Akibat tingkah nekat Ulfa yang sama sekali tidak pernah dipertimbangkan oleh Orion itu, mobil yang mereka kendarai nyaris saja menghantam beton pembatas jalan. Untung saja Orion masih sanggup bertindak sigap tepat pada waktunya dan berhasil mengendalikan laju kendaraan hanya beberapa detik sebelum bumper depan mencium benda super keras di hadapan mereka.“Apa yang baru saja kamu lakukan, Ulfa?” Orion berteriak dengan wajah pucat sebab hampir bersinggungan dengan maut dan mengakhiri petualangannya di dunia. Napasnya masih berlarian dan keringat membanjiiri wajahnya yang tampan. “Kamu sudah gila, ya? Kamu ingin mencelakakan kita? Kalau kamu mau mati, mati saja sendirian sana! Jangan ajak-ajak aku!”Omongan Orion membuat Ulfa yang juga sedang sibuk menetralkan kembali jalan napasnya sontak mendelikkan matanya. Ia tidak terima dengan tuduhan Orion yang semena-mena. “Seharusnya aku yang bertanya seperti itu, Rion! Apa yang kamu pikirkan sampai ingin mengikuti mobil ayahmu cuma karena khawa
“Drong, kayaknya taksi di belakang itu mengikuti kita, deh. Gue lihat taksi itu sudah sama kita sejak dari pusat kota tadi,” ujar salah satu pria berkepala botak polos yang menaiki mobil mewah Erian. Tangannya tidak berhenti mengusap kepalanya yang memar akibat hantaman teflon yang dilayangkan oleh Jian hampir satu jam sebelumnya.Gondrong, teman si botak yang dipanggil sesuai penampilannya, melongok ke kaca spion dan menemukan taksi yang dimaksud temannya. Tapi, karena merasa pergerakan taksi itu tidak mencurigakan, mungkin mereka cuma mengambil rute yang tidak berbeda, tidak ada sama sekali reaksi berarti yang ia perlihatkan dan hanya melanjutkan mengemudi dengan tenang dan bergaya. Kapan lagi dirinya bisa mengemudikan sendiri mobil mewah majikannya?Berbeda dengan pembawaan si Gondrong yang rileks, si botak justru merasa resah. Berulang kali ia melihat ke belakang dan umpatan pun melompat dari mulutnya saat mendapati taksi itu masih mengekori mereka. “Lihat, lihat. Taksi itu juga b
Begitu taksi yang ditumpangi oleh anaknya meninggalkan rumah, Jian segera membawa Citra, yang sudah sadar dari pingsannya beberapa menit yang lalu dan luar biasa terperanjat dengan perubahan sikap secara drastis yang dipertontonkan oleh ibu Dokter Lavin, memasuki mobilnya yang terparkir di halaman, setelah sebelumnya memasukkan semua koper dan tas wanita itu ke dalam bagasi.“Bagaimana, Bik Atik? Mereka sudah mengikuti taksi Lavin?” Jian bertanya dari balik kemudi, sambil mencondongkan kepalanya ke luar dari jendela mobil, kepada Bik Atik yang mengendap-endap takut di pintu pagar rumah, mengintip lewat celah-celah kayu penyusun daun pintu, mengamati situasi di jalanan sebelum mereka memutuskan bergerak.Bik Atik menoleh dan memberi anggukan pada ibu majikannya. “Iya, Bu. Ada satu mobil hitam, satu taksi, dan satu mobil hitam lagi yang mengikuti Tuan Lavin. Tapi, Bu,” kata Bik Atik terpotong sebab beliau kembali menempelkan kepalanya ke pintu untuk melihat dengan lebih saksama, “ada ya
“Saya- saya tidak-”Diciduk begitu tiba-tiba seperti itu, terlebih oleh pihak yang paling dihindarinya, membuat Erian tergagap dan tidak bisa menyampaikan maksudnya dengan gamblang. Lagipula, apa yang ingin disampaikannya? Pengakuan? Ia pun refleks saling mengirimkan tatapan panik dengan Dokter Hardi yang wajahnya sudah berubah pucat saking terperanjatnya. Bahkan, dokter senior itu sampai lupa menutup mulutnya.Pandangan Nadi kemudian beralih ke arah Dokter Hardi yang berdiri kaku di samping brankar Erian, terlihat jelas tidak yakin ingin melakukan apa. “Jadi, Anda juga bekerja sama, Dokter? Sampai pura-pura tidak pernah mengenal Pak Erian sebelumnya? Menurut Anda, apa yang akan terjadi pada rumah sakit ini kalau kami mempublikasikan tentang keterlibatan Anda?”“Jangan, rumah sakit- anu-” Seperti temannya, Dokter Hardi juga tiba-tiba tidak sanggup melompatkan kata-kata yang dapat dimengerti dari mulutnya. Sebagai gantinya, ia hanya mengusap keringatnya yang mendadak bermunculan begitu
Si Gondrong tidak bisa memercayai penglihatannya saat pintu belakang taksi itu terbuka di depan matanya. Di mana menantu majikannya? Jelas-jelas tadi ia menyaksikan dengan jelas jika dokter itu menggendong seorang wanita yang mengenakan seragam rumah sakit dan memasukkannya ke dalam kendaraan ini. Apakah ia salah lihat? Tapi, si botak yang bersamanya juga melihat hal serupa.“Sayang sekali,” ujar Dokter Lavin kalem. “Citra sedang tidak bersamaku saat ini. Sia-sia saja kalian mengikuti saya sampai kemari. Bagaimana ini? Kamu pasti akan dipecat oleh tuanmu karena tidak becus melaksanakan tugas. Saya ikut prihatin. Lebih baik kalian mulai mencari pekerjaan lain sekarang.”“Jangan banyak bacot! Di mana lo sembunyiin Non Citra? Gue lihat lo membawanya masuk ke taksi ini. Lo turunin Non Citra di mana? Jawab dengan jujur! Kalau gak, gue terpaksa pake cara kekerasan,” ancam si Gondrong sambil masih celingukan memanjang-manjangkan leher mencari-cari orang lain selain dokter dan si sopir di had
“Hah? Ulfa selingkuhan suamimu yang punya poni kekanak-kanakan itu? Kenapa dia bisa mengejar kita? Bukannya tadi kata Bik Atik dia sudah mengikuti taksi Lavin? Lagipula, dia tidak punya alasan mengejarmu, dia kan bukan orang suruhan ayah mertuamu. Atau jangan-jangan, ayah mertuamu juga mempekerjakan dia tanpa sepengetahuanmu? Mungkin saja sejak awal semua ini sudah diatur oleh ayah mertuamu.Jian mengeluarkan apapun yang ada di pikirannya sambil tetap memacu mobilnya, menyelip di antara kendaraan lain di jalanan Kota Ryha yang ramai. Matanya baru saja melirik ke kaca spion dan wujud mobil yang kap depannya menunjukkan sisa-sisa asap mengonfirmasi langsung kebenaran informasi yang diberikan oleh Citra.Di sisi lain, Citra justru terpana dengan perkataan Jian yang pernah sekali didengarnya dari orang lain. Erian yang menyuruh Ulfa mendekati Orion? Tapi, apa motifnya? Jawaban dari pertanyaan itu sendiri tidak pernah didapatkannya karena manusia yang sudah memberitahunya hal itu sudah tid
Mata Nadi sontak membulat terkejut melihat benda yang berada di tangan Erian. Polisi itu pun refleks meraba pinggangnya dan mulutnya mendecih pelan saat menyadari tempat senjatanya telah kosong. Kini dirinya sibuk menggerutu dalam hati. Bagaimana mungkin ia bisa seceroboh itu sehingga tidak menyadari jika Erian mengambil pistolnya? Apa yang harus ia lakukan sekarang dengan pria yang terlihat jelas tidak main-main dengan omongannya itu?“Apakah Anda tidak mendengar perkataan saya, Pak Nadi?” Erian bersuara lagi ketika melihat polisi di hadapannya tampak tidak memerhatikannya dan justru fokus dengan dirinya sendiri. “Merapat ke dinding dan angkat tangan Anda ke atas. Jangan coba-coba melakukan apapun. Asal Anda tahu, sekali seminggu saya rutin latihan menembak di sasana pelanggan saya. Jadi, saya tidak canggung dengan pistol.”Nadi terpaksa mengakui kalau ucapan Erian benar. Pengusaha hotel itu kelihatan terbiasa memegang pistol, dilihat dari kuda-kuda kokoh yang ditunjukkan sampai deng
“Bukan urusanmu. Lagipula, aku tidak percaya padamu. Bisa saja kamu pura-pura baik padahal tidak kalah keji daripada ayahmu. Pergi saja dan urus kepentinganmu sendiri, tidak usah menggangguku!”Dokter Lavin memperingatkan dengan tegas kemudian menoleh lagi ke arah luar, tidak tertarik untuk meladeni Orion lebih lanjut. Lebih penting baginya untuk memastikan jika para preman itu telah berhenti membuntutinya.“Hah, hah, hah! Ternyata dokter itu di sini. Terima kasih, Tuan Orion. Tapi, kenapa Tuan juga ada di sini? Oh, Tuan Erian meminta Anda untuk membantu kami, ya?”Suara yang terasa tidak asing itu terdengar dari belakang Dokter Lavin, sontak dokter muda itu pun membalikkan tubuh dan mendecih tidak riang melihat penampakan si Gondrong dan temannya yang botak. Tapi, wajah Dokter Lavin pun tiba-tiba tegang saat mendapati tas besar yang dikenalinya ada dalam genggaman si Gondrong. Ia segera berpaling ke halaman dan tidak menemukan taksi yang tadi ditumpanginya.“Jangan khawatir,” ujar si