“Tunggu!” Dahi Sultan berkerut –kerut mendengar penuturan pria di ujung telepon. “Anda memberi tahu anak saya sudah dibawa ke masjid, tapi kenapa Anda bilang membawa mamanya? Maksud Anda Ririn, istri saya?” tanya Sultan bingung sekaligus heran.Dahi David lantas mengerut menjauhkan ponselnya sebentar. Seolah dia sedang salah menghubungi seseorang. Heran dan bertanya –tanya. Kenapa seolah papa Afif tidak mengenalnya? Padahal, sebelumnya dia sudah pernah menghubungi pria itu terkait tindakan yang akan diambil untuk istrinya –Ririn.Benarkah karena Sultan sudah menjadi bodoh dan pelupa karena dimabuk cinta kepada Lala. Ah, ya bahkan David sendiri sempat gila karena jatuh cinta kepada Lala. Andai dia tak gila, mungkin tidak akan berdiri dengan gelar dokter sekarang. Namun, setidaknya … di sisi lain dia merasa senang karena Sultan terdengar tak terima Ririn bersama pria lain.“Huft.” David meniup berat. “Itu saja yang ingin saya sampaikan. Assalamu alaikum.”Dokter muda itu pun menutup pan
“Bayi Ibu sepertinya tidak bisa dipertahankan. Dokter bilang ….” “Apa maksud suster? Saya keguguran.” “Ah, bukan begitu. Kita perlu persetujuan suami Ibu untuk mengeluarkan janin tersebut.”“Kenapa? Tidak!” Lala menggeleng tidak terima.“Bu, tenang ya.” Suster tahu apa maksud pasien yang dirawatnya itu. Pasti akan sulit baginya merelakan bayi yang dikandung begitu saja.“Saya tidak akan menggugurkannya apa pun yang terjadi!” Lala menggeleng. Menolak tegas tindakan yang akan diambil dokter dan perawat itu.“Ya, ya. Nanti Ibu bisa mengatakannya langsung ke pada Dokter. Sebentar, saya akan memberi tahu yang lain agar memberi tahu Dokter Anisa.” Perawat itu pun terpaksa meninggalkan Lala meski kondisi psikis wanita itu perlu dikuatkan dan belum stabil. Dia harus memberi tahu dokter agar segera memeriksa kondisi pasien yang baru saja sadar dari pingsannya itu.Sementara Lala yang kondisinya masih lemah, harus larut dalam kecemasan. Dia tak mau kehilangan anak yang nantinya akan menguatka
"Panggil suamiku sekarang Sus!!" jerit Lala. Dia seolah tak peduli pada ucapan perawat tadi. "Bu sabar, ya." Wati berusaha menenangkan lalu menatap ke arah Haikal meminta penjelasan. Kenapa tak juga menghubungi suaminya?"Eh, maaf. Ponsel saya mati dan masih dicharnge." Haikal beralasan dan menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. "Tadinya saya sudah menelepon tapi tak juga diangkat. Mungkin sedang sibuk mengurus jenazah," ceplos Haikal."Apa? Jenazah?" Lala yang tadi histeris seketika terdiam. "Jenazah siapa?""Aduh!" Haikal memukul mulutnya karena keceplosan.__________.“Mungkin juga akan jadi masa depan Ririn,” ceplos David begitu saja.“Apa?!” Sultan terkejut sesaat. Ia lalu tertawa pecah. “Hahaha.”“Itu benar, Mas. Aku tidak jadi rujuk denganmu. Hanya orang gila yang akan membiarkan anaknya mati lagi,” ketus Ririn.“Ap –apa?” Tawa Sultan seketika berhenti. Dia pikir ucapan pria tampan yang baru datang itu adalah bentuk sandiwara, agar Sultan cemburu dan semakin berjuang keras
“Jadi Afif meninggal?” Mata Lala membola. Perempuan itu syok mendengar kematian anak sulung Sultan dan Ririn.Anak yang sebelum ini terus memanggil papanya saat pria itu sedang bersama Lala. Dan bodohnya, Lala tak punya firasat sedikit pun tentang itu. Andai tahu ini adalah saat –saat terakhir Afif, perempuan itu pasti tidak akan menahan suami agar tetap berada di sisinya.“Apa ini salahku?” lirihnya. Namun, suara lirih itu didengar Wati dan Haikal. Mereka berdua semakin bertanya –tanya. Sayangnya, pertanyaan itu cukup menjadi tanya dalam kepala, tanpa bisa meminta penjelasan dari pasien yang sikapnya aneh itu. Lagi pula ini bukan urusan mereka.“Apa kamu sudah menghubungi dokter Anisa?” bisik Haikal.“He em.” Wati menyahut singkat. Dia sudah memberi tahu rekannya tadi agar memanggil dokter yang bertanggung jawab atas kondisi Lala. Namun, tumben lama begini datangnya.Beberapa detik kemudian, seorang perempuan masuk tergesa. “Huft, syukurlah kalau Ibu sudah sadar. Saya sampai meningga
“Ah, ya. Selamat ya Bapak Sultan, Anda akan menjadi seorang ayah, istri Bapak positif hamil.” Dokter Anisa mengucap dengan senyum manis. Setelah berpikir keras, akhirnya ia membuat kesepakatan dengan pasiennya.“Hamil? Benarkah?!” Mata Sultan melebar diikuti senyum di bibir, karena meski terkejut dia juga sangat senang. Lantas menghambur ke arah Lala dan memeluk tubuh ramping itu.Anisa tersenyum miris. Andai pria tersebut tahu bagaimana kondisi istri yang sebenarnya, mungkinkah dia akan sebahagia itu? Apalagi baru mendapat musibah anak satunya meninggal. Dokter wanita itu tak mengerti kenapa Lala memiliki permintaan nyeleneh begitu.“Alhamdulillah, Sayang. Kamu baik –baik aja, kan?” tanya Sultan duduk di sisi ranjang melihat semua sisi tubuh Lala. Seolah sedang memeriksa, barang kali ada bagian tubuhnya yang mendapat efek dari kehamilan. Dia semakin kepikiran kala melihat wajah pucat istri keduanya tersebut.Lala menggeleng. “Aku baik –baik saja, Mas,” sahutnya. Dia harus bertindak s
Inilah resikonya tersambung dengan nomor Sultan. Ririn terpaksa membuka blokiran, demi anak –anak agar bisa tersambung dengan sang papa. Namun, rupanya ada hal lain yang harus ditumbalkan, dia harus melihat status –status yang Sultan buat tanpa berpikir lebih dulu. Apakah hal itu pantas diunggah di saat –saat seperti ini? Saat di mana anak pertama mereka baru saja meninggal dunia, bahkan mereka belum sampai rumah setelah menguburnya.Mamanya benar. Sultan pria yang tak punya otak! Ah, kalau punya otak, mana mungkin dia nikah diam-diam setelah semua pengorbanan Ririn untuknya? Semua perjuangan yang dibalas dengan sakit hati tak bertepi. Betapa tidak, jika dulu Ririn merawat Sultan sepenuh hati kala pria itu sekarat, begitu Ririn yang nyaris mati, Sultan malah berlari kepada Lala. Untung ada David yang tak menyerah menyelamatkan nyawanya. Pria itu walau menyebalkan, dia paling berjasa dalam hidupnya setelah sang ibu sekarang.“Kamu memang bukan manusia, Mas,” dengkus Ririn.“Aku?” David
David mendorong kursi roda Ririn, mereka baru saja memasuki lobi. beberapa petugas di rumah sakit yang mengenal David menyapa dengan pandangan agak berbeda kepada mereka. Meski David balas sapaan dan terenyum, Ririn merasakan hal lain. Ada perasaan tak nyaman, dan hal berbeda dari tatapan serta cara mereka berbisik ketika melihat ke arah wanita itu.“Kenapa mereka bersikap seperti itu?” protes Ririn.“Hem. Aku memintamu untuk mengenakan baju pasien tadi tapi kamu malah menolak. Jadi jangan salahkan aku, jika mereka kita punya hubungan spesial. Kamu harus tahu, aku pria yang cukup populer di rumah sakit ini,” ucapnya di sela langkah mendorong kursi yang diduduki Ririn.“Cih.” Ririn tersenyum masam mendengar perkataan dokter itu. Bagaimana dia tidak menolak memakai pakaian pasien? Dia tak mau ibunya semakin terbebani melihatnya datang sebagai pasien yang sakit.“Apa kita akan melewati kamar ibu hamil?”“Ruang bersalin?”“Hem, dia kan baru hamil.”“Heh, siapa maksudmu?”“Sudahlah. Dokter
“Jadi kalian benar –benar … menjalin hubungan di belakangku?” Sultan melebarkan matanya.David memiringkan senyum. Kecut. Bagaimana bisa pria yang jelas –jelas berseligkuh menuding orang lain melakukan hal sama buruk dengannya. Diangkat ke dua tangan dan menyilang di dada. Dokter tampan itu ingin tahu, apa lagi yang akan diucapkan Sultan sekarang?Benar saja, Sultan tak berhenti dan membuat kata –kata jahat lain dialamatkan ke pada istri pertamanya.“Kamu balas dendam, Rin? Atau sebenarnya kamu sendiri diam –diam selingkuh dengan pria lain? Kamu tahu kan,–seorang suami boleh menikahi wanita lebih dari satu, tapi seorang istri ….” Pria itu menatap kesal sekaligus tak percaya ke arah Ririn. Namun begitu ucapannya tak selesai, karena Ririn melakukan hal tak terduga.PLAK!Sebuah tamparan keras dari tangan Ririn mendarat mulus di pipi Sultan. Jelas saja hal itu bukan hanya mengejutkan Sultan sendiri, tapi juga Lala dan David. Keduanya melebarkan mata menatap tak percaya pada Ririn. Wanita