Lho, gimana? Jadi, siapa yang tahu Tara di mana?
“Kenapa kau berpikir Tara bersamaku?” Aku menoleh pada Yudha. Kami berdua terjebak dalam kebingungan. Itu terlihat dari wajah Yudha yang berkerut. Dia mencoba mengingat kemungkinan melewatkan sebuah informasi tentang Tara. “Selama ini Tuan Tara menjalankan El Khairi atas namamu. Tidak satu dokumen pun atas namanya. Setiap kali kami membutuhkan tanda tanganmu, dia akan memintaku untuk meletakkan di mejanya. Biasanya keesokan hari, kami sudah mendapatkan tanda tanganmu. Karena itu aku pikir kau bersamanya.” Informasi yang diberikan Yudha meluncur begitu saja. Pikiranku bekerja untuk mencerna semuanya. Tara bukanlah orang biasa. Dia memiliki kemampuan dan kecerdasan yang membuatnya bisa mengendalikan banyak hal. Selama ini sudah terbukti bahwa Tara bahkan bisa melakukan analisa untuk prediksi bisnis. Itu juga yang membuatnya menjadi pebisnis terbaik di Singapura. Meski begitu, Tara tidak pernah menampakkan diri. Hanya segelitir orang yang mengenalnya. “Kau tahu, bahkan dia tidak pern
“Ini jebakan. Jangan banyak bertanya lagi dan cepatlah berangkat. Keterlambatanmu sampai di tempat itu bisa menjadi alasan baru untuk membuat El Khairi kalah dalam tender.” Tara memaksa. Aku tidak akan pernah meragukan Tara dan caranya melindungiku. Kepalaku terangguk tanpa sadar bahwa Tara mungkin tidak melihat gerakanku. Atau dia melihat dari CCTV yang ada di sudut itu. Sambungan telepon dari Tara terputus. Ponsel itu kukembalikan ke dalam tas. “Kita berangkat!” Aku berdiri dan menutup laptop yang ada di atas meja. Yudha sedikit terkejut, tapi dengan cekatan dia segera memasukkan laptop itu ke dalam tas hitam seperti semula. Dia membawa tas itu dan berjalan mengikutiku. Satu jam kemudian, kami sudah berada di ruang meeting luas milik perusahaan pemberi tender, Atlantis Company. Dua orang dari pemberi tender duduk di kepala meja. Sementara enam orang lain dari perusahaan kompetitor El Khairi ada bersama kami. Anehnya perusahaan kompetitor kali ini adalah wajah-wajah baru yang sa
“Mohon maaf jika kedatangan saya mengganggu meeting ini.” Mata Victor memandang setiap wajah yang duduk mengelilingi meja besar itu. Reno dan Uwais tersenyum satu sama lain. Mereka tampak tidak tergannggu dan senang dengan kedatangan Victor. Reno mengangkat tangan, “Lanjutkan Victor. Kau sudah ada di ruangan ini. Kami senang kau ada di sini.” “Terima kasih, Tuan Reno.” Keadaan membuatku bingung. Ketegangan menggenang di perutku seperti lautan yang bergejolak. Setelah tuduhan dan penyudutan luar biasa, tampaknya satu pukulan lagi siap untuk menghantam. Victor menoleh ke arahku. “Nyonya Adina, kami butuh tanda tangan anda untuk penyitaan aset perusahaan Dirgantara El Khairi. Hari ini beberapa aset yang dianggunkan akan resmi menjadi milik El Khairi Company. Kakak tiri anda itu telah gagal melunasi pinjamannya pada El Khairi Company.” “Apa?!!!” Reno dan Uwais berdiri dan tersentak dari duduk mereka. Aku harap tidak ada yang terkena serngan jantung di ruangan ini karena kerasnya suar
“Kau tidak akan percaya jika aku mengatakan tidak.” Suara yang dalam dan tenang dari seberang sambungan membuatku bisa bernafas lega. Aku tersenyum. Untuk kesekian kalinya Tara menjadi pahlawan bagiku. Dia seperti sayap malaikat yang selalu menaungiku. Tara yang selalu mengulurkan pertolongan bahkan ketika aku belum memintanya. “Din, tentang surat yang Victor berikan padamu. Itu akan dilakukan hari ini?” ujar Tara. Aku mencoba mengingat ulang surat apa yang tadi Victor sodorkan. “Itu bukan surat pernyitaan. Apa yang Victor katakan berbeda dengan apa yang dia berikan padaku. Benarkan?” “Gadis cerdas! Ya, surat itu adalah surat pengalihan perusahaan. Beberapa perusahaan Dirgantara Company akan menjadi milik El Khairi. Mulai hari ini.” “Apa maksudmu?” Aku semakin hilang arah tentang apa yang terjadi hari ini. “Kita tidak perlu kehilangan semuanya, Din. Saat ini Dirgantara Company dalam masalah serius. Walau masalahnya belum terjadi, kita harus melakukan antisipasi. Jika masih ada ya
“Tara, kau membuatku gugup. Kau bahkan tidak pernah membutuhkan bantuanku.” Aku jujur bahwa aku memang gugup. Yudha yang duduk di sebelahku terpksa menoleh ke arahku. Dia memang tidak mendengar apa yang aku bicarakan dengan Tara. Pertanyaan terakhir membuatku goyah dengan suara bergetar. Lalu jeda panjang pembicaraan antara aku dan Tara pasti membuat Yudha bertanya-tanya. Sesuatu menggumpal di dalam hatiku. Tara meminta bantuan. Itu past bukan hal yang ringan. Dia memiliki kekuatan di banyak sisi. Jika kali ini dia membutuhkan aku, itu pasti karena sebuah ‘lubang’ besar dari kekuatannya yang tidak bisa terlindungi. “Besok, aku akan mengirimkan Rayyan padamu. Jagalah dia seperti kau menjaga Anaya.” Suara Tara menunjukkan rasa sakit yang dalam. Dia terluka, takut dan berusaha menahan segala beban. “Apa? Maksudku, apa-apaan? Kenapa Rayyan ke Indonesia dan kalian tidak? Apa maksudmu?” Jantungku terjatuh di tanah. Ini bahkan lebih buruk dari yang bisa aku pikirkan. Tara diam, dia pasti
“Kau mengenal dua orang itu?” Yudha heran. Matanya mengamati keluar mobil sementara keningnya berkerut. Dia terlihat ragu untuk membiarkan aku turun. “Mereka adalah masalah yang sedang kuhadapi akhir-akhir ini.” Aku mengambil tas hitamku dan membuka pintu mobil. Kali ini, akan jadi yang terakhir untuk mereka membuatku merasa malu. Yudha bergegas turun dan mengikuti aku. “Berhenti!” Aku berteriak. Kerumunan yang ada di sekitar Fattan dan Andre mengalihkan fokus mereka padaku. Begitu juga dengan kedua pria itu. Fattan dan Andre saling melepaskan tangan yang mencengkeram leher mereka masing-masing. Keduanya selangkah menjauh satu sama lain. Sambil merapikan penampilan mereka yang berantakan, keduanya berusaha menyambutku. Mereka berjalan mendekatiku. Seketika aku mengangkat tangan. “Berhenti! Jangan mendekat!” Mataku menambah ketegasan dalam suaraku. “Adina. Kau mengatakan itu untuk Fattan bukan? Tentu saja bukan untukku karena aku adalah calon suamimu.” Andre begitu percaya diri
“Kembali padamu? Apa kau serius dengan kata-katamu?” tanyaku menyelidik. Segumpal harapan seolah berhasil Fattan dapatkan. Dia terdengar antusias ketika menjawab pertanyaanku. “Tentu saja, aku serius. Aku sangat serius. Aku memang bukan pria yang baik untukmu, tapi aku akan berusaha memperbaiki semuanya.” Jantungku ingin meledak karena tawa yang tertahan di dalam sana. Hari ini benar-benar luar biasa. Begitu banyak kejutan dan kecemasan yang datang bersamaan. Bersama dengan senyum, butiran air mata berjatuhan di pipiku. “Kau bodoh, Fattan!” Aku mengucapkan dengan nada ketus yang pasti menusuk telinga siapa pun yang mendengarnya. “Kau pikir aku selugu dulu ketika masih menjadi istrimu?” “Apa maksudmu, Din? Buka pintunya. Biarkan aku masuk dan mari kita bicara.” Fattan memohon. “Tidak! Jika kau bilang kau bukanlah pria baik, lalu untuk apa aku harus memberikan lagi hidup, waktu dan hatiku untuk pria yang tidak baik? Lalu kau berjanji untuk memperbaiki diri. Kalau kau tidak berhasil
“Tuan Tara memberikan alamat ini padaku. Tolong buka pintunya, Tuan Muda Rayyan perlu istirahat segera.” Aku yakin itu adalah orang suruhan Harry yang membawa Rayyan. Ternyata Tara berhasil mengeluarkan Rayyan dari Singapura. Aku bergegas membuka pintu. Saat pintu terbuka seukuran tubuh, aku mundur ke belakang dengan cepat karena pria itu menerobos masuk. Seorang bayi laki-laki tertidur pulas di pelukannya. Pria dengan rambut coklat gelap dan tubuh tegap itu berdiri dengan wajah tegang. Beberapa kali dia menoleh ke belakang seolah sedang cemas jika sesuatu mengikutinya. Aku keluar dari pintu gerbang, menoleh ke kanan dan ke kiri. Entah apa yang aku cari. Aku hanya memastikan semuanya aman. “Kau tidak membawa mobil?” tanyaku ketika masuk kembali ke dalam gerbang. Pria itu menggeleng. Lalu dia melihat ke arah pintu gerbang yang terbuka. “Tolong cepat tutup pintunya,” ujar pria itu. Aku mengangguk dan segera menutup pintu gerbang. Tidak lupa aku kembali memasang gembok pengaman. Wa