Home / Pernikahan / Kubayar Lunas Tantangan Maduku / Berlindung di Balik Kata Halal

Share

Berlindung di Balik Kata Halal

Namun, yang membuatku memicingkan mata, berpikir keras dan tak mengerti adalah pria itu tidak mengejarnya. Dia hanya memanggil. Apa itu cukup?

Apa itu artinya, mereka akan bercerai? Semudah ini kah keadaan berbalik?

“Huh!”

Mas Sultan yang berada tiga meter tak jauh dariku mengembus napas berat. Ke dua tangannya berkacak pinggang, seolah ada beban yang membuatnya ingin beristirahat karena lelah. Heh, tapi mana aku peduli! Hal paling melelahkan adalah menahan diri dan bersikap seolah semua sedang baik –baik saja di depan semua orang. Padahal, hatiku sedang remuk redam karena pengkhianatannya.

Lelah dan sakitmu sekarang, belum secuil kuku dari yang aku dan anak –anak kita rasakan.

“Puas kamu sekarang?” Suara berat itu menghenyak. Kontan pikiranku tentang Mas Sultan lenyap dan menoleh ke arahnya.

Sepertinya aku tidak akan pernah bisa melupakan rasa sakit ini, dan entah bagaimana nanti menjalani kehidupan rumah tangga dengan adik madu di antara kami. Karena aku yakin, pasti Lala tidak semudah itu menyerah. Hubungannya dengan Mas Sultan sedang panas –panasnya. Belum lagi nanti saat lelaki pengkhianat itu mati –matian mempertahankan Lala.

“Apa?!” tanyaku yang merasa Mas Sultan telah salah bicara.

Bukan tentang aku puas atau tidak, karena tanpa ditanya pun semua orang yang melihat adegan tadi akan tahu apa yang kurasakan sekarang. Aku sangat puas, wanita yang sudah merebut suamiku berlari meninggalkannya sambil menangis. Aku puas karena akhirnya Lala juga merasakan sakit atas hubungan yang dibangunya di atas penderitaanku dan anak-anak.

Hanya saja, apakah tepat pertanyaan itu ditujukan ke padaku? Seolah –olah yang dilakukannya dan Lala adalah sesuatu yang benar dan tak boleh diusik. Enak saja! Merekalah yang mengusikku duluan. Apa aku salah jika merespon dengan cara yang benar. Tidak mengalah seperti banyaknya perempuan yang telah diam –diam ditinggal suami menikah lagi?

“Kamu pasti senang sudah membuatnya menangis,” kesal Mas Sultan.

Aku mengangguk. Tidak memungkiri. “Walau aku hanya mengatakan padamu keputusan akhir tentang ajakan rujuk. Toh, akhirnya dia harus tahu, kan? Aku hanya berusaha untuk mengajarinya juga agar tidak main belakang.”

Mas Sultan tersenyum sinis. Jelas sekali raut tak terima dari wajahnya.

"Harusnya aku yang bertanya itu, Mas. Sudah puas kan bisa bertahan dengan selingkuhanmu? Kalian bahkan sudah punya label halal." Aku tersenyum konyol.

Label itu yang membuatnya berada di atas angin. Padahal apa gunanya halal tapi tidak toyyib? Apa bagusnya hubungan yang dibangun dari sakit hati dan air mata keluarganya? Menipu semua orang demi kebaikan dan kebahagiaan sendiri.

Aku bukan benci poligami. Bukan. Naudzubillah. Semoga Allah melindungi dari itu. Aku benci pada perselingkuhan yang berlindung di balik kata poligami. Mendistorsi kebaikan syariat yang seharusnya menjadi teladan kebaikan semua orang.

"Heh. Pinter sekarang kamu bicara, Rin. Kamu sudah berubah."

"Kamu yang mengubahku. Sudahlah, kalau memang tidak mau rujuk ya, sudah. Kita batalkan saja. Kamu pikir aku senang dengan situasi ini? Aku benci melihatmu, Mas. Kalau bukan karena anak-anak, aku sudah menghilang dari kalian!" cecarku bertubi-tubi. Tak ingin memberinya kesempatan bicara.

"Sana! Pergilah! Kejar dia! Lupakan aku dan anak-anak! Kejar kebahagiaanmu bersamanya! Bukankah hanya itu yang kamu pikirkan!" teriakku lagi. Tak merasa puas hanya dengan mencecarnya.

"Ck ck ck. Kamu ini! Kamu pikir aku di sini untuk siapa? Untuk Afif!" tegasnya.

"Hem, percuma, Mas. Kalau kamu ada di ketiak istrimu, sampai ke sini saja harus mengendap-endap darinya. Kalau sampai kita cerai, aku nggak akan pernah rela anak-anak bersama dengan kalian. Belum apa-apa saja dia sudah mempersulit Afif, padahal dia sedang sakit!!"

Aku masih jengkel, mengingat bagaimana putraku memanggil-manggil papanya dalam keadaan tak sadar efek demam tinggi. Tapi di sisi lain, Lala mewas-wasinya saat akan datang. Tadi malah dibuntuti sampai ke mari.

"Ya Allah, Rin."

"Jangan sebut nama Allah selagi kamu belum menyadari kesalahanmu!"

"Sudahlah, kamu hanya sedang emosi. Kamu jadi terus meletup-letup. Sampai semua hal tentang Lala tampak buruk di matamu! Kamu tahu, aku ke sini atas izinnya. Aku juga yang memaksanya ikut agar bisa membantu mengawasi paparazi. Aku mengendap-endap juga karena takut tertangkap kamera dan ada gosip baru, padahal gosip tentang rumah tangga kita sudah mereda!"

"Kamu pikir aku percaya?"

"Tak penting kamu percaya atau tidak. Aku ... kehilangan banyak job, Rin." Suara itu terdengar melemah juga memelas.

"Heh." Aku memiringkan senyum. Bukannya itu ulahnya sendiri. Apa itu sebanding dengan kejahatannya ke pada kami?

"Aku akan bertanggung jawab atas segala keperluan anak-anak. Jadi ... aku perlu bekerja."

Sekarang dia lupa seolah bicara bahwa rezekinya berada pada upaya dan pekerjaannya. Lupa bahwa Allah yang mengatur semua.

"Kalau kamu tidak mau kesulitan memikirkan kebutuhan anak-anak ke depan, sebaiknya kita rujuk saja. Aku bisa bicara membujuk Lala. Meski dia tampak ketus karena cemburu, aslinya dia perempuan yang lembut."

"Maksudmu lelembut yang membuat tipu daya?" cibirku. Berani sekali dia memuji betina itu di depanku.

"Sudahlah, aku pasti gila karena sempat berpikir untuk rujuk dan hidup bersama kalian!" Emosiku meledak karena ucapan lelaki tak peka itu.

"Rin, tolonglah. Maafkan dia. Aku akan melakukan apa pun yang kamu mau."

Segera kutepis pria itu saat mendekat. Jijik membayangkan bagaimana dia bersikap manis pada Lala.

"Bu Ririn!" seru seorang wanita. Suara itu kembali mengalihkan perhatianku dan Mas Sultan saat bicara.

"Suster?" gumamku heran. Dia perawa yang berjaga di koridor kamar Afif dirawat, tapi kenapa ekspresinya panik begitu.

Belum sempat aku bertanya wanita itu bicara dengan napas tersengah-engah. Sudah mirip orang yang telah melakukan lari marathon.

"Saya cari ke mana-mana. Ibu masih di sini. Anak Ibu tiba-tiba kritis! Dokter meminta Ibu melihatnya sekarang," ucapnya dengan nada panik pula. Sesuatu yang tiba-tiba memacu jantungku berdegup lebih kencang, sangat kencang.

Ya Rabb aku takut .....

"Afif!" Seperti ada sesuatu yang mendorongku. Kulepaskan obat dan amplop cokelat di tangan lalu lari secepat yang kubisa untuk melihat putra kesayanganku.

Bersambung ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status