Bersamaan dengan itu menggelegar suara keras menggaung panjang dan lama.
"Seperti suara tangisan bayi. Tapi juga menyerupai lolongan srigala..." Bunda Dewi usap tengkuknya yang jadi dingin sementara matanya mengikuti benda yang melayang di udara.
Demikian cepatnya benda ini melesat hingga sebelum sang Dewi sempat berkedip benda itu telah lenyap dari pandangan matanya. "Benda apa itu gerangan. Aku mencium bau amisnya darah. Jangan-jangan...”
Belum sempat Bunda Dewi menyelesaikan ucapan hatinya tiba-tiba di atasnya melayang satu benda putih. Benda ini dengan cepat bergerak turun dan ternyata adalah sebuah awan berwarna putih. Dari atas awan itu melompat turun seorang gadis cantik mengenakan pakaian terbuat dari sejenis kain sutera halus berwarna putih. Tubuh dan pakaiannya menebar bau harum semerbak, nyaris menutup keharuman bau tubuh dan pakaian biru Bunda Dewi.
"Hai Dewi Awan Putih, kau muncul tepat pada saatnya. Apakah kau datang membawa berita yan
Di ambang pintu kamar si nenek mendadak hentikan langkah. "Pahambalang! Kegilaan apa yang aku lihat ini! Siapa yang mengikat tangan dan kakinya!""Tidak ada jalan lain Nek! Dia selalu berontak. Memukul dan menendang. Melihat aku sepertinya dia hendak membunuhku!""Gila dan aneh! Perempuan yang hendak melahirkan bisa bersikap seperti itu!" Ruhumuntu masuk ke dalam kamar yang diterangi dua buah obor besar. Tiga langkah dari ranjang kayu kembali gerakannya tertahan.Di atas tempat tidur kayu itu tergeletak menelentang seorang perempuan. Wajahnya yang cantik tertutup oleh keringat serta kerenyit menahan sakit.Dari mulutnya yang terbuka keluar erangan ditingkahi desau nafas yang membersit dari hidung. Perempuan ini memiliki perut besar dan tertutup sehelai rajutan rumput kering. Ketika pandangannya membentur sosok si nenek, dua matanya membeliak besar dan dari mulutnya keluar suara menggereng seperti suara babi hutan."Tua bangka buruk! Siapa kau?!"
Perutnya robek besar dan darah masih mengucur mengerikan!"Ruhmintari!" teriak Pahambalang. Dia memandang seputar kamar. Begitu melihat si nenek dia kembali berteriak. "Nenek Ruhumuntu! Apa yang terjadi dengan istriku! Aku mendengar tangisan bayi! Mana anakku?!"Sambil sandarkan punggungnya ke dinding kamar si nenek menjawab. "Istrimu tewas Hai Pahambalang! Tewas ketika melahirkan bayinya! Bayinya ternyata bukan bayi biasa! Bayi itu tidak keluar secara wajar tapi melalui perut istrimu yang tiba-tiba pecah robek besar!""Aku tidak percaya! Kau... kau pasti memakai cara gila! Kau pasti merobek perut istriku dengan pisau!""Aku tidak pernah membawa pisau Hai Pahambelang," Jawab si nenek. Tubuhnya melosoh ke lantai. Dua tangannya masih mendekapi perutnya yang luka."Mana bayiku! Mana anakku!" teriak Pahambalang. Sinenek Ruhumuntu angkat tangan kirinya. Dengan gemetar dia menunjuk ke sudut kamar. "Itu... Benda yang di sudut sana. Itulah bayimu. Kuharap
"Hai Bunda Dewi, masih adakah sesuatu yang hendak kau katakan?" tanya Dewi Awan Putih.Bunda Dewi masih belum membuka mulut seolah ada kebimbangan di hatinya untuk berucap. Setelah menarik nafas lebih dulu baru dia berkata."Kau mungkin tidak suka membicarakan walau barang sebentar. Namun jika tidak ada kejelasan rasanya aku seperti diikuti bayang-bayang sendiri”"Apakah yang merisaukan hatimu, Hai Bunda Dewi?" Mulutnya bertanya namun dalam hati Dewi Awan Putih mulai menduga-duga."Tadi aku sempat membicarakan: Hatiku dan hatimu, pikiranku dan pikiranmu, penglihatanku dan penglihatanmu ke masa depan rasanya tidak banyak berbeda. Lalu kau bilang bahwa dunia kita semakin lama semakin mengalami banyak perubahan. Batas antara kita para Dewi, Para Jin dan manusia di bawah langit semakin tipis. Laksana kabut pagi yang mudah pupus ditelan cahaya mentari. Kejadian para Dewi kawin dengan manusia biasa telah berulang kali terjadi walau mereka harus menerima hukuman d
Belum lenyap lengking jeritan itu tiba-tiba terdengar suara bergemuruh mendatangi. Bukit jati di atas pulau itu bergetar aneh. Di lain saat muncullah sepasang makhluk aneh mengerikan. Berupa dua ekor landak raksasa yang berjalan cepat dengan empat kakinya. Namun begitu sampai di hadapan makhluk bersisik, dua ekor landak ini pergunakan dua kaki bolakangnya seperti kaki manusia dan dua kaki depan sebagai tangan. Lalu dua binatang ini membungkuk seolah memberi hormat pada makhluk bersisik.Makhluk bersisik di tepi liang batu angkat tangan kanannya. Sambil menjerit keras dia menunjuk ke langit. Ke arah sosok bayi Pahambalang yang tengah melayang jatuh ke atas pulau. Dua ekor landak yang ternyata satu jantan satu betina palingkan kepala ke arah yang ditunjuk lalu sama-sama keluarkan jeritan keras."Paeruncing dan Paelancip! Apa yang aku lihat puluhan tahun silam dan pernah kukatakan pada kalian kini menjadi kenyataan! Selamatkan bayi itu!"Satu suara menyerupai suara
"Aku Dewi Awan Putih dari Negeri Atas Langit. Kedatanganku membawa tugas. Tugas yang menjadi perintah bagi kalian yang ada di sini. Patuh akan perintah! Itulah segala rahasia hidup tanpa bencana. Aku datang untuk mengambil sosok kecil yang ada di atas punggung landak raksasa itu!"Mendengar kata-kata Dewi Awan Putih, sepasang mata makhluk bersisik yang bernama Tringgiling Liang Batu seperti hendak melompat. Sisik di sekujur tubuhnya berjingkrak kaku. Dari tenggorokannya keluar suara menggembor.Di tempat lain, dua ekor landak raksasa menggarang keras. Yang jantan langsung tegak berdiri membelakangi betinanya. Sepasang matanya yang hitam kecoklatan membersitkan sinar menggidikkan. Dua tangannya dipentang ke depan. Kakinya bergerak melangkah mendekati awan putih.“PAERUNCING!” Tegur Tringgiling Liang Batu."Tetap di tempatmu!" Lalu makhluk ini berpaling pada Dewi Awan Putih. "Dewi Awan Putih, bagiku adalah aneh seorang Dewi dari Negeri Atas Langit mengi
Melihat serangan yang sangat berbahaya itu Tringgiling Liang Batu berseru keras. Tubuhnya melesat ke udara. Sambil melesat tubuh itu bergulung melingkar lalu menggelinding ke arah Dewi Awan Putih. Seluruh Sisik yang ada di kepala dan tubuhnya berdiri tegak seolah ratusan pisau yang siap membantai.Sadar ganasnya serangan Tringgiling Liang Batu, Dewi Awan Putih terpaksa melompat sebelum serangan dua larik sinar birunya sempat menghantam lawan. tak urung sisik-sisik di punggung Tringgiling Liang Batu masih sempat merobek ujung pakaiannya. Ketika dia menjejakkan kaki di tanah kembali dilihatnya makhluk bersisik itu telah tegak sambil mendukung bayi berduri di tangan kirinya!"Kau inginkan orok ini Hai Dewi Awan Putih! Silahkan ambil dari tanganku kalau kau mampu! Tapi jika kau berpikir tidak mampu melakukannya sebaiknya lekas tinggalkan pulau ini!"Merasa ditantang dan dianggap enteng Dewi Awan Putih kerahkan seluruh kekuatan yang dimilikinya. Dari dua matanya kemb
DIATAS PULAU, di dalam rimba Pahitamkelam, makhluk bersisik seatos baja Tringgiling Liang Batu, baru saja meletakkan bayi berduri di atas punggung Paelancip si landak betina. Tiba-tiba dia berdiri tegak lalu arahkan mukanya ke sebelah barat."Ada lagi tamu tak diundang tengah menuju ke sini. Paeruncing dan Paelancip, lekas kalian bawa cucuku meninggalkan tempat ini!"Baru saja makhluk bersisik itu selesai bicara, belum sempat dua ekor landak raksasa bergerak pergi tiba-tiba berkelebat satu bayangan disertai mengumandangnya teriakan keras. Dari ucapannya jelas dia sempat mendengar kata-kata Tringgiling Liang Batu tadi. Padahal Tringgiling bicara tidak terlalu keras. Satu pertanda bahwa orang yang datang, siapapun dia adanya pastilah memiliki kepandaian tinggi."Diundang atau tidak, aku sudah menentukan bahwa hari ini aku harus menjejakkan kaki di tempat ini! Dan itu sudah kurencanakan sejak tiga puluh tahun silam!""Wuuuuttt!"Suara lenyap dan tahu-
Empat mulut Jin Muka Seribu tertawa bergelak mendengar kata-kata Tringgiling Liang Batu. "Kau boleh mengatur seribu Dewi seribu Dewa. Tapi jangan berani bicara sombong terhadap Jin Muka Seribu!""Kau boleh menganggap diri lebih hebat dari pada Dewi dan Dewa Hai Jin Muka Seribu! Tapi karena kau membawa maksud jahat datang kemari, aku sarankan agar kau cepat-cepat angkat kaki dari pulauku. Terhadap Dewi Awan Putih aku masih berbaik hati. Tapi terhadap makhluk sepertimu mungkin sikapku bisa sebaliknya! Lekas menyingkir dari hadapanku!"Jin Muka Seribu menjadi marah sekali. Dari tenggorokannya keluar suara menggembor. Bersamaan dengan itu mukanya depan belakang berubah menjadi muka-muka raksasa mengerikan berwarna merah.Empat matanya memandang menyorot pada Tringgiling Liang Batu. Walau gentar melihat perubahan empat muka makhluk di hadapannya namun Tringgiling Liang Batu tidak bergerak dari tempatnya berdiri. Dia sudah siap menghadapi segala kemungkinan. Dua ekor