“Setelah ini mungkin Mbak Lala harus di sini dulu.” Anisa memulai percakapan penting. Dia sudah memikirkan masak –masak bagaimana bisa menahan wanita itu, dan tidak membuat Sultan curiga istrinya sedang melakukan operasi kecil.Berdiskusi dengan Haikal serta Wati sangat berguna rupanya. Dari dua orang perawat itu, dia bisa tahu bahwa ada situasi yang bisa dimanfaatkan. Yaitu, kematian putra Sultan yang ternyata adalah anak dari istri pertamanya. Saat dia sibuk mengurus pengajian, saat itulah operasi akan dijadwalkan. Semudah itu jika semua berjalan sesuai rencana.Dalam kamar pasien itu, tampak dokter Anisa sibuk bicara serius kepada Lala dan sang suami. Selagi Lala menyimak dengan serius, Sultan sibuk dengan pikirannya sendiri. Mata pria itu menatap kosong kea rah pintu di mana tadi terjadi adegan tak menyenangkan, yang bukan hanya merenggut harga diri tapi juga kepercayaan diri untuk terus membujuk Ririn agar mau rujuk.Andai bukan Lala yang ada di kamar itu, dia pasti sudah lari me
“Ma!” teriak Dea begitu panggilan dengan Sultan terputus.Tak mendengar ada jawaban apalagi tanda –tanda sang mama akan datang, Dea pun melangkah ke segala penjuru rumah untuk mencari keberadaan wanita paruh baya itu. Mamanya harus tahu kelakuan sang kakak, sekaligus berita heboh yang menggemparkan dua keluarga besar mereka.Saat tak mendapati mamanya di dapur atau pun ruang tengah dan ruang tamu, gadis berusia lebih dari 20 tahun itu pun berjalan kea rah anak –anak tangga. Menuju lantai dua di mana kamar sang mama berada.“Ma! Mama!” teriaknya lagi, berharap wanita itu menghampirinya.Benar saja, saat kakinya baru saja menjejak di lantai dua, Sutini ke luar dari kamar.“Ada apa sih heboh banget, Deh?” tanya wanita yang baru menutup pintu kamar itu.“Lihat, Ma. Si Lala hamil!” seru adik Sultan itu sembari memberikan ponsel dengan tangkapan layar status Sultan.Mata Sutini melebar. “Subhanallah, Alhamdulillah. Begitu cepat Allah menggantikan Afif dengan cucu baru,” ceplos wanita tua it
“Apa? Ciuman?!” David berseru. Saking keras, Ririn yang berada di dalam kamar terkejut dan terbangun. Kontan ia berbalik dan melihat ke arah asal suara itu, lalu melihat David berdiri dengan seorang dokter wanita sedang senyum –senyum di sana. “Apa maksudmu? Itu bukan ciuman! Aku memberinya napas buatan,” kilah David. Anita mencebik melihat bagaimana temannya itu ngeles.“Lagian kamu ini, malah buat keributan di kamar pasien. Ayo pergi!” David mendorong punggung dokter wanita itu menjauh dari kamar Ririn. Pria itu tak mau Ririn sampai bangun dan mendengar percakapan mereka.“Hem, perempuan beranak pinak itu membuatku iri. Padahal aku dulu juga diberi napas buatan oleh dokter David tapi dia tidak perhatian padaku setelahnya, eh malah jadian sama anak remaja.” Anita mengucap sebal di sela langkah mereka yang menjauh dari kamar Ririn."Haiss. Kenapa kamu bicara masa lalu?! Sekarang kamu sudah hidup bahagia dengan seorang pilot tampan!" "Heh, bahagia apanya? Kalau mau sama aku, bakal ku
“Kalau kita pergi, siapa yang akan jadi tuan rumah pengajian di rumah kita, Ma?” tanya Dea.Sutini terdiam mendengar ucapan putrinya. Benar yang Dea katakan. Kalau mereka berdua pergi ke rumah sakit, siapa yang mengurus pengajian di rumah. Kalau pun ada pembantu, tidak enak dilihat oleh warga, karena yang punya hajat tidak di rumah.Dia sendiri kadang juga bingung kenapa rasanya tak rela kalau Lala merasa sedih. Mungkin sebab rasa sayangnya, karena hanya dia perempuan paling pengertian ke pada Mama Sultan.“Kasian sekali dia.”“Kasian gimana, sih, Ma? Dia kan sedang bahagia akan punya anak dari Mas Sultan?”Wanita tua itu memukul bahu Dea, sampai gadis itu mengaduh.“Auh, Ma sakit.” “Kamu kira hamil itu mudah? Perempuan harus merasakan kepayahan di atas kepayahan.”“Tapi Mama dulu gak gini –gini amat pas Mbak Ririn hamil.”“Nah, iya. Ini karena Ririn. Kalau saja dia dari awal legowo, gak lebay dan tahu diri kenapa Sultan sampai menikah lagi, pasti Afif gak jadi korban. Hemh …,” dengk
Tadi malam ….“Mereka mengambil penerbangan kapan? Malam ini atau besok?” Sultan bermonolog memikirkan bagaimana paman dan bibi Lala akan datang ke Banjarmasin.Sultan terus berjalan ke arah lobi yang mulai sepi karena hari beranjak malam, berniat mencari info mengenai Ririn di rumah sakit. Kalau dia balik lagi ke rumah sakit, berarti pengobatannya belum berakhir. Kondisinya pasti belum stabil, itu kenapa dia terus terlihat memakai kursi roda sepanjang mereka bertemu di pemakaman Afif.“Dan nekad berdiri dari kursi roda menemuiku di kamar Lala.” Ini mengejutkan. Seharusnya dari awal dia menyadari itu. “Hemh, kamu pasti sangat mencintaiku kan, Rin?” Satu sudut bibirnya terangkat. Sebuah senyuman miris. Saking cinta, atau saking benci sampai ada kekuatan yang menggearakkannya untuk menghampirinya.Sebelum putusan hakim keluar, Sultan memutuskan tidak berhenti. Mungkin dia bukan pria punya kesetiaan yang diharapkan semua wanita, terutama Ririn. Namun, dia punya kegigihan saat menginginka
“Jadi kalian janjian? Tapi kenapa kamu malah belum bertemu dia sekarang? Ririn sudah tidak ada di kamarnya.” Sultan semakin heran. Kenapa Ririn pergi meninggalkan dokternya. Dan sampai dokter itu tidak tahu ke mana rimba si pasien. Sebenci apa pun dia ke pada David, tetap saja dia adalah dokter Ririn, seseorang yang menjadi perantara kesembuhan istri pertamanya itu.“Apa maksud Mas?” Dea ikut bingung mendengar pertanyaan sang kakak di ujung telepon. Ditanya balik nanya. Posisinya sekarang sedang ada di lobi. Tapi tidak tahu ke mana harus pergi mencari Ririn. Nomornya dihubungi juga tidak diangkat walau pun aktif.Tadinya Dea pikir, karena Ririn sibuk bersiap atau sedang menjalani sesuatu terkait tindakan dokter. Namun, pertanyaan Sultan meninggalkan pikiran lain di kepalanya. Kalau dia sudah tidak ada di kamarnya, ke mana perginya wanita itu?“Jangan –jangan dia pikir aku gak mau mengantarnya ke kanto polisi?” ceplos Dea yang semalam berbalas chat dengan Ririn membahas tentang rencana
Tadi malam di kamar Lala. "Menyebalkan sekali! Apa Mas sengaja memanggil mereka agar bisa meninggalkanku seenaknya!" teriak Lala sekuat tenaga. Karena bahkan tenaganya hanyalah sisa-sisa.Lala terdiam. Pikirannya tengah kacau sekarang. Namun begitu, ia tak menyerah mencari jalan keluar dari masalah besar yang mengancamnya sekarang. Dalam diamnya, perempuan yang telah menikahi diam-diam pria beristri itu menemukan sebuah cara untuk menghentikan Ririn. Seseorang yang kini menjadi musuh besarnya. "Hem, jadi ini akhirnya ...." Lala mengucap dengan senyum jahat di wajah. Kedatangan orang tua angkatnya ke Banjarmasin tak boleh sia-sia dan hanya mendatangkan kesumpekan sepihak bagi perempuan itu. Sambil manggut-manggut, memahami situasi dan apa yang harus dilakukan sekarang, wanita berstatus pasien itu pun kembali merebahkan diri ke ranjang. Beristirahat, menyiapkan sisa -sisa tenaga. Bukan hanya karena dia harus operasi besok, tapi juga menyempatkan diri menjalankan rencana bersama orang
Suster yang semalam membantu Ririn, tak sengaja menangkap obrolan dan ketegangan yang terjadi antara Dokter David dan suami pasien itu, di lorong di mana dia ditempatkan. Merasa bersalah sekaligus bertanggung jawab, wanita itu pun mengejar David kala dokter tampan itu sudah memisahkan diri dari Sultan dan perempuan yang disinyalir sebagai pelakor di antara hubungan mereka.Perawat itu tak peduli, dan mengejar David begitu saja. Sementara David sendiri sedang sibuk menghubungi nomor Ririn yang aktif tapi juga tidak diangkat.“Dok, Dokter David tunggu!” teriak suster itu. Mendengar ada yang memanggil, David pun seketika menahan langkah dan menoleh selagi ponsel masih menempel di telinga. Ia masih penasaran. Siapa tahu, Ririn sedang sibuk di toilet dan sejenisnya jadi belum sempat mengangkat panggilan –panggilan sebelumnya.“Sus, ada apa?” tanya David heran.“Dokter, apa Ibu Ririn tidak bisa dihubungi?” tanya Suster itu dengan helaan napas naik turun, karena lelah mengejar dokter itu t