Lho?! Gimana caranya Ndre?!
“Ndre! Apa kamu pikir aku mau anak itu bersamaku? Aku sudah berusaha mengembalikan dia pada orang tuanya.” Emosiku menjadi sulit untuk kuredam. Kata-kata Andre terdengar seperti perintah dan tuduhan. “Bagaimana kau berusaha mengembalikan anak itu?” Sama sekali tidak ada keramahan dan sikap sabar dalam diri Andre yang selama ini kukenal. “Aku mendatangi rumah Fattan tadi pagi.” “Dengan membawa anak itu?” tanyanya cepat. “Aku pergi sendiri. Karena di suratnya Kalila ingin meninggalkan Indonesia. Aku harus memastikan bahwa dia memang masih tinggal di sana?” Wajah Andre seketika berkerut menunjukkan bahwa dia tidak senang, “Aku rasa kau ke sana untuk bertemu Fattan.” Itu terdengar seperti tuduhan. Apa yang terjadi pada Andre? Kata-katanya membuatku terkejut, begitu jauh dengan apa yang bisa kupikirkan tentang bertukar pikiran. Andre justru melihat sesuatu dari sudut pandangnya sendiri. Berada di depan Andre dengan masalahku, aku justru merasa Andre sedang membuat masalahku semakin
“Ok. Aku akan datang sendiri. Langsung melibatkan Anaya rasanya terlalu berisiko,” jawabku setelah memikirkan beberapa saat. Jawabanku tampaknya membuat Fattan tidak terlalu senang. Wajah Fattan terlihat muram. Sepertinya, Fattan tidak setuju dengan ideku. Di sisni lain, aku tidak bisa melibatkan Anaya dalam suatu peristiwa yang belum kuketahui akan berlangsung seperti apa. Bagaimana ibu Andre akan menanggapiku, penerimaannya dan sikapnya. Jika yang terburuk yang harus terjadi, Anaya tidak perlu menjadi bagian yang tidak menyenangkan itu. Aku harus memastikan Anaya tetap aman secara mental. Andre beberapa saat terdiam, sambil menggaruk alis kanan, “baiklah. Terserah kau saja.” “Terima kasih. Aku harus pergi untuk menjemput Anaya.” Aku bersiap berdiri untuk pergi. Kali ini lebih tenang. Berharap tidak ada lagi keributan dan ketegangan di antara kami. “Hati-hati, ya.” Andre mengelus pundakku. Aku tersenyum lalu mengangguk. Lalu berjalan menuju ke pintu keluar restaurant. Ada perasa
“Ehh… Bu Meylani, nggak boleh gitu, ah.” Bu Rt menarik perlahan lengan Meylani yang mencoba menghalangi jalanku untuk masuk ke rumah Bu Rt. Tidak ingin begitu saja diam, aku mendekat pada Meylani. “Apa maksudmu?” “Lho, kamu merasa sebagai penggoda suami orang? Kalau kamu nggak merasa, ya nggak usah marah donk!” Meylani memutar bola mata. Tampaknya dia sengaja bersikap menjengkelkan untuk memancing amarahku. Jika terjai keributan antara kami berdua, hampir bisa dipastikan, akulah orang yang akan dipermalukan. Meylani pasti tidak segan mengeluarkan hinaan dan cacian. Aku merasa banyak mata yang memandang ke arahku. Ruangan besar rumah Bu Rt yang semula riuh berubah sepi. Ya, aku menjadi pusat perhatian. Dari cara mereka bersikap dan melihatku, hampir bisa dipastikan bahwa banyak pembicaraan tentangku telah terjadi di ruangan ini. Atau bahkan di tempat lain yang tidak ada aku di sana. Melihat tabiat ibu-ibu cluster yang sebagian punya banyak waktu untuk berbicara satu sama lain, aku
“Beraninya, kamu!” Meylani mengulurkan tangan untuk menjangkauku. Dia ingin menyerangku seperti yang pernah dia lakukan sebelumnya. Aku melangkah mundur dengan cepat. Beberapa orang wanita yang ada di dekat Mey segera memegangi tangannya. “Bu Mey, sabar. Sudah, Bu… sudah!” Sementara Mey mencoba untuk memberontak. Matanya merah melotot ke arahku. Aku berdiri lebih jauh tanpa menunjukkan rasa takut. Kali ini aku akan membela harga diriku. “Kamu pantas mendapatkan itu. Jika kamu pikir aku tidak tahu apa yang kamu katakan pada mereka, kamu salah. Aku diam karena aku enggan memulai keributan.” Aku melihat sekeliling untuk memastikan semua orang mendengar apa yang aku katakan. Beberapa orang wanita tampak menghidari bertatap mata denganku. Wajah mereka terlihat menyiratkan sedikit ketakutan. Terutama mereka yang mungkin pernah terlibat pembicaraan dengan Meylani tentangku. Alih-laih mereda, Mey justru semakin kuat mempertahankan pendapatnya. “Kenapa kamu menolak kenyataan? Kan kamu mem
“Apa?!” Wanita-wanita yang berdiri di di ruangan itu melotot tidak percaya. Serempak mereka menujukkan pandangan ke arahku. Meylani menjadi orang yang akhirnya memecah keheningan. Tawanya terengar nyaring. Dia meletakkan kotak perhiasan yang ada di tangannya ke atas meja. Senyum sinisnya muncul ke permukaan wajah. “Terima kasih sudah memberikan kami lelucon yang bagus, Adina. Kami mengerti bahwa kau sangat menginginkan perhiasan itu. Tenang saja, Bu Mira akan membawa koleksi lain yang lebih murah lain waktu.” Anggukan Meylani setelah menyelesaikan kalimatnya menjadi sebuah isyarat bagi Mira. “Oh, iya. Tentu saja. Selain yang bernilai ratusan juta, saya juga punya beberapa perhiasan yang lebih murah. Nilainya hanya beberapa puluh juta. Saya rasa itu masih layak untuk dimiliki oleh Bu Adina.” Bu Rt yang sejak tadi mencoba memperlihatkan sikap netral pun ikut angkat bicara, “Terima kasih, lho Bu Mira. Dia ini memang pebisnis yang sangat baik,” ucapnya sambil tersenyum ke arahku. “Nah,
“Hi, Ndre. Kapan kau datang?” Aku memberikan Jafar pada Mbak Pia. Perlahan berjalan menuju Andre. Pria itu memasang wajah yang sangat tidak bersahabat. Tampaknya dia sedang marah. Bahkan Andre tidak mengucapkan salam atau menyapa Anaya saat dia tiba di depan pintu rumah. Matanya sama sekali tidak beralih padaku. Dia tetap melihat pada Jafar dengan sejuta kemurkaan. “Sejak tadi aku berdiri di sini. Kau tidak menyadari itu karena sibuk dengan anak laki-laki itu.” Itu terdengar ketus. Aku menoleh ke arah yang sama, “Maksudmu Jafar? Kamis sedang bermain sambil menunggu datang. Anaya kelihatan bahagia sejak Jafar ada di rumah ini.” “Aku heran padamu, Din. Bagaimana kau bisa menyayangi Jafar seperti anakmu? Dia adalah anak wanita yang pernah menyakitimu. Juga pria yang pernah mencampakkanmu.” Keningku tak ayal berkerut mendengar pernyataan itu. “Ya, memang. Tapi, dia sekarang ada di rumah ini. Dia bagian dari kami. Setiap detik tentu mengubah banyak hal. Lagi pula anak itu tidak bersala
“Siapa ya? Mami nggak bilang akan ada tamu lain.” Andre mengernyitkan kening. Perlahan dia melepaskan gandengan tangannya dari tanganku ketika kami masuk ke ruang makan. Aku melangkah perlahan di belakang Andre. Ketika mami Andre menyadari kedatangan kami, dia menolah dan melebarkan senyuman. “Adina! Ayo sini, masuk!” Wanita yang masih tetap cantik di usia matang itu berdiri menyambutku. Bukan hanya menyambut, dia juga membentangkan tangan untuk menawarkan pelukan. Sambutannya membuat suasana hatiku membaik. Itu sangat berubah jika dibandingkan dengan terakhir kali kami bertemu, saat Mami Andre mentah-mentah menolakku di akhir cerita. Mungkin Andre sudah menjelaskan banyak hal. Atau dia mengalah pada keinginan putranya. Tidak ingin mengecewakan, aku juga menyambut pelukan Mami Andre. “Apa kabar, Tante?” tanyaku. “Baik. Sangat baik. Apalagi ketika Andre mengatakan kalian ingin menemuiku. Aku senang sekali. Ayo duduk.” Dia membalikkan badan untuk kemudian kembali ke kursi tempatnya
“Setelah kami meminta untuk pertemuan malam ini, Mami tahu bahwa kamu tidak bisa dihentikan. Jika pun Mami tidak setuju kamu memilih Adina, kalian tentu tidak akan peduli dan tetap dalam rencana. Bukan begitu?” Mami Andre meletakkan sendok di atas piringnya. Lestari yang masih sibuk makan pun bergegas menghentikan kegiatannya karena melihat hal itu. Kami semua tidak lagi menikmati hidangan termasuk aku. Sekarang waktunya untuk fokus bicara. “Aku memang sudah memilih Adina. Itu sudah kukatakan pada Mami.” Andre kembali menegaskan. Mami Andre melihatku sambil tersenyum dan menggeser pandangannya pada Lestari. “Tentu, dan Mami tidak akan menghalangi. Kau boleh menentukan siapa calon istri yang kau inginkan. Di sini Mami hanya ingin memberikanmu pilihan yang lebih mudah. Menikah dengan Adina, artinya bukan hanya tentangmu dan Adina. Itu juga tentang masa lalunya, anaknya dan bagian hidupnya yang lain. Orang yang pernah bersama dalam pernikahan dengan pria lain tentu berbeda dengan oran
“Betul, Adina. Maaf karena aku terlambat memberitahumu tentang hal ini. Atau bahkan sebenarnya aku tidak perlu memberitahumu.” Manaf tertunduk lesu. Berita kematian Vivian seperti tenggelam di telan oleh kabar yang Manaf berikan. Semua ini terjadi secara tiba-tiba. Aku bahkan tidak mengerti bagaimana seharunya berekspresi dengan semua ini. Jika aku adalah anak angkat El Khairi, maka artinya aku dan Tara sama sekali bukan saudara. Tidak ada darah yang sama diantara kami. Keesokan harinya, Maaf meninggalkan Indonesia dan kembali ke Turki. Tara tinggal di mansion yang sama denganku. Hubungan kami menjadi sangat canggung dan aneh, terutama ketika kami hanya berdua saja. Di depan Anaya, Rayyan dan Jafar semua terlihat normal. Namun saat itu hanya tentang aku dan Tara, maka kami menjadi dua orang asing yang sedang belajar saling mengenal. “Nyonya, malam ini akan ada pesta di Deluxe Building. Tuan Tara meminta anda bersiap untuk ikut bersamanya.” Harry menyampaikan pesan Tara saat aku seda
“Adina, maafkan aku. Aku sudah melakukan yang terbaik, tapi ini semua di luar kendaliku.” Kata-kata Tara semakin membuatku khawatir. Aku yakin ada hal buruk yang terjadi. “Tara, katakan dengan jelas. Jangan menganggapku terlalu lemah untuk mendengar apa pun. Aku lebih kuat dari yang kau bayangkan. Aku ingin tahu semuanya. Katakan!” Aku tidak bisa lagi menahan amarah karena Tara terlalu lama diam dan berusaha menahan tiap detik untuk berbicara “Vivian tewas tertembak.” Sebuah bom meledak di kepalaku. Ponsel di tanganku meluncur ke bawah dan mendarat di atas lantai batu taman. Tentu saja panggilan telepon dari Tara terputus. Aku membeku tanpa ekspresi. Berita ini terlalu sulit untuk diterima dan diidentifikasikan dengan kata. Dari kejauhan Harry berlari dan mendekatiku. Setelah sambungan telepon kami terputus, Tara pasti langsung menghubungi Harry. Karena itulah Harry datang untuk memastikan keadaanku baik-baik saja. Harry tertegun elihat ponselku yang hancur di atas tanah. Dia berl
“Ke tempat dimana seharusnya anda berada, Nyonya.” Harry menyahut dari kursi penumpang depan tanpa menoleh ke arahku. Aku yang duduk bersama Anaya di kursi belakang memilih diam. Anaya tertidur nyenyak dengan kepala di pangkuanku sejak kami mulai meninggalkan cluster. Aku tidak pernah meragukan Tara atau Harry. Bahkan dengan menutup mata dan tanpa memberikan detail, aku akan mengikuti mereka dengan rasa percaya. Sebuah tempat yang Harry katakan itu akhirnya adalah sebuah mansion yang berada di perbatasan Jakarta-Bogor. Sesuatu yang tidak pernah aku bayangkan bahkan dengan sebuah imajinasi tentang Adina El Khairi. Pintu gerbang mansion itu berada sekitar dua kilometer dari bangunan utama. Gerbang emas tinggi dengan penjagaan beberapa security berbadan tegap. Saat tiba di depan pintu gerbang, para penjaga mansion berlarian dan bergegas membuka pintu. Mobil yang kami naiki dan empat mobil lain di belakang kami masuk dengan lancar. Jalanan menuju ke bangunan utama adalah sebuah taman de
“Ya kita berangkat.” Aku mengangguk. Harry mengangkat tangan dan memberikan instruksi pada beberapa orang pria yang berbaju hitam di luar gerbang. Mereka masuk ke dalam rumahku dan mulai berbicara dengan para pelayan dan pengasuh. Ibu-ibu tetangga yang melihat pemandangan itu mendadak diam. Mereka tentu saja bingung karena ini adalah hal berbeda dari yang biasa mereka saksikan. Sebaliknya, Meylani justru mencibir. “Oh! Jadi memang kamu sudah berniat tidak tinggal lama ya di cluster ini. Pantas saja kamu tidak peduli dengan ketentraman cluster ini,” ujar Meylani sinis. “Iya! Bener tuh! Baguslah dia pergi. Jadi cluster kita kembali aman dan damai!” “Dia memang tidak pantas tinggal di sini.” “Itu pasti orang-orang suruhan suaminya. Dia mungkin istri kedua atau simpanan seorang pejabat.” Suara-suara terdengar di sekitar telingaku. Para wanita itu bergumam dengn opini mereka sendiri. Satu hal yang pasti, tidak ada opini baik yang kudengar di sana. Aku hanya diam dan membiarkan semuan
“Kita akan menuju ke tempat seharusnya kita berada. Tempat ini bukan tempat seharusnya kita tinggal.” Aku menggeser berdiriku dan melihat keluar jendela. Tatapanu menyapa sekitar di mana sebelumnya kami berharap banyak pada kehidupan. Mbak Pia diam. Dia bingung dengan apa yang aku katakan. Pembantuku itu selalu percaya pad keputusan apa pun yang aku buat. Dia tidak bertanya lebih banyak. Setelah mengangguk tanda mengerti, dia beranjak ke dapur. Beberapa saat kemudian, rumah kami sedikit riuh karena pengasuh Jafar dan Rayyan mulai mengemas barang-barang pribadi dua bayi itu. Belum lagi sesekali tangisan muncul dri keduanya. Aku bahkan perlu sedikit beradaptasi mendengar suara-suara yang tidak biasa aku dengar. Sejak Anaya beranjak dewasa, di rumah kami segalanya menjadi tenang. Nyaris tidak pernah terjadi keributan dan tangisan seperti yang terjadi saat ini. Aku menenangkan diri di dalam kamr setelah Anaya pulang dari sekolah dan menyelesaikan makan siangnya. Sebuah ketukan memaksa
“Banyak hal yang berjalan dan tidak bisa kita ubah.” Aku menegaskan pada Andre. Sejujurnya ini terasa seperti sedang membunuh harapan dalam diriku sendiri. Semua ini jauh lebih baik daripada terus tenggelam dalam mimpi. Harapan tentang hubungan mereka bagiku nyaris seperti hamparan pasir yang tidak ingin digenggamnya. Semakin erat aku merapatkan tangan, akan semakin banyak yang harus rela untuk kulepaskan. “Din, kita sudah jauh berjalan. Masa depan yang pernah aku bayangkan adalah bersamamu.” Andre menggenggam tanganku. Aku tersenyum dan menarik tanganku dari genggaman Andre. “Terima kasih sudah begitu percaya pada hubungan kita, Ndre. Keputusan ini aku ambil bukan murni karenamu. Ini juga tentang diriku sendiri.” “Apa maksudmu dengan tentang dirimu sendiri? Apakah kau memang tidak ingin bersamaku sejak awal? Lalu kenapa kita berdua harus membuang waktu jika kau memang tidak serius dengan semua ini sejak awal?” Andre memaksa agar arah angin berpihak padanya. Aku menggeleng ringan.
“Apakah aku perlu memberikan alasan untuk bertemu denganmu?” tanyaku. Andre tertawa kecil di seberang sambungan. “Tentu saja tidak. Aku hanya terkejut kau ingin bertemu denganku setelah keributan kemarin. Aku pikir kau akan kesal atau marah padaku. Kau bahkan tidak mempersilahkan aku masuk. Kau juga tidak menghubungiku.” Aku diam. Marah dengan Andre? Tentu saja aku marah. Aku bahkan tidak ingin lagi berada di dalam kondisi di mana aku tidak punya kekuatan untuk mengendalikannya. Dua jam kemudian aku sudah duduk di sebuah café dan Andre ada di depanku. Aku lebih tenang meninggalkan rumah karena dua keponakan Mbak Pia sudah datang untuk membantunya mengasuh Jafar dan Rayyan. Seorang security sengaja ditempatkan di rumahku oleh Harry. Pria yang memakai baju security itu sebenarnya adalah salah satu bodyguard Tara dibawah kepemimpinan Harry. Kadang aku merasa takjub dengan hal-hal kecil yang seolah sudah disiapkan oleh Tara. Harry tidak mungkin mengambil keputusan tanpa perintah dari T
“Tuan Tara memberikan alamat ini padaku. Tolong buka pintunya, Tuan Muda Rayyan perlu istirahat segera.” Aku yakin itu adalah orang suruhan Harry yang membawa Rayyan. Ternyata Tara berhasil mengeluarkan Rayyan dari Singapura. Aku bergegas membuka pintu. Saat pintu terbuka seukuran tubuh, aku mundur ke belakang dengan cepat karena pria itu menerobos masuk. Seorang bayi laki-laki tertidur pulas di pelukannya. Pria dengan rambut coklat gelap dan tubuh tegap itu berdiri dengan wajah tegang. Beberapa kali dia menoleh ke belakang seolah sedang cemas jika sesuatu mengikutinya. Aku keluar dari pintu gerbang, menoleh ke kanan dan ke kiri. Entah apa yang aku cari. Aku hanya memastikan semuanya aman. “Kau tidak membawa mobil?” tanyaku ketika masuk kembali ke dalam gerbang. Pria itu menggeleng. Lalu dia melihat ke arah pintu gerbang yang terbuka. “Tolong cepat tutup pintunya,” ujar pria itu. Aku mengangguk dan segera menutup pintu gerbang. Tidak lupa aku kembali memasang gembok pengaman. Wa
“Kembali padamu? Apa kau serius dengan kata-katamu?” tanyaku menyelidik. Segumpal harapan seolah berhasil Fattan dapatkan. Dia terdengar antusias ketika menjawab pertanyaanku. “Tentu saja, aku serius. Aku sangat serius. Aku memang bukan pria yang baik untukmu, tapi aku akan berusaha memperbaiki semuanya.” Jantungku ingin meledak karena tawa yang tertahan di dalam sana. Hari ini benar-benar luar biasa. Begitu banyak kejutan dan kecemasan yang datang bersamaan. Bersama dengan senyum, butiran air mata berjatuhan di pipiku. “Kau bodoh, Fattan!” Aku mengucapkan dengan nada ketus yang pasti menusuk telinga siapa pun yang mendengarnya. “Kau pikir aku selugu dulu ketika masih menjadi istrimu?” “Apa maksudmu, Din? Buka pintunya. Biarkan aku masuk dan mari kita bicara.” Fattan memohon. “Tidak! Jika kau bilang kau bukanlah pria baik, lalu untuk apa aku harus memberikan lagi hidup, waktu dan hatiku untuk pria yang tidak baik? Lalu kau berjanji untuk memperbaiki diri. Kalau kau tidak berhasil