran, jika kamu setuju, dua hari dari sekarang kamu bisa mulai bekerja di sana." Bu Sonia menjelaskan lebih lanjut. "Ya ampun, Bu, serius?" Aku tersenyum dengan mata berkaca-kaca saat kulihat Bu Sonia mengangguk yakin."Tentu saja, Sasty. Masa' untuk berita sebesar ini saya bohong. Tapi ingat, masa percobaannya dua minggu. Kamu bisa survey dulu ke sana, jika dalam dua minggu itu kamu tidak betah dan merasa jika di sana tidak seperti yang kamu pikirkan, maka kamu masih bisa kembali lagi ke kantor pusat," ujarnya lagi. Aku cukup senang dengan tawaran dari Bu Sonia dan menanggapinya dengan antusias.Yes, setelah memikirkan berkali-kali akhirnya benar-benar keputusan ini yang akan kutempuh sekarang. Aku butuh tempat dan kehidupan yang baru untuk memulai segalanya dari awal.Bismillah ….Pembicaraan dengan Bu Sonia tadi s
Bab 29Segera kubereskan berkas-berkas yang bertumpuk di atas meja, kebetulan jam kerja baru saja usai. Seharian ini tidak ada yang mengganggu. Ponsel kunonaktifkan agar tidak ada telepon nyasar yang meminta sedekah dari para benalu. Pun tadi siang aku sengaja tidak pergi ke kantin, setelah sekalian memesan makanan online dengan yang lain.Kalau dihitung dengan jari, pertemuan Ibu dengan dua pria di resto waktu itu, maka hari ini jatuh tempo di mana Ibu harus membayar sebagian besar utangnya. Makanya ponselku aman karena mati.Kuhembuskan nafas sambil meregangkan otot-ototku yang terasa kaku. Di depan pintu, Dika sudah menunggu dengan senyum menghias di bibirnya."Yuk, pergi sekarang," ajaknya sambil berjalan bersisian denganku."Ke mana kita sore ini?" Aku bertanya sambil menyampirkan tas ke bahu. "Nyari tempat nongki. Udah lama kita nggak pergi bersama.""Baiklah sesekali kurasa nggak apa-apa. Semoga nggak ada orang yang motret terus laporin ke istrimu."Dika mengangkat bahu cue
Bab 28"Mau apa kamu kemari?" sergahku. Saat Dion ingin masuk ke dalam rumah, segera kutahan badannya dan mendorongnya dengan kasar. Pria itu hampir terjengkang ke belakang dengan wajah yang memerah, setelah mendapat perlakuan kasar dariku.Biar dia tahu siapa sekarang kakaknya ini. Wanita bodoh yang berubah menjadi kasar akibat perlakuan mereka sebelumnya. "Kenapa Kakak kasar padaku? Awas, aku mau masuk!" Dion tidak menggubris pandanganku yang semakin menajam badannya."Siapa yang menyuruhmu masuk ke rumahku? Pergi kalau tidak ingin kuteriaki maling!" Dion mendecih sinis. Dia melihat penampilanku dari atas hingga ke bawah. Lalu senyum merendahkan tersungging di bibirnya. Senyum yang sama saat dia berhasil mengambil uang tunjangan ketika aku sakit."Mentang- mentang sudah keluar dari rumah, sepertinya banyak sekali orang yang mempengaruhi Kakak hingga melepaskan tanggung jawab dari Ibu dan kami berdua." Dion mendecih. Apa? Aku ingin terbahak mendengar perkataannya."Tanggung j
Bab 27"Anda jangan khawatir, urusan hutang piutang keluarga saya itu bukan urusan Anda maupun urusan Ibas. Lagipula saya tidak tertarik untuk mengambil hati putra Anda. Sebaiknya Anda cari tahu lebih dulu tentang hubungan kami yang tidak lebih dari sekedar atasan dan bawahan! Permisi!"Aku berbalik setelah puas mematahkan argumen wanita itu. Tak memperdulikan meskipun wanita itu menggeram marah. Segera kubanting pintu dan keluar dari rumah mewah yang penghuninya sangat sombong dan dingin itu."Sas, Sasty! Tunggu!" Ibas menarik tanganku hingga aku terpaksa berbalik menatapnya marah."Kenapa Anda membawa saya ke sini hanya untuk dipermalukan, hah? Apakah Anda juga berpikir kalau saya ingin menjerat Anda dan menjadikanmu sebagai suamiku, lalu setelahnya saya akan menjadikan Anda mesin ATM untuk membayar hutang-hutang Ibu saya?! Jika iya, Anda keliru Pak Ibas! Saya tidak membutuhkan Anda. Bahkan saya tidak ingin menjalin hubungan lebih serius dari sekedar atasan dan bawahan!! Camka