“Ah, ya. Selamat ya Bapak Sultan, Anda akan menjadi seorang ayah, istri Bapak positif hamil.” Dokter Anisa mengucap dengan senyum manis. Setelah berpikir keras, akhirnya ia membuat kesepakatan dengan pasiennya.“Hamil? Benarkah?!” Mata Sultan melebar diikuti senyum di bibir, karena meski terkejut dia juga sangat senang. Lantas menghambur ke arah Lala dan memeluk tubuh ramping itu.Anisa tersenyum miris. Andai pria tersebut tahu bagaimana kondisi istri yang sebenarnya, mungkinkah dia akan sebahagia itu? Apalagi baru mendapat musibah anak satunya meninggal. Dokter wanita itu tak mengerti kenapa Lala memiliki permintaan nyeleneh begitu.“Alhamdulillah, Sayang. Kamu baik –baik aja, kan?” tanya Sultan duduk di sisi ranjang melihat semua sisi tubuh Lala. Seolah sedang memeriksa, barang kali ada bagian tubuhnya yang mendapat efek dari kehamilan. Dia semakin kepikiran kala melihat wajah pucat istri keduanya tersebut.Lala menggeleng. “Aku baik –baik saja, Mas,” sahutnya. Dia harus bertindak s
Inilah resikonya tersambung dengan nomor Sultan. Ririn terpaksa membuka blokiran, demi anak –anak agar bisa tersambung dengan sang papa. Namun, rupanya ada hal lain yang harus ditumbalkan, dia harus melihat status –status yang Sultan buat tanpa berpikir lebih dulu. Apakah hal itu pantas diunggah di saat –saat seperti ini? Saat di mana anak pertama mereka baru saja meninggal dunia, bahkan mereka belum sampai rumah setelah menguburnya.Mamanya benar. Sultan pria yang tak punya otak! Ah, kalau punya otak, mana mungkin dia nikah diam-diam setelah semua pengorbanan Ririn untuknya? Semua perjuangan yang dibalas dengan sakit hati tak bertepi. Betapa tidak, jika dulu Ririn merawat Sultan sepenuh hati kala pria itu sekarat, begitu Ririn yang nyaris mati, Sultan malah berlari kepada Lala. Untung ada David yang tak menyerah menyelamatkan nyawanya. Pria itu walau menyebalkan, dia paling berjasa dalam hidupnya setelah sang ibu sekarang.“Kamu memang bukan manusia, Mas,” dengkus Ririn.“Aku?” David
David mendorong kursi roda Ririn, mereka baru saja memasuki lobi. beberapa petugas di rumah sakit yang mengenal David menyapa dengan pandangan agak berbeda kepada mereka. Meski David balas sapaan dan terenyum, Ririn merasakan hal lain. Ada perasaan tak nyaman, dan hal berbeda dari tatapan serta cara mereka berbisik ketika melihat ke arah wanita itu.“Kenapa mereka bersikap seperti itu?” protes Ririn.“Hem. Aku memintamu untuk mengenakan baju pasien tadi tapi kamu malah menolak. Jadi jangan salahkan aku, jika mereka kita punya hubungan spesial. Kamu harus tahu, aku pria yang cukup populer di rumah sakit ini,” ucapnya di sela langkah mendorong kursi yang diduduki Ririn.“Cih.” Ririn tersenyum masam mendengar perkataan dokter itu. Bagaimana dia tidak menolak memakai pakaian pasien? Dia tak mau ibunya semakin terbebani melihatnya datang sebagai pasien yang sakit.“Apa kita akan melewati kamar ibu hamil?”“Ruang bersalin?”“Hem, dia kan baru hamil.”“Heh, siapa maksudmu?”“Sudahlah. Dokter
“Jadi kalian benar –benar … menjalin hubungan di belakangku?” Sultan melebarkan matanya.David memiringkan senyum. Kecut. Bagaimana bisa pria yang jelas –jelas berseligkuh menuding orang lain melakukan hal sama buruk dengannya. Diangkat ke dua tangan dan menyilang di dada. Dokter tampan itu ingin tahu, apa lagi yang akan diucapkan Sultan sekarang?Benar saja, Sultan tak berhenti dan membuat kata –kata jahat lain dialamatkan ke pada istri pertamanya.“Kamu balas dendam, Rin? Atau sebenarnya kamu sendiri diam –diam selingkuh dengan pria lain? Kamu tahu kan,–seorang suami boleh menikahi wanita lebih dari satu, tapi seorang istri ….” Pria itu menatap kesal sekaligus tak percaya ke arah Ririn. Namun begitu ucapannya tak selesai, karena Ririn melakukan hal tak terduga.PLAK!Sebuah tamparan keras dari tangan Ririn mendarat mulus di pipi Sultan. Jelas saja hal itu bukan hanya mengejutkan Sultan sendiri, tapi juga Lala dan David. Keduanya melebarkan mata menatap tak percaya pada Ririn. Wanita
“Setelah ini mungkin Mbak Lala harus di sini dulu.” Anisa memulai percakapan penting. Dia sudah memikirkan masak –masak bagaimana bisa menahan wanita itu, dan tidak membuat Sultan curiga istrinya sedang melakukan operasi kecil.Berdiskusi dengan Haikal serta Wati sangat berguna rupanya. Dari dua orang perawat itu, dia bisa tahu bahwa ada situasi yang bisa dimanfaatkan. Yaitu, kematian putra Sultan yang ternyata adalah anak dari istri pertamanya. Saat dia sibuk mengurus pengajian, saat itulah operasi akan dijadwalkan. Semudah itu jika semua berjalan sesuai rencana.Dalam kamar pasien itu, tampak dokter Anisa sibuk bicara serius kepada Lala dan sang suami. Selagi Lala menyimak dengan serius, Sultan sibuk dengan pikirannya sendiri. Mata pria itu menatap kosong kea rah pintu di mana tadi terjadi adegan tak menyenangkan, yang bukan hanya merenggut harga diri tapi juga kepercayaan diri untuk terus membujuk Ririn agar mau rujuk.Andai bukan Lala yang ada di kamar itu, dia pasti sudah lari me
“Ma!” teriak Dea begitu panggilan dengan Sultan terputus.Tak mendengar ada jawaban apalagi tanda –tanda sang mama akan datang, Dea pun melangkah ke segala penjuru rumah untuk mencari keberadaan wanita paruh baya itu. Mamanya harus tahu kelakuan sang kakak, sekaligus berita heboh yang menggemparkan dua keluarga besar mereka.Saat tak mendapati mamanya di dapur atau pun ruang tengah dan ruang tamu, gadis berusia lebih dari 20 tahun itu pun berjalan kea rah anak –anak tangga. Menuju lantai dua di mana kamar sang mama berada.“Ma! Mama!” teriaknya lagi, berharap wanita itu menghampirinya.Benar saja, saat kakinya baru saja menjejak di lantai dua, Sutini ke luar dari kamar.“Ada apa sih heboh banget, Deh?” tanya wanita yang baru menutup pintu kamar itu.“Lihat, Ma. Si Lala hamil!” seru adik Sultan itu sembari memberikan ponsel dengan tangkapan layar status Sultan.Mata Sutini melebar. “Subhanallah, Alhamdulillah. Begitu cepat Allah menggantikan Afif dengan cucu baru,” ceplos wanita tua it
“Apa? Ciuman?!” David berseru. Saking keras, Ririn yang berada di dalam kamar terkejut dan terbangun. Kontan ia berbalik dan melihat ke arah asal suara itu, lalu melihat David berdiri dengan seorang dokter wanita sedang senyum –senyum di sana. “Apa maksudmu? Itu bukan ciuman! Aku memberinya napas buatan,” kilah David. Anita mencebik melihat bagaimana temannya itu ngeles.“Lagian kamu ini, malah buat keributan di kamar pasien. Ayo pergi!” David mendorong punggung dokter wanita itu menjauh dari kamar Ririn. Pria itu tak mau Ririn sampai bangun dan mendengar percakapan mereka.“Hem, perempuan beranak pinak itu membuatku iri. Padahal aku dulu juga diberi napas buatan oleh dokter David tapi dia tidak perhatian padaku setelahnya, eh malah jadian sama anak remaja.” Anita mengucap sebal di sela langkah mereka yang menjauh dari kamar Ririn."Haiss. Kenapa kamu bicara masa lalu?! Sekarang kamu sudah hidup bahagia dengan seorang pilot tampan!" "Heh, bahagia apanya? Kalau mau sama aku, bakal ku
“Kalau kita pergi, siapa yang akan jadi tuan rumah pengajian di rumah kita, Ma?” tanya Dea.Sutini terdiam mendengar ucapan putrinya. Benar yang Dea katakan. Kalau mereka berdua pergi ke rumah sakit, siapa yang mengurus pengajian di rumah. Kalau pun ada pembantu, tidak enak dilihat oleh warga, karena yang punya hajat tidak di rumah.Dia sendiri kadang juga bingung kenapa rasanya tak rela kalau Lala merasa sedih. Mungkin sebab rasa sayangnya, karena hanya dia perempuan paling pengertian ke pada Mama Sultan.“Kasian sekali dia.”“Kasian gimana, sih, Ma? Dia kan sedang bahagia akan punya anak dari Mas Sultan?”Wanita tua itu memukul bahu Dea, sampai gadis itu mengaduh.“Auh, Ma sakit.” “Kamu kira hamil itu mudah? Perempuan harus merasakan kepayahan di atas kepayahan.”“Tapi Mama dulu gak gini –gini amat pas Mbak Ririn hamil.”“Nah, iya. Ini karena Ririn. Kalau saja dia dari awal legowo, gak lebay dan tahu diri kenapa Sultan sampai menikah lagi, pasti Afif gak jadi korban. Hemh …,” dengk