"Sepertinya aku berubah pikiran," ucapku sambil manggut-manggut.
"Aku mau dirujuk, Mas." Kini tatapanku mengarah ke pada Mas Sultan. Mendadak tak terima terlihat kalah di depan Lala. Wanita yang sudah memenangkan hati suamiku, sampai pria itu memilih berpaling. Andai tak melihat kesombongan dan sikap egoisnya, aku pasti memilih menjauh saja dari mereka. Toh, bukan hanya Lala yang salah. Mas Sultan-lah sumber segala kesalahan ini. Kalau saja pria itu menjaga hati dan komitmennya dulu yang tak akan menduakanku sampai kapan pun, pasti perselingkuhan antara dirinya dan Lala tidak akan terjadi. Namun, pelakor itu malah menunjukkan jati dirinya sebagai seseorang yang sengaja menunjukkan eksistensinya. Lala menggeleng. "Nggak mungkin," ucapnya dengan suara yang nyaris tak terdengar olehku. "Kamu nggak mungkin minta dia rujuk kan, Mas!" Dicengkeram pakaian yang melekat di dada suami kami lalu menekannya, seolah tengah menunjukkan emosinya di sana. Dia menolak mempercayaiku kalau Mas Sultan sudah meminta rujuk di Pengadilan. Aku mana bisa melupakan wajah rasa bersalahnya saat meminta maaf dan berharap aku masih mau bertahan di sampingnya. Melihat bagaimana wajah Lala, aku tersenyum puas. Ternyata begini rasanya melihat orang yang dibenci karena telah menyakiti, merasakan sakit di depan mata kita. Meski rasanya ingin menangis, sebab saat ini pria yang kucintai berdiri di antara dua wanita. Ya Tuhan, mataku ... tolong jangan sampai kamu menangis, walau sakit hati yang kurasakan sedang hebat-hebatnya sekarang. Aku ingin terlihat kuat di depan semua orang, terutama mereka yang memposisikan diri sebagai musuhku. "Dia bohong kan, Mas?!" Suara Lala kali ini meninggi. "Stt, La. Orang-orang memperhatikan!" tandas Mas Sultan sambil celingukan. Heh, masih memikirkan orang? Dia seharusnya sudah tak punya muka lagi, setelah berselingkuh. Apalagi Sultan Dewangga seorang famous. Semua sudah melihatnya. Kenapa masih peduli pada pandangan orang-orang? Sementara aku, berusaha tenang dengan menyilang tangan di dada. Di sini akulah yang didzolimi oleh pasangan tak berperasaan di depanku. Mereka yang dulu adalah dua orang paling kupercaya, bisa bersekutu menusuk dari belakang. Kenapa aku harus gentar? Aku tak berbuat kesalahan apa pun. Tak peduli seberapa banyak fans berat Mas Sultan menghujat karena kami memutuskan bercerai. Mereka tak tahu apa pun, andai semua sebaik bayangan mereka, mana mungkin aku seperti ini. Membenci Mas Sultan dan memilih berpisah saja. "Nggak! Mas bilang ke dia, kalau Mas bakal ceraikan dia dan gak akan pernah merujuknya lagi!" tuntut wanita tak tahu malu itu. Siapa sangka kalau dia punya kecemburuan yang besar. Mas Sultan rupanya tak sabar. Pria itu menarik lengan istri barunya dan menjauhi tatapan orang-orang di sekitar. Punya malu juga ternyata. Tak mau kehilangan momen ini, langkah ini tertuntun mengikuti mereka. Jelas sekali raut tak suka di wajah Lala, kala suami kami memaksanya menjauh. "Apa sih, Mas? Lepasin!" omel Lala. Mas Sultan tak peduli dan meneruskan perbuatannya. Di koridor rumah sakit yang lumayan sepi dan jarang orang lewati, kami pun melanjutkan obrolan di sana. Di sana Mas Sultan menghela napas panjang, ia pasti lega karena tak akan ada mata-mata yang memperhatikan. "Mas, kita rujuk aja, ya!" selaku santai. Tak peduli kalau saat ini Lala sedang dikuasai emosi. Justru itu membuatku makin senang, dan semangat untuk meningkatkan level kemarahannya yang merupakan bentuk pelampiasan sakit hatinya. "Apa?!" Lala menoleh sambil berteriak tak suka. Mata bening yang sedari tadi sudah berkaca-kaca perlahan memerah karena amarah yang bertambah-tambah. Rasakan itu. Sudah saatnya kebahagiaan yang sudah ia renggut dariku dan anak-anak berubah menjadi neraka. Aku bersumpah, akan membalas setiap sakit hati yang telah Lala datangkan untuk anak-anakku dan melindungi mereka sampai titik darah penghabisan. Tak peduli jika aku harus menjadi orang lain. "Mas! Katakan yang kuminta tadi!" desak perempuan berkulit bening dengan lesung pipit di wajahhya itu. "La, em. Kita bicarakan baik-baik! Jangan di sini!" Mas Sultan tak langsung menjawab permintaannya. Melihat itu, kusunggingkan senyum semakin lebar. "Ya, sudah selesaikan dulu urusan kalian, Mas. Setelah ini kamu temui aku. Itu kalau kamu benar-benar ingin rujuk," ucapku santai. Ya Tuhan, kutahan gemuruh dan sakit hati dalam dada. Ternyata seperti ini rasanya berpura-pura. Meski tersiksa, rasanya senang dan puas melihat ja -lang itu menderita. Kuayun kaki menjauh dari dua orang yang masih tampak bermasalah itu. Terserah. Itu urusan mereka. "Mas! Kenapa Mas diam saja! Katakan sebelum dia pergi jauh! Katakan Mas tidak akan merujuknya! Aku mau Mas jatuhkan talak tiga untuk perempuan tua itu! Bukanya Mas lebih suka yang muda!" Perempuan gila itu terus berteriak. Dia sepertinya lupa sedang ada di mana. Entah, sejak kapan gadis yang kukenal polos, lembut itu berubah jadi betina tak tahu malu seperti sekarang? Dia bahkan berani mengataiku perempuan tua dan sengaja pamer kalau Mas Sultan lebih menyukainya. Tak apa. Lanjutkan saja, La. Dengan begitu aku tak akan lagi goyah untuk bisa rujuk dengan Mas Sultan, dan bisa memberi pelajaran dengan cara halus. Sehalus caramu merebut suamiku dulu, sampai aku tak tahu kalian menjalin hubungan. Padahal, hampir setiap hari kita ketemu. Aku terus berjalan tak mengindahkan ucapannya. Dan Mas Sultan, tentu saja dia tak akan pernah menuruti Lala. Ini cara satu-satunya dia bisa mendapat maaf dari anak-anak kami, juga menyelamatkan harga diri serta kariernya sebagai konten kreator. "Heh! Wanita tua! Jangan bangga dulu, kalau dia mau rujuk, itu bukan karena kamu yang sudah peot! Itu karena anak-anak kalian yang kamu peralat untuk menarik perhatian Mas Sultan!" teriak perempuan jahat itu. Rupanya tak mendapat respon yang dia mau dari suami tercintanya, dia beralih kembali menyerangku. Sabar, Ririn. Sabar. Yang kamu lakukan sudah benar. "Mas! Kamu diem aja, sih! Pokoknya, kalau kamu tetap rujuk dia, ceraikan aku!" Lala akhirnya kehabisan kesabaran. Saat itu juga langkahku terhenti karena terkejut. Benarkah dia meminta cerai? Kalau begitu, apa Mas Sultan akan berubah pikiran? Memilih antara aku atau Lala? Bersambung...."Mas! Kamu diem aja, sih! Pokoknya, kalau kamu tetap rujuk dia, ceraikan aku!" Lala akhirnya kehabisan kesabaran. Saat itu juga langkahku terhenti karena terkejut. Benarkah dia meminta cerai? Kalau begitu, apa Mas Sultan akan berubah pikiran? Memilih antara aku atau Lala?“Sayang, tolong jangan begini!” Mas Sultan terdengar memohon dengan suara rendah.Sampai sebegitunya dia ke pada perempuan bermuka dua itu. Pasti suamiku benar-benar sedang dimabuk cinta kepada istri mudanya. Ah, memangnya laki-laki normal mana yang tak suka daun muda? Seketika, aku jadi rendah diri. Jika membandingkan fisik antara aku dan Lala. Perempuan muda yang memiliki lesung pipit di wajahnya itu benar. Aku sudah tua dan peot. Jelas saja, Mas Sultan tidak akan pernah lebih mencintaiku ketimbang perempuan muda.Sesuatu yang membuatku memilih mundur saja saat tahu perselingkuhannya. Bukan memberinya pilihan, ceraikan aku atau Lala? Hatiku akan bertambah sakit ketika mendengar dari mulut Mas Sultan kalau dia me
Namun, yang membuatku memicingkan mata, berpikir keras dan tak mengerti adalah pria itu tidak mengejarnya. Dia hanya memanggil. Apa itu cukup?Apa itu artinya, mereka akan bercerai? Semudah ini kah keadaan berbalik?“Huh!”Mas Sultan yang berada tiga meter tak jauh dariku mengembus napas berat. Ke dua tangannya berkacak pinggang, seolah ada beban yang membuatnya ingin beristirahat karena lelah. Heh, tapi mana aku peduli! Hal paling melelahkan adalah menahan diri dan bersikap seolah semua sedang baik –baik saja di depan semua orang. Padahal, hatiku sedang remuk redam karena pengkhianatannya.Lelah dan sakitmu sekarang, belum secuil kuku dari yang aku dan anak –anak kita rasakan.“Puas kamu sekarang?” Suara berat itu menghenyak. Kontan pikiranku tentang Mas Sultan lenyap dan menoleh ke arahnya.Sepertinya aku tidak akan pernah bisa melupakan rasa sakit ini, dan entah bagaimana nanti menjalani kehidupan rumah tangga dengan adik madu di antara kami. Karena aku yakin, pasti Lala tidak semu
Lala terus berjalan dengan langkah gusar. Tiba –tiba saja, kelegaan yang ia rasakan kemarin saat Sultan mengatakan akan resmi bercerai dalam waktu dekat, berubah jadi kekecewaan berat. Semua itu hanya harapan palsu yang Sultan berikan padanya untuk menghiasi malam-malam indah mereka.“Eh, itu Lala bukan, sih?” tanya salah seorang pengunjung yang tengah berdiri di lobi bersama seseorang di sampingnya.“Lala? Siapa?”“Selingkuhan si Sultan yang terkenal itu!”“Oh si konten creator yang sering posting foto harmonis keluarganya?”“Hem, ya. Ngapain pelakor ke sini? Periksa hamil?” ceplosnya lagi.Lala mendengar itu saat lewat. Buru-buru ia menutup kepala dengan hodie yang dikenakan dan memasang masker. Ia membukanya tadi agar bisa puas berteriak ke pada Sultan dan istri pertamanya yang telah membuat perempuan berpenampilan ala Korea itu marah. Saking jengkel, ia sampai tak sadar ada banyak mata mengawasi.Dia lupa bahwa wajahnya sudah tersebar gara-gara seorang netizen memposting di wall R
Ririn melihat sendiri dengan ke dua matanya, pria yang masih berstatus sebagai suaminya, lebih memilih mendatangi wanita lain ketimbang Afif yang sudah dikabarkan kritis oleh seorang perawat. Bahkan tadi, Ririn mendengar percakapan antara Sultan dan suster. Pria itu sudah tahu konsisi Afif, tapi masih juga memilih meninggalkannya.Ibu mana yang tak sakit, kala anaknya yang tengah sekarat di depannya ditinggalkan oleh orang yang sangat diinginkan kehadirannya. Seseorang yang namanya terus saja disebut dan dipanggil-panggil karena Afif mengharapkan kehadiran sang papa di sisi anak kecil itu.Tapi kenyataan jauh dari harapan, pria itu berlari dengan cemas menemui wanita yang sudah mengahncurkan hati Ririn, hati anak-anaknya, terutama Afif yang sudah mulai mengerti masalah orang dewasa.Ririn lalu menggeleng. Tangannya terkepal karena emosi. “Tidak, ini bukan saatnya!”Ia memilih tak peduli dan kembali berlari menuju kamar putra sulungnya dirawat. Apa gunanya memikirkan dua orang yang tid
“La …!” panggilan itu tertahan, saat tiba-tiba terlintas di pikiran Sultan apa yang bisa terjadi ke depan jika dia nekad menemui Lala sekarang.Saat di mana perempuan cantik yang telah sah menjadi istri mudanya itu berada di tengah-tengah orang banyak. Bahkan perempuan itu sedang menjadi pusat perhatian. Keberadaannya di lobi seperti magnet yang memaksa tatapan semua orang mengarah ke pada perempuan yang berpenampilan stylish tersebut.Sultan menghela napas berat. Jika dia memaksa, semua semakin runyam dan karier ke depan akan semakin hancur. Padahal, untuk sekarang … dia sudah melihat cahaya saat Ririn mengatakan mau rujuk. Memulai dari awal dan memperbaiki semuanya. Ya, semua belum terlambat. Meski tadi istri pertamanya sempat mengatakan membatalkan keinginan untuk rujuk, tapi bagi Sultan yang sudah mengenal luar dalamnya Ririn, merasa ini belum keputusan final dan dia masih bisa membujuknya nanti.Kaki Sultan benar-benar berat untuk maju, tak peduli seberapa Lala terlihat tersiksa
“Mas! Tunggu!” Dea memanggil kakaknya agar jangan langsung mematikan panggilan. Ada hal yang harus ia sampaikan ke pada Sultan sekarang.“Ada apa?” tanya pria itu tanpa mengurangi kecepatan langkahnya.“Mas, aku nggak bisa masuk sekarang.” Suara di ujung telepon membuat langkahnya seketika terhenti. Lalu, bagaimana nasib Lala di lobi. Tak ada seorang pun yang terlihat bersimpati padanya. Dia hanya takut saja kalau ada salah satu dari mereka ada yang nekad menghakimi saking bapernya pada kehidupan Sultan dan Ririn.“Kenapa? Jangan bilang kamu takut, Deh!”“Nggak, Mas! Aku sedang di Kafe. Ada hal mendesak yang harus aku urus.”“Hais .…” Sultan mendesis kesal. Lalu memejamkan mata menahan emosi. Kenapa harus di saat seperti ini?“Sorry, Mas. Aku gak bisa pergi sekarang. Ini juga demi masa depanku.”“Jangan bilang kamu bertemu pria itu lagi.” Sultan geram.Ia membalik tubuh, dan bergarak kembali ke arah lobi. Nanti saja, melihat Afif, yang penting dia sudah ditangani dokter. Lagi pula ada
Hidup sedang lelah-lelahnya, malah bertemu mantan dengan cara tak terduga seperti ini. Untung saja, si mantan yang mati-matian dulu, ingin Lala lupakan tidak mengetahui bagaimana kisah hidupnya yang telah mendapatkan cap pelakor dari ikatan netizen emak-emak Indonesia. Setidaknya itulah yang Lala pikirkan hingga ia merasa masih punya muka dan mengikuti David ke mobil dan mengantarkannya.“Kamu nggak papa, Mbak?” tanya Vania.“Huum.” Lala mengangguk dengan ekspresi wajah miris.“Ini minumlah.” Diserahkan botol mineral yang masih bersegel ke pada Lala agar ia bisa mendapat asupan yang menenangkan.Bagaimana bisa Lala tidak apa-apa? Jelas-jelas tadi adik mantannya itu tahu bagaimana Lala jatuh di depan semua orang. Dan sekarang mentalnya sedang sakit karena cacian mereka. Entah kenapa, Vania tak peka, apa karena dia adik David. Memang kakak dan adik sama saja.Sementara David hanya menatap dari kaca spion bagaimana Lala tampak tak baik-baik saja. Ia ingin mengatakan sesuatu tapi enggan.
Lutut Sultan lemas hingga ia akhirnya terduduk di lantai. Hancur sudah semuanya. Bukan hanya kehilangan anak, dunia akan mengutuknya karena kepergian Afif pasti dihubung-hubungkan dengan pernikahan keduanya yang dilakukan secara diam-diam. ‘Apa ini Tuhan? Sebenarnya dosa besar mana yang hamba lalukan, sampai Engkau enggan mengampuni dan malah menghinakan hamba di dunia seperti ini?’ Kehadiran Sultan mengalihkan perhatian Ririn yang tengah menangis tersedu-sedu di depan mayat anaknya. Dia seperti menemukan pembunuh yang harus bertanggung jawab atas kematian Afif. Dia berdiri dan mendekat ke arah Sultan, langsung saja diletakkan dua tanganya di kerah pakaian sang suami dan menarik-nariknya. “Mas! Kamu akhirnya datang! Kenapa baru sekarang!? Kenapa kamu biarkan dia meratap sakit sendirian, padahal dia sangat menginginkanmu datang dan memeluknya?!” teriakan Ririn membuat siapa saja yang mendengar bisa tahu, betapa dalam rasa sakit ibu beranak tiga itu. “Rin, maafkan aku.” Suara itu t