Lalu lintas di pusat Kota Ryha ramai seperti biasanya. Berbagai macam kendaraan dengan beraneka rentang harga berseliweran dan berebut tempat di jalanan, berlomba-lomba mencapai tujuan secepatnya. Tapi, sebuah mobil mahal berwarna hitam yang bergerak mendekat mencuri atensi Erian yang tengah memelototi jalan raya dari balkon ruang rawat inap tempatnya berdiri.“Cih,” decih Erian tidak riang saat melihat mobilnya memasuki halaman parkir Rumah Sakit Ryha. Namun, ia tetap mempertahankan posisinya, menunggu salah satu dari dua pria penjaga keamanan di rumahnya keluar dari kendaraan mahalnya itu. Tapi, selewat beberapa menit, belum ada juga manusia yang menampakkan dirinya. Erian mendecih sekali lagi, pasti mereka berdua takut menemuinya.Sebagai gantinya, ponsel di saku seragam rumah sakit yang dikenakan oleh Erian memekik menandakan ada panggilan yang masuk. Dengan mata yang masih terarah pada mobilnya, Erian merogoh sakunya dan mengeluarkan benda pipih yang berisik itu dan menempelkanny
“Bagaimana? Aku pintar menjawab, kan?”Orion hanya melirik sekilas sebagai reaksi. Ia lebih sibuk memerhatikan kondisi lalu lintas yang ramai dibanding merespons perkataan Ulfa. Keduanya baru saja keluar dari gerbang kantor polisi Kota Ryha dan bergabung dengan ribuan kendaraan lain yang memadati jalanan. Situasi itulah yang dimanfaatkan oleh Orion agar bisa mengabaikan kalimat apapun yang melompat dari mulut selingkuhannya.“Kok kamu diam saja?” Ulfa bertanya lagi, nada suaranya menaik, wajahnya tidak elok dilihat. “Kamu marah padaku, Orion? Karena apa? Apa karena jawabanku pada para reporter tadi? Atau jangan-jangan, kamu memang tidak suka karena aku menemuimu di kantor polisi padahal sudah kamu larang?”“Bukan begitu, Ulfa,” ujar Orion berbohong. Nyatanya, ia memang sama sekali tidak riang dengan kedua hal itu. Tapi, sebisa mungkin Orion tidak mengatakannya sebab enggan menyinggung perasaan Ulfa yang sangat gampang meledak walaupun dipicu oleh sesuatu yang sepele. Ia tidak ingin me
Dokter Lavin menoleh ke samping dengan wajah terkejut saat mendengar bunyi benda berat jatuh yang ternyata adalah Citra yang menggelontor ke bumi. Pingsan. Pria itu terlalu terpana dengan keberanian ibunya sehingga tidak memerhatikan jika Citra lepas dari pegangannya dan menggelosor roboh. Dokter Lavin pun lekas-lekas berlutut di sisi tubuh mantan kekasihnya itu dan mengangkat kepalanya.“Citra, Citra! Bangun! Citra!” Dokter Lavin memanggil-manggil sambil menepuk pelan pipi Citra dalam upayanya untuk membangunkan. Tapi, wanita itu tetap tidak sadarkan diri. Ia kemudian memutuskan untuk mengangkat tubuh Citra ketika menyadari ada sesuatu yang mengotori tempat mantan aktris itu terkapar, tepat di bawah kakinya.“Darah!” Jian berseru kaget saat menghampiri anaknya karena tertarik oleh bunyi benda jatuh. Teflon yang telah ringsek tergeletak tidak berdaya di samping kakinya. “Kenapa ada darah, Lavin? Apa para preman itu sempat melukainya? Di mana yang luka? Kita harus cepat-cepat membawany
“Pak Erian, apa Anda ada di dalam? Tolong izinkan kami masuk!”Tok, tok, tok!Erian bergeming sambil bersikeras menutup mata di brankarnya, bertekad tidak akan membukakan pintu bagi para polisi itu agar mereka berpikir kalau dirinya tengah beristirahat, atau tidak sadarkan diri, sehingga mengurungkan niatnya untuk menanyai Erian dan pergi dari situ.Tok, tok, tok!“Pak Erian, biarkan kami masuk. Kami hanya mau bicara sebentar saja. Kami mohon kerja sama Anda, Pak Erian.”Tidak, Erian menggeleng di bawah selimutnya yang menutup sampai di dada. Ia tidak tertarik bekerjasama dengan para polisi jika hasilnya adalah kemerosotan harga sahamnya. Meskipun tidak terlalu signifikan, tapi performa hotelnya sudah turun akibat terbitnya artikel tentang perselingkuhan Erian dengan Citra, dan ia tidak mau pamor hotel miliknya semakin tumbang.Tok, tok, tok!“Kalau Anda terus bersikap seperti ini, Pak Erian, kami bisa menuntut Anda dengan tuduhan menghalangi penyelidikan. Karena itu, tolong biarkan k
Akibat tingkah nekat Ulfa yang sama sekali tidak pernah dipertimbangkan oleh Orion itu, mobil yang mereka kendarai nyaris saja menghantam beton pembatas jalan. Untung saja Orion masih sanggup bertindak sigap tepat pada waktunya dan berhasil mengendalikan laju kendaraan hanya beberapa detik sebelum bumper depan mencium benda super keras di hadapan mereka.“Apa yang baru saja kamu lakukan, Ulfa?” Orion berteriak dengan wajah pucat sebab hampir bersinggungan dengan maut dan mengakhiri petualangannya di dunia. Napasnya masih berlarian dan keringat membanjiiri wajahnya yang tampan. “Kamu sudah gila, ya? Kamu ingin mencelakakan kita? Kalau kamu mau mati, mati saja sendirian sana! Jangan ajak-ajak aku!”Omongan Orion membuat Ulfa yang juga sedang sibuk menetralkan kembali jalan napasnya sontak mendelikkan matanya. Ia tidak terima dengan tuduhan Orion yang semena-mena. “Seharusnya aku yang bertanya seperti itu, Rion! Apa yang kamu pikirkan sampai ingin mengikuti mobil ayahmu cuma karena khawa
“Drong, kayaknya taksi di belakang itu mengikuti kita, deh. Gue lihat taksi itu sudah sama kita sejak dari pusat kota tadi,” ujar salah satu pria berkepala botak polos yang menaiki mobil mewah Erian. Tangannya tidak berhenti mengusap kepalanya yang memar akibat hantaman teflon yang dilayangkan oleh Jian hampir satu jam sebelumnya.Gondrong, teman si botak yang dipanggil sesuai penampilannya, melongok ke kaca spion dan menemukan taksi yang dimaksud temannya. Tapi, karena merasa pergerakan taksi itu tidak mencurigakan, mungkin mereka cuma mengambil rute yang tidak berbeda, tidak ada sama sekali reaksi berarti yang ia perlihatkan dan hanya melanjutkan mengemudi dengan tenang dan bergaya. Kapan lagi dirinya bisa mengemudikan sendiri mobil mewah majikannya?Berbeda dengan pembawaan si Gondrong yang rileks, si botak justru merasa resah. Berulang kali ia melihat ke belakang dan umpatan pun melompat dari mulutnya saat mendapati taksi itu masih mengekori mereka. “Lihat, lihat. Taksi itu juga b
Begitu taksi yang ditumpangi oleh anaknya meninggalkan rumah, Jian segera membawa Citra, yang sudah sadar dari pingsannya beberapa menit yang lalu dan luar biasa terperanjat dengan perubahan sikap secara drastis yang dipertontonkan oleh ibu Dokter Lavin, memasuki mobilnya yang terparkir di halaman, setelah sebelumnya memasukkan semua koper dan tas wanita itu ke dalam bagasi.“Bagaimana, Bik Atik? Mereka sudah mengikuti taksi Lavin?” Jian bertanya dari balik kemudi, sambil mencondongkan kepalanya ke luar dari jendela mobil, kepada Bik Atik yang mengendap-endap takut di pintu pagar rumah, mengintip lewat celah-celah kayu penyusun daun pintu, mengamati situasi di jalanan sebelum mereka memutuskan bergerak.Bik Atik menoleh dan memberi anggukan pada ibu majikannya. “Iya, Bu. Ada satu mobil hitam, satu taksi, dan satu mobil hitam lagi yang mengikuti Tuan Lavin. Tapi, Bu,” kata Bik Atik terpotong sebab beliau kembali menempelkan kepalanya ke pintu untuk melihat dengan lebih saksama, “ada ya
“Saya- saya tidak-”Diciduk begitu tiba-tiba seperti itu, terlebih oleh pihak yang paling dihindarinya, membuat Erian tergagap dan tidak bisa menyampaikan maksudnya dengan gamblang. Lagipula, apa yang ingin disampaikannya? Pengakuan? Ia pun refleks saling mengirimkan tatapan panik dengan Dokter Hardi yang wajahnya sudah berubah pucat saking terperanjatnya. Bahkan, dokter senior itu sampai lupa menutup mulutnya.Pandangan Nadi kemudian beralih ke arah Dokter Hardi yang berdiri kaku di samping brankar Erian, terlihat jelas tidak yakin ingin melakukan apa. “Jadi, Anda juga bekerja sama, Dokter? Sampai pura-pura tidak pernah mengenal Pak Erian sebelumnya? Menurut Anda, apa yang akan terjadi pada rumah sakit ini kalau kami mempublikasikan tentang keterlibatan Anda?”“Jangan, rumah sakit- anu-” Seperti temannya, Dokter Hardi juga tiba-tiba tidak sanggup melompatkan kata-kata yang dapat dimengerti dari mulutnya. Sebagai gantinya, ia hanya mengusap keringatnya yang mendadak bermunculan begitu
“Apa yang terjadi, Lavin? Kenapa ada polisi di sini?”Citra bertanya dengan wajah menghadap ke moncong pistol yang mengarah padanya, matanya tajam melirik Dokter Lavin yang tengah memberinya tatapan terluka. Walaupun malam itu udara lumayan dingin, keringat mulai bermunculan di dahinya. Wanita itu meneguk ludah yang terasa mengganjal. Ada yang tidak beres dengan mantan kekasihnya itu.Namun, bukannya menjawab, Dokter Lavin justru memutus kontak matanya dengan Citra, turun dari mobil, membuka pintu belakang, dan membawa Belinda ke dalam gendongannya. Ia memilih untuk tidak menengok ke arah Citra satu kali pun selagi melangkah kembali ke dalam toko yang pengunjungnya tampaknya tidak menyadari kejadian di depan bangunan yang mereka datangi, berbeda dengan Belinda yang tidak berhenti memelototi mobil yang baru saja mereka tinggalkan.“Lavin, Lavin, kamu mau ke mana? Jelaskan padaku ada apa ini. Lavin! Kamu tidak boleh pergi begitu saja dan meninggalkanku di sini!” Citra memanggil-manggil
Mata Citra terbelalak mendengar pengumuman mengejutkan yang disampaikan oleh Jian. Dengan mulut setengah membuka, ia menoleh ke arah Dokter Lavin yang juga tengah menatapnya. Berkat kehadiran polisi di luar sana di waktu yang sangat tidak tepat ini, rencananya bersama pria itu untuk mengasingkan Orion di ruangan tersendiri bisa dipastikan gagal.“Bagaimana mereka bisa tahu saya di sini? Setahu saya, kita tidak diikuti sejak di pusat perbelanjaan tadi. Saya juga yakin orang-orang di toko tidak ada yang mengenali saya,” ujar Citra dengan nada heran setelah berhasil berjumpa dengan suaranya. Kepalanya bergantian berpaling ke Dokter Lavin dan Jian, menuntut penjelasan. Tidak bisa dipungkiri ada sorot menuduh dalam pandangannya. Mungkin ibu dan anak itu tidak setulus yang Citra kira.Dokter Lavin melihat ke sekeliling rumah dengan resah sebelum membuka mulut. “Kalau dilihat dari polisi yang datang, bukan orang-orang suruhan Erian, kemungkinan besar mereka bisa mengetahui lokasi Citra denga
“Hati-hati menggalinya, jangan sampai guci itu pecah. Lebih baik kita menggalinya pakai tangan saja.”Nadi memberi instruksi pada rekan-rekannya sambil membasmi keringat yang berlelehan mengaliri dahinya menggunakan punggung tangan yang berlumur tanah. Mereka, para aparat kepolisian itu, tengah menggali tanah di halaman belakang kediaman Indrayana untuk mencari sesuatu yang disebutkan oleh Erian pada Nadi tiga puluh menit sebelumnya.“Kalau Anda tahu siapa yang membunuh korban, kenapa Anda tidak bilang dari awal dan membantu penyidikan? Kenapa malah menyembunyikannya dan bersikap tidak tahu apa-apa, bahkan sampai menjebak anak Anda sendiri? Apakah Anda diancam oleh Bu Citra atau Anda sendiri yang memilih untuk menutupi kasus ini, Pak Erian?”“Saya sendiri yang memang memutuskan untuk menutupi kasus ini. Saya pikir, jika Henny ditemukan meninggal sebagai korban pembunuhan, orang-orang akan bersimpati pada saya yang akhirnya akan menaikkan harga saham hotel. Tapi, Citra juga turut andil
Dokter Lavin duduk di sofa ruang tamu rumahnya, alih-alih di ruang keluarga tempatnya mengambil kotak obat, semata-mata agar tidak mendengar pertengkaran antara Citra dan Orion. Sambil menotol-notolkan kapas yang sudah dibasahi dengan alkohol ke lukanya, ia meyakinkan diri bahwa sangat tidak sopan menguping perselisihan suami istri dan mereka tentu tidak ingin didengar oleh siapapun., walaupun Dokter Lavin penasaran setengah hidup.Sekarang, setelah Citra ada di sini, apa yang akan mereka lakukan? Hanya bersembunyi dari Erian tanpa usaha apapun untuk melepaskan wanita itu sepenuhnya dari jeratan pengusaha ternama itu? Citra memang sudah mengambil langkah pertama dengan memutuskan untuk menggugat cerai Orion, tapi kaitan antara mantan kekasihnya dan Erian bukan hanya itu.Namun, sampai kapan mereka sanggup menyembunyikan diri begini? Dokter Lavin harus bekerja, yang tentu saja tidak aman dilakukan sebab Erian sudah tahu jika dirinya ikut terlibat. Sekali Dokter Lavin tertangkap, Citra,
“Itu benar, Pak Nadi. Citralah yang telah membunuh istriku. Aku tidak bohong atau sedang berupaya kabur. Itulah yang sebenarnya terjadi.”Erian menegaskan kalimatnya usai melihat reaksi Dokter Hardi dan Nadi atas perkataannya sebelumnya adalah saling melempar tatapan tidak mengerti. Tapi, sedetik kemudian, wajah si polisi menjelma tidak percaya dan ekspresi si dokter tetap dalam kebingungannya.“Apa maksudmu, Erian?” Dokter Hardi menyuarakan ketidakpahamannya. Ia bergantian memandang polisi di depannya dan temannya yang terbaring di brankar, menunggu salah satu dari keduanya sudi menjelaskan. “Citra yang membunuh Henny? Tapi, kenapa? Tadi kamu bilang kalau dijebak dan akan berusaha mencari pelaku sebenarnya, sekarang kamu bilang kalau Citra pelakunya. Apa yang terjadi di sini, Erian?”“Lebih baik Anda ikut ke kantor dan menjelaskan semuanya di sana, Pak Erian. Bangunlah, saya akan memapah Anda ke mobil,” sebut Nadi lalu melangkah mendekati brankar dan mengulurkan tangannya pada Erian,
Bunyi pukulan itu mengalihkan perhatian Citra yang tengah asyik duduk di kursi kerja Jian dan memelototi salah satu kertas yang diraupnya dari atas meja. Tangannya otomatis menjatuhkan benda yang dipegangnya begitu menyaksikan bagaimana suaminya menonjok pipi Dokter Lavin yang sama sekali tidak menduga datangnya serangan itu. Ia tergesa-gesa menghampiri mantan kekasihnya yang setengah bersimpuh di lantai dan berjongkok di sampingnya.“Kamu tidak apa-apa, Lavin?” Citra bertanya risau sambil mengamati wajah lebam pria di sisinya. Saat Dokter Lavin hanya mengangguk sebagai reaksi tanpa mengatakan apapun, wanita itu menaikkan kepalanya untuk memberi Orion tatapan sengit. “Apa yang kamu lakukan, Rion? Kenapa kamu memukul Lavin? Dia kan tidak salah apa-apa sama kamu.”Mata Orion mendelik, dadanya masih naik turun mengejar napas. Tenaganya yang tidak seberapa, karena baru makan sekali dalam hari ini, dikerahkan semuanya untuk memberi Dokter Lavin pukulan sekuatnya yang pantas pria itu terima
“Ibu!”“Tante!”Dokter Lavin dan Citra memekik berjamaah kemudian saling bertatapan salah tingkah setelahnya yang segera dilanjutkan dengan membuang pandangan masing-masing ke arah berlawanan. Citra pura-pura tertarik dengan hiasan rambut Belinda yang duduk di pangkuannya, sedangkan Dokter Lavin berdeham tidak jelas sambil bersikap seakan-akan terpesona dengan pemandangan di luar jendela mobil.“Loh, apa yang salah?” Jian bertanya dengan wajah tanpa dosa, tidak menyadari bencana yang baru saja diciptakannya, matanya bergantian menatap tiga penumpang dewasa yang terduduk di kursi belakang mobilnya. “Kalau Citra dan pria ini bercerai, artinya dia bisa kembali pada Lavin dan anak kandungnya, Belinda. Nah, pria ini bisa bersama dengan si poni kekanak-kanakan itu. Akhir yang bahagia untuk semuanya.”Usai menemukan kendali dirinya kembali, Dokter Lavin memandang ibunya, sebisa mungkin menahan matanya agar tidak melirik ke arah Citra atau Orion yang duduk di sisi kiri dan kanannya. “Lebih ba
Nadi duduk tepekur di sofa kulit mahal yang ada di ruang rawat mewah itu. Operasi pengangkatan peluru di betis Erian yang dilakukan langsung oleh Dokter Hardi sudah selesai tiga jam yang lalu. Sekarang, ia hanya perlu menunggu pengusaha hotel itu siuman untuk ditanyai. Nadi memilih untuk bersiaga di ruangan yang sama dengan Erian untuk mencegah orang kaya itu berkonspirasi jahat dengan Dokter Hardi lagi.Sebenarnya, ia bisa saja meminta Kun atau rekannya yang lain untuk menggantikannya berjaga di rumah sakit. Tapi, Nadi memutuskan terlibat langsung karena saat ini bisa dikatakan jika Erian merupakan terduga potensial dalam kasus pembunuhan Henny serta kecelakaan Gema dan Ariani. Baginya, ini semacam tanggung jawab moril selaku ketua tim penyidikan. Bukankah sebagai pemimpin, ia yang harus bekerja lebih keras?Usai beberapa belas menit duduk sambil menjalin tangan dan bertatap muka dengan lantai, Nadi mengubah posisinya menjadi bersandar di sofa dengan kepala mendongak dan mata nyalang
“Orion?”Citra menggumamkan nama suaminya dengan nada terperanjat bervolume rendah. Ia tidak salah dengar, kan? Tapi, apa yang dilakukan Orion di sini? Bukannya dia tengah ditahan di kantor polisi?“Buka pintunya, Citra. Ini aku, Orion!” Orang yang berdiri di luar bilik toilet Citra itu berbicara lagi.Mendengar suara manusia itu sekali lagi, Citra akhirnya yakin. Sekarang ia berseru lantang. “Orion? Itu benar-benar kamu, kan?”“Iya, Citra. Aku Orion, suamimu.”Lebih tepatnya, pria yang sebentar lagi akan menjadi mantan suamiku, pikir Citra. Walaupun yakin betul kalau makhluk yang mengobrol dengannya adalah Orion, ia tetap memilih melakukan tindakan pencegahan dengan cara mengintip lagi melalui celah di bawah pintu, siapa tahu ada orang lain di situ.Usai memastikan jika suaminya memang benar-benar datang sendirian, Citra menjatuhkan pecahan cermin di tangannya ke lantai dan membuka pintu bilik toilet. Di depannya, terpampang wujud Orion yang terlihat tidak terurus dengan wajah dan pa