“Mas Fattan! Kalila! Dosa apa yang sedang kalian lakukan?”
Sosok berambut hitam ikal dengan hidung tinggi dan wajah khas Arab itu bangkit dari ranjang. Dia sangat terkejut dan terlalu terkejut hingga lupa bahwa tidak selembar benang pun tertambat di tubuhnya. Dalam keadaan telanjang, dia berusaha menghampiriku.
“Adina, apa… bagaimana… kenapa… kau ada di sini?”
“Berapa banyak lagi kata tanya yang ingin kau ucapkan? Kau bahkan belum menjawab pertanyaanku.”
Aku berharap mata ini sedang mengkhianatiku. Aku bahkan tidak mampu berkedip hanya untuk mempercayai bahwa yang kulihat itu nyata. Di sini! Di depan mataku!
Mungkin, Mas Fattan baru menyadari bahwa ada orang lain di belakangku. Hal itu seketika membuatnya teringat bahwa dirinya tidak berbusana. Dia bergegas menyambar selembar celana panjang yang berserak di lantai.
Sementara Mas Fattan sibuk membungkus auratnya sesosok wanita yang ada di atas ranjang yang sejak tadi mengamati kami tetap diam. Tidak ada rasa penyesalan atau takut di wajahnya. Aku berjalan cepat menghampiri wanita itu
Erina yang sejak tadi ada di belakangku, berinisiatif menyalakan lampu kamar dengan penerangan yang lebih benderang. Aku bisa melihat jelas wajah wanita itu. Walau sebelumnya dalam keremangan aku juga sudah bisa mengenali wanita itu.
Bagaimana tidak, bertahun-tahun saat dia kecil dulu, dia tumbuh dalam pengasuhanku. Saat itu aku masih tinggal bersama kakak kandungku. Dia sudah seperti putri pertama bagiku.
“Kalila! Teganya kau melakukan ini. Apakah sudah habis pria di dunia ini sehingga suamiku menjadi sasaranmu?” bentakku sambil menarik selimut tebal yang menutupi tubuh tanpa baju wanita itu.
Seharusnya Kalila merasa bersalah bukan? Seharusnya dia takut dan berusaha mencari alasan. Tapi, yang kulihat justru senyum tipis di wajahnya yang bersimbah peluh. Tampaknya mereka baru saja mencapai kenikmatan dunia ketika aku dan Erina tiba-tiba membuka pintu kamar hotel mereka.
“Aku tidak menculik suamimu kan, Tante. Kami melakukan atas keinginan bersama!” Kalila justru berteriak padaku.
“Dasar wanita jal*ang! Aku malu mengakui bahwa kau berasal dari darah keluargaku!” emosiku mulai tersulut.
Sejak mendapatkan informasi itu, sebenarnya aku sudah berusaha tenang. Kutegarkan hati dan melangkah menuju tempat ini. Aku ingin menghadapi kedustaan suamiku dengan cara yang elegan. Tapi, jawaban Kalila yang tanpa rasa bersalah, tak ayal membuat darahku sampai ke ujung kepala
Mataku terasa panas, entah karena darah yang mendidih, air mata, kemarahan atau kesedihan. Semua perasaan seolah berkecamuk dalam diriku. Aku sendiri bahkan tidak tahu mana yang harus lebih dulu kuekspresikan.
Jawaban pedas Kalila sepertinya menjadi alasan untukku menuangkan perasaan. Aku mendekati Kalila yang sedang sibuk mencari bajunya yang terhampar di lantai. Baju mereka yang bertebaran di segala arah, seolah memperlihatkan betapa liarnya permainan yang baru saja mereka lakukan.
“Kalila! Rendah sekali moralmu! Orang tuamu akan sangat kecewa jika mereka tahu!”
Seperti ada dorongan iblis dalam diriku. Aku yang biasanya tenang dan sopan, begitu saja menarik rambut hitam panjang Kalila. Gadis itu berteriak kesakitan. Dia berusaha melepaskan diri dari cengkeramanku. Air mata mulai bergulir di sudut mata Kalila.
Tentu saja itu bukan air mata penyesalan. Itu hanyalah air mata kesakitan karena tampaknya beberapa rambut Kalila tercabut dari kulit kepalanya. Aku menarik rambut itu tanpa belas kasihan. Kalian yang belum berbusana terpaksa merunduk hingga kepalanya nyaris menyentuh lantai demi mengimbangi gerakanku agar dia tidak semakin merasa kesakitan.
"Tante! Lepaskan! Tolong, Om!"
Mas Fattan tampak terkejut aku bisa sebrutal itu. Dia bergegas mendekat dan meraih pergelangan tanganku yang mencengkeram rambut Kalila.
“Adina! Lepaskan! Kau menyakiti Kalila. Lepaskan, Adina!”
Sekuatnya aku, kekuatan Mas Fattan tentu lebih besar. Dia berhasil menghentakkan tanganku dan aku terpaksa melepaskan rambut Adina dari cengkeramanku. Mas Fattan juga mendorongku sebelum dia berjongkok untuk menolong Kalila.
Beruntung Erina telah bersiaga di sana. Dia menangkap tubuhku sehingga aku tidak sampai terjerembab ke sofa besar yang ada di belakangku.
“Mas, kau justru membela Kalila? Sakit katamu? Sakit yang aku rasakan jauh lebih sakit dari apa yang kulakukan pada Kalila. Di mana perasaanmu, Mas? Aku ini istrimu!” Suaraku terdengar bergetar.
Aku berusaha untuk tidak menangis. Setiap kali butiran bening itu hendak keluar dari mataku yang lebar dan berwarna coklat, aku segera mengusapnya. Hatiku memang sakit dan terluka parah. Jika saja hati ini adalah benda yang bisa dilihat dengan mata, mungkin aliran darah akan menjadi warna karena deritanya. Meski begitu, aku tidak ingin memperlihatkan kelemahanku.
Sementara Mas Fattan sibuk menutup tubuh Kalila dengan selimut yang diraihnya dari atas ranjang, hatiku semakin tercabik dengan pemandangan itu. Goresan perih bertabur garam yang sampai kapan pun tidak akan pernah aku lupakan.
“Aku tahu Adina. Aku tahu ini semua salah. Setidaknya dengarkan penjelasanku dan jangan melakukan hal kasar seperti ini. Bagaimana pun juga, Kalila ini adalah keponakanmu.” Mas Fattan telah kembali dari rasa terkejutnya. Suaranya terdengar bijak dan tenang.
“Keponakan? Aku bahkan malu mengakui dia sebagai bagian dari keluargaku. Kalian bukan hanya menyakitiku tapi juga menorehkan luka pada keluarga besarku.”
Beberapa orang mulai berkerumun di pintu kamar kelas deluxe executive yang seharusnya tenang itu. Saat kami membuat keributan, sepertinya kami membiarkan pintunya terbuka. Suara teriakan dari dalam kamar menarik perhatian orang yang melintas.
Erina sebagai manager hotel berbintang lima itu, menjadi orang pertama yang menyadari keberadaan para penonton yang tidak diundang tersebut. Dia segera memberikan kode padaku untuk keluar dari kamar itu.
“Adina, kita selesaikan nanti. Terpenting kau sudah mendapatkan bukti,” bisik Erina.
Aku mengeluarkan ponselku dari dalam tas. Lalu tanpa basa basi, aku memotret pemandangan mengenaskan kedua orang di hadapanku. Dua orang yang aku sayang dan aku cintai dari dalam hati. Mereka juga yang tanpa segan telah menabur racun dalam mahligai rumah tanggaku.
“Adina! Untuk apa kau melakukan itu?! Hapus! Berikan padaku ponselmu! Kau hanya akan mempermalukan dirimu sendiri!” Mas Fattan berteriak kasar.
“Sebakan saja, Tante. Semua orang harus tahu betapa Tante tidak becus menjadi seorang istri. Coba Tante pikir kenapa suami Tante bersamaku saat ini jika memang dia sudah terpuaskan?!” Kalila begitu berani mengancamku.
Reaksi luar biasa yang membuatku kehabisan kata. Mereka yang bersalah tapi justru aku yang menjadi pelaku kejahatannya. Aku menatap keduanya dengan ekspresi wajah nyaris membeku, berusaha memperlihatkan ketegaran yang tersisa dalam hatiku.
“Ini imbalan yang kau berikan padaku atas pengabdian yang kuberikan padamu selama ini, Mas?” Lalu pandanganku beralih pada Kalila, “Aku ingin tahu, apa komentar kedua orang tuamu jika melihat foto ini nanti. Kalila, anak kebanggan mereka telah menggoda suami dari tantenya sendiri. Biar mereka yang memutuskan hukuman apa yang akan diberikan pada kalian berdua.”
Halo Goodreader, Ikuti terus perjalanan Adina dari seorang wanita yang lemah menjadi seorang wanita yang powerful. Tambahkan buku ini ke koleksi/rak bukumu, untuk selalu mendapatkan update ya. Salam sayang, Ans.
“Maksudmu, suamimu dan Kalila pergi bersama?” tanya Erina. “Suamiku adalah seorang pebisnis yang sibuk. Dia biasa pergi ke banyak kota dan negara. Jadwal kepergiannya yang sama dengan jadwal penerbangan Kalila tidak pernah membuatku curiga. Aku justru merasa aman karena Mas Fattan bersama Kalila.” “Apakah selama ini suamimu dekat dengan keponakanmu itu? Kalila.” “Kalila bertugas sebagai pramugari di salah satu maskapai. Entah bagaimana, jadwal tugas Mas Fattan seringkali sama dengan jadwal tujuan pesawat tempat Kalila bertugas. Bodohnya aku sama sekali tidak mencium gelagat busuk mereka.” Aku menumpahkan semua perasaanku saat tiba di ruang kerja Erina. Dia duduk di sampingku dan berusaha memberiku dukungan kekuatan. “Maafkan aku ya, Din. Aku tidak bermaksud membuatmu sedih,” ucap Erina penuh penyesalan. “It’s ok, Erin. Seandainya kau tidak memberitahuku, mungkin aku akan selamanya buta. Aku tidak bisa melihat apa yang terjadi di depan mataku.” Air mataku jatuh bercucuran. Rasa s
“Siapa kamu?” tanyaku lemah. “Oh, Nyonya Adina. Anda sudah bangun.” “Bagaimana kau bisa tahu namaku?” Tubuhku terasa ngilu, kepalaku berdenyut dan pandanganku berkunang-kunang. Ada rasa nyeri di tangan kiriku. Saat aku mengangkatnya, ternyata tanganku terhubung dengan sebuah selang infus. Baru kusadari, bahwa aku sedang terbaring di rumah sakit. Aku melihat sosok pria duduk di sofa yang terletak tidak jauh dari kaki ranjang. “Oh, maaf. Saya terpaksa membuka tas dan dompat anda untuk menemukan identitas anda,” pria itu berjalan mendekati ranjang. “Apa yang terjadi?” aku semakin linglung. “Mobil anda menabrak mobil saya dengan sangat keras. Balon penyelamat di mobil gagal mengembang sehingga kepala anda terbentur cukup keras.” Aku baru mulai mengingat semuanya. Saat itu tentu saja aku sedang dalam perjalanan kembali dari hotel tempat Erina bekerja menuju ke rumah. Setelah kejadian menyakitkan yang kulihat, ternyata aku tidak sekuat yang kuinginkan. Kalutnya pikiran membuatku hil
“Bagaimana ini menjadi hal yang biasa? Kalila seorang gadis yang belum menikah dan berhubungan badan dengan seorang pria. Ini adalah kesalahan dan aib, Kak.” Emosiku nyaris tidak bisa dibendung lagi. “Kalila ini memang sudah berada di dalam pergaulan internasional. Hal seperti bukan lagi sesuatu yang bisa kami kendalikan.” Kak Zahra menambahkan. Untuk berhubungan badan dengan seorang pria? Kami adalah keluarga keturunan Arab Indonesia. Abi dan Umi mengajarkan kami untuk memegang teguh norma agama dan adat ketimuran. Pergaulan bebas bukan hal yang wajar untuk terjadi di keluarga kami. Entah sejak kapan keluarga kakakku rupanya sudah menganut tradisi Eropa. Kalila yang baru melewati usia dua puluh tahun itu, bahkan telah hidup bebas tanpa batas. Tapi, sudahlah jika mereka memang memiliki cara hidup sendiri. Itu sama sekali bukan urusanku. Tubuhku ini rasanya terlalu lelah. Rasa nyeri akibat kecelakaan tadi siang masih juga kurasakan. Aku tidak punya energi lagi untuk melayani debat
“Aduh… Maaf deh… Siapa donk….” “Aku Marisa!” “Marisa! Apa kabar? Lama sekali tidak bertemu!” “Iya, habis kamu sih bertapa melulu!” ujar Marisa. Aku tersenyum mendengar perkataan Marisa. Senyum sinis untuk meledek diriku sendiri. Semua teman-temanku tahu, bahwa sejak aku menikah, aku bagai ditelan bumi. Hanya sibuk mengurus anak dan suami. Jika sesekali keluar rumah atau berlibur, pasti bersama Mas Fattan dan Anaya. Tidak pernah terselip dalam agenda untuk bertemu dengan teman-temanku. Mas Fattan tidak suka jika aku terlalu banyak kegiatan di luar rumah. Sebagai istri aku tidak pernah membantah kata-kata suamiku. Walau aku adalah alumni S2 salah satu universitas terkemuka di Madinah, namun ketika aku menikah, semua itu aku tanggalkan begitu saja. Suara Marisa di telepon terdengar penuh semangat saat dia menyampaikan maksudnya menghubungiku. “Adina, aku ingin menawarkanmu sesuatu. Sekarang aku bekerja di sekolah International milik seorang warga negara Turki.” “Wah, keren betul!”
“Siapa yang harusnya malu, Mas? Sebagai istri yang telah dikhianati, apakah aku tidak berhak marah?” “Kalila itu hanya anak-anak, Adina. Dia mungkin melakukan kesalahan menurutmu. Tapi, menurut Kalila itu mungkin hal yang biasa.” Aku menoleh dan memandang wajah Mas Fattan. Bukan, bukan karena aku mencintainya. Aku hanya sedang berusaha menemukan ekspresi bercanda atau salah bicara. Keduanya sama sekali tidak kutemukan di wajah suamiku. “Anak-anak katamu? Perempuan yang sudah mengerti hubungan suami istri. Tahu caranya memancing dan memuaskan hasrat seorang pria, bukan anak-anak lagi. Dia adalah wanita dewasa. Mungkin Kalila sudah biasa tidur dengan berbagai pria karena pemikiran modern yang dia banggakan itu, tapi kenapa harus kamu Mas? Kenapa harus suamiku? Suami dari adik kandung ibunya sendiri?” rentetan pertanyaan yang merupakan ungkapan kekesalan. Mendengar nada bicaraku yang mulai meninggi, Mas Fattan memutuskan untuk diam. Dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal sambil teru
“Adina, aku tahu ini tidak mudah. Tapi, anak di kandungan Kalila adalah anakku.” Dia menghentikan kata-katanya dan berjalan mendekati Kalila. Lalu gadis itu bergelayut manja di lengan suamiku. Di sini, di depan mataku. “Aku harus bertanggung jawab atas anak ini. Kau tentu tidak mau jika kehamilan Kalila menjadi aib bagi keluargamu,” sambungnya. “Apa maksudmu, Mas? Katakan dengan jelas.” Walau aku meminta kejelasan namun hatiku bergetar hebat. Aku tidak siap dengan jawaban yang akan Mas Fattan berikan. Senyum di wajah Kak Zahra dan Kalila, sama sekali tidak berkurang walau mereka melihat air mataku mulai berjatuhan. Bang Hasyim kembali duduk untuk menunggu jawaban tegas dari Mas Fattan. “Aku akan menikahi Kalila. Dia akan menjadi istri keduaku.” Seketika jiwaku hancur berserakan. Duniaku runtuh dan aku merasa tulang-tulang di tubuhku tidak mampu lagi menyangga berat badan. Kepalaku berkunang-kunang, aku merasa menjadi pecundang di tengah mereka semua. Tidak ada yang berpihak padaku
“Din, aku baru saja menghubungi pemilik sekolah International itu dan dia meminta sekilas datamu. Kuberikan saja fotomu, aku bilang surat lamaran dan CV akan menyusul kemudian. Lalu kuceritakan juga rencanamu untuk tinggal di rumahku, dia justru menawarkanmu untuk tinggal di rumahnya yang ada di dalam komplek sekolah.” “Di rumahnya? Maksudnya tinggal bersama pemilik sekolah itu?” “Bukan, pemilik sekolah itu tinggal di apartement. Dia memiliki sebuah rumah di dalam komplek sekolah. Rumah itu hanya sesekali dia singgahi jika sedang melakukan kunjungan. Semua perabotan sudah ada di sana. Jadi kau bisa menempati dengan nyaman’ Entah kenapa aku merasa pertolongan Allah begitu cepatnya datang. Seolah DIA mendukung keputusanku dengan memberikan kemudahan. Aku yang tadinya limbung setelah mendengar keputusan Mas Fattan, sekarang lebih kuat. Aku percaya Allah tidak akan membiarkan aku dan Anaya sengsara. “Adina! Kenapa kau diam saja? Mau nggak? Atau kau mau ke rumahku dulu? Besok baru kita
“Sejak Marissa memberikan fotomu padaku, aku sudah tahu apa yang terjadi,” ujar Aslan. “Maksudmu?” “Duduklah.” Aku memandang Aslan dengan kening berkerut. Tangan Marissa meraih pundakku dan memintaku untuk mengikuti Aslan masuk ke dalam rumah. Design rumah itu sangat eksklusif. Semua barang yang ada di sana di pilih dengan selera dan kualitas tinggi. Tirai-tirai panjang berwarna keemasan berpadu putih tinggi menjuntai sampai ke lantai. Sebagian besar dinding terbuat dari kaca. Bagian bawah rumah ini tampaknya memang diperuntukkan sebagai kantor kedua bagi Si Pemilik rumah. Sehingga hanya dengan duduk di sana, dia bisa memantau kegiatan di area universitas. “Adina, duduklah,” pinta Aslan. “Oh, iya.” Aku yang sedang berdiri termangu mengagumi keindahan rumah itu pun sedikit tergagap. Mata Aslan berpaling pada Mbak Pia yang sedang menggendong Anaya yang masih tertidur. “Di atas ada empat kamar tidur. Aku sudah meminta pelayan untuk membereskan. Salah satunya sudah disesuaikan untu