Sudah lebih setengah jam, Lala meringkuk di atas sofa menahan sakit seorang diri. Anehnya, tubuhnya makin meriang dan tak membaik. Bukankah jika pertanda hamil, sakitnya sebentar-sebentar saja? "Apa masuk angin, ya?" keluhnya sembari merapatkan selimut yang menutup seluruh badan dan hanya menyisakan kepala. Ia melirik ke arah jam dinding yang berdetak dan menjadi satu-satunya sumber suara di ruang apartemennya."Kenapa Mas Sultan lama sekali? Apa dia tidak bisa ke mari? Sebenarnya apa yang terjadi? Apa yang lebih penting dariku sekarang? Tega kamu, Mas," ucapnya bertanya -tanya, menahan sakit dalam kesendirian. Saat mengangkat kepala dan melihat ke arah ponsel di meja sampingnya, benda pipih itu masih juga belum ada tanda-tanda akan menyela. Perempuan itu mulai gusar. "Huek!"__________“Huft! Syukurlah!”Sultan membuang napas lega karena pesan yang masuk dari Dea –adiknya adalah lokasi yang ditunggu –tunggu. Ia pun bergegas kembali mendekati sopir yang masih duduk di kursi kemudi
Di apartemen … Lala hampir putus asa karena Sultan tak kunjung datang. Ia hanya meminum air putih dari botol mineral yang tadi dibawanya dari dapur dan meletakkannya di atas meja. Dengan begitu ia tak akan kesulitan untuk mengambilnya kala sakit begini.“Tega kamu, Mas,” lirihnya sembari melirik ke arah ponsel. Diembusnya napas panjang, karena lelah dan kecewa. “Kamu akan menyesal jika tak cepat datang. Aku akan mati …,” sambungnya kemudian. Lelehan bening sudah membasahi mata dan rambut karena posisi Lala yang tengah berbaring.Dia merasa hancur. Bukan karena sakitnya tapi karena Sultan memilih anaknya yang sakit. Padahal dia sendiri juga sakit. Bedanya, Afif sudah ada Ririn menjaga, sedang Lala, dia sendirian di apartemen itu.“Jahat sekali kamu, Rin. Kamu pasti sangat dendam padaku.”“Kamu pasti sengaja menahan Mas Sultan sekarang.”“Kamu pasti sangat senang aku sakit.”Lala terus bicara sendiri. Meracau karena mood –nya jadi sangat buruk.“Huek.” Lala kembali mual. Kali ini tak ra
Sesuai rencana dan harapan, mobil yang membawa Sultan sampai lebih cepat setelah melalui jalan tikus. Untungnya taka da hambatan berarti. Begitu sopir membelokkan mobil sedan yang dikemudikannya ke sebuah apartemen megah, dan berhenti, Sultan langsung ke luar setelah memberikan uang selembar berwarna biru.“Mas tunggu! Uangnya kurang 10 ribu!” teriak si bapak. Pria itu tak mau rugi, sebab telah berjuang lebih melewati jalan tikus.“Hais.” Sultan mendesis sambil memejam mata kala kakinya terpaksa berhenti. Ia berbalik dan membuka dompet mencari uang sepuluh ribuan. Sementara, sang sopir memperhatikan perbuatannya dari jendela kacar yang telah diturunkan.Namun, setelah membuka –buka, Sultan tak menemukan uang yang dicari. “Huft, bagaimana ini, Pak? Tidak ada?” tanyanya sembari memperlihatkan isi dompet yang semuanya berwarna hijau dan biru.Sang sopir menghela napas panjang. Padahal, penumpangnya itu tinggal di rumah elit seperti ini tapi itung –itungannya luar biasa. Berbeda dengan pe
Kini Sultan sudah berada di atas mobil ambulans. Lelaki it uterus memanggil istrinya yang tengah ditangani petugas dengan pertolongan pertama.“La. Kamu harus kuat, Sayang!” ucap Sultan sembari menggenggam erat tangan istri ke duanya. Selagi tangan Lala yang lain tengah dipegang petugas yang memasukkan jarum dengan susah payah.“Ibu ini hanya kelelahan saja sepertinya.” Salah seorang perawat mengatakan sambil memasang infus di tangan Lala. “Jadi, Anda tidak perlu khawatir,” sambungnya kemudian.Infus itu pun terhubung ke tubuh beberapa waktu setelahnya. Pemberian obat atau cairan yang dilakukan langsung melalui pembuluh darah Lala. Dosis pemberiannya bertujuan sebagai resusitasi cairan, proses penggantian cairan tubuh karena Lala berada dalam kondisi kritis dan kehilangan banyak cairan.Tetes demi tetes cairan intrafena itu menembus kulit Lala, berharap hal itu akan memberinya kekuatan dan nutrisi yang tidak ia dapatkan ketika masih sadar. Dengan begitu, dia juga bisa bangun segera. D
Di dalam taksi yang membawanya pulang ke rumah duka, Sultan menghubungi Ririn. Namun, tampaknya Ririn sudah sangat kesal kepada pria itu, sehingga panggilan yang sudah ia lakukan lebih dari tiga kali tak juga diangkat. Merasa putus asa menghubungi Ririn, pria yang beristirahat sejak semalam itu akhirnya memilih menghubungi orang lain. Adiknya, Dea.‘Ayolah! Cepat diangkat! Tak peduli jika aku tak beristirahat dan insomniaku tak lagi bisa diatasi. Yang penting sekarang aku bisa tenang karena ikut mengurus serta mengantarkan jenazah anakku untuk terakhir kali.’Sultan bicara sendiri dalam hati. Lagi pula dia tak tahu harus bercerita mengenai masalahnya ke pada siapa? Semua orang membencinya. Bahkan ketika dia menceritakan pernikahan keduanya dengan Lala, dengan menceritakan kelemahannya sebagai seorang laki –laki dan meminta orang lain memahami, nyatanya Sultan hanya mendapat hujatan demi hujatan tak berujung. Bahkan setelah kini dia bersembunyi dari semua orang dan menutup akun sosial
Dea dan ibunya saling pandang. Bingung sekaligus tak terima. Mereka benar –benar membawa Afif pergi sebelum papanya datang. Padahal tadi sempat setuju untuk menunggu sebentar. Namun sekarang … apa yang sebenarnya terjadi?Dua wanita itu menggeleng. Menolak dengan tegas keinginan Dokter David. Sultan adalah papa kandung Afif. Dia-lah yang harus mengantarnya dan memimpin sholat jenazah untuk anak kecil itu. Setidaknya dengan begitu, kabar buruk mengenai Sultan tidak akan semakin menjadi –jadi. Dia tetap ada di sisi Afif sampai anak kecil itu dikubur dalam tanah. Hal itu juga diharapkan Sutini akan menghapus stigma buruk yang terlanjur melekat pada nama Sultan, agar putranya nanti bisa kembali bangkit meski tanpa keterlibatan Ririn lagi.Toh, masih ada Lala yang juga tak kalah handal memanage konten –konten menarik.“Dokter ini siapa? Kenapa berani sekali membuat keputusan? Papanya Afif hanya tinggal beberapa menit saja sampai di sini,” protes Dea. Gadis itu kadung benci kepada pria tamp
“Tunggu!” Dahi Sultan berkerut –kerut mendengar penuturan pria di ujung telepon. “Anda memberi tahu anak saya sudah dibawa ke masjid, tapi kenapa Anda bilang membawa mamanya? Maksud Anda Ririn, istri saya?” tanya Sultan bingung sekaligus heran.Dahi David lantas mengerut menjauhkan ponselnya sebentar. Seolah dia sedang salah menghubungi seseorang. Heran dan bertanya –tanya. Kenapa seolah papa Afif tidak mengenalnya? Padahal, sebelumnya dia sudah pernah menghubungi pria itu terkait tindakan yang akan diambil untuk istrinya –Ririn.Benarkah karena Sultan sudah menjadi bodoh dan pelupa karena dimabuk cinta kepada Lala. Ah, ya bahkan David sendiri sempat gila karena jatuh cinta kepada Lala. Andai dia tak gila, mungkin tidak akan berdiri dengan gelar dokter sekarang. Namun, setidaknya … di sisi lain dia merasa senang karena Sultan terdengar tak terima Ririn bersama pria lain.“Huft.” David meniup berat. “Itu saja yang ingin saya sampaikan. Assalamu alaikum.”Dokter muda itu pun menutup pan
“Bayi Ibu sepertinya tidak bisa dipertahankan. Dokter bilang ….” “Apa maksud suster? Saya keguguran.” “Ah, bukan begitu. Kita perlu persetujuan suami Ibu untuk mengeluarkan janin tersebut.”“Kenapa? Tidak!” Lala menggeleng tidak terima.“Bu, tenang ya.” Suster tahu apa maksud pasien yang dirawatnya itu. Pasti akan sulit baginya merelakan bayi yang dikandung begitu saja.“Saya tidak akan menggugurkannya apa pun yang terjadi!” Lala menggeleng. Menolak tegas tindakan yang akan diambil dokter dan perawat itu.“Ya, ya. Nanti Ibu bisa mengatakannya langsung ke pada Dokter. Sebentar, saya akan memberi tahu yang lain agar memberi tahu Dokter Anisa.” Perawat itu pun terpaksa meninggalkan Lala meski kondisi psikis wanita itu perlu dikuatkan dan belum stabil. Dia harus memberi tahu dokter agar segera memeriksa kondisi pasien yang baru saja sadar dari pingsannya itu.Sementara Lala yang kondisinya masih lemah, harus larut dalam kecemasan. Dia tak mau kehilangan anak yang nantinya akan menguatka