"Maafkan saya Hai! Ratu Dewi..." kata Jin Tangan Seribu sambil membungkuk. Ketika Ratu Dewi mencapai ketinggian sepuluh tombak di udara Jin Tangan Seribu segera berdiri.
"Kek! Apa yang terjadi dengan dirimu?! Sekarang kau mau kemana?!" tanya Dewi Awan Putih lalu cepat berdiri.
“Tak ada yang bisa aku lakukan lagi, Hai! cucuku. Aku akan pergi ke air terjun. Bersepi diri di sana barang beberapa lama.”
"Saat ini mungkin kau sudah ingat lanjutan mantera itu. Bagaimana kalau kau mengulangi agar tiga orang itu bisa mencapai besar seperti kita?"
Jin Tangan Seribu menggeleng. “Tidak mungkin untuk saat ini Hai! Dewi Awan Putih. Selama Ratu Dewi tidak hadir menyaksikan hal itu tidak mungkin dilakukan”
"Kalau begitu panggil Dewi itu kembali. Ulangi lagi besok sebelum tengah hari!" teriak Bintang.
"Aku khawatir!" berkata Bayu.
”Kalau Jin Tangan Seribu membaca mantera yang salah atau terbalik-balik, kita bukannya tamba
"Menurutmu, apakah kita benar-benar bisa mencari dan menemui makhluk bernama Jin Sejuta Tanya Sejuta Jawab Itu?" tanya Bintang."Betul," ucap Arya. "Laut seluas ini, kita harus mencari satu pulau yang kita tidak tahu dimana letaknya, tak tahu apa namanya. Hanya ada petunjuk samar!""Turut cerita Jin Muka Seribu adalah makhluk Jahat luar biasa. Kalau dia seperti itu, gurunya tentu lebih jahat lagi. Dan Jin Sejuta Tanya Sejuta Jawab ini adalah guru Jin Muka Seribu! Kita semua pasti celaka!""Coba kalian timbang-timbang," kata Arya menyambung ucapan Bayu tadi. "Dewi Awan Putih tahu cerita itu dari kakeknya si Jin Tangan Seribu. Menurutku Jin Tangan Seribu tidak begitu suka pada kita bertiga. Jangan-jangan dia sengaja mengarang cerita untuk mencelakai kita semua!"Apa yang dikatakan teman-temannya itu mungkin betul adanya. Dia berpaling memandang ke arah Maithatarun. Lalu kembali terdengar si Arya berkata. "Maithatarun, selagi belum terlambat ada baiknya kau
"Jangan-jangan mereka mati semual" pikir Maithatarun. Dengan cepat dia tanggalkan ikat pinggangnya. Begitu ikatan lepas tiga sosok tubuh itu jatuh bergulingan ke atas pangkuannya. Masih tetap tidak ada satupun yang bergerak. Pucatlah wajah Maithatarun.“Celaka!" membatin Maithatarun. Satu persatu dimbilnya ketiga sosok cebol itu. Diperiksa dan didekatkannya ke telinganya. Dia masih bisa mendengar detak-degup jantung walaupun perlahan."Hai..." Maithatarun pegang Arya dan Bayu di tangan kiri. Tangan kanan mencekal sosok Bintang. Ketiga orang itu dipegangnya kaki ke atas kepala ke bawah. Perlahan-lahan air laut mengucur keluar dari mulut mereka. Masih belum puas Maithatarun tempelkan perut ketiga orang itu ke dadanya. Begitu dia menekan, Bintang, Bayu dan Arya sama keluarkan suara seperti orang muntah. Air kambali mengucur keluar. Lalu ketiganya terdengar batuk-batuk. Penuh perasaan lega Maithatarun baringkan ketiga orang itu di atas pasir.Bintang yan
Maithatarun memandang ke arah yang ditunjuk Bintang. Memang benar. Tidak seperti di tempat lain dimana semua pohon jati berduri tumbuh sangat rapat, di sebelah sana ada dua pohon, diikuti pohon-pohon lain di deretan sebelah belakang, tumbuh lebih jarang satu sama lain. Segera saja Maithatarun melangkah cepat menuju tempat itu."Duukk... duukkk... duuukkkk!"Langkah-langkah kaki batu Maithatarun menghujam di pasir pantai. Mengeluarkan suara keras dan menggetarkan seantero tempat."Kita memang bisa lewat di sini! Kelihatannya ini jalan setapak yang sengaja dibuat orang." Berkata Maithatarun begitu sampai di antara dua pohon jati besar yang tumbuh renggang. Demikian juga deretan pohon-pohon di sebelah belakang,"Berarti pulau ini ada penghuninya!" kata Bintang pula. "Betul, yaitu Jin Patilandak..." jawab Maithatarun. "Apakah makhluk bernama Jin Patilandak ini Jahat atau baik?" tanya Bayu."Tak dapat kupastikan. Yang jelas dia adalah setengah manusia s
Perlahan-lahan sambil memandang berkeliling, penuh waspada Maithatarun bangkit berdiri."Bintang, bagaimana...? Kita terus memasuki deretan patung-patung kayu ini atau kembali ke pantai?' bertanya Maithatarun."Kita kembali saja ke pantai!" menjawab Arya."Sudah kepalang tanggung! Kita terus saja!" jawab Bintang.'Ya, aku setuju. Kita jalan terus! Maithatarun, kalau cuma patung kayu kau pasti sanggup menghancurkan jika mereka kembali menyerang!" kata Bayu pula.Maithatarun tetapkan hati. Dia kembali melangkah. "Duuukkkk... duukkkk!"-o0o-SEBELUM melanjutkan apa yang terjadi dengan Maithatarun, Bintang dan Bayu serta Arya di pulau itu, kita kembali dulu pada satu peristiwa besar di masa beberapa puluh tahun silam dan terjadi di Negeri Kota Jin.Bunda Dewi menatap rawan dengan sepasang matanya yang bening tapi suram ke arah timur. Lalu dia berpaling pada Ratu Dewi yang bertubuh gemuk luar biasa dan duduk di kursi b
Bersamaan dengan itu menggelegar suara keras menggaung panjang dan lama."Seperti suara tangisan bayi. Tapi juga menyerupai lolongan srigala..." Bunda Dewi usap tengkuknya yang jadi dingin sementara matanya mengikuti benda yang melayang di udara.Demikian cepatnya benda ini melesat hingga sebelum sang Dewi sempat berkedip benda itu telah lenyap dari pandangan matanya. "Benda apa itu gerangan. Aku mencium bau amisnya darah. Jangan-jangan...”Belum sempat Bunda Dewi menyelesaikan ucapan hatinya tiba-tiba di atasnya melayang satu benda putih. Benda ini dengan cepat bergerak turun dan ternyata adalah sebuah awan berwarna putih. Dari atas awan itu melompat turun seorang gadis cantik mengenakan pakaian terbuat dari sejenis kain sutera halus berwarna putih. Tubuh dan pakaiannya menebar bau harum semerbak, nyaris menutup keharuman bau tubuh dan pakaian biru Bunda Dewi."Hai Dewi Awan Putih, kau muncul tepat pada saatnya. Apakah kau datang membawa berita yan
Di ambang pintu kamar si nenek mendadak hentikan langkah. "Pahambalang! Kegilaan apa yang aku lihat ini! Siapa yang mengikat tangan dan kakinya!""Tidak ada jalan lain Nek! Dia selalu berontak. Memukul dan menendang. Melihat aku sepertinya dia hendak membunuhku!""Gila dan aneh! Perempuan yang hendak melahirkan bisa bersikap seperti itu!" Ruhumuntu masuk ke dalam kamar yang diterangi dua buah obor besar. Tiga langkah dari ranjang kayu kembali gerakannya tertahan.Di atas tempat tidur kayu itu tergeletak menelentang seorang perempuan. Wajahnya yang cantik tertutup oleh keringat serta kerenyit menahan sakit.Dari mulutnya yang terbuka keluar erangan ditingkahi desau nafas yang membersit dari hidung. Perempuan ini memiliki perut besar dan tertutup sehelai rajutan rumput kering. Ketika pandangannya membentur sosok si nenek, dua matanya membeliak besar dan dari mulutnya keluar suara menggereng seperti suara babi hutan."Tua bangka buruk! Siapa kau?!"
Perutnya robek besar dan darah masih mengucur mengerikan!"Ruhmintari!" teriak Pahambalang. Dia memandang seputar kamar. Begitu melihat si nenek dia kembali berteriak. "Nenek Ruhumuntu! Apa yang terjadi dengan istriku! Aku mendengar tangisan bayi! Mana anakku?!"Sambil sandarkan punggungnya ke dinding kamar si nenek menjawab. "Istrimu tewas Hai Pahambalang! Tewas ketika melahirkan bayinya! Bayinya ternyata bukan bayi biasa! Bayi itu tidak keluar secara wajar tapi melalui perut istrimu yang tiba-tiba pecah robek besar!""Aku tidak percaya! Kau... kau pasti memakai cara gila! Kau pasti merobek perut istriku dengan pisau!""Aku tidak pernah membawa pisau Hai Pahambelang," Jawab si nenek. Tubuhnya melosoh ke lantai. Dua tangannya masih mendekapi perutnya yang luka."Mana bayiku! Mana anakku!" teriak Pahambalang. Sinenek Ruhumuntu angkat tangan kirinya. Dengan gemetar dia menunjuk ke sudut kamar. "Itu... Benda yang di sudut sana. Itulah bayimu. Kuharap
"Hai Bunda Dewi, masih adakah sesuatu yang hendak kau katakan?" tanya Dewi Awan Putih.Bunda Dewi masih belum membuka mulut seolah ada kebimbangan di hatinya untuk berucap. Setelah menarik nafas lebih dulu baru dia berkata."Kau mungkin tidak suka membicarakan walau barang sebentar. Namun jika tidak ada kejelasan rasanya aku seperti diikuti bayang-bayang sendiri”"Apakah yang merisaukan hatimu, Hai Bunda Dewi?" Mulutnya bertanya namun dalam hati Dewi Awan Putih mulai menduga-duga."Tadi aku sempat membicarakan: Hatiku dan hatimu, pikiranku dan pikiranmu, penglihatanku dan penglihatanmu ke masa depan rasanya tidak banyak berbeda. Lalu kau bilang bahwa dunia kita semakin lama semakin mengalami banyak perubahan. Batas antara kita para Dewi, Para Jin dan manusia di bawah langit semakin tipis. Laksana kabut pagi yang mudah pupus ditelan cahaya mentari. Kejadian para Dewi kawin dengan manusia biasa telah berulang kali terjadi walau mereka harus menerima hukuman d