Share

Watak Asli Keluargaku ketika Aku Sakit
Watak Asli Keluargaku ketika Aku Sakit
Penulis: Bun say

Bab 1

Penulis: Bun say
last update Terakhir Diperbarui: 2023-05-10 21:11:05

Bab 1

"Sinta, ayo bangun!"

Aku mengetuk pintu kamar adikku yang perempuan. Tapi hingga berkali-kali, gadis itu tidak kunjung juga membuka pintunya. Penasaran, aku membuka pintu kamarnya kemudian menyibak gorden. Kulihat Sinta masih terlelap di bawah selimut tebal.

"Sinta, bangun dulu. Cepat mandi, sholat dan sarapan. Kamu bisa terlambat kuliah nanti," ujarku sambil mengguncang bahunya.

Gadis itu hanya menggeliat dan mengangguk pelan.

"Iya Kak, bentar lagi. Udah sana keluar, ganggu aja," jawabnya masih dengan mata terpejam.

"Ya udah, awas kalau telat nyalahin kakak." Aku segera keluar dari kamarnya sambil memunguti baju kotor yang tercecer.

Tak langsung ke dapur, aku memilih mengetuk pintu kamar adik pertamaku. Keadaan Dion tidak jauh berbeda dengan Sinta. Pria bujangan super pemalas itu lebih bebal lagi.

Kamarnya bau asap rokok dan bau segala macam aroma menusuk hidung. Dion tampak terlelap dan ngorok. Selimutnya entah ada dimana. Dia tidur hanya mengenakan boxer saja.

Dasar anak ini, padahal usianya sudah di atas 25 tahun. Tapi kebiasaannya tidur tidak memakai baju dan celana, membuatku kadang-kadang sedikit risih. Dia bukan anak kecil yang bebas bertelanjang meskipun di kamarnya sendiri.

"Dion, hei, bangun. Ini udah jam berapa? Bukannya ngasih contoh ke adikmu, malah sama sama kebluk. Ayo bangun, biasakan sholat subuh."

Aku membangunkan pria itu tanpa lelah bahkan sejak akil baligh, sebelas tahun lalu.

Kuguncang bahunya dengan ujung telunjuk. Tapi bukannya menurut, Dion malah melemparku dengan bantal.

Bugh!!

Sontak saja aku terdorong ke belakang dengan posisi terduduk di lantai. Sakit!

"Dion! Nggak sopan kamu, ya!!"

"Ahh … berisik, sana pergi, ganggu orang aja," semburnya marah. Tanpa membuka mata.

"Yang penting kakak sudah mencoba membangunkan kamu, ya. Urusan ibadah dan yang lainnya terserah padamu," ujarku kesal sambil membanting pintu.

Aku menghela nafas dan berjalan gontai menuju ke ruang makan.

Belum selesai perasaan dongkol itu, Ibu sudah keluar dari dalam kamar. Rambut yang acak-acakan disertai daster kusut menandakan jika Ibu tak jauh berbeda dengan kedua putra-putrinya.

"Ibu juga baru bangun?!" Aku melirik ke arahnya dengan malas.

"Iya. Memangnya kenapa? Masalah buat kamu?!" Ibu menyahut ketus. Wanita itu memilih duduk di meja makan alih-alih pergi ke kamar mandi untuk cuci muka. Benar-benar perbuatan yang tidak patut untuk dicontoh.

"Sikat gigi dan sholat dulu, Bu. Itu jigong juga harusnya dibersihin dulu."

"Bawel!"

Arggh, kadang aku lelah melihat keadaan keluargaku yang jauh dari adab dan agama. Sampai kapan aku memaklumi watak-watak mereka.

Ibu mengambil bakwan dan melahapnya, tentunya setelah meneguk teh manis untuk berkumur-kumur.

Benar-benar jorok.

Tak bicara lagi karena pasti ujung-ujungnya Ibu akan mengomel tak tahu waktu, aku memilih diam dan mengambil sarapan.

Kutatap meja makan. Aku sudah menyiapkan makanan sejak pagi buta, hanya untuk menyenangkan tiga orang manusia yang tinggal di rumah ini. Tapi bukannya bersyukur, mereka malah marah dan merasa terganggu. Seolah-olah apa yang kulakukan semuanya salah di mata mereka.

Aku kembali masuk ke dalam kamar, meraih tas dan bersiap pergi. Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Bisa macet di jalan jika aku terlambat pergi. Tahu sendiri jalanan di ibukota seperti apa.

"Sasty, jangan lupa uang untuk arisan Ibu. Mana? Malu Ibu kalau hari ini nggak bayar."

Langkahku terhenti. Aku diam saja. Tiada hari tanpa uang untuk Ibu. Baginya aku hanyalah mesin uang.

Tak ingin menyahutinya, segera kukeluarkan lima lembar uang merah dari dalam dompet. Wajah khas bangun tidur Ibu, berubah sumringah.

Mata Ibu berbinar. Namun detik berikutnya, beliau kembali menadahkan tangan.

"Apalagi, Bu?" tanyaku malas. "Uangku hanya tinggal untuk bensin dan makan siang. Apa Ibu tega mengambil jatahku juga, sedangkan sampai gaji turun masih tersisa 2 minggu lagi!"

"Issh, lima puluh ribu lagi. Masa nggak ada? Kamu kan bisa nyelip nyelipin uang dari mana saja, lagian kamu kerja di perusahaan bonafit," ucap Ibu santai.

Enteng sekali Ibu berkata seolah-olah aku bisa mengeruk uang dari mana saja.

"Cepat, Sas. Atau kamu telat pergi!!"

Membuang nafas kasar, kuletakkan uang sepuluh ribuan, lima lembar di depan Ibu. Wanita itu mencebik karena kuberi uang recehan.

"Biar saja, toh itu sama-sama uang juga, kan?! Kita belum bisa mencetaknya sendiri."

"Terus jatah Sinta, Dion? Mana? Kamu tahu kan mereka bakal ngomel ke Ibu kali nggak dapat jatah."

"Mereka sudah dewasa, suruh cari duit sendiri. Emang enak kerja! Nggak, Bu. Capek! Lagian Sinta sudah kuberi uang bulanan, masa udah habis aja."

"Ya udah, sana pergi, bawel, ah. Jangan lupa kalau ada lembur kamu ambil buat nambah-nambahin uang gaji kamu."

Kutinggalkan wanita yang sudah puas setelah memegang lembaran rupiah tersebut. Aku berjalan ke parkiran dan menaiki motor keluaran lama, karena belum mampu membeli motor baru.

Sedangkan Dion dan Sinta sudah memiliki motor baru untuk pergi kuliah dan bekerja. Siapa lagi yang membelinya kalau bukan aku.

Aku Prasasty Dewi, 30 tahun, si tulang punggung keluarga.

Seharusnya hidup kami nyaman dan mandiri, andaikan saja Ibu bisa memberi contoh untuk kedua adikku. Tapi Ibu tak jauh berbeda dengan kedua adikku itu. Ibu adalah wanita gila uang yang tiap waktu selalu saja merengek meminta uang untuk memenuhi keinginannya; entah itu arisanlah, jalan-jalanlah, atau hunting ke tempat-tempat mahal demi untuk memanjakan matanya.

Dion sendiri adalah pria pengangguran yang tidak lulus kuliah. Selama beberapa tahun dia mengecohku dengan mengatakan kuliahnya baik-baik saja. Aku baru mengetahuinya di tahun kedua setelah Sinta keceplosan bicara. Yang ternyata dia di DO dari kampus.

Lalu Sinta sendiri masih kuliah semester lima, meskipun belakangan aku sedikit curiga karena Sinta sering sekali bolos kuliah dan malah pergi keluyuran dengan teman-temannya.

Tak jarang gadis itu pulang tengah malam dengan keadaan mabuk. Untuk yang satu ini aku masih belum menyelidikinya lebih lanjut, toh nanti juga kebenaran akan terbuka sendiri. Aku tidak ingin terlalu pusing memikirkannya, karena semua orang di rumahku hanya mementingkan uangku saja.

"Bu Sasty, langsung ke lapangan saja, ya. Cek bahan apa saja yang kemarin malam datang."

"Baik, Pak!"

Suara Pak Anton di ujung telepon membuatku lagi-lagi harus menarik nafas pelan. Sebagai manajer lapangan, tugasku adalah mengontrol proyek yang sedang dibangun.

Kukemudikan roda dua ini menuju tempat tujuan. Membutuhkan waktu sekitar tiga puluh menit, hingga akhirnya aku sampai di sana. Para pekerja sudah sampai lebih dulu, meskipun jam kerja belum dimulai.

"Bu Sasty, udah datang saja." Para pekerja yang sudah mengenalku menyapa dengan ramah. Ada kopi mengepul dalam gelas plastik di tangannya.

"Iya Pak, takut keburu macet di jalan," ujarku sambil berkeliling dengan beberapa orang. Banyak yang kami bicarakan pagi itu, sebelum akhirnya besi steger yang bersusun di sebelah timur, roboh dan porak-poranda karena bertumpuk terlalu banyak.

"Bu Sasty, awas!!" Seorang pekerja berteriak. Naas aku yang hendak mengelak, tertimpa besi sehingga engkel kaki terluka.

"Argghh!!"

"Bu Sasty!"

"Ya ampun, cepat bawa Bu Sasty dari sini." Para pekerja yang lain berteriak. Mereka mendekat dengan perasaan khawatir.

Jujur saja aku ingin menangis merasakan rasa nyeri dan ngilu di saat bersamaan. Bukan hanya tulang yang terasa retak, namun darah mengucur dari bagian kaki.

Meski tidak sampai pingsan, jelas aku merasa nyeri di bagian engkel. Aku tidak bisa bergerak dan hanya bisa pasrah, saat para pekerja itu membawaku ke salah satu mobil yang mengiringiku ke rumah sakit.

Akibat pengaruh obat aku tidak sadarkan diri. Tahu-tahu aku mengerjapkan mata dengan kaki yang sudah terbungkus kain kasa tebal. Rasanya berat, sakit dan kaku. Aku tidak bisa menggerakkannya sama sekali.

Perawat yang melihatku sadar, langsung mendekat dan tersenyum.

"Bu Sasty, sudah sadar?!"

"Suster, di mana keluarga saya?!" Itu yang pertama kali aku tanyakan mengingat ruangan ini terlihat sangat sepi.

Kemana mereka? Bukankah seharusnya Ibu, Dion dan Sinta ada di sini?

"Eumh, maaf, Bu. Tadi rekan Ibu sudah menghubungi keluarga di rumah, namun sepertinya mereka beralasan untuk tidak datang ke sini."

Deg!

Bab terkait

  • Watak Asli Keluargaku ketika Aku Sakit   Bab 2

    Bab 2"Sinta, kakak di rumah sakit sekarang. Kamu ke sini, ya. Temenin kakak." "Aku harus kuliah, Kak. Lagian kakak juga pasti nggak akan memberiku uang transport dan makan. Ah, pusing. Gimana ini. Harusnya kakak hati-hati agar tidak sampai celaka dan nyusahin banyak orang."Hatiku nyeri. Bukan berempati atas keadaanku Sinta malah berkeluh kesah di ujung telepon. Adik yang kujaga siang malam saat sakit itu, nyatanya sama sekali tidak menyayangiku.Kubiarkan dia nyerocos sendirian sampai akhirnya telepon ditutup dari seberang. Ingin menghubungi Dion, tapi percuma, pria itu pasti tidak sudi mengangkat panggilanku.Beberapa orang pekerja yang satu kantor denganku, bergantian datang ke rumah sakit untuk menjenguk. Aku begitu terharu mendapatkan perhatian dari mereka, juga biaya rumah sakit yang langsung ditanggung oleh perusahaan.Pak Anton senior diatasku tersenyum begitu masuk ruangan. Beliau sigap datang ke rumah sakit dan mengurus semuanya setelah mendengar kabar kecelakaan itu."Kar

    Terakhir Diperbarui : 2023-05-10
  • Watak Asli Keluargaku ketika Aku Sakit   Bab 3

    Bab 3Aku menarik nafas panjang sebelum akhirnya membuka pintu. Raut wajah jelek Ibu berada persis di depanku. Sedangkan Sinta berdiri dengan wajah masam di belakangnya.Sekilas mata wanita itu memindai kakiku, sebelum akhirnya berubah ke wajah aslinya."Ada apa, Bu? Tidak bisakah Ibu membuat pikiranku sedikit tenang walau sebentar?" "Orang yang kemarin mobilnya ditabrak oleh Dion, udah dateng. Cepat kamu temui dulu mereka. Ibu takut melihat tampangnya yang garang.""Iya, Kak. Mereka sepertinya nungguin kakak," sambung Sinta dengan wajah khawatir. "Apalagi ini, kenapa harus aku yang menemuinya, sih? Apa Ibu nggak lihat kalau untuk berjalan saja aku kesulitan?" ujarku dengan geram. Benar-benar keterlaluan. Siapa yang seharusnya yang bertanggung jawab, dan siapa yang seharusnya menghadap pada mereka, aneh. Kenapa harus aku lagi?"Ck, ini anak. Kamu 'kan bisa jalan pakai tongkat, gimana sih. Pokoknya Ibu nggak mau tahu, cepat kamu temui mereka dulu, jangan diem di kamar terus," ger

    Terakhir Diperbarui : 2023-05-10
  • Watak Asli Keluargaku ketika Aku Sakit   Bab 4

    "Tega-teganya ya, Kakak berpikir seperti itu. Padahal jelas Kakak tahu sendiri bagaimana kondisi jantung Ibu!" Sinta berteriak kesal sambil menatap nyalang. Duduk menyangga tubuh Ibu, tak menyurutkan wajahnya untuk mendongak memasang wajah kebencian.Membuang napas berat, kutatap balik wajahnya. Enak saja dia meninggikan suaranya di depanku. Mungkin lupa kalau isi perut dan pakaiannya dibelikan olehku. "Bawa ibu ke kamar dan suruh istirahat. Itupun kalau ibu benar-benar sakit. Dan kau, ajak kakakmu untuk membereskan kamarku. Lipat lagi baju-baju yang sudah kalian acak-acak. Aku tidak mau tahu, dalam waktu satu jam, kamarku harus kembali bersih!" "Apa Kakak sudah gila? Aku nggak mau!!" teriaknya kesal. Makin lama sikapnya makin tidak bisa ditolerir."Terserah, jika kau ingin membangkang, itu artinya kau sudah siap kehilangan uang jajan dan biaya transport. Uang untuk kuliahmu juga kau yang tanggung sendiri!!" Ancamanku tidak main-main. Mereka sudah dewasa dan seharusnya sudah lepas

    Terakhir Diperbarui : 2023-05-15
  • Watak Asli Keluargaku ketika Aku Sakit   Bab 5

    Bab 5Sinta segera berdiri sambil menghentakkan kakinya. Dia menatapku dengan wajah kesal, setelah itu langsung masuk ke dalam kamar Ibu dan berteriak-teriak, memanggil wanita yang selalu menjadi pelindungnya. Benar-benar kekanak-kanakan."Bu, Ibu, aku sedang butuh uang. Dan ternyata Kakak memiliki uang banyak. Aku hendak meminjamnya, tapi dia tidak memberikannya, Bu. Ayo dong, Bu. Bantu aku!" Dasar tukang ngadu."Apa, biar Ibu yang bicara dengan kakakmu!" Wanita yang rambutnya dicepol asal itu segera menghampiriku.Kebetulan aku masih berdiri di tempatku, siap mendengar ceramah dan permintaannya soal uang. Jika berhubungan dengan uang, jangan harap Ibu akan mundur atau mengalah. Tidak akan pernah terjadi. Wanita itu rela melakukan apa saja asal mendapatkan sesuatu yang menjadi idolanya; yaitu uang."Mana uangnya, Sasty. Cepat berikan pada Ibu. Jangan sampai Sinta nangis-nangis hanya karena masalah ini," pintanya tak tahu diri."Kenapa aku harus memberikannya pada dia, Bu? Ini uang

    Terakhir Diperbarui : 2023-05-15
  • Watak Asli Keluargaku ketika Aku Sakit   Bab 6

    Bab 6"Awas ya, kalau sampai kamu berani lakuin itu. Sekarang juga aku akan pergi dari rumah. Biar kalian mikir, hidup tanpa uang itu menyedihkan!!" ancamku tak main-main."Coba aja kalau berani. Emangnya kakak kuat hidup tanpa keluarga, nggak mungkin. Aku berani taruhan!!" Dion membalas dengan wajahnya yang mengejek. Aku menghela nafas. Kukira adikku yang bajing*n itu akan gentar dengan ancamanku. Tapi ternyata aku salah. Orang-orang yang sudah digilakan oleh uang, bisa melakukan apa saja bahkan mencelakai saudara kandungnya sendiri. Miris."Dion, Sasty, apa-apaan kalian ini? Kerjaannya ribut terus. Dasar berandal. Lepasin Kakakmu, Dion. Kamu mau punya kakak yang kakinya cacat, iya? Siapa yang mau nikah sama dia nanti." Ibu menarik-narik kaos oblong Dion dengan berbagai umpatan keluar dari bibirnya."Kak Sasty nggak mau ngasih uangnya, Bu! Bikin naik darah aja dia," balasnya tak mau disalahkan."Sasty, kamu ini kenapa sih jadi pelit gini, heran Ibu. Dan kamu Dion, ambil tuh uangny

    Terakhir Diperbarui : 2023-07-21
  • Watak Asli Keluargaku ketika Aku Sakit   Bab 7

    Bab 7Ponselku berkedip beberapa kali, nama Dika tercetak di sana. Kusambar ponsel kemudian mendekatkannya ke arah telinga. Tumben di jam kantor seperti ini Dika menghubungi. Tiba-tiba saja entah kenapa perasaanku tidak enak."Ya, Dik. Apa kamu ketinggalan sesuatu?" tanyaku."Eum, nggak, sih. Tapi …." Ragu-ragu Dika bicara."Ada apaan sih, kok malah diem?!""Ibumu datang ke kantor, Sas. Sengaja menemuiku untuk mencarimu. Ketika kukatakan kamu belum masuk kerja karena kakimu cedera, Ibumu bersimpuh di depan para karyawan. Dia juga menjelek-jelekkanmu. Imbasnya, Pak Anton yang melihat itu langsung membawanya ke ruangan dan memberikan sejumlah uang.""Ya ampun Ibu, bisa-bisanya dia datang ke kantor," ucapku geram. Aku tak sangka ibu akan melakukan hal nekat sejauh itu. Sejak minggat aku memang memblokir nomor orang rumah, hingga baik Dion maupun Sinta tidak bisa menghubungiku. Siapa sangka Ibu malah bertindak nekat."Lalu sekarang bagaimana, apa Ibu masih ada di sana?" tanyaku penasara

    Terakhir Diperbarui : 2023-07-21
  • Watak Asli Keluargaku ketika Aku Sakit   Bab 8

    Bab 8"Kamu udah siap?" tanya Dika begitu aku keluar dari kamar kos. "Udah, yuk." Pria itu tersenyum simpul dan membawaku ke parkiran. Dika tampak telaten membantuku menuruni satu persatu tangga, tidak peduli meskipun beberapa penghuni lain yang berlalu lalang kerap melirik aneh ke arahku.Sampai di pinggir jalan, mobil yang dipesan oleh Dika datang. Kami langsung pergi ke rumah sakit untuk kontrol sore itu. Mengganti perban sekaligus mengecek keadaan kaki di bagian dalam."Lumayan bagus. Tapi masih butuh beberapa minggu lagi untuk bisa berdiri normal. Pastikan jangan terkena air dan jangan terlalu dipaksa berjalan." Penjelasan dari dokter membuatku lega. Setelah menyelesaikan administrasi dan mengambil obat, Dika membawaku ke kantin dekat rumah sakit. Memesan beberapa makanan, lalu menikmatinya sambil sesekali bercanda."Kakak ada di sini rupanya!" Aku dan Dika sontak menoleh. Dia lagi.Entah dari mana datangnya hingga Dion tiba-tiba saja ada di sini. Kuperhatikan dengan malas pe

    Terakhir Diperbarui : 2023-07-21
  • Watak Asli Keluargaku ketika Aku Sakit   Bab 9

    Bab 9Otot-ototku terasa lemas dan tak bertulang melihat pemandangan miris di depanku. Teganya Dion melakukan hal ini. Satu-satunya sumber mata pencaharian yang kusediakan untuknya, malah dia sia-siakan begitu saja."Padahal dua minggu yang lalu saat aku datang bareng temanku, tempat ini baik-baik saja, Sas. Meski ya nggak banyak stok baju yang dijual. Lalu kenapa sekarang jadi begini?" Dika yang berdiri menopang tubuhku pun merasa heran. Aku menggeleng lemah. Bukan hanya dia yang heran, aku lebih dari itu tentu saja. Aku sengaja mengarahkan Dion dengan membuka usaha untuk menghidupi keluarga dari hasil penjualannya. Tapi ternyata, nggak ada gunanya jika di empunya nggak berniat maju. Tak ingin dirundung kesedihan terlalu lama akhirnya aku memilih kembali ke dalam mobil, lalu pulang sambil memikirkan rencana selanjutnya.Tidak. Mereka tak bisa dibiarkan. Ibu, Dion dan Sinta mereka benar-benar menguras pikiranku. Jika seperti ini caranya, bahkan sampai aku membungkuk tua dengan ra

    Terakhir Diperbarui : 2023-07-21

Bab terbaru

  • Watak Asli Keluargaku ketika Aku Sakit   Bab 35 Ending

    Bab 35"Tentu saja tentang pertanyaanku waktu itu. Kurasa sepertinya sudah cukup waktu yang kuberikan padamu. Sasty, jadi gimana jawabannya. Aku nungguin kamu selama 8 bulan ini dengan harap-harap cemas, lho." Ibas terus mendesak jawaban atas permintaannya waktu itu. Sesekali dia melirik, namun selebihnya berpandangan ke depan mengingat jalanan sore ini sedikit macet dan Ibas harus tetap mengemudi dengan aman."Apa harus aku jawab sekarang, ya?" Ibas terkekeh sambil menyentuh ujung jilbabku."Kalau nggak sekarang, kapan lagi? Masa' aku harus menunggu sampai 2 atau 3 tahun lagi. Bisa keburu putih rambutku," ujarnya setengah bercanda. "Kita cari tempat yang enak buat ngobrol," kata Ibas lagi.Aku mengalihkan pandangan pada jalanan yang dilewati oleh kendaraan ini, kemudian mobil terus melewati jalan-jalan yang dikelilingi gunung dan lembah, sebelum akhirnya kendaraan itu membawa kami menepi.Ibas memarkirkan mobil di tepi jalan, lalu mengajakku turun kemudian berjalan menyusuri panta

  • Watak Asli Keluargaku ketika Aku Sakit   Bab 34

    Bab 34"Dari mana kamu? Kenapa sampai sore begini baru pulang?!" Mia langsung menatap suaminya dengan tatapan nyalang dan penuh rasa curiga. Wanita yang pura-pura hamil demi untuk dinikahi Dika itu, selalu saja cemburuan dan curiga manakala suaminya berada di luar rumah."Apa kau tidak lihat keadaanku?" tanya Dika sambil memperlihatkan keadaan dirinya; yang selain lusuh terdapat bercak darah di bagian perut dan juga pergelangan tangannya."Apa yang terjadi padamu?" tanyanya dengan intonasi suara sedikit melembut. Sejak awal mereka menikah, keduanya tidak pernah akur, terlebih setelah borok Mia ketahuan oleh Dika."Seseorang masuk rumah sakit tepat di depan mataku. Dan aku merasa bertanggung jawab hingga mengantarnya ke sana dan menunggunya hingga beberapa jam. Apa jawabanku ini cukup puas untuk membuatmu tenang?!" ujar Dika lagi sambil melepas jaket dan kaos, yang kemudian melemparnya ke keranjang cucian dan masuk ke dalam kamar mandi.Sedikit percaya dengan ucapan Dika, tapi wanit

  • Watak Asli Keluargaku ketika Aku Sakit   Bab 33

    Bab 33"Kalian benar-benar keterlaluan!" hardik Dika sambil membopong Isma dan menyetop mobil yang lewat. Dia melempar kunci motor miliknya berharap Dion agar ikut menyusul.Seseorang turun dari kendaraan hitam dan terkejut saat Dika meminta bantuan."Ada apa ini?" tanyanya melihat wanita hamil itu sudah bersimbah darah."Tolong antar kami ke rumah sakit," jawab Dika dengan panik. Pria itu kemudian segera membukakan pintu mobil agar Dika dan wanita tersebut bisa masuk. Tak lama kemudian, kendaraan hitam itu segera melaju membelah jalanan kota menuju ke rumah sakit."Bagaimana ini, Dion? Dia pendarahan dan sudah pasti keguguran," ujar Erna dengan cemas sambil menatap mobil yang perlahan menjauh. "Tenang aja, Bu. Aku yakin Isma nggak akan apa-apa," jawab Dion padahal hatinya tak kalah cemas.Pria itu bukan mencemaskan Isma, tapi takut andaikan Raka dan keluarganya kembali menyerang dirinya, dan mungkin saja kali ini membuat nyawanya melayang setelah menyakiti adiknya."Ya udah, cepat k

  • Watak Asli Keluargaku ketika Aku Sakit   Bab 32

    Bab 32"Oh, Bapak sudah tahu rupanya. Syukurlah, jadi saya tidak perlu repot-repot menjelaskannya lagi pada bapak," balasku setelah memaksa lepas dari pelukannya."Kenapa kau lakukan hal ini padaku, Sasty? Kau sengaja ingin menghindariku, menghindari keluargamu dan keluargaku?" Bertubi-tubi Ibas bertanya yang kutanggapi dengan santai."Jangan salah paham, Pak Ibas. Banyak hal yang sudah saya pikirkan matang-matang dan inilah pilihan saya," jawabku berharap dia mengerti dan menghargai keputusanku untuk pergi."Dengar, Sasty, aku sudah menjelaskan kalau kita sebaiknya menikah saja. Urusan mereka, aku akan turut bertanggung jawab sepenuhnya. Uang yang kuhasilkan lebih dari cukup, hingga kamu tidak perlu menanggungnya sendirian." Panjang lebar Ibas berkata, tapi sama sekali tidak membuatku iba atau terharu."Terima kasih, aku menghargai niat baik Bapak. Tapi itu bukan solusi untuk semuanya. Bapak harus tahu, memang sudah saatnya aku meninggalkan mereka. Lagi pula aku butuh suasana yang b

  • Watak Asli Keluargaku ketika Aku Sakit   Bab 31

    Bab 31"Kenapa kau datang kemari dengan membawa para preman ini? Dasar perempuan kepa rat, tega-teganya kau membuat Pakde terluka!!" Dion balik menyerangku dengan kata-katanya. Namun aku tidak gentar. Para debt kolektor yang kuajak mendatangi rumah Ibu, menjadi tameng untukku."Kenapa memangnya, bukankah seharusnya kau juga turut membantu ibumu untuk melunasi hutangnya? Lalu kenapa kau malah menyerahkan semuanya padaku, dasar pria tidak berguna!!' ucapku kesal.Apa dia lupa, wanita yang disebutnya keparat ini adalah orang yang didatanginya kemarin pagi, saat hendak memberondong masuk ke dalam rumahku."Kau benar, Mbak. Adikmu yang tidak berguna ini malah memanfaatkanku juga!!" sambar Isma tanpa kuminta. Entah apa maksudnya itu, aku tak tahu. "Sudah, sudah, tidak usah diperpanjang. Sebaiknya sekarang cari solusi. Terutama Anda Pak Harun dan Bu Erna. Lunasi semua hutang-hutangnya, agar kami tidak perlu mendatangi kalian dengan cara kekerasan seperti ini." Pria berjaket kulit yang ber

  • Watak Asli Keluargaku ketika Aku Sakit   Bab 30

    Bab 30"Ok, jika itu keputusanmu, kebetulan kantor cabang di daerah Surabaya tengah membutuhkan manajer lapangan yang cekatan dan disiplin sepertimu. Ini masih berupa tawaran, jika kamu setuju, dua hari dari sekarang kamu bisa mulai bekerja di sana." Bu Sonia menjelaskan lebih lanjut. "Ya ampun, Bu, serius?" Aku tersenyum dengan mata berkaca-kaca saat kulihat Bu Sonia mengangguk yakin."Tentu saja, Sasty. Masa' untuk berita sebesar ini saya bohong. Tapi ingat, masa percobaannya dua minggu. Kamu bisa survey dulu ke sana, jika dalam dua minggu itu kamu tidak betah dan merasa jika di sana tidak seperti yang kamu pikirkan, maka kamu masih bisa kembali lagi ke kantor pusat," ujarnya lagi. Aku cukup senang dengan tawaran dari Bu Sonia dan menanggapinya dengan antusias.Yes, setelah memikirkan berkali-kali akhirnya benar-benar keputusan ini yang akan kutempuh sekarang. Aku butuh tempat dan kehidupan yang baru untuk memulai segalanya dari awal.Bismillah ….Pembicaraan dengan Bu Sonia tadi s

  • Watak Asli Keluargaku ketika Aku Sakit   Bab 29

    Bab 29Segera kubereskan berkas-berkas yang bertumpuk di atas meja, kebetulan jam kerja baru saja usai. Seharian ini tidak ada yang mengganggu. Ponsel kunonaktifkan agar tidak ada telepon nyasar yang meminta sedekah dari para benalu. Pun tadi siang aku sengaja tidak pergi ke kantin, setelah sekalian memesan makanan online dengan yang lain.Kalau dihitung dengan jari, pertemuan Ibu dengan dua pria di resto waktu itu, maka hari ini jatuh tempo di mana Ibu harus membayar sebagian besar utangnya. Makanya ponselku aman karena mati.Kuhembuskan nafas sambil meregangkan otot-ototku yang terasa kaku. Di depan pintu, Dika sudah menunggu dengan senyum menghias di bibirnya."Yuk, pergi sekarang," ajaknya sambil berjalan bersisian denganku."Ke mana kita sore ini?" Aku bertanya sambil menyampirkan tas ke bahu. "Nyari tempat nongki. Udah lama kita nggak pergi bersama.""Baiklah sesekali kurasa nggak apa-apa. Semoga nggak ada orang yang motret terus laporin ke istrimu."Dika mengangkat bahu cue

  • Watak Asli Keluargaku ketika Aku Sakit   Bab 28

    Bab 28"Mau apa kamu kemari?" sergahku. Saat Dion ingin masuk ke dalam rumah, segera kutahan badannya dan mendorongnya dengan kasar. Pria itu hampir terjengkang ke belakang dengan wajah yang memerah, setelah mendapat perlakuan kasar dariku.Biar dia tahu siapa sekarang kakaknya ini. Wanita bodoh yang berubah menjadi kasar akibat perlakuan mereka sebelumnya. "Kenapa Kakak kasar padaku? Awas, aku mau masuk!" Dion tidak menggubris pandanganku yang semakin menajam badannya."Siapa yang menyuruhmu masuk ke rumahku? Pergi kalau tidak ingin kuteriaki maling!" Dion mendecih sinis. Dia melihat penampilanku dari atas hingga ke bawah. Lalu senyum merendahkan tersungging di bibirnya. Senyum yang sama saat dia berhasil mengambil uang tunjangan ketika aku sakit."Mentang- mentang sudah keluar dari rumah, sepertinya banyak sekali orang yang mempengaruhi Kakak hingga melepaskan tanggung jawab dari Ibu dan kami berdua." Dion mendecih. Apa? Aku ingin terbahak mendengar perkataannya."Tanggung j

  • Watak Asli Keluargaku ketika Aku Sakit   Bab 27

    Bab 27"Anda jangan khawatir, urusan hutang piutang keluarga saya itu bukan urusan Anda maupun urusan Ibas. Lagipula saya tidak tertarik untuk mengambil hati putra Anda. Sebaiknya Anda cari tahu lebih dulu tentang hubungan kami yang tidak lebih dari sekedar atasan dan bawahan! Permisi!"Aku berbalik setelah puas mematahkan argumen wanita itu. Tak memperdulikan meskipun wanita itu menggeram marah. Segera kubanting pintu dan keluar dari rumah mewah yang penghuninya sangat sombong dan dingin itu."Sas, Sasty! Tunggu!" Ibas menarik tanganku hingga aku terpaksa berbalik menatapnya marah."Kenapa Anda membawa saya ke sini hanya untuk dipermalukan, hah? Apakah Anda juga berpikir kalau saya ingin menjerat Anda dan menjadikanmu sebagai suamiku, lalu setelahnya saya akan menjadikan Anda mesin ATM untuk membayar hutang-hutang Ibu saya?! Jika iya, Anda keliru Pak Ibas! Saya tidak membutuhkan Anda. Bahkan saya tidak ingin menjalin hubungan lebih serius dari sekedar atasan dan bawahan!! Camka

DMCA.com Protection Status