"Ya Allah, Ririn ini kenapa nggak jawab?" keluh ibunya sembari bolak-balik memencet nomor putri semata wayangnya. Wanita paruh baya itu terus cemas sejak siang, karena kabar terakhir Afif cucu pertamanya sedang demam tinggi dan belum turun sejak tadi malam. Namun, tak ada tanda-tanda Ririn mengirim kabar dari sekadar pesan, apalagi telepon.Tadinya ia masih bersabar dan mengharapkan yang terbaik. Hatinya juga tak berhenti melangitkan pinta, agar Afif lekas diberi kesembuhan. Dan semoga, Sultan sudah datang menemani putranya. Seperti dulu, saat dia selalu siaga untuk mereka. Yah, walau ibu Ririn sendiri sadar, sekarang Sultan sudah berada di situasi berbeda setelah pernikahan keduanya dengan salah seorang pegawainya sendiri. Andai bukan karena Afif yang menginginkan papanya menemani di saat seperti sekarang, dia sendiri sebagai ibu Ririn yang sudah dikhianati, tak sudi membiarkan lelaki itu dekat -dekat anak dan cucunya lagi. "Huft."Ibu Ririn menghela napas berat. Kecewa karena usa
Sementara itu Dokter Anita terus bergerak dan mengabaikan ucapan pria yang baru saja datang itu.“Pasien mengalami gagal jantung, Dok!” celetuk salah seorang staf di ruangan itu.‘Bagaimana ini? Bagaimana kalau dia mati karena kelalaianku pergi di saat seharusnya bertugas?’Anita masih bergerak. Keringat mengucur deras jatuh satu –satu di wajahnya yang terbingkai kerudung berwarna putih senada dengan pakaian kerja yang dikenakannya. Namun, meski sudah mengerahkan daya upaya, monitor ICU belum juga memperlihatkan perubahan yang ingin mereka lihat. Sebuah tanda kehidupan, di mana pasien detak jantungnya kembali.Dokter wanita yang sudah senior itu akhirnya merasa lelah. Menyerah dan meletakkan alat yang sedari tadi dipegangnya. Dia merasa semuanya sudah berakhir dan sudah waktunya dia berhenti memaksakan tindakan ke pada ibu muda itu. Helaan napas panjang sebagai bentuk kecewa meluncur dari mulut dokter wanita itu. Langkahnya bergerak mundur meninggalkan tubuh Ririn yang telah kaku, dii
“Cepat naik, Bu!” Pria yang memakai seragam keamanan itu masih dalam posisi berjongkok, menunggu respon Lala yang tak juga bergerak.Dia sadar, kalau istri ke dua pria kaya bernama Sultan itu pasti memikirkan efeknya. Dia akan digunjing orang –orang yang berprasangka buruk. Namun, bukankah sekarang bukan saatnya untuk memikirkan pikiran orang julid di luar sana. Wanita itu butuh pertolongan.Satpam itu menyentak napas. Ia tak sabar lagi, dan akhirnya membalik tubuh untuk melihat wanita itu dengan posisi yang sudah tegak.“Apa Ibu akan tetap di sini dan menunggu orang datang melihat Ibu kesakitan? Coba Ibu pikir, bukankah semua yang Ibu lakukan sekarang akan terlihat buruk di mata orang? Bahkan saat sakit seperti sekarang.”Mata Lala melebar. Yang dikatakan pria itu benar. Jika ada yang mengambil fotonya sekarang dan dishare di medsos, orang –orang akan berkomentar jahat.‘Lihatlah, cepat sekali pelakor itu dapat karma.’‘Tuh liat, dia megang perutnya, pasti kesakitan karena yang masuk
Kita hanya tak mengerti kenapa ada orang yang rela merusak rumah tangga pertamanya demi rumah tangga baru yang belum tentu bahagia?❤️Lala memejamkan mata. Jauh dari lubuk hatinya, ia memiliki rasa bersalah yang besar. Namun, lagi –lagi ia harus egois dan melenyapkan itu untuk harapannya yang lebih besar dari hubungannya dengan Sultan.Tubuh yang tadi sempat menegang karena menolak dibopong oleh seorang petugas keamanan, kini sudah terasa lemah. Ia pasrah. Membiarkan tubuhnya terus bergerak ke arah ruang apartemen miliknya dan Sultan. Ruangan mewah yang Sultan hadiahkan sebagai peresmian hubungan mereka secara agama.“Berapa kodenya, Bu?” tanya Dimas.Lala tersentak. Semua lamunannya tentang Sultan hilang. Mereka sudah berada di depan ruang apaertemennya. Dia bahkan tak sadar sudah melewati lift, dan entah berapa pasang mata yang tak sengaja melihat adegan ini.“Ah, cukup sampai di sini saja.” Lala memberatkan tubuh agar bisa turun dari gendongan Dimas. Karena itu Dimas terpaksa mele
“Afif gak ngerepotin, Nak. Nggak papa Afif minta yang nggak –nggak. Mama akan berusaha mengabulkannya. Asal Afif sehat dan gak sakit lagi,” ucap Ririn lembut.“Iya, Ma. Afif gak akan sakit.” Lagi, Afif tersenyum. Akan tetapi, kali ini senyumnya terlihat begitu manis, sehingga hati Ririn menjadi begitu tenang menatapnya.“Sudah, Fif!” Suara berat Sultan terdengar ketus menghardik putra mereka. Pria itu berdiri tak suka melihat ibu dan anak itu bersama.Ririn terkejut sekaligus geram karena itu. Tak bisakah Sultan berbicara dengan nada lembut ke pada anak mereka yang sempat akan mati. Tidakkah Sultan ingat bagaimana sakit hatinya mereka tadi ketika kehilangan Afif saat dia sudah mengembuskan napas terakhirnya.Afif tersenyum melihat ekspresi sang ibu, seolah tahu apa yang ada di pikiran wanita yang melahirkannya tersebut. Bahwa ia sangat mencintai putranya dan tak ingin menyakiti barang sedikit saja.Tatapan Ririn kembali kea rah Afif dan ia melihat bagaimana senyum manis anak itu. “Mak
Dea mendengar suara ibunya yang terkesan kesal dari arah kamar. Karena suara itu meledak –ledak dan meninggi.“Ya Allah ada apa lagi dengan Mama?” gumamnya sedih. Berharap sang mama tidak kehilangan kendali karena perasaan kehilangannya terhadap Afif yang begitu dalam.Jangankan sang mama, Dea sendiri juga merasa sangat kehilangan karena dulu dialah yang sering dimintai tolong menjaga Afif dan adiknya saat jam kuliah kosong. Masih terekam jelas bagaimana senyum Afif yang meninggalkan lesung pipit di wajahnya putih berseri. Wajah tampan yang diwariskan oleh mama dan papanya. Juga masih terngiang bagaimana teriakan anak kecil itu ketika iseng atau usil kepada tantenya.Dea juga diminta bekerja membantu mengedit konten –konten Sultan. Tapi karena terlalu sibuk dengan tugas kuliah, mereka sampai harus mencari orang lain untuk pekerjaan itu. Nahasnya lagi orang itu adalah Lala. Gadis manis yang datang sebagai bom waktu di keluarga Sultan dan Ririn yang bahagia.Andai waktu bisa diulang, De
Sudah lebih setengah jam, Lala meringkuk di atas sofa menahan sakit seorang diri. Anehnya, tubuhnya makin meriang dan tak membaik. Bukankah jika pertanda hamil, sakitnya sebentar-sebentar saja? "Apa masuk angin, ya?" keluhnya sembari merapatkan selimut yang menutup seluruh badan dan hanya menyisakan kepala. Ia melirik ke arah jam dinding yang berdetak dan menjadi satu-satunya sumber suara di ruang apartemennya."Kenapa Mas Sultan lama sekali? Apa dia tidak bisa ke mari? Sebenarnya apa yang terjadi? Apa yang lebih penting dariku sekarang? Tega kamu, Mas," ucapnya bertanya -tanya, menahan sakit dalam kesendirian. Saat mengangkat kepala dan melihat ke arah ponsel di meja sampingnya, benda pipih itu masih juga belum ada tanda-tanda akan menyela. Perempuan itu mulai gusar. "Huek!"__________“Huft! Syukurlah!”Sultan membuang napas lega karena pesan yang masuk dari Dea –adiknya adalah lokasi yang ditunggu –tunggu. Ia pun bergegas kembali mendekati sopir yang masih duduk di kursi kemudi
Di apartemen … Lala hampir putus asa karena Sultan tak kunjung datang. Ia hanya meminum air putih dari botol mineral yang tadi dibawanya dari dapur dan meletakkannya di atas meja. Dengan begitu ia tak akan kesulitan untuk mengambilnya kala sakit begini.“Tega kamu, Mas,” lirihnya sembari melirik ke arah ponsel. Diembusnya napas panjang, karena lelah dan kecewa. “Kamu akan menyesal jika tak cepat datang. Aku akan mati …,” sambungnya kemudian. Lelehan bening sudah membasahi mata dan rambut karena posisi Lala yang tengah berbaring.Dia merasa hancur. Bukan karena sakitnya tapi karena Sultan memilih anaknya yang sakit. Padahal dia sendiri juga sakit. Bedanya, Afif sudah ada Ririn menjaga, sedang Lala, dia sendirian di apartemen itu.“Jahat sekali kamu, Rin. Kamu pasti sangat dendam padaku.”“Kamu pasti sengaja menahan Mas Sultan sekarang.”“Kamu pasti sangat senang aku sakit.”Lala terus bicara sendiri. Meracau karena mood –nya jadi sangat buruk.“Huek.” Lala kembali mual. Kali ini tak ra