Share

Kubayar Lunas Tantangan Maduku
Kubayar Lunas Tantangan Maduku
Penulis: Wafa Farha

Betina Egois

Aku hanyalah segenggam kehangatan, saat suamiku menginginkan sebongkah bara untuk membakar dirinya sendiri.

đź’”

“Ini, ya pelakornya, Mbak Rin?” posting seseakun di kolom komentar wallku. “Hem, iyalah nggak diposting jelas. Suami orang kok. Sekarang malah sudah dihapus. Untung kecepatan tangan netizen sudah sempat mengabadikannya.”

Mata ini membelalak. Seorang wanita muda nan cantik tengah berpelukan dengan seorang pria yang hanya tampak sampingnya saja, dengan wajah yang dibuat samar. Namun, aku bisa mengenali siapa pemilik punggung lebar itu. Potongan rambut juga tanda lahir di ceruk leher yang selama ini menghangatkan wajahku saat kutenggelamkan di sana. Dia adalah suamiku, Mas Sultan Dewangga. Pria yang menghalalkanku 10 tahun lalu dan telah lahir tiga buah hati di antara kami.

Dari mana mereka dapat foto Lala yang keberadaannya sangat dirahasiakan oleh Mas Sultan dan keluarganya?

Lekas kuhapus komentar itu, tak mau orang lain salah paham dan balik menghujatku karena mengamini teman-teman menyebar foto perempuan jahat itu. Bukan karena sok suci, atau ingin menjaga perasaan pria yang diam-diam menduakanku, atau pelakor itu bebas menjalani kehidupan dengan suami orang. Aku juga tak takut pada mereka yang sekarang berbalik memusuhiku.

Lucu memang! Aku yang dibohongi, diselingkuhi diam-diam, aku pula yang ditempatkan sebagai penjahat yang mengganggu kebahagiaan mereka sebagai pengantin baru.

Akan tetapi lebih ke pada anak-anak, tak mau mereka mengenal siapa wanita yang sudah menghancurkan hubungan papa dan mama mereka. Tidak! Demi Tuhan bukan karena mereka aku menahan diri di medsos. Semua rasa sakit yang tak kulampiaskan dengan brutal ini adalah demi anak-anak.

Mata ini masih juga menyapu isi komentar di status yang kubuat pagi ini, saat beristirahat sejenak menunggu antrean di apotek menebus obat si sulung. Setelah melihat nomor antrean di tangan dan orang yang sedang dilayani, aku pun kembali memperhatikan ponsel. Barang kali ada komen aneh lagi yang harus kubersihkan.

“Masih lama giliranku,” gumamku.

“Astaghfirullah, istighfar Mbak Rin. Suami nikah lagi itu bukan selingkuh, jadi jangan buat statement seolah si Mbak terdzolimi," tulis seseakun.

Manis sekali ucapannya. Mengingatkan agar istighfar, tapi dia sendiri pakai PP buka aurat tidak istighfar. Ya Rabb, kenapa aku jadi malah menilai orang lain. Kuelus dada sambil minta ampun dalam hati.

"Katanya embaknya ngaji, tapi kok menolak syariat poligami. Kasian loh, masnya jadi dihujat netizen, padahal nggak melakukan dosa," sambar akun lain.

“Sudah, Mbak. Jangan playing victim muluk, takutnya Allah marah. Yang Mbak gak suka itu syariat Allah,” timpal akun lain lagi.

Aku menghela napas panjang-panjang, merasakan sesaknya dada, sembari mengusap cairan yang sudah membasahi mata. Sudahlah tengah ditimpa musibah sebesar gunung karena kehilangan suami, anak sulung sakit dan dihujat banyak orang. Padahal mereka orang-orang baik, kenapa mudah sekeli menjustis seseorang, dan bahkan membuat-buat opini seolah aku membenci syariat poligami.

Apa perlu aku membongkar aib suamiku satu-satu? Tidak. Kugelengkan kepala. Walau bagaimana, dia masih ayah dari anak-anakku. Dan selamanya itu tak akan berubah. Membayangkan cap bahwa nasab mereka buruk, itu sangatlah mengerikan. Biarlah orang -orang memakinya sebagai pria tak setia. Bukan seorang pezina.

Memang begini resiko dikenal orang. Ada masalah rumah tangga selalu dikaitkan dengan semua status yang kubuat. Menyesal aku mengenalmu sebagai konten kreator yang dikenal alim dan punya banyak fans, Mas. Nikmat yang kau beri dari hasil konten-kontenmu sama sekali tidak sebanding dengan rasa sakit yang aku dan anak-anakku rasakan.

Melihat banyaknya hujatan di antara support teman-teman yang telah lama mengenalku, akhirnya aku mencermati lagi status yang sudah kutulis. Barang kali ada kalimat yang berpotensi salah dipahami oleh netizen.

Mata ini mulai menyisir kata demi kata. Padahal, sekali pun aku tak menyebut kejadian bahwa suamiku telah diam-diam menikah lagi. Tak juga menceritakan bagaimana payahnya saat dulu hidup susah bersamanya. Saat kami benar-benar ada di titik bawah, tak memegang sepeser pun uang, dan malah punya hutang puluhan juta karena dia harus operasi usus buntu.

“Sabar ya, anakku. Si Kakak sedang sakit. Mohon doa ya, Teman-teman,” tulisku.

Caption itu kububuhkan di sebuah foto yang hanya memperlihatkan tangan Afief –putra pertama kami tengah terhubung ke selang infus. Entahlah, apa ini ada hubungannya dengan perselingkuhan Mas Sultan? Dia ambruk, karena aku terlalu sibuk mengurus perceraian dan juga lebih fokus ke bungsu yang umurnya baru tiga tahun.

Kupikir balita itulah memerlukan perhatian lebih disbanding kakaknya yang sudah bisa mandiri. Namun, aku salah anak-anakku hanyalah anak-anak. Aku tak bisa mengharap mereka menyikapi perceraian mama dan papanya dengan cara dewasa. Mereka butuh kami untuk mendampingi tumbuh kembangnya. Yah, aku keteteran dan perlu penyesuaian setelah kehilang pria yang dulu sangat perhatian dan mengurus anak-anak bersamaku.

Tak tahu, sebenarnya apa yang sudah Lala lakukan sampai Mas Sultan mampu berpaling. Cantik? Bukankah aku juga masih cantik? Semua orang mengatakan itu. Aku bahkan mandiri dan sudah banyak berkorban untuknya termasuk saat Mas Sultan sekarat dulu.

“Tega kamu, Mas. Bahkan Afief sampai sakit begini karena perbuatanmu, dan kamu masih juga tak membalas pesanku.” Kutatap layar ponsel di mana pesanku telah terkirim ke nomor Mas Sultan, centang dua biru, tapi tak ada balasan sama sekali.

Argh, membayangkan dia sibuk bermesraan dan mengabaikan pesan tentang sakitnya Afif, sudah membuat mataku semakin perih saja. Kuembuskan napas dalam-dalam berharap beban yang menghimpit dada ini ikut ke luar bersama udara beracun dari sana.

“Nomor 192, atas nama pasien Muhammad Afif!” Suara dari speaker terdengar. Aku pun terkesiap dan lekas bangkit dari duduk untuk memenuhi panggilan itu.

Setelah menerima obat, aku pun berjalan meninggalkan apotek. Namun, baru saja beberapa langkah meninggalkan loket pembayaran, seorang pria yang mengenakan jaket hodie menarik lenganku. Wajahnya ditutup masker dan memakai kaca mata hitam. Karena kekuatannya sebagai pria aku terseret begitu saja tanpa sempat protes.

“Hei!” tegurku bingung di sela langkah.

Sampai di tempat sepi, pria itu pun mengeluarkan amplop berwarna cokelat. Saat kuamati wajahnya, ternyata Mas Sultan.

“Mas kamu?” Dari semalam dia tak menjawab pesan dariku dan tak mengangkat panggilan, sekarang malah berdiri di hadapanku dengan mengendap-endap begini. Ada apa dengannya?

“Pakai uang ini! Dan jangan menghubungiku ke nomor itu lagi. Aku capek menghapus pesanmu!” Suaranya meluncur begitu saja dengan nada kesal.

“Hah?” Aku menatapnya heran. Bagaimana bisa dia yang marah? Jelas-jelas akulah yang dibuatnya susah di sini!

Pria itu tak mempedulikan reaksiku dan pergi begitu saja. Tentu saja aku tak terima! Dia pikir kami hanya butuh uang? Aku juga punya uang. Seharusnya dia menemui putranya yang dari semalam terus memanggil papanya.

Aku pun mengejar dan menarik lengan Mas Sultan agar dia berhenti. Kulakukan tanpa canggung, karena bahkan kami belum resmi bercerai. Masa iddah juga belum berakhir, itu kenapa aku tak sungkan menyentuh pria itu.

Namun, di luar dugaan … seseorang tiba-tiba datang di antara kami.

“Mas!”

“Kamu apa-apaan, sih, Mbak! Kalian kan sudah cerai! Kenapa pegang-pegang segala?!” Lala menarik tanganku dan melepasnya kasar.

Wanita itu tampaknya sangat marah karena dibakar cemburu.

Pantas saja Mas Sultan buru-buru dan mengendap-endap, rupanya ada betina yang mengawasinya.

“Cerai? Aku dan Mas Sultan sudah cerai?” Tiba-tiba saja aku tak terima wanita itu bersikap seenaknya.

Dia pasti juga sudah mendengar kalau Afif sakit, apa perlu bersikap lebay begitu hanya karena aku memegang lengan Mas Sultan. Lala sudah berhasil mendapatkan Mas Sultan dan aku mengalah melepaskannya, tapi bahkan sekarang dia tidak memperlihatkan empati sedikit pun pada penderitaan anakku.

Aku menggeleng. “Kami belum resmi bercerai, La. Bisa saja aku memutuskan rujuk sesuai saran hakim dan permintaan Mas Sultan?”

“Apa?!” Mata Lala membelalak. Ia menatapku tak terima lalu mengarahkan matanya kepada Mas Sultan dengan tatapan tak percaya. Sepertinya Lala tidak tahu, kalau Mas Sultan memohon-mohon agar aku mau dirujuk demi anak-anak.

Bersambung ….

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status