“Aduh… Maaf deh… Siapa donk….”
“Aku Marisa!”
“Marisa! Apa kabar? Lama sekali tidak bertemu!”
“Iya, habis kamu sih bertapa melulu!” ujar Marisa.
Aku tersenyum mendengar perkataan Marisa. Senyum sinis untuk meledek diriku sendiri. Semua teman-temanku tahu, bahwa sejak aku menikah, aku bagai ditelan bumi. Hanya sibuk mengurus anak dan suami. Jika sesekali keluar rumah atau berlibur, pasti bersama Mas Fattan dan Anaya. Tidak pernah terselip dalam agenda untuk bertemu dengan teman-temanku.
Mas Fattan tidak suka jika aku terlalu banyak kegiatan di luar rumah. Sebagai istri aku tidak pernah membantah kata-kata suamiku. Walau aku adalah alumni S2 salah satu universitas terkemuka di Madinah, namun ketika aku menikah, semua itu aku tanggalkan begitu saja.
Suara Marisa di telepon terdengar penuh semangat saat dia menyampaikan maksudnya menghubungiku.
“Adina, aku ingin menawarkanmu sesuatu. Sekarang aku bekerja di sekolah International milik seorang warga negara Turki.”
“Wah, keren betul!”
“Iya, sayangnya aku belum menikah juga. Ah, andai saja aku bisa mendapat suami seganteng dan sekaya suamimu. Hah, sudahlah!” celoteh Marissa masih saja serenyah dulu.
Hatiku merasa kecut dengan penyataan dari Marisa. Ya, betul bagi orang lain aku adalah wanita yang sangat beruntung. Itu pula yang kurasakan setidaknya sampai tadi pagi sebelum aku memergoki Mas Fattan dan Kalila bersama di dalam kamar hotel.
Mas Fattan memiliki perusahaan kecil saat menikah denganku. Namun, saat kami menikah dan Abi mulai sakit-sakitan, dialah yang mengelola perusahaan keluargaku. Setelah Abi meninggal, semua harta miliknya diwariskan padaku. Kak Zahra menolak untuk mengambil perusahaan Abi dan hanya meminta beberapa aset berbentuk rumah. Selain dia tidak tahu cara mengelola perusahaan, suaminya juga sudah kaya dan sibuk dengan perusahaannya sendiri.
Perusahaanku berkembang pesat didalam pengelolaan Mas Fattan. Aku yang tidak tahu menahu tentang bisnis, merasa bangga dengan pencapaian suamiku. Pencapaian dan prestasinya artinya adalah pencapaian dan prestasiku. Sebuah kebanggan bagiku sebagai istri. Senaif itulah cara berpikirku saat itu.
“Aku ingin kau menjadi istri sekaligus ratu di rumah ini yang selalu ada untukku,” begitu ujar Mas Fattan dulu. Ucapan yang sekarang terasa sangat klise saat kuingat kembali.
“Bahagiaku adalah kau dan anak-anak kita, Mas.” Begitulah dulu aku menjawab permintaan Mas Fattan dengan penuh keyakinan.
Saat aku menjadi wanita yang mengabdi pada suami, ternyata di luar sana suamiku justru sibuk bersenang-senang. Fakta yang mengejutkan dan menyakitkan. Ternyata Mas Fattan sudah satu tahun menjalin hubungan dengan Kalila. Itu hanyalah data dari hotel Erina. Entah hotel lain yang ada di luar sana. Bukankah mereka sering berada di penerbangan yang sama saat keluar negeri?
“Bisa aja kamu, jadi apa tawaranmu untukku?” Aku mengalihkan perih hatiku dan kembali berbincang dengan Marissa.
“Oh, iya! Kembali pada tawaranku. Sekolah ini sedang merekrut seorang staff yang bisa berbahasa arab, inggris dan Indonesia sekaligus. Staff itu nantinya akan membimbing murid-murid yang akan sekolah ke Turki atau sebaliknya, mahasiswa Turki yang akan memperlajari budaya di Indonesia. Semacam pertukaran pelajar. Bagaimana? Apa kau tertarik? Gajinya lumayan lho dan kau bisa bepergian ke Turki secara gratis setiap kali.”
Marisa menawarkan dengan penuh antusias.
Saat ini aku sedang menghadapi masalah lain yang lebih besar. Aku tidak yakin untuk mengambil keputusan sebesar itu sekarang.
Selama ini aku tidak pernah berada di dunia kerja. Perusahaan warisan orang tuaku yang dikelola Mas Fattan pun aku tidak tahu persis berapa keuntungan dan managementnya. Aku percaya pada suamiku. Sikapnya yang baik membuatku yakin bahwa dia selalu melakukan yang terbaik untuk aku dan anakku.
Secara mental, aku belum siap menerima tawaran Marissa.
“Risa, aku sedang dalam keadaan yang sangat pelik.’
‘Hey! Kenapa suaramu terdengar begitu sedih?”
“Aku belum bisa menceritakan padamu. Tapi, terima kasih ya sudah memberikan tawaran itu. Akan kupikirkan lagi nanti.”
“Kamu perlu bantuan? Kita sudah berteman begitu lama, baru kali ini aku mendengar suaramu begitu sedih.”
“Aku akan menghubungimu lagi nanti. Maaf ya, Ris.”
“It’s ok. Jaga dirimu baik-baik, ya.”
Kuhela nafas panjang. Kepalaku penuh dengan serabut masalah yang tidak bisa kuurai satu per satu. Besok kami akan bertemu dengan Kak Zahra, Mas Hisyam dan tentu saja Kalila. Entah jalan keluar seperti apa yang bisa kami temukan.
Seadainya aku memaafkan Mas Fattan, Kalila akan tetap berada di sekitar kami. Dia adalah keponakanku. Tidak mungkin kami tidak bertemu dan memutuskan tali silaturahmi begitu saja. Jika aku memutuskan untuk berpisah darinya, lalu bagaimana dengan Anaya. Bagaimana aku bisa menghidupi diriku dan putri semata wayangku itu.
Selama ini kami terbiasa hidup mewah di bawah naungan Mas Fattan. Membayangkan hidup sendiri dan berjuang tanpa suami, terlalu menakutkan bagiku. Dengan sejuta pemikiran di dalam kepala, aku memasuki kamar Anaya.
Putriku itu rupanya sudah tertidur pulas. Mbak Pia duduk di sebelah ranjang sambil mengusap-usap tangannya. Sebaris ngilu mengisi hatiku, Anaya sungguh tidak layak menjadi korban atas semua masalah yang terjadi.
Aku mendekat ke ranjang Anaya, mengusap rambutnya yang ikal. Dia memang mewarisi bentuk fisik Mas Fattan. Seolah dia adalah bentuk lain Mas Fattan dalam versi wanita. Cantik, berkulit putih, hidung yang mandung, lucu dan menggemaskan.
“Malam ini saya akan tidur di kamar Anaya. Kamu boleh pergi.”
“Oh, iya, Bu,” jawab Mbak Pia.
Beberapa saat Mbak Pia tetap berdiri mematung di tepi ranjang Anaya. Dia melihat ke arahku dengan pandangan mata penuh rasa simpati. Aku memaksakan senyum terbit di wajahku.
“Kenapa, Mbak?”
“Apa Ibu baik-baik saja? Mau saya bawakan makanan atau minuman?”
“Saya baik-baik saja, kamu istirahat saja, ya.”
Sekilas pengasuh Anaya itu tampak mengerutkan kening. Mungkin dia heran melihat keadaanku yang kacau. Mbak Pia pasti bingung, aku yang biasa selalu cantik dan rapi, tiba-tiba muncul tanpa make up. Sekedar menggunakan baju daster dan mata sembab akibat menangis. Alih-alih meneruskan pertanyaam, Mbak Pia akhirnya keluar dari kamar Anaya.
Pagi hari setelah mengantar Anaya ke sekolah, aku dan Mas Fattan menuju ke rumah Kak Zahra. Tidak ada yang tahu badai yang sedang kami hadapi. Semua pekerjaku di rumah, tetangga dan orang tua teman-teman Anaya di sekolah melihat kami sebagai keluarga yang sangat bahagia. Semua terlihat begitu sempurna.
Aku dan Mas Fattan berada di dalam satu mobil yang sama. Mas Fattan sama sekali tidak bertanya ke mana mobilku. Setelah Anaya turun dan masuk ke sekolah, ketegangan dan kegelisahan mulai terasa.
“Jangan mempermalukan dirimu. Sebaiknya kamu bicara baik-baik saat bertemu dengan Kalila nanti.” Mas Fattan memulai pembicaraan.
Aaaarrrghhhh! Sumpah, sebel banget sama Fattan.
“Siapa yang harusnya malu, Mas? Sebagai istri yang telah dikhianati, apakah aku tidak berhak marah?” “Kalila itu hanya anak-anak, Adina. Dia mungkin melakukan kesalahan menurutmu. Tapi, menurut Kalila itu mungkin hal yang biasa.” Aku menoleh dan memandang wajah Mas Fattan. Bukan, bukan karena aku mencintainya. Aku hanya sedang berusaha menemukan ekspresi bercanda atau salah bicara. Keduanya sama sekali tidak kutemukan di wajah suamiku. “Anak-anak katamu? Perempuan yang sudah mengerti hubungan suami istri. Tahu caranya memancing dan memuaskan hasrat seorang pria, bukan anak-anak lagi. Dia adalah wanita dewasa. Mungkin Kalila sudah biasa tidur dengan berbagai pria karena pemikiran modern yang dia banggakan itu, tapi kenapa harus kamu Mas? Kenapa harus suamiku? Suami dari adik kandung ibunya sendiri?” rentetan pertanyaan yang merupakan ungkapan kekesalan. Mendengar nada bicaraku yang mulai meninggi, Mas Fattan memutuskan untuk diam. Dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal sambil teru
“Adina, aku tahu ini tidak mudah. Tapi, anak di kandungan Kalila adalah anakku.” Dia menghentikan kata-katanya dan berjalan mendekati Kalila. Lalu gadis itu bergelayut manja di lengan suamiku. Di sini, di depan mataku. “Aku harus bertanggung jawab atas anak ini. Kau tentu tidak mau jika kehamilan Kalila menjadi aib bagi keluargamu,” sambungnya. “Apa maksudmu, Mas? Katakan dengan jelas.” Walau aku meminta kejelasan namun hatiku bergetar hebat. Aku tidak siap dengan jawaban yang akan Mas Fattan berikan. Senyum di wajah Kak Zahra dan Kalila, sama sekali tidak berkurang walau mereka melihat air mataku mulai berjatuhan. Bang Hasyim kembali duduk untuk menunggu jawaban tegas dari Mas Fattan. “Aku akan menikahi Kalila. Dia akan menjadi istri keduaku.” Seketika jiwaku hancur berserakan. Duniaku runtuh dan aku merasa tulang-tulang di tubuhku tidak mampu lagi menyangga berat badan. Kepalaku berkunang-kunang, aku merasa menjadi pecundang di tengah mereka semua. Tidak ada yang berpihak padaku
“Din, aku baru saja menghubungi pemilik sekolah International itu dan dia meminta sekilas datamu. Kuberikan saja fotomu, aku bilang surat lamaran dan CV akan menyusul kemudian. Lalu kuceritakan juga rencanamu untuk tinggal di rumahku, dia justru menawarkanmu untuk tinggal di rumahnya yang ada di dalam komplek sekolah.” “Di rumahnya? Maksudnya tinggal bersama pemilik sekolah itu?” “Bukan, pemilik sekolah itu tinggal di apartement. Dia memiliki sebuah rumah di dalam komplek sekolah. Rumah itu hanya sesekali dia singgahi jika sedang melakukan kunjungan. Semua perabotan sudah ada di sana. Jadi kau bisa menempati dengan nyaman’ Entah kenapa aku merasa pertolongan Allah begitu cepatnya datang. Seolah DIA mendukung keputusanku dengan memberikan kemudahan. Aku yang tadinya limbung setelah mendengar keputusan Mas Fattan, sekarang lebih kuat. Aku percaya Allah tidak akan membiarkan aku dan Anaya sengsara. “Adina! Kenapa kau diam saja? Mau nggak? Atau kau mau ke rumahku dulu? Besok baru kita
“Sejak Marissa memberikan fotomu padaku, aku sudah tahu apa yang terjadi,” ujar Aslan. “Maksudmu?” “Duduklah.” Aku memandang Aslan dengan kening berkerut. Tangan Marissa meraih pundakku dan memintaku untuk mengikuti Aslan masuk ke dalam rumah. Design rumah itu sangat eksklusif. Semua barang yang ada di sana di pilih dengan selera dan kualitas tinggi. Tirai-tirai panjang berwarna keemasan berpadu putih tinggi menjuntai sampai ke lantai. Sebagian besar dinding terbuat dari kaca. Bagian bawah rumah ini tampaknya memang diperuntukkan sebagai kantor kedua bagi Si Pemilik rumah. Sehingga hanya dengan duduk di sana, dia bisa memantau kegiatan di area universitas. “Adina, duduklah,” pinta Aslan. “Oh, iya.” Aku yang sedang berdiri termangu mengagumi keindahan rumah itu pun sedikit tergagap. Mata Aslan berpaling pada Mbak Pia yang sedang menggendong Anaya yang masih tertidur. “Di atas ada empat kamar tidur. Aku sudah meminta pelayan untuk membereskan. Salah satunya sudah disesuaikan untu
“Bagaimana kau bisa tahu? Bukankah kita baru bertemu dan kau bahkan tidak tahu siapa suamiku.” Aslan melihat tajam ke arahku. Di balik pandangannya dia berpikir aku wanita yang polos dan lugu. Aku bahkan tidak bisa menghubungkan peristiwa satu dan peristiwa lainnya. “Aku akan menjelaskan padamu, nanti. Fattan bukan orang baru bagiku,” ujar Aslan. “Maksudmu, kau sudah mengenal Mas Fattan sebelum kita bertemu?” aku semakin bingung dengan pernyataan Aslan. “Benar. Akan kujelaskan semua padamu, nanti. Aku harus pergi, kau bisa mulai merapikan barang-barangmu.” Dia berdiri dan memandang ke lantai atas. Marissa belum juga kembali setelah mengantar Anaya dan Mbak Pia ke kamar. “Jika kau sudah siap bekerja, katakan saja pada Marissa. Dia akan mengatur semua untukmu.” “Apa Marissa sudah mengatakan padamu bahwa aku tidak punya pengalaman kerja. Aku butuh waktu untuk beradaptasi.” “Aku tidak butuh penjelasan apa pun dari siapa pun. Jika kau perlu sesuatu, hubungi aku.” Bagiku, sikap Asla
“Kami bekerja dengan sistem tentang hal ini, Nyonya. Sejak El Khairi Company mulai bekerja sama dengan bank kami sebagai nasabah prioritas, sejak itu pula kami mengenal otoritas perusahaan ini adalah atas nama Tuan Fattan Hilabi.” Sebuah kabut hitam melintas di pikiranku. Tentu saja, aku sendiri yang telah setuju untuk memberikan Mas Fattan otoritas penuh menjalankan perusahaan ayahku. Setelah kami menikah, dan ayah meninggal aku telah menandatangani surat pengalihan kewenangan perusahaan. Itu artinya Mas Fattan bebas melakukan apa pun atas perusahaan dan urusan keuangannya tentu saja. “Ada yang bisa kami bantu lagi, Nyonya?” Suara customer service bank memecah lamunanku. “Oh, tidak. Terima kasih.” Tepat saat aku menutup sambungan telepon, bel pintu rumah berbunyi. Mbak Pia bergegas turun keluar dari kamar Anaya dan bersiap turun ke bawah. “Mau ke mana Mbak?” “Itu pasti pengantar makanan online, Bu.” “Kan ada pelayan lain di rumah ini.” “Oh, pelayan yang tadi itu hanya datang
“Kalila! Berani sekali kau mengangkat ponsel Mas Fattan.” “Lho, Tante lupa ya, aku sudah menjadi istri Mas Fattan. Mas Fattan dan ayah sudah mengucapkan ijab kabul sebelum aku pindah ke rumah Tante. Ups! Maksudku ke rumahku.” “Kau sudah tinggal di rumah itu?” “Iya, Tante. Kan Mas Fattan sudah kasih tahu sebelum Tante pergi dari rumahku. Sayang ya, tidak ada Tante di rumah ini.” Hatiku bergemuruh karena ucapan-ucapan Kalila yang seolah meledek. Gadis itu sungguh tahu bagaimana caranya menyakiti orang lain. Menikah dengan Fattan tampaknya menjadi kemenangan besar yang ingin dia pamerkan. Walau tanpa kata, dalam hatiku tetap terucap sumpah serapah agar Allah membalas kekejaman mereka. Aku pernah mencintai Kalila seperti putriku sendiri. Aku juga mengabdi pada Mas Fattan layaknya istri solehah. Balasan atas semua yang telah kulakukan sungguh tidak adil. “Tante, sebulan lagi kami akan menggelar pesta besar. Nanti Tante dan Anaya bisa datang kan ya? Agar semua orang bisa membandingkan
"Nah, Ibu Adina, silahkan memperkenalkan diri." Marissa tersenyum sambil melihat ke arahku. Rasanya aku ingin melarikan diri dari tatapan semua orang. Sebagai atasan mereka yang baru, tentu saja semua orang tersenyum padaku. Perlu beberapa detik untuk mengumpulkan kekuatan dan berbicara di depan belasan pasang mata. Bukan hanya karena kejutan yang Marissa berikan tapi juga karena ini adalah hal baru bagiku."Ayo, Bu Adina. Silahkan!"Sekali lagi Marissa mempersilahkan sambil mengedipkan sebelah mata untuk memberi kode agar aku melakukan apa yang dia katakan. Marissa tahu persis bahwa dia memberiku kejutan tentang jabatan yang akan kupegang di perusahaan ini.Tidak ingin mengecewakan Aslan dan Marissa yang telah memberiku kepercayaan, aku pun berusaha tenang dan berdiri. Aku pernah sekali menjabat sebagai ketus senat di kampus dulu. Kuingat masa itu untuk menumbuhkan percaya diriku."Selamat Pagi, saya Adina dan mulai hari ini saya akan menjabat sebagai manager di divisi ini. Semoga