Fattan?! Kok bisa?!
“Fattan?” Andre tidak kalah terkejutnya. Suasana di antara kami menjadi lebih canggung. Ini menjadi kejutan yang melengkapi hari. Semua menjadi semakin tidak terkendali. Ketika pria yang pernah menjadi suamiku bertahun lalu hadir di depan mata sebagai sesuatu yang nyata. Tidak, luka itu tidak lagi kurasakan. Hal pertama yang muncul karena melihat Fattan adalah kekhawatiran. Apalagi dia ada di rumahku saat aku sedang tidak berada di sana. Ini benar-benar membuatku memikirkan sesuatu yang buruk. Kemungkinan yang terburuk. “Sedang apa kau di rumahku?” Aku mendekatinya. Tampaknya dia juga sama terkejutnya denganku. Fattan pasti tidak menyangka aku ada di depan rumah ketika dia baru saja akan meninggalkan rumahku. “Aku… aku ingin menemui Jafar. Dan Anaya,” jawabnya singkat sembari melihat pada Andre. “Bagaimana kau bisa menemukan alamatku? Oh, tentu saja Kalila memberitahumu kan? Kalian masih saling berhubungan tapi memberikan Jafar padaku?” Ini kesempatanku untuk mengembalikan tangg
“Pertanyaan macam apa itu, Ndre?” Aku menyahut sengit. Keadaan yang terjadi antara aku dan Andre semakin menyesakkan. Hubungan kami semakin tidak memiliki arah. Terlepas dari orang terpenting dalam hidup Andre yang tidak menyetujui hubungan kami, Andre juga menunjukkan banyak perubahan. Sebelah tangannya masuk ke satu smentara tangan yang lain mengusap wajahnya. Beberapa saat Andre memejamkan mata untuk menenangkan diri. Sementara aku berdiri bodoh memandangi ekspresinya sambil berpikir. Bagian mana yang salah dari kejadian barusan. Bukan hanya Andre yang bingung. Aku pun sama. Lantas kenapa pertanyaan yang datang justru seperti itu. “Kau bersikap terlalu lunak pada Fattan. Apakah itu karena kasihan atau karena kau masih mencintainya. Aku tidak tahu.” Andre menuduh dan bukan bertanya. “Tidak ada apa pun lagi antara aku dan Fattan. Entah kenapa kau bisa berpikir seperti itu.” “Harusnya kau berani lebih tegas agar dia membawa Jafar keluar dari rumah ini.” Suaranya mengeras. Kabut e
“Iya nyonya. Sekali lagi saya minta maaf.” Wajah Mbak Pia tertunduk bersalah. Aku hanya bisa diam menunggu penjelasan. Dalam banyak hal aku percaya Mbak Pia tidak akan ceroboh. Selama ini dia telah menjaga Anaya dan Jafar dengan sangat baik. Apa yang dilakukannya pasti atas desakan yang sangat besar. “Waktu saya sedang berbicara dengan Tuan Fattan, Nona Anaya dan Tuan Jafar keluar dari dalam rumah. Lalu mereka berbicara degan tuan Fattan. Mengulurkan tangan dari celah-celah tralis pintu gerbang. Mereka terlihat sangat merindukan Tuan Fattan.” Tangis Mbak Pia pecah. Bahkan sudut mataku mulai basah. Aku membayangkan kejadian itu. Pastilah Anaya dan Jafar ingin memeluk ayahnya. Mereka telah cukup lama tidak saling bertemu. Begitu juga dengan Fattan. Seburuk apa pun pria itu, dia tidak pernah melakukan hal buruk pada anak-anaknya. Masih ada nilai baik yang kudengar bahwa Fattan tidak memaksa Mbak Pia membuka pintu. Wlau keadaan sudah saling menyesakkan. “Saya… saya tidak bisa melihat
“Mey! Kenapa?!” Suara Yohanes terdengar dari balik pagar. Aku kembali membuka sedikit celah gerbang. Yohanes mengangkat tangan Meylani dan memeriksanya. Dia terlihat sangat khawatir. Beberapa kali dia meniup tangan yang kulitnya tampak memerah itu. Terlihat bekas luka terjepit menyeplak di tangan Meylani, tapi sama sekali tidak berdarah. Aku rasa tidak ada yang serius dengan kejadian barusan. Namun, Yohanes terlihat sangat panik. Sementara Meylani terus mengaduh seolah merasa sangat kesakitan. “Yo… ini sakit banget. Adina sengaja tuh pengen aku celaka!” Meylani memonyongkan bibir sambil melihat ke arahku. Mataku melotot tidak percaya bahwa wanita berparas Tionghoa dan cantik itu bisa begitu kejam menyampaikan tuduhan. Sebagai seorang pria, Yohanes tentu bisa bersikap bijak dan melihat segala sesuatunya lebih realistis. Aku melihat pada Yohanes untuk melihat tanggapannya. Terakhir kali dia membela Meylani dan datang menemuiku untuk meminta maaf setelahnya. Kali ini Yohanes terdiam.
“Kenapa kau terdengar sangat khawatir, Naya?” Gelengan kepalanya menjadi sebuah jawaban tanpa kata. Aku ibunya, dia hidup di dalam rahimku lebih dari sembilan bulan. Aku yang memberinya banyak cinta. Kami pernah bernafas dalam detak jantung yang sama. Aku tahu persis apa yang sedang dia rasakan. Bagaimana bisa Anaya mencoba menyembunyikan getar ketakutan itu dari kulitnya yang memerah karena menahan tangis. Bukankah dia pernah begitu percaya pada ayahnya? Lalu kemudian dia hanya menjadi sesuatu yang dikhianati tanpa rasa ampun. Jika kali ini dia harus menyayangi seseorang lagi, maka Anaya ingin memastikan bahwa itu adalah tentang selamanya. Keinginan dan pertanyaan yang aku juga tidak punya garansi. Di tahapan ini, aku bahkan hanya melakukan apa yang harusnya kulakukan. Aku tidak tahu kemana perjalanan ini sedang menuju. “Ah sudahhlah! Ayo, hari ini Bunda mau mengajak Naya dan Jafar main di luar. Kita ke mall, nanti bisa main di wahana permainan.” Aku mematahkan kesedihan yang mula
“Kayanya adanya di lantai dua deh!” celoteh wanita itu sambil menunjuk ke atas. Matanya melihat ke beberapa toko yang terlihat di lantai dua. Dia sama sekali tidak menyadari keberadaanku. Sedang aku menghentikan langkah untuk meihat ke arah Andre dan pemilik suara itu. Suara yang asing untuk dikenali namun bukan tidak pernah ditemui. Begitu pula dengan Andre, dia melihat ke arahku. Wajahnya tegang dan sulit untuk menyembunyikan bahwa dia sedang melakukan sebuah ‘kejahatan’. Entah kenapa mataku terasa panas. Sesuatu menusuk di dalam sana. Jauh di dalam hatiku. Dunia serasa tidak adil. Bagaimana hal seperti ini bisa terjadi berkali-kali? Apakah aku memang tidak dilahirkan untuk sebuah cinta sejati? Lestari. Ya, dia yang ada di sana bersama Andre. Mereka berdiri dalam jarak yang wajar. Bagi orang lain itu adalah hal yang biasa dan bisa dimengerti. Tapi bagiku? Andre menyadari pandanganku dan dia hanya diam tanpa berusaha memberikan penjelasan. Bahkan sejak awal dia memang tidak ingin
“Kita berdua sama-sama tidak punya jawaban, kan?” Aku dan Andre tenggelam dalam diam. Sungguh tidak ada yang bisa dipastikan dalam hubungan ini. Kami tidak ingin mundur, tapi juga tidak bisa maju. Setelah pertemuan dengan Andre di café, hubungan kami semakin hilang arah. Meski begitu, aku dan Andre masih belum menyerah. Kesabaranku sampai di batas ketika aku baru saja hendak mengistirahatkan badan di sofa. Mbak Pia tergopoh datang dari pintu luar. “Nyonya, ada tuan Fattan di depan gerbang. Boleh masuk?” “Fattan?” punggungku yang nyaris menyentuh empuknya sofa kembali menegak. “Kenapa dia datang lagi?” tanyaku entah pada siapa, karena suara yang keluar lebih mirip dengan gumaman. Wajah Mbak Pia terlihat tegang. “Katanya ingin ketemu anak-anak.” Anak-anak? Apakah Fattan akan terus menjadikan anak-anak alasan untuk datang ke rumahku. Walau tidak ada yang tahu maksud hati Fattan sebenarnya, tapi aku mengenal Fattan dengan baik. Dia bukanlah ayah yang akan senang hati meluangkan waktu
“Fattan, berhentilah mengatakan sesuatu yang mungkin bisa menyakiti kita berdua.” Wajahku membeku. Aku tahu Fattan tidak pernah tulus tentang apa pun bahkan yang berhubungan dengan anak-anaknya. Pertanyaan yang baru saja dia lontarkan tidak pernah ada dalam perdiksiku. Itu sangat mengejutkan. Kegelisahanku kian menggenang di dasar perut manakala Fattan justru memilih untuk terus memandangku. Dia berharap belas kasihan dan kelembutan? Aku tidak punya semua itu, khususnya untuk Fattan. Setelah dia melihat tidak ada peluang, Fattan pun keluar dan berlalu. Aku menghembuskan nafas lega dan segera menutup pintu gerbang. Lalu kembali ke dalam rumah. Semua masih aman. Keculia perasaanku yang berantakan. Setelah beberapa hari, aku dan Andre sama sekali tidak berkomunikasi. Aku pikir kami berdua butuh waktu untuk melakukan introspeksi tentang apa yang kami inginkan satu sama lain. Dan malam itu, ketika malam menanjak menuju tengah, tiba-tiba ponselku berbunyi. “Din, kau sudah tidur?” tanya