“Siapa kamu?” tanyaku lemah.
“Oh, Nyonya Adina. Anda sudah bangun.”
“Bagaimana kau bisa tahu namaku?”
Tubuhku terasa ngilu, kepalaku berdenyut dan pandanganku berkunang-kunang. Ada rasa nyeri di tangan kiriku. Saat aku mengangkatnya, ternyata tanganku terhubung dengan sebuah selang infus. Baru kusadari, bahwa aku sedang terbaring di rumah sakit. Aku melihat sosok pria duduk di sofa yang terletak tidak jauh dari kaki ranjang.
“Oh, maaf. Saya terpaksa membuka tas dan dompat anda untuk menemukan identitas anda,” pria itu berjalan mendekati ranjang.
“Apa yang terjadi?” aku semakin linglung.
“Mobil anda menabrak mobil saya dengan sangat keras. Balon penyelamat di mobil gagal mengembang sehingga kepala anda terbentur cukup keras.”
Aku baru mulai mengingat semuanya. Saat itu tentu saja aku sedang dalam perjalanan kembali dari hotel tempat Erina bekerja menuju ke rumah. Setelah kejadian menyakitkan yang kulihat, ternyata aku tidak sekuat yang kuinginkan.
Kalutnya pikiran membuatku hilang kendali dan tanpa sadar membahayakan diriku sendiri. Beruntung aku masih bernyawa. Ingatanku, langsung tertuju pada Anaya. Jika aku sampai mati, entah apa yang akan terjadi pada Anaya.
Ah! Segera saja kubuang jauh-jauh pikiran menyedihkan itu. Dalam kecelakaan itu, jelas memang aku yang salah.
“Maafkan saya, Tuan. Saya, tidak dalam kondisi baik. Apakah anda baik-baik saja?”
“Ya saya, baik-baik saja. Bagian depan Mobil anda rusak cukup parah dan bagian belakang mobil saya juga sama parahnya.”
“Ah, sekali lagi maaf. Saya akan mengganti semua kerugian anda.”
“Tenang saja, Nyonya. Kita bisa bicarakan itu nanti. Penting sekarang anda segera pulih. Oh, ya, kami mencoba mencari keluarga anda yang bisa hubungi. Aku tidak bisa membuka ponselmu yang dikunci dengan sandi. Dokter bilang anda hanya hilang kesadaran sementara dan akan segera sadar, jadi saya putuskan untuk menunggu.”
Keluarga, siapa yang akan kuhubungi sekarang. Mas Fattan sebagai suami dan orang yang bertanggung jawab atas diriku, pasti masih bersama Kalila sekarang. Orang tuaku pun sudah tidak ada. Satu-satunya yang mungkin bisa kuhubungi adalah kakakku.
Kepalaku semakin berdenyut saat memikirkan untuk bertemu dengannya. Kemungkinan terbesar yang terjadi, aku pasti segera mencurahkan semuanya saat bertemu dengannya. Tapi, saat ini aku tidak punya pilihan. Hanya Kak Zahra yang bisa menolongku.
“Tolong, berikan ponselku. Aku akan menghubungi Kakakku.”
“Tentu,”
Pria itu berdiri dan menuju meja yang ada di sudut ruangan. Aku mengamati pria itu, usianya sekitar tiga puluhan. Rambutnya coklat gelap senada dengan warna matanya. Dia tampaknya bukan orang asli Indonesia. Aksen bicaranya sedikit terbata. Wajahnya pun sedikit mirip dengan orang Eropa.
Penampilannya menunjukkan bahwa dia seorang eksekutif muda. Dia memakai baju kantoran resmi lengkah dengan jasnya. Aku segera mengalihkan pandangan, tidak ingin merekam lebih banyak tentang pria itu dalam ingatan.
“Ini tas anda,” ujarnya sambil mengulurkan tas Louis Vuiton milikku.
“Terima kasih,” jawabku sambil berusaha untuk duduk.
Dengan cekatan pria itu berusaha membantuku. Aroma wangi parfumnya yang khas bak aroma langit biru yang membawa keteduhan. Hidungku seakan tiba-tiba mencandu dan tidak ingin kehilangan aroma itu.
Sekali lagi, aku segera mengalihkan perhatian.
“Terima kasih, Tuan.”
“Tolong, bisakah kita berhenti terlalu resmi? Namaku Aslan. Maaf terlambat untuk memperkenalkan diri.”
“Oh, ya, Aslan. Aku Adina.”
Pria itu tersenyum. Melihat senyumnya, aku merasa tenggelam. Pesona dan sensasi yang sulit untuk diterjemahkan dalam kata. Kombinasi wajah tampan, mata coklat yang teduh dan senyum itu, bagai magnet yang seolah mampu menarik seluruh dunia untuk berada dalam kekuasaaannya.
Entah bagaimana, aku menjadi begitu gugup dan tegang. Sambil menguatkan hati, aku mengambil ponsel dan menghubungi kakakku.
“Halo Kak,”
“Adina! Di mana kau?! Apa yang terjadi?! Sejak tadi kami berusaha menghubungimu tapi, kau sama sekali tidak mengangkat panggilan.”
Suara Kak Zahra terdengar panik. Dia pasti sangat mencemaskan aku. Aku adalah satu-satunya saudara kandungnya. Orang tua kami memang hanya memiliki dua anak, kakakku anak pertama dan aku sebagai anak bungsunya. Setelah kepergian Abi dan dua tahun kemudian kepergian Umi, tinggalah kami berdua. Kami saling menjaga dan saling memperhatikan satu sama lain.
“Iya, Kak. Maaf, aku…”
“Apa yang terjadi dengan Kalila?! Dia pulang dalam keadaan menangis dan mengatakan bahwa itu semua karenamu!”
Seperti ada bom yang meledak di kepalaku. Aku bahkan masih mencari cara untuk menyampaikan kebusukan Kalila dan suamiku. Setidaknya, aku tidak ingin membuat kakakku terlalu bersedih dan kecewa karena perbuatan putrinya.
Tapi sekarang, Kak Zahra justru sudah mendapatkan entah informasi apa dari Kalila. Suara panik yang kupikir kekhawatiran rupanya adalah sebuah kemarahan.
“Kak, aku perlu bicara langsung denganmu. Kau harus tahu apa yang dilakukan oleh Kalila, Kak.”
“Memang! Kau memang harus menjelaskan padaku tentang apa yang kau lakukan pada Kalila! Cepatlah ke rumah! Kami menunggmu. Mas Hasyim tidak akan senang mengetahui semua ini!”
Kakakku begitu saja mematikan sambungan telepon. Dia bahkan tidak tahu bahwa aku sedang terbaring di rumah sakit akibat kecelakaan. Air mata begitu saja turun dari sudut mataku. Kesedihan ini tidak ingin kutahan lagi, tidak akan kutahan lagi.
Aslan melihatku tanpa mengucapkan sepatah kata. Dia pasti terlalu bingung karena aku sama sekali tidak menyinggung tentang kecelakaan itu saat berbicara dengan Kak Zahra di telepon tadi. Tiba-tiba ponsel Aslan berdering.
“Halo. Oh ya, katakan pada mereka aku sedikit terlambat. Segera aku menuju ke sana,” ucapnya entah pada siapa.
Lalu dia mengembalikan ponselnya ke saku.
“Adina, aku harus kembali ke kantor. Rekan bisnisku sedang menunggu untuk sebuah meeting yang sangat penting. Menurut dokter, harusnya tidak ada luka serius karena kecelakaan itu. Setelah memastikan hasil pemeriksaan dan observasi, jika tidak ada masalah, nanti sore kau bisa pulang.”
“Ya, Aslan. Kau bisa pergi, aku baik-baik saja.”
“Nanti sore aku akan datang lagi dan mengantarmu pulang jika memang tidak ada keluarga yang bisa kau hubungi.”
“Tidak, mereka akan datang menjemputku. Terima kasih banyak, sudah membawaku ke rumah sakit. Tentang perbaikan mobilmu….”
“Sudahlah, tidak perlu kau pikirkan. Aku permisi ya.”
Belum lagi Aslan mencapai pintu dia berhenti. Tanpa menoleh, dia kembali mengucapkan sebaris kata yang membuatku mengerutkan dahi.
“Ada orang-orang yang layak dipertahankan, tapi ada juga orang yang sudah selayaknya dibuang.”
Aku tidak mengerti apa maksud perkataan Aslan. Ketika dia keluar dari pintu, pikiranku kembali pada masalahku. Sore itu, setelah semua pemeriksaan, dokter memperbolehkan aku pulang. Aku langsung menuju ke rumah Kak Zahra.
“Kalila mungkin salah, tapi sebagai tantenya dan wanita yang lebih dewasa, kau kan bisa menyelesaikan dengan cara yang bijaksana. Tidak perlu mempermalukan dan menyakitinya di depan banyak orang!”
Rentetan kata yang tak terduga keluar dari mulut Kak Zahra. Aku mendengarnya dengan wajah terkesima. Apa yang ada di kepala Kak Zahra? Sampai-sampai dia tidak bisa bahwa dalam masalah ini akulah korbannya. Suaranya menggema memenuhi setiap sudut rumah dengan interior khas timur tengah. Rumah yang sangat mewah.
“Kak, aku ini seorang istri, tentu saja aku merasa marah saat melihat suamiku satu ranjang dengan wanita lain. Apalagi wanita itu adalah Kalila. Keponakan yang pernah kurawat dan kujaga bagai anak sendiri. Reaksi spontanku adalah hal yang wajar. Kenapa Kakak justru tidak fokus pada masalah yang sebenarnya. Kalila tidur dengan suamiku, Kak.”
Raut wajah Kak Zahra menjadi semakin kelam. Sementara suaminya, Bang Hisyam duduk diam di kursi yang lainnya. Tampaknya dia sedang menunggu kesempatan untuk bicara. Dia begitu saja membiarkan istrinya melampiaskan semua kekesalan padaku.
Aku menatap keduanya bersamaan, berharap sebagai seorang pria, Bang Hisyam lebih bijaksana menyikapi keadaan yang ada. Namun, kata-katanya justru membuatku semakin kehilangan tenaga.
“Kalau suamimu sampai terpikat oleh wanita lain artinya ada yang salah dengan dirimu, Adina. Beruntung wanita itu adalah Kalila. Bagaimana pun dia masih keluargamu. Bisa kau bayangkan jika itu wanita lain, mungkin kau sudah kehilangan segalanya sekarang.”
Apa?! Apa aku tidak salah dengar? Beruntung? Kalila menjadi kekasih gelap suamiku, dan itu sebuah keberuntungan? Apa yang sedang merasuki Kakak dan Kakak iparku ini.
“Kak, apakah kalian tidak merasa malu karena gagal mengajarkan moral pada putrimu? Kenapa kalian justru melemparkan kesalahan padaku?”
Kak Zahra terlihat menarik nafas panjang. Sementara suaminya duduk tenang melipat tangan di dada. Sebagai seorang pria, Mas Hisyam pasti akan lebih bijak. Tapi, kata-kata yang keluar justru seperti petir yang menyambar.
“Dalam hal ini, satu-satunya kesalahan Kalila adalah karena Fattan suamimu. Untuk hal lain, semua masih bisa dianggap wajar. Adina, ini adalah abad dua satu. Semua orang bebas dengan pilihan mereka.”
Lho! Kok gitu!
“Bagaimana ini menjadi hal yang biasa? Kalila seorang gadis yang belum menikah dan berhubungan badan dengan seorang pria. Ini adalah kesalahan dan aib, Kak.” Emosiku nyaris tidak bisa dibendung lagi. “Kalila ini memang sudah berada di dalam pergaulan internasional. Hal seperti bukan lagi sesuatu yang bisa kami kendalikan.” Kak Zahra menambahkan. Untuk berhubungan badan dengan seorang pria? Kami adalah keluarga keturunan Arab Indonesia. Abi dan Umi mengajarkan kami untuk memegang teguh norma agama dan adat ketimuran. Pergaulan bebas bukan hal yang wajar untuk terjadi di keluarga kami. Entah sejak kapan keluarga kakakku rupanya sudah menganut tradisi Eropa. Kalila yang baru melewati usia dua puluh tahun itu, bahkan telah hidup bebas tanpa batas. Tapi, sudahlah jika mereka memang memiliki cara hidup sendiri. Itu sama sekali bukan urusanku. Tubuhku ini rasanya terlalu lelah. Rasa nyeri akibat kecelakaan tadi siang masih juga kurasakan. Aku tidak punya energi lagi untuk melayani debat
“Aduh… Maaf deh… Siapa donk….” “Aku Marisa!” “Marisa! Apa kabar? Lama sekali tidak bertemu!” “Iya, habis kamu sih bertapa melulu!” ujar Marisa. Aku tersenyum mendengar perkataan Marisa. Senyum sinis untuk meledek diriku sendiri. Semua teman-temanku tahu, bahwa sejak aku menikah, aku bagai ditelan bumi. Hanya sibuk mengurus anak dan suami. Jika sesekali keluar rumah atau berlibur, pasti bersama Mas Fattan dan Anaya. Tidak pernah terselip dalam agenda untuk bertemu dengan teman-temanku. Mas Fattan tidak suka jika aku terlalu banyak kegiatan di luar rumah. Sebagai istri aku tidak pernah membantah kata-kata suamiku. Walau aku adalah alumni S2 salah satu universitas terkemuka di Madinah, namun ketika aku menikah, semua itu aku tanggalkan begitu saja. Suara Marisa di telepon terdengar penuh semangat saat dia menyampaikan maksudnya menghubungiku. “Adina, aku ingin menawarkanmu sesuatu. Sekarang aku bekerja di sekolah International milik seorang warga negara Turki.” “Wah, keren betul!”
“Siapa yang harusnya malu, Mas? Sebagai istri yang telah dikhianati, apakah aku tidak berhak marah?” “Kalila itu hanya anak-anak, Adina. Dia mungkin melakukan kesalahan menurutmu. Tapi, menurut Kalila itu mungkin hal yang biasa.” Aku menoleh dan memandang wajah Mas Fattan. Bukan, bukan karena aku mencintainya. Aku hanya sedang berusaha menemukan ekspresi bercanda atau salah bicara. Keduanya sama sekali tidak kutemukan di wajah suamiku. “Anak-anak katamu? Perempuan yang sudah mengerti hubungan suami istri. Tahu caranya memancing dan memuaskan hasrat seorang pria, bukan anak-anak lagi. Dia adalah wanita dewasa. Mungkin Kalila sudah biasa tidur dengan berbagai pria karena pemikiran modern yang dia banggakan itu, tapi kenapa harus kamu Mas? Kenapa harus suamiku? Suami dari adik kandung ibunya sendiri?” rentetan pertanyaan yang merupakan ungkapan kekesalan. Mendengar nada bicaraku yang mulai meninggi, Mas Fattan memutuskan untuk diam. Dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal sambil teru
“Adina, aku tahu ini tidak mudah. Tapi, anak di kandungan Kalila adalah anakku.” Dia menghentikan kata-katanya dan berjalan mendekati Kalila. Lalu gadis itu bergelayut manja di lengan suamiku. Di sini, di depan mataku. “Aku harus bertanggung jawab atas anak ini. Kau tentu tidak mau jika kehamilan Kalila menjadi aib bagi keluargamu,” sambungnya. “Apa maksudmu, Mas? Katakan dengan jelas.” Walau aku meminta kejelasan namun hatiku bergetar hebat. Aku tidak siap dengan jawaban yang akan Mas Fattan berikan. Senyum di wajah Kak Zahra dan Kalila, sama sekali tidak berkurang walau mereka melihat air mataku mulai berjatuhan. Bang Hasyim kembali duduk untuk menunggu jawaban tegas dari Mas Fattan. “Aku akan menikahi Kalila. Dia akan menjadi istri keduaku.” Seketika jiwaku hancur berserakan. Duniaku runtuh dan aku merasa tulang-tulang di tubuhku tidak mampu lagi menyangga berat badan. Kepalaku berkunang-kunang, aku merasa menjadi pecundang di tengah mereka semua. Tidak ada yang berpihak padaku
“Din, aku baru saja menghubungi pemilik sekolah International itu dan dia meminta sekilas datamu. Kuberikan saja fotomu, aku bilang surat lamaran dan CV akan menyusul kemudian. Lalu kuceritakan juga rencanamu untuk tinggal di rumahku, dia justru menawarkanmu untuk tinggal di rumahnya yang ada di dalam komplek sekolah.” “Di rumahnya? Maksudnya tinggal bersama pemilik sekolah itu?” “Bukan, pemilik sekolah itu tinggal di apartement. Dia memiliki sebuah rumah di dalam komplek sekolah. Rumah itu hanya sesekali dia singgahi jika sedang melakukan kunjungan. Semua perabotan sudah ada di sana. Jadi kau bisa menempati dengan nyaman’ Entah kenapa aku merasa pertolongan Allah begitu cepatnya datang. Seolah DIA mendukung keputusanku dengan memberikan kemudahan. Aku yang tadinya limbung setelah mendengar keputusan Mas Fattan, sekarang lebih kuat. Aku percaya Allah tidak akan membiarkan aku dan Anaya sengsara. “Adina! Kenapa kau diam saja? Mau nggak? Atau kau mau ke rumahku dulu? Besok baru kita
“Sejak Marissa memberikan fotomu padaku, aku sudah tahu apa yang terjadi,” ujar Aslan. “Maksudmu?” “Duduklah.” Aku memandang Aslan dengan kening berkerut. Tangan Marissa meraih pundakku dan memintaku untuk mengikuti Aslan masuk ke dalam rumah. Design rumah itu sangat eksklusif. Semua barang yang ada di sana di pilih dengan selera dan kualitas tinggi. Tirai-tirai panjang berwarna keemasan berpadu putih tinggi menjuntai sampai ke lantai. Sebagian besar dinding terbuat dari kaca. Bagian bawah rumah ini tampaknya memang diperuntukkan sebagai kantor kedua bagi Si Pemilik rumah. Sehingga hanya dengan duduk di sana, dia bisa memantau kegiatan di area universitas. “Adina, duduklah,” pinta Aslan. “Oh, iya.” Aku yang sedang berdiri termangu mengagumi keindahan rumah itu pun sedikit tergagap. Mata Aslan berpaling pada Mbak Pia yang sedang menggendong Anaya yang masih tertidur. “Di atas ada empat kamar tidur. Aku sudah meminta pelayan untuk membereskan. Salah satunya sudah disesuaikan untu
“Bagaimana kau bisa tahu? Bukankah kita baru bertemu dan kau bahkan tidak tahu siapa suamiku.” Aslan melihat tajam ke arahku. Di balik pandangannya dia berpikir aku wanita yang polos dan lugu. Aku bahkan tidak bisa menghubungkan peristiwa satu dan peristiwa lainnya. “Aku akan menjelaskan padamu, nanti. Fattan bukan orang baru bagiku,” ujar Aslan. “Maksudmu, kau sudah mengenal Mas Fattan sebelum kita bertemu?” aku semakin bingung dengan pernyataan Aslan. “Benar. Akan kujelaskan semua padamu, nanti. Aku harus pergi, kau bisa mulai merapikan barang-barangmu.” Dia berdiri dan memandang ke lantai atas. Marissa belum juga kembali setelah mengantar Anaya dan Mbak Pia ke kamar. “Jika kau sudah siap bekerja, katakan saja pada Marissa. Dia akan mengatur semua untukmu.” “Apa Marissa sudah mengatakan padamu bahwa aku tidak punya pengalaman kerja. Aku butuh waktu untuk beradaptasi.” “Aku tidak butuh penjelasan apa pun dari siapa pun. Jika kau perlu sesuatu, hubungi aku.” Bagiku, sikap Asla
“Kami bekerja dengan sistem tentang hal ini, Nyonya. Sejak El Khairi Company mulai bekerja sama dengan bank kami sebagai nasabah prioritas, sejak itu pula kami mengenal otoritas perusahaan ini adalah atas nama Tuan Fattan Hilabi.” Sebuah kabut hitam melintas di pikiranku. Tentu saja, aku sendiri yang telah setuju untuk memberikan Mas Fattan otoritas penuh menjalankan perusahaan ayahku. Setelah kami menikah, dan ayah meninggal aku telah menandatangani surat pengalihan kewenangan perusahaan. Itu artinya Mas Fattan bebas melakukan apa pun atas perusahaan dan urusan keuangannya tentu saja. “Ada yang bisa kami bantu lagi, Nyonya?” Suara customer service bank memecah lamunanku. “Oh, tidak. Terima kasih.” Tepat saat aku menutup sambungan telepon, bel pintu rumah berbunyi. Mbak Pia bergegas turun keluar dari kamar Anaya dan bersiap turun ke bawah. “Mau ke mana Mbak?” “Itu pasti pengantar makanan online, Bu.” “Kan ada pelayan lain di rumah ini.” “Oh, pelayan yang tadi itu hanya datang
“Betul, Adina. Maaf karena aku terlambat memberitahumu tentang hal ini. Atau bahkan sebenarnya aku tidak perlu memberitahumu.” Manaf tertunduk lesu. Berita kematian Vivian seperti tenggelam di telan oleh kabar yang Manaf berikan. Semua ini terjadi secara tiba-tiba. Aku bahkan tidak mengerti bagaimana seharunya berekspresi dengan semua ini. Jika aku adalah anak angkat El Khairi, maka artinya aku dan Tara sama sekali bukan saudara. Tidak ada darah yang sama diantara kami. Keesokan harinya, Maaf meninggalkan Indonesia dan kembali ke Turki. Tara tinggal di mansion yang sama denganku. Hubungan kami menjadi sangat canggung dan aneh, terutama ketika kami hanya berdua saja. Di depan Anaya, Rayyan dan Jafar semua terlihat normal. Namun saat itu hanya tentang aku dan Tara, maka kami menjadi dua orang asing yang sedang belajar saling mengenal. “Nyonya, malam ini akan ada pesta di Deluxe Building. Tuan Tara meminta anda bersiap untuk ikut bersamanya.” Harry menyampaikan pesan Tara saat aku seda
“Adina, maafkan aku. Aku sudah melakukan yang terbaik, tapi ini semua di luar kendaliku.” Kata-kata Tara semakin membuatku khawatir. Aku yakin ada hal buruk yang terjadi. “Tara, katakan dengan jelas. Jangan menganggapku terlalu lemah untuk mendengar apa pun. Aku lebih kuat dari yang kau bayangkan. Aku ingin tahu semuanya. Katakan!” Aku tidak bisa lagi menahan amarah karena Tara terlalu lama diam dan berusaha menahan tiap detik untuk berbicara “Vivian tewas tertembak.” Sebuah bom meledak di kepalaku. Ponsel di tanganku meluncur ke bawah dan mendarat di atas lantai batu taman. Tentu saja panggilan telepon dari Tara terputus. Aku membeku tanpa ekspresi. Berita ini terlalu sulit untuk diterima dan diidentifikasikan dengan kata. Dari kejauhan Harry berlari dan mendekatiku. Setelah sambungan telepon kami terputus, Tara pasti langsung menghubungi Harry. Karena itulah Harry datang untuk memastikan keadaanku baik-baik saja. Harry tertegun elihat ponselku yang hancur di atas tanah. Dia berl
“Ke tempat dimana seharusnya anda berada, Nyonya.” Harry menyahut dari kursi penumpang depan tanpa menoleh ke arahku. Aku yang duduk bersama Anaya di kursi belakang memilih diam. Anaya tertidur nyenyak dengan kepala di pangkuanku sejak kami mulai meninggalkan cluster. Aku tidak pernah meragukan Tara atau Harry. Bahkan dengan menutup mata dan tanpa memberikan detail, aku akan mengikuti mereka dengan rasa percaya. Sebuah tempat yang Harry katakan itu akhirnya adalah sebuah mansion yang berada di perbatasan Jakarta-Bogor. Sesuatu yang tidak pernah aku bayangkan bahkan dengan sebuah imajinasi tentang Adina El Khairi. Pintu gerbang mansion itu berada sekitar dua kilometer dari bangunan utama. Gerbang emas tinggi dengan penjagaan beberapa security berbadan tegap. Saat tiba di depan pintu gerbang, para penjaga mansion berlarian dan bergegas membuka pintu. Mobil yang kami naiki dan empat mobil lain di belakang kami masuk dengan lancar. Jalanan menuju ke bangunan utama adalah sebuah taman de
“Ya kita berangkat.” Aku mengangguk. Harry mengangkat tangan dan memberikan instruksi pada beberapa orang pria yang berbaju hitam di luar gerbang. Mereka masuk ke dalam rumahku dan mulai berbicara dengan para pelayan dan pengasuh. Ibu-ibu tetangga yang melihat pemandangan itu mendadak diam. Mereka tentu saja bingung karena ini adalah hal berbeda dari yang biasa mereka saksikan. Sebaliknya, Meylani justru mencibir. “Oh! Jadi memang kamu sudah berniat tidak tinggal lama ya di cluster ini. Pantas saja kamu tidak peduli dengan ketentraman cluster ini,” ujar Meylani sinis. “Iya! Bener tuh! Baguslah dia pergi. Jadi cluster kita kembali aman dan damai!” “Dia memang tidak pantas tinggal di sini.” “Itu pasti orang-orang suruhan suaminya. Dia mungkin istri kedua atau simpanan seorang pejabat.” Suara-suara terdengar di sekitar telingaku. Para wanita itu bergumam dengn opini mereka sendiri. Satu hal yang pasti, tidak ada opini baik yang kudengar di sana. Aku hanya diam dan membiarkan semuan
“Kita akan menuju ke tempat seharusnya kita berada. Tempat ini bukan tempat seharusnya kita tinggal.” Aku menggeser berdiriku dan melihat keluar jendela. Tatapanu menyapa sekitar di mana sebelumnya kami berharap banyak pada kehidupan. Mbak Pia diam. Dia bingung dengan apa yang aku katakan. Pembantuku itu selalu percaya pad keputusan apa pun yang aku buat. Dia tidak bertanya lebih banyak. Setelah mengangguk tanda mengerti, dia beranjak ke dapur. Beberapa saat kemudian, rumah kami sedikit riuh karena pengasuh Jafar dan Rayyan mulai mengemas barang-barang pribadi dua bayi itu. Belum lagi sesekali tangisan muncul dri keduanya. Aku bahkan perlu sedikit beradaptasi mendengar suara-suara yang tidak biasa aku dengar. Sejak Anaya beranjak dewasa, di rumah kami segalanya menjadi tenang. Nyaris tidak pernah terjadi keributan dan tangisan seperti yang terjadi saat ini. Aku menenangkan diri di dalam kamr setelah Anaya pulang dari sekolah dan menyelesaikan makan siangnya. Sebuah ketukan memaksa
“Banyak hal yang berjalan dan tidak bisa kita ubah.” Aku menegaskan pada Andre. Sejujurnya ini terasa seperti sedang membunuh harapan dalam diriku sendiri. Semua ini jauh lebih baik daripada terus tenggelam dalam mimpi. Harapan tentang hubungan mereka bagiku nyaris seperti hamparan pasir yang tidak ingin digenggamnya. Semakin erat aku merapatkan tangan, akan semakin banyak yang harus rela untuk kulepaskan. “Din, kita sudah jauh berjalan. Masa depan yang pernah aku bayangkan adalah bersamamu.” Andre menggenggam tanganku. Aku tersenyum dan menarik tanganku dari genggaman Andre. “Terima kasih sudah begitu percaya pada hubungan kita, Ndre. Keputusan ini aku ambil bukan murni karenamu. Ini juga tentang diriku sendiri.” “Apa maksudmu dengan tentang dirimu sendiri? Apakah kau memang tidak ingin bersamaku sejak awal? Lalu kenapa kita berdua harus membuang waktu jika kau memang tidak serius dengan semua ini sejak awal?” Andre memaksa agar arah angin berpihak padanya. Aku menggeleng ringan.
“Apakah aku perlu memberikan alasan untuk bertemu denganmu?” tanyaku. Andre tertawa kecil di seberang sambungan. “Tentu saja tidak. Aku hanya terkejut kau ingin bertemu denganku setelah keributan kemarin. Aku pikir kau akan kesal atau marah padaku. Kau bahkan tidak mempersilahkan aku masuk. Kau juga tidak menghubungiku.” Aku diam. Marah dengan Andre? Tentu saja aku marah. Aku bahkan tidak ingin lagi berada di dalam kondisi di mana aku tidak punya kekuatan untuk mengendalikannya. Dua jam kemudian aku sudah duduk di sebuah café dan Andre ada di depanku. Aku lebih tenang meninggalkan rumah karena dua keponakan Mbak Pia sudah datang untuk membantunya mengasuh Jafar dan Rayyan. Seorang security sengaja ditempatkan di rumahku oleh Harry. Pria yang memakai baju security itu sebenarnya adalah salah satu bodyguard Tara dibawah kepemimpinan Harry. Kadang aku merasa takjub dengan hal-hal kecil yang seolah sudah disiapkan oleh Tara. Harry tidak mungkin mengambil keputusan tanpa perintah dari T
“Tuan Tara memberikan alamat ini padaku. Tolong buka pintunya, Tuan Muda Rayyan perlu istirahat segera.” Aku yakin itu adalah orang suruhan Harry yang membawa Rayyan. Ternyata Tara berhasil mengeluarkan Rayyan dari Singapura. Aku bergegas membuka pintu. Saat pintu terbuka seukuran tubuh, aku mundur ke belakang dengan cepat karena pria itu menerobos masuk. Seorang bayi laki-laki tertidur pulas di pelukannya. Pria dengan rambut coklat gelap dan tubuh tegap itu berdiri dengan wajah tegang. Beberapa kali dia menoleh ke belakang seolah sedang cemas jika sesuatu mengikutinya. Aku keluar dari pintu gerbang, menoleh ke kanan dan ke kiri. Entah apa yang aku cari. Aku hanya memastikan semuanya aman. “Kau tidak membawa mobil?” tanyaku ketika masuk kembali ke dalam gerbang. Pria itu menggeleng. Lalu dia melihat ke arah pintu gerbang yang terbuka. “Tolong cepat tutup pintunya,” ujar pria itu. Aku mengangguk dan segera menutup pintu gerbang. Tidak lupa aku kembali memasang gembok pengaman. Wa
“Kembali padamu? Apa kau serius dengan kata-katamu?” tanyaku menyelidik. Segumpal harapan seolah berhasil Fattan dapatkan. Dia terdengar antusias ketika menjawab pertanyaanku. “Tentu saja, aku serius. Aku sangat serius. Aku memang bukan pria yang baik untukmu, tapi aku akan berusaha memperbaiki semuanya.” Jantungku ingin meledak karena tawa yang tertahan di dalam sana. Hari ini benar-benar luar biasa. Begitu banyak kejutan dan kecemasan yang datang bersamaan. Bersama dengan senyum, butiran air mata berjatuhan di pipiku. “Kau bodoh, Fattan!” Aku mengucapkan dengan nada ketus yang pasti menusuk telinga siapa pun yang mendengarnya. “Kau pikir aku selugu dulu ketika masih menjadi istrimu?” “Apa maksudmu, Din? Buka pintunya. Biarkan aku masuk dan mari kita bicara.” Fattan memohon. “Tidak! Jika kau bilang kau bukanlah pria baik, lalu untuk apa aku harus memberikan lagi hidup, waktu dan hatiku untuk pria yang tidak baik? Lalu kau berjanji untuk memperbaiki diri. Kalau kau tidak berhasil