Duh, biang ruwet! Mo Ngapain lagi cobaaaa
“Fattan? Kalian sudah gila!” Badai menerjang perutku. Aku urung mengemudikan mobil untuk meninggalkan rumah mewah yang berdiri di depanku ini. Saat Fattan di sambungan telepon, rumah ini kembali bersaksi atas semua yang pernah terjadi. Ingatan ketika pertama kali Fattan membawaku masuk ke rumah ini setelah ijab kabul pernikahan. Lalu bahagia kami dengan kelahiran Anaya. Indahnya rumah tangga yang mewakili surga untuk diimpikan. Hingga semuanya terpaksa hancur seperti kepingan. Alam melakukan seleksi tentang siapa yang haru bertahan dan pergi. “Kenapa kau menghubungiku? Jangan bilang kau tidak tahu apa yang sedang terjadi.” Suaraku tertahan. Sedalam mungkin aku berusaha terdengar tenang. Hembusan nafas Fattan terdengar di ujung sambungan. “Terlalu naif jika kukatakan aku tidak tahu. Aku tahu semuanya, Adina. Kalila mengirim pesan ke emailku.” Senyum miringku timbul, “suami istri berkirim pesan dengan email? Kalian dalam hubungan bisnis atau rumah tangga?” “Aku mengganti nomor tele
“Ya, ini tentang kita dan juga bukan tentang kita.” Kata-kataku yang berbelit pasti membuat Andre semakin berpikir. Alih-alih mencari tahu, Andre yang mendengar suaraku yang sedang gelisah, mengakhiri pembicaraan. “Baiklah, Din. Sampai ketemu jam satu siang, ya.” Setelah menutup sambungan telepon. Aku melemparkan ponselku ke sembarang arah di kasur. Tidak pernah terpikirkan bahwa masa lalu bisa kembali menjadi bagian dari masa depan. Serealistis bahwa sebuah cerita hidup tidak bisa dipisahkan dari cerita hidup berikutnya. Sampai sekarang, hubungan kami masih juga sulit untuk dimengerti. Tidak ada keterikata yang pasti menjadi masa depan, namun juga tidak bisa diabaikan. Jika Andre adalah bagian dari masa depan yang kurindukan, penting baginya untuk tahu apa yang akan kami hadapi bersama. “Mbak Pia, saya keluar dulu.” Mataku berkeliling mencari sesuatu saat aku keluar kamar dan berpamitan pada Mbak Pia yang sedang sibuk di dapur. Mbak Pia tersenyum tipis, “Tuan Jafar sedang tidur,
“Ndre! Apa kamu pikir aku mau anak itu bersamaku? Aku sudah berusaha mengembalikan dia pada orang tuanya.” Emosiku menjadi sulit untuk kuredam. Kata-kata Andre terdengar seperti perintah dan tuduhan. “Bagaimana kau berusaha mengembalikan anak itu?” Sama sekali tidak ada keramahan dan sikap sabar dalam diri Andre yang selama ini kukenal. “Aku mendatangi rumah Fattan tadi pagi.” “Dengan membawa anak itu?” tanyanya cepat. “Aku pergi sendiri. Karena di suratnya Kalila ingin meninggalkan Indonesia. Aku harus memastikan bahwa dia memang masih tinggal di sana?” Wajah Andre seketika berkerut menunjukkan bahwa dia tidak senang, “Aku rasa kau ke sana untuk bertemu Fattan.” Itu terdengar seperti tuduhan. Apa yang terjadi pada Andre? Kata-katanya membuatku terkejut, begitu jauh dengan apa yang bisa kupikirkan tentang bertukar pikiran. Andre justru melihat sesuatu dari sudut pandangnya sendiri. Berada di depan Andre dengan masalahku, aku justru merasa Andre sedang membuat masalahku semakin
“Ok. Aku akan datang sendiri. Langsung melibatkan Anaya rasanya terlalu berisiko,” jawabku setelah memikirkan beberapa saat. Jawabanku tampaknya membuat Fattan tidak terlalu senang. Wajah Fattan terlihat muram. Sepertinya, Fattan tidak setuju dengan ideku. Di sisni lain, aku tidak bisa melibatkan Anaya dalam suatu peristiwa yang belum kuketahui akan berlangsung seperti apa. Bagaimana ibu Andre akan menanggapiku, penerimaannya dan sikapnya. Jika yang terburuk yang harus terjadi, Anaya tidak perlu menjadi bagian yang tidak menyenangkan itu. Aku harus memastikan Anaya tetap aman secara mental. Andre beberapa saat terdiam, sambil menggaruk alis kanan, “baiklah. Terserah kau saja.” “Terima kasih. Aku harus pergi untuk menjemput Anaya.” Aku bersiap berdiri untuk pergi. Kali ini lebih tenang. Berharap tidak ada lagi keributan dan ketegangan di antara kami. “Hati-hati, ya.” Andre mengelus pundakku. Aku tersenyum lalu mengangguk. Lalu berjalan menuju ke pintu keluar restaurant. Ada perasa
“Ehh… Bu Meylani, nggak boleh gitu, ah.” Bu Rt menarik perlahan lengan Meylani yang mencoba menghalangi jalanku untuk masuk ke rumah Bu Rt. Tidak ingin begitu saja diam, aku mendekat pada Meylani. “Apa maksudmu?” “Lho, kamu merasa sebagai penggoda suami orang? Kalau kamu nggak merasa, ya nggak usah marah donk!” Meylani memutar bola mata. Tampaknya dia sengaja bersikap menjengkelkan untuk memancing amarahku. Jika terjai keributan antara kami berdua, hampir bisa dipastikan, akulah orang yang akan dipermalukan. Meylani pasti tidak segan mengeluarkan hinaan dan cacian. Aku merasa banyak mata yang memandang ke arahku. Ruangan besar rumah Bu Rt yang semula riuh berubah sepi. Ya, aku menjadi pusat perhatian. Dari cara mereka bersikap dan melihatku, hampir bisa dipastikan bahwa banyak pembicaraan tentangku telah terjadi di ruangan ini. Atau bahkan di tempat lain yang tidak ada aku di sana. Melihat tabiat ibu-ibu cluster yang sebagian punya banyak waktu untuk berbicara satu sama lain, aku
“Beraninya, kamu!” Meylani mengulurkan tangan untuk menjangkauku. Dia ingin menyerangku seperti yang pernah dia lakukan sebelumnya. Aku melangkah mundur dengan cepat. Beberapa orang wanita yang ada di dekat Mey segera memegangi tangannya. “Bu Mey, sabar. Sudah, Bu… sudah!” Sementara Mey mencoba untuk memberontak. Matanya merah melotot ke arahku. Aku berdiri lebih jauh tanpa menunjukkan rasa takut. Kali ini aku akan membela harga diriku. “Kamu pantas mendapatkan itu. Jika kamu pikir aku tidak tahu apa yang kamu katakan pada mereka, kamu salah. Aku diam karena aku enggan memulai keributan.” Aku melihat sekeliling untuk memastikan semua orang mendengar apa yang aku katakan. Beberapa orang wanita tampak menghidari bertatap mata denganku. Wajah mereka terlihat menyiratkan sedikit ketakutan. Terutama mereka yang mungkin pernah terlibat pembicaraan dengan Meylani tentangku. Alih-laih mereda, Mey justru semakin kuat mempertahankan pendapatnya. “Kenapa kamu menolak kenyataan? Kan kamu mem
“Apa?!” Wanita-wanita yang berdiri di di ruangan itu melotot tidak percaya. Serempak mereka menujukkan pandangan ke arahku. Meylani menjadi orang yang akhirnya memecah keheningan. Tawanya terengar nyaring. Dia meletakkan kotak perhiasan yang ada di tangannya ke atas meja. Senyum sinisnya muncul ke permukaan wajah. “Terima kasih sudah memberikan kami lelucon yang bagus, Adina. Kami mengerti bahwa kau sangat menginginkan perhiasan itu. Tenang saja, Bu Mira akan membawa koleksi lain yang lebih murah lain waktu.” Anggukan Meylani setelah menyelesaikan kalimatnya menjadi sebuah isyarat bagi Mira. “Oh, iya. Tentu saja. Selain yang bernilai ratusan juta, saya juga punya beberapa perhiasan yang lebih murah. Nilainya hanya beberapa puluh juta. Saya rasa itu masih layak untuk dimiliki oleh Bu Adina.” Bu Rt yang sejak tadi mencoba memperlihatkan sikap netral pun ikut angkat bicara, “Terima kasih, lho Bu Mira. Dia ini memang pebisnis yang sangat baik,” ucapnya sambil tersenyum ke arahku. “Nah,
“Hi, Ndre. Kapan kau datang?” Aku memberikan Jafar pada Mbak Pia. Perlahan berjalan menuju Andre. Pria itu memasang wajah yang sangat tidak bersahabat. Tampaknya dia sedang marah. Bahkan Andre tidak mengucapkan salam atau menyapa Anaya saat dia tiba di depan pintu rumah. Matanya sama sekali tidak beralih padaku. Dia tetap melihat pada Jafar dengan sejuta kemurkaan. “Sejak tadi aku berdiri di sini. Kau tidak menyadari itu karena sibuk dengan anak laki-laki itu.” Itu terdengar ketus. Aku menoleh ke arah yang sama, “Maksudmu Jafar? Kamis sedang bermain sambil menunggu datang. Anaya kelihatan bahagia sejak Jafar ada di rumah ini.” “Aku heran padamu, Din. Bagaimana kau bisa menyayangi Jafar seperti anakmu? Dia adalah anak wanita yang pernah menyakitimu. Juga pria yang pernah mencampakkanmu.” Keningku tak ayal berkerut mendengar pernyataan itu. “Ya, memang. Tapi, dia sekarang ada di rumah ini. Dia bagian dari kami. Setiap detik tentu mengubah banyak hal. Lagi pula anak itu tidak bersala