Share

Maafkan Aku, La!

“La …!” panggilan itu tertahan, saat tiba-tiba terlintas di pikiran Sultan apa yang bisa terjadi ke depan jika dia nekad menemui Lala sekarang.

Saat di mana perempuan cantik yang telah sah menjadi istri mudanya itu berada di tengah-tengah orang banyak. Bahkan perempuan itu sedang menjadi pusat perhatian. Keberadaannya di lobi seperti magnet yang memaksa tatapan semua orang mengarah ke pada perempuan yang berpenampilan stylish tersebut.

Sultan menghela napas berat. Jika dia memaksa, semua semakin runyam dan karier ke depan akan semakin hancur. Padahal, untuk sekarang … dia sudah melihat cahaya saat Ririn mengatakan mau rujuk. Memulai dari awal dan memperbaiki semuanya. Ya, semua belum terlambat. Meski tadi istri pertamanya sempat mengatakan membatalkan keinginan untuk rujuk, tapi bagi Sultan yang sudah mengenal luar dalamnya Ririn, merasa ini belum keputusan final dan dia masih bisa membujuknya nanti.

Kaki Sultan benar-benar berat untuk maju, tak peduli seberapa Lala terlihat tersiksa di depan sana. Pria itu kembali menarik napas dalam-dalam. Karena tiba-tiba akal sehatnya mengingatkan, bahwa dia tak punya pilihan selain mengabaikan Lala.

“Maafkan aku, La,” lirih Sultan. “Ini juga demi masa depan kita,” sambungnya kemudian sembari membalik badan dan meninggalkannya dan mengambil kesempatan untuk berada di sisi Ririn dan Afif putranya. Menarik garis start untuk memperbaiki semua hal yang sempat ia rusak.

“Deh, tolong masuk ke lobi. Lala sedang dibully. Tolong bawa dia pergi dari sana,” pesannya ke pada seseorang di ujung telepon selagi kakinya melangkah menuju tempat di mana Afif dirawat sekarang. Dia tahu, karena Ririn mengirim pesan berkali-kali dari semalam. Untung saja, ia tak mengikuti kemauan Lala untuk memblokir nomor Ririn, dengan begitu saat ibu dari tiga anak Sultan tersebut memberikan info masih bisa dijangkau oleh ponselnya.

__________________

“Dokter … tolong selamatkan anak saya. Tolong Dok ….”

“Maafkan saya, Bu.”

“Ma-maaf? Ap-apa yang terjadi ke pada anak saya, Dok?” tanyanya Ririn terkejut melihat bagaimana dokter merespon permintaannya sebagai seorang ibu yang tak mau kehilangan anaknya.

Yah, tak masalah jika dia diselingkuhi dan ditinggalkan Sultan. Ririn akan berusaha ikhlas dan melupakannya, tapi dia tak akan pernah sanggup kehilangan putra yang sangat dia cintai melebihi cintanya kepada nyawa sendiri.

“Kami sudah berusaha semampu kami.” Dokter mengucap dengan raut wajah kecewa.

Yah, saat mereka gagal, setelah berusaha keras melakukan tindakan, melakukan segala tindakan alteratif lain juga saat tindakan-tindakan sebelumnya gagal untuk pasien. Namun ternyata takdir tidak juga mengamini usaha mati-matian mereka, Dokter pun kecewa. Dia tahu, bahwa ada orang-orang yang menunggu dengan cemas di luar kamar pasien, mengharap keajaiban kesembuhan pasien.

Apa mau dikata? Bahkan nyawa pasien yang mati-matian ia perjuangkan, bukanlah haknya memberi hidup.

Ririn mengalihkan tatapan ke arah ranjang pasien di dalam sana. Melihat tak ada lagi gerakan, apalagi rengekan dari mulut anak berusia sebelas tahun kala memanggil papanya. Hanya itu yang Ririn ingat, saat di mana Afif menginginkan sang papa, bukan mengeluhkan sakitnya meski tubuhnya panas dan menggigil karena demam.

Dan sekarang … tubuh anak itu kaku dan tertutupi seluruhnya dengan kain berwarna putih di atasnya.

“Tidakkk!” teriak Ririn menggeleng berkali-kali menolak ucapan Dokter yang serupa belati mengiris-ngiris hatinya hingga lebur. Tubuhnya lemas. Meski begitu, ia memaksa diri untuk merangkak masuk sambil menangis.

Suster yang tadi bersamanya tak bisa diam saja seperti yang lain kala tak tahu apa yang harus dilakukan melainkan diam sebagai ungkapan berkabung. Sedang suster itu, ikut menangis dan berusaha menenangkan Ririn dan memegangi dua bahunya agar bangun.

Namun, Dokter memberinya isyarat menggelengkan kepala. Melihat itu … sang suster menyerah. Sedikit menjauhkan tubuhnya, berbalik dan ikut menangis. Sudah banyak ia melihat pemandangan seperti ini, saat-saat di mana seseorang kehilangan keluarganya yang sakit dan meninggal di atas ranjang pesakitannya.

Hanya saja … kali ini rasanya berbeda. Dia bukan hanya ikut sedih dan hancur. Namun, juga sangat marah karena situasi yang ibu pasien itu hadapi sendirian. Suami yang seharusnya menyayangi dan melindungi, justru menjadi badai dalam kehidupan wanita itu dan anak-anak mereka.

Diseka air mata yang tiba-tiba keluar menderas. Suster yang merawat Afif itu tak tahan dan berlari ke luar, untuk menumpahkan air mata tanpa perlu menahan-nahannya lagi.

“Afif … Nak …! Bangun, Nakkk!” Kini Ririn sudah memeluk tubuh putranya dalam posisi berjongkok. Disingkap kain penutup di atas ranjang tak peduli apa untuk melihat wajah sang anak.

Bersambung......

Hei, Jan lupa cek SS Jum'at berkah di grup ya. 😍

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status