Yeay! Sisi kuat Adina emang keren banget!
“Kau tidak akan percaya jika aku mengatakan tidak.” Suara yang dalam dan tenang dari seberang sambungan membuatku bisa bernafas lega. Aku tersenyum. Untuk kesekian kalinya Tara menjadi pahlawan bagiku. Dia seperti sayap malaikat yang selalu menaungiku. Tara yang selalu mengulurkan pertolongan bahkan ketika aku belum memintanya. “Din, tentang surat yang Victor berikan padamu. Itu akan dilakukan hari ini?” ujar Tara. Aku mencoba mengingat ulang surat apa yang tadi Victor sodorkan. “Itu bukan surat pernyitaan. Apa yang Victor katakan berbeda dengan apa yang dia berikan padaku. Benarkan?” “Gadis cerdas! Ya, surat itu adalah surat pengalihan perusahaan. Beberapa perusahaan Dirgantara Company akan menjadi milik El Khairi. Mulai hari ini.” “Apa maksudmu?” Aku semakin hilang arah tentang apa yang terjadi hari ini. “Kita tidak perlu kehilangan semuanya, Din. Saat ini Dirgantara Company dalam masalah serius. Walau masalahnya belum terjadi, kita harus melakukan antisipasi. Jika masih ada ya
“Tara, kau membuatku gugup. Kau bahkan tidak pernah membutuhkan bantuanku.” Aku jujur bahwa aku memang gugup. Yudha yang duduk di sebelahku terpksa menoleh ke arahku. Dia memang tidak mendengar apa yang aku bicarakan dengan Tara. Pertanyaan terakhir membuatku goyah dengan suara bergetar. Lalu jeda panjang pembicaraan antara aku dan Tara pasti membuat Yudha bertanya-tanya. Sesuatu menggumpal di dalam hatiku. Tara meminta bantuan. Itu past bukan hal yang ringan. Dia memiliki kekuatan di banyak sisi. Jika kali ini dia membutuhkan aku, itu pasti karena sebuah ‘lubang’ besar dari kekuatannya yang tidak bisa terlindungi. “Besok, aku akan mengirimkan Rayyan padamu. Jagalah dia seperti kau menjaga Anaya.” Suara Tara menunjukkan rasa sakit yang dalam. Dia terluka, takut dan berusaha menahan segala beban. “Apa? Maksudku, apa-apaan? Kenapa Rayyan ke Indonesia dan kalian tidak? Apa maksudmu?” Jantungku terjatuh di tanah. Ini bahkan lebih buruk dari yang bisa aku pikirkan. Tara diam, dia pasti
“Kau mengenal dua orang itu?” Yudha heran. Matanya mengamati keluar mobil sementara keningnya berkerut. Dia terlihat ragu untuk membiarkan aku turun. “Mereka adalah masalah yang sedang kuhadapi akhir-akhir ini.” Aku mengambil tas hitamku dan membuka pintu mobil. Kali ini, akan jadi yang terakhir untuk mereka membuatku merasa malu. Yudha bergegas turun dan mengikuti aku. “Berhenti!” Aku berteriak. Kerumunan yang ada di sekitar Fattan dan Andre mengalihkan fokus mereka padaku. Begitu juga dengan kedua pria itu. Fattan dan Andre saling melepaskan tangan yang mencengkeram leher mereka masing-masing. Keduanya selangkah menjauh satu sama lain. Sambil merapikan penampilan mereka yang berantakan, keduanya berusaha menyambutku. Mereka berjalan mendekatiku. Seketika aku mengangkat tangan. “Berhenti! Jangan mendekat!” Mataku menambah ketegasan dalam suaraku. “Adina. Kau mengatakan itu untuk Fattan bukan? Tentu saja bukan untukku karena aku adalah calon suamimu.” Andre begitu percaya diri
“Kembali padamu? Apa kau serius dengan kata-katamu?” tanyaku menyelidik. Segumpal harapan seolah berhasil Fattan dapatkan. Dia terdengar antusias ketika menjawab pertanyaanku. “Tentu saja, aku serius. Aku sangat serius. Aku memang bukan pria yang baik untukmu, tapi aku akan berusaha memperbaiki semuanya.” Jantungku ingin meledak karena tawa yang tertahan di dalam sana. Hari ini benar-benar luar biasa. Begitu banyak kejutan dan kecemasan yang datang bersamaan. Bersama dengan senyum, butiran air mata berjatuhan di pipiku. “Kau bodoh, Fattan!” Aku mengucapkan dengan nada ketus yang pasti menusuk telinga siapa pun yang mendengarnya. “Kau pikir aku selugu dulu ketika masih menjadi istrimu?” “Apa maksudmu, Din? Buka pintunya. Biarkan aku masuk dan mari kita bicara.” Fattan memohon. “Tidak! Jika kau bilang kau bukanlah pria baik, lalu untuk apa aku harus memberikan lagi hidup, waktu dan hatiku untuk pria yang tidak baik? Lalu kau berjanji untuk memperbaiki diri. Kalau kau tidak berhasil
“Tuan Tara memberikan alamat ini padaku. Tolong buka pintunya, Tuan Muda Rayyan perlu istirahat segera.” Aku yakin itu adalah orang suruhan Harry yang membawa Rayyan. Ternyata Tara berhasil mengeluarkan Rayyan dari Singapura. Aku bergegas membuka pintu. Saat pintu terbuka seukuran tubuh, aku mundur ke belakang dengan cepat karena pria itu menerobos masuk. Seorang bayi laki-laki tertidur pulas di pelukannya. Pria dengan rambut coklat gelap dan tubuh tegap itu berdiri dengan wajah tegang. Beberapa kali dia menoleh ke belakang seolah sedang cemas jika sesuatu mengikutinya. Aku keluar dari pintu gerbang, menoleh ke kanan dan ke kiri. Entah apa yang aku cari. Aku hanya memastikan semuanya aman. “Kau tidak membawa mobil?” tanyaku ketika masuk kembali ke dalam gerbang. Pria itu menggeleng. Lalu dia melihat ke arah pintu gerbang yang terbuka. “Tolong cepat tutup pintunya,” ujar pria itu. Aku mengangguk dan segera menutup pintu gerbang. Tidak lupa aku kembali memasang gembok pengaman. Wa
“Apakah aku perlu memberikan alasan untuk bertemu denganmu?” tanyaku. Andre tertawa kecil di seberang sambungan. “Tentu saja tidak. Aku hanya terkejut kau ingin bertemu denganku setelah keributan kemarin. Aku pikir kau akan kesal atau marah padaku. Kau bahkan tidak mempersilahkan aku masuk. Kau juga tidak menghubungiku.” Aku diam. Marah dengan Andre? Tentu saja aku marah. Aku bahkan tidak ingin lagi berada di dalam kondisi di mana aku tidak punya kekuatan untuk mengendalikannya. Dua jam kemudian aku sudah duduk di sebuah café dan Andre ada di depanku. Aku lebih tenang meninggalkan rumah karena dua keponakan Mbak Pia sudah datang untuk membantunya mengasuh Jafar dan Rayyan. Seorang security sengaja ditempatkan di rumahku oleh Harry. Pria yang memakai baju security itu sebenarnya adalah salah satu bodyguard Tara dibawah kepemimpinan Harry. Kadang aku merasa takjub dengan hal-hal kecil yang seolah sudah disiapkan oleh Tara. Harry tidak mungkin mengambil keputusan tanpa perintah dari T
“Banyak hal yang berjalan dan tidak bisa kita ubah.” Aku menegaskan pada Andre. Sejujurnya ini terasa seperti sedang membunuh harapan dalam diriku sendiri. Semua ini jauh lebih baik daripada terus tenggelam dalam mimpi. Harapan tentang hubungan mereka bagiku nyaris seperti hamparan pasir yang tidak ingin digenggamnya. Semakin erat aku merapatkan tangan, akan semakin banyak yang harus rela untuk kulepaskan. “Din, kita sudah jauh berjalan. Masa depan yang pernah aku bayangkan adalah bersamamu.” Andre menggenggam tanganku. Aku tersenyum dan menarik tanganku dari genggaman Andre. “Terima kasih sudah begitu percaya pada hubungan kita, Ndre. Keputusan ini aku ambil bukan murni karenamu. Ini juga tentang diriku sendiri.” “Apa maksudmu dengan tentang dirimu sendiri? Apakah kau memang tidak ingin bersamaku sejak awal? Lalu kenapa kita berdua harus membuang waktu jika kau memang tidak serius dengan semua ini sejak awal?” Andre memaksa agar arah angin berpihak padanya. Aku menggeleng ringan.
“Kita akan menuju ke tempat seharusnya kita berada. Tempat ini bukan tempat seharusnya kita tinggal.” Aku menggeser berdiriku dan melihat keluar jendela. Tatapanu menyapa sekitar di mana sebelumnya kami berharap banyak pada kehidupan. Mbak Pia diam. Dia bingung dengan apa yang aku katakan. Pembantuku itu selalu percaya pad keputusan apa pun yang aku buat. Dia tidak bertanya lebih banyak. Setelah mengangguk tanda mengerti, dia beranjak ke dapur. Beberapa saat kemudian, rumah kami sedikit riuh karena pengasuh Jafar dan Rayyan mulai mengemas barang-barang pribadi dua bayi itu. Belum lagi sesekali tangisan muncul dri keduanya. Aku bahkan perlu sedikit beradaptasi mendengar suara-suara yang tidak biasa aku dengar. Sejak Anaya beranjak dewasa, di rumah kami segalanya menjadi tenang. Nyaris tidak pernah terjadi keributan dan tangisan seperti yang terjadi saat ini. Aku menenangkan diri di dalam kamr setelah Anaya pulang dari sekolah dan menyelesaikan makan siangnya. Sebuah ketukan memaksa