Ririn melihat sendiri dengan ke dua matanya, pria yang masih berstatus sebagai suaminya, lebih memilih mendatangi wanita lain ketimbang Afif yang sudah dikabarkan kritis oleh seorang perawat. Bahkan tadi, Ririn mendengar percakapan antara Sultan dan suster. Pria itu sudah tahu konsisi Afif, tapi masih juga memilih meninggalkannya.Ibu mana yang tak sakit, kala anaknya yang tengah sekarat di depannya ditinggalkan oleh orang yang sangat diinginkan kehadirannya. Seseorang yang namanya terus saja disebut dan dipanggil-panggil karena Afif mengharapkan kehadiran sang papa di sisi anak kecil itu.Tapi kenyataan jauh dari harapan, pria itu berlari dengan cemas menemui wanita yang sudah mengahncurkan hati Ririn, hati anak-anaknya, terutama Afif yang sudah mulai mengerti masalah orang dewasa.Ririn lalu menggeleng. Tangannya terkepal karena emosi. “Tidak, ini bukan saatnya!”Ia memilih tak peduli dan kembali berlari menuju kamar putra sulungnya dirawat. Apa gunanya memikirkan dua orang yang tid
“La …!” panggilan itu tertahan, saat tiba-tiba terlintas di pikiran Sultan apa yang bisa terjadi ke depan jika dia nekad menemui Lala sekarang.Saat di mana perempuan cantik yang telah sah menjadi istri mudanya itu berada di tengah-tengah orang banyak. Bahkan perempuan itu sedang menjadi pusat perhatian. Keberadaannya di lobi seperti magnet yang memaksa tatapan semua orang mengarah ke pada perempuan yang berpenampilan stylish tersebut.Sultan menghela napas berat. Jika dia memaksa, semua semakin runyam dan karier ke depan akan semakin hancur. Padahal, untuk sekarang … dia sudah melihat cahaya saat Ririn mengatakan mau rujuk. Memulai dari awal dan memperbaiki semuanya. Ya, semua belum terlambat. Meski tadi istri pertamanya sempat mengatakan membatalkan keinginan untuk rujuk, tapi bagi Sultan yang sudah mengenal luar dalamnya Ririn, merasa ini belum keputusan final dan dia masih bisa membujuknya nanti.Kaki Sultan benar-benar berat untuk maju, tak peduli seberapa Lala terlihat tersiksa
“Mas! Tunggu!” Dea memanggil kakaknya agar jangan langsung mematikan panggilan. Ada hal yang harus ia sampaikan ke pada Sultan sekarang.“Ada apa?” tanya pria itu tanpa mengurangi kecepatan langkahnya.“Mas, aku nggak bisa masuk sekarang.” Suara di ujung telepon membuat langkahnya seketika terhenti. Lalu, bagaimana nasib Lala di lobi. Tak ada seorang pun yang terlihat bersimpati padanya. Dia hanya takut saja kalau ada salah satu dari mereka ada yang nekad menghakimi saking bapernya pada kehidupan Sultan dan Ririn.“Kenapa? Jangan bilang kamu takut, Deh!”“Nggak, Mas! Aku sedang di Kafe. Ada hal mendesak yang harus aku urus.”“Hais .…” Sultan mendesis kesal. Lalu memejamkan mata menahan emosi. Kenapa harus di saat seperti ini?“Sorry, Mas. Aku gak bisa pergi sekarang. Ini juga demi masa depanku.”“Jangan bilang kamu bertemu pria itu lagi.” Sultan geram.Ia membalik tubuh, dan bergarak kembali ke arah lobi. Nanti saja, melihat Afif, yang penting dia sudah ditangani dokter. Lagi pula ada
Hidup sedang lelah-lelahnya, malah bertemu mantan dengan cara tak terduga seperti ini. Untung saja, si mantan yang mati-matian dulu, ingin Lala lupakan tidak mengetahui bagaimana kisah hidupnya yang telah mendapatkan cap pelakor dari ikatan netizen emak-emak Indonesia. Setidaknya itulah yang Lala pikirkan hingga ia merasa masih punya muka dan mengikuti David ke mobil dan mengantarkannya.“Kamu nggak papa, Mbak?” tanya Vania.“Huum.” Lala mengangguk dengan ekspresi wajah miris.“Ini minumlah.” Diserahkan botol mineral yang masih bersegel ke pada Lala agar ia bisa mendapat asupan yang menenangkan.Bagaimana bisa Lala tidak apa-apa? Jelas-jelas tadi adik mantannya itu tahu bagaimana Lala jatuh di depan semua orang. Dan sekarang mentalnya sedang sakit karena cacian mereka. Entah kenapa, Vania tak peka, apa karena dia adik David. Memang kakak dan adik sama saja.Sementara David hanya menatap dari kaca spion bagaimana Lala tampak tak baik-baik saja. Ia ingin mengatakan sesuatu tapi enggan.
Lutut Sultan lemas hingga ia akhirnya terduduk di lantai. Hancur sudah semuanya. Bukan hanya kehilangan anak, dunia akan mengutuknya karena kepergian Afif pasti dihubung-hubungkan dengan pernikahan keduanya yang dilakukan secara diam-diam. ‘Apa ini Tuhan? Sebenarnya dosa besar mana yang hamba lalukan, sampai Engkau enggan mengampuni dan malah menghinakan hamba di dunia seperti ini?’ Kehadiran Sultan mengalihkan perhatian Ririn yang tengah menangis tersedu-sedu di depan mayat anaknya. Dia seperti menemukan pembunuh yang harus bertanggung jawab atas kematian Afif. Dia berdiri dan mendekat ke arah Sultan, langsung saja diletakkan dua tanganya di kerah pakaian sang suami dan menarik-nariknya. “Mas! Kamu akhirnya datang! Kenapa baru sekarang!? Kenapa kamu biarkan dia meratap sakit sendirian, padahal dia sangat menginginkanmu datang dan memeluknya?!” teriakan Ririn membuat siapa saja yang mendengar bisa tahu, betapa dalam rasa sakit ibu beranak tiga itu. “Rin, maafkan aku.” Suara itu t
“Bagaimana, Mas? Bagaimana kamu akan menebusnya? Apa kamu akan menghidupkan anakku lagi? Kenapa bukan kamu atau Lala saja yang mati? Kalian yang jahat, tapi kenapa harus anakku yang meninggal??!” Ririn kehilangan kendali atas dirinya.Ditarik dan didorong tangannya yang berada di kerah pakaian milik pria yang sudah menghancurkan hidup Ririn. Dunianya sebagai seorang wanita juga seorang ibu yang sangat mencintai suami dan anaknya. Kenapa tak cukup salah satu saja yang Sultan renggut? Kenapa harus Afif juga yang dibunuh dengan cara diabaikan.“Hidupkan anakku lagi! Kembalikan Afif!” Ririn berteriak. Tak peduli bahwa di ruangan itu sudah banyak petugas rumah sakit, atau pun orang-orang yang tinggal di kamar pasien lain karena anggota keluarganya juga sakit.“Maaf, Rin,” lirih Sultan yang hanya diam dan pasrah layaknya seorang pecundang.Jika kemarin dengan mudah ia menjawab, saat Ririn mempertanyakan kenapa dia selingkuh dan menikahi Lala diam-diam tanpa persetujuannya. Padahal, mereka s
"Ya Allah, Ririn ini kenapa nggak jawab?" keluh ibunya sembari bolak-balik memencet nomor putri semata wayangnya. Wanita paruh baya itu terus cemas sejak siang, karena kabar terakhir Afif cucu pertamanya sedang demam tinggi dan belum turun sejak tadi malam. Namun, tak ada tanda-tanda Ririn mengirim kabar dari sekadar pesan, apalagi telepon.Tadinya ia masih bersabar dan mengharapkan yang terbaik. Hatinya juga tak berhenti melangitkan pinta, agar Afif lekas diberi kesembuhan. Dan semoga, Sultan sudah datang menemani putranya. Seperti dulu, saat dia selalu siaga untuk mereka. Yah, walau ibu Ririn sendiri sadar, sekarang Sultan sudah berada di situasi berbeda setelah pernikahan keduanya dengan salah seorang pegawainya sendiri. Andai bukan karena Afif yang menginginkan papanya menemani di saat seperti sekarang, dia sendiri sebagai ibu Ririn yang sudah dikhianati, tak sudi membiarkan lelaki itu dekat -dekat anak dan cucunya lagi. "Huft."Ibu Ririn menghela napas berat. Kecewa karena usa
Sementara itu Dokter Anita terus bergerak dan mengabaikan ucapan pria yang baru saja datang itu.“Pasien mengalami gagal jantung, Dok!” celetuk salah seorang staf di ruangan itu.‘Bagaimana ini? Bagaimana kalau dia mati karena kelalaianku pergi di saat seharusnya bertugas?’Anita masih bergerak. Keringat mengucur deras jatuh satu –satu di wajahnya yang terbingkai kerudung berwarna putih senada dengan pakaian kerja yang dikenakannya. Namun, meski sudah mengerahkan daya upaya, monitor ICU belum juga memperlihatkan perubahan yang ingin mereka lihat. Sebuah tanda kehidupan, di mana pasien detak jantungnya kembali.Dokter wanita yang sudah senior itu akhirnya merasa lelah. Menyerah dan meletakkan alat yang sedari tadi dipegangnya. Dia merasa semuanya sudah berakhir dan sudah waktunya dia berhenti memaksakan tindakan ke pada ibu muda itu. Helaan napas panjang sebagai bentuk kecewa meluncur dari mulut dokter wanita itu. Langkahnya bergerak mundur meninggalkan tubuh Ririn yang telah kaku, dii