"Selamat petang, Bu Yura." Sapaan Arkatama disambut hangat oleh Yura. Pria itu baru saja selesai membantu menaikkan koper dan tas bawaannya ke bagasi. Sudah lama Yura tak bertegur sapa dengan asisten suaminya ini membuatnya sedikit pangling dengan penampilannya yang kasual.Pekerjaan yang berbeda tempat membuat mereka terhalang jarak yang cukup banyak. Yura saja bahkan lupa kapan terakhir kali dengan Arkatama. "Petang, Pak Arka. Sebentar ya, Gin masih bertemu dengan ayah dan bunda," ujar Yura lalu menoleh ke dalam rumah melihat aktivitas suaminya sudah sampai di ruang tengah sedang berpamitan dengan Wira dan sang bunda di dapur.Arkatama menerbitkan senyum dan mengangguk untuk menanggapi. "Santai saja, Bu, masih ada waktu dua jam untuk tiba di bandara." "Pak Arka di sana dua hari juga?" "Kalau saya tergantung dengan situasinya. Jika memungkinkan dan waktunya cukup dua hari saja, saya akan pulang bersama Tuan. Jika tidak, mungkin saya yang akan tinggal di sana beberapa hari. Ada
"Ada apa, Ayah? Ada hal penting apa yang ingin ayah bicarakan?" Yura bertanya setelah bergabung dengan kedua mertuanya di ruang tengah. Wira dan Martha terlihat saling bertatapan. Lalu, sang bunda mertua yang menganggukkan kepala seolah meyakinkan suaminya untuk membahas sesuatu bersamanya. Wira lantas meraih remote dan mengecilkan volume suara televisi yang menyala di hadapan mereka. Sebuah senyum tipis terkembang dari bibir sang ayah mertua. "Jangan tegang begitu, Yura. Aku tidak akan membahas hal serius, tapi bisa jadi ini cukup penting," ujarnya saat melihat wajah Yura terlihat menegang. sesaat kemudian pria tua itu melanjutkan pertanyaan, "Bagaimana keadaanmu selama beberapa hari terakhir?" Yura membalas senyum meski ia merasa canggung dengan pertanyaan Wira. Wanita itu berusaha melemaskan bahu dan punggungnya, menyandarkan tubuhnya pada sandaran sofa, dan mengendurkan otot wajahnya agar tak terlalu kaku saat berkomunikasi dengan mertuanya. "Aku baik-baik saja, Ayah. Dokter j
Sebuah panggilan video masuk di ponsel Yura. Hal itu membuat ponsel yang ia letakkan di atas meja bergetar tanpa dering. Terpaksa, wanita itu mengecilkan api pada kompornya dan beranjak untuk meraih ponselnya. Nama kontak yang tertera membuatnya sumringah dan antusias untuk segera mengusap layarnya. Gin, pria yang ia rindukan sejak semalam.["Hey,"] sapa lelaki itu ketika panggilan mereka terhubung. Tampak dalam panggilan Gin sedang berada di kamar hotel sedang merapikan rambutnya dengan gel dan sisir. ["Morning, Sweetheart, bagaimana tidurmu tanpa aku? Kau bisa beristirahat dengan baik?"]Yura melekuk senyum manisnya. Ponselnya diletakkan pada sebuah kabinet dengan toples kaca berisi tepung sebagai sandarannya. Sembari mengaduk-aduk campuran nasi dan juga bumbu di atas teflon, Yura menjawab, "Kalau aku bisa bangun pagi itu artinya tidurku nyenyak, Sir!"["Begitu rupanya? Aku senang mendengarnya."]Wanita berbadan dua itu melirik sekilas ke arah jam dinding. "Sudah jam segini mengapa
Yura terhenyak. Kakinya mundur selangkah begitu sadar jika Sarah yang ada di hadapannya. Tenggorokannya terasa kering dan lututnya gemetar. Bagaimana tidak? Ia sedang bertatap muka dengan orang yang mengancamnya dan melukai suaminya beberapa waktu lalu. Yura masih menyimpan rasa takut jika Sarah melakukan hal yang sama padanya. Sedangkan Sarah, sedang menatapnya dengan ekspresi datar. Satu lengan wanita itu membawa sebuah tas berwarna putih. "I—ibu Sarah?""Aku datang karena kau tak merespon pesanku," ujarnya dengan nada dingin. Yura menelan ludahnya. Jika kemarin Sarah datang padanya keadaan marah-marah dan berteriak histeris, kini wanita ibu kandung suaminya itu datang dalam keadaan yang jauh berbeda. Ia bersikap tenang dan setiap tatapannya seolah mengandung mata pisau yang tajam. "Maaf, Bu, saya belum pegang ponsel. Saya tidak tahu kalau ibu mengirim pesan," jawab Yura. Hanya itu jawaban yang terlintas di kepalanya. Tidak mungkin ia mengatakan jika sengaja mengabaikan pesanny
Kepala Yura yang menunduk spontan mendongak ke arah sang lawan bicara. Dahinya berkerut samar saat mendengar kalimat yang baru saja diucapkan oleh Sarah. Entah permintaan apa yang ingin ia berikan. Meski demikian, Yura belum ingin berbicara atau pun menginterupsi. Bibirnya terlalu kaku untuk merangkai sebuah kata-kata setelah kalimat demi kalimat menohok hatinya. Hanya berharap semoga saja Wira cepat pulang dan menyelamatkannya dari situasi ini. "Aku tidak menerimamu, Yura. Sampai kapan pun bahkan jika kau bersujud di kakiku aku tak akan pernah merestuimu untuk bersanding dengan putraku." Sarah mengambil setangkai bunga mawar putih segar dalam vas bunga yang terletak di meja. Sejenak mendekatkan kelopaknya ke indera penciumannya."Harapan dalam hidupku hanyalah Gin. Dia, orang yang bisa mewujudkan kebahagiaanku! Jadi, biarkan dia mewujudkan keinginanku! Toh, Dia pantas mendapatkan wanita yang jauh lebih baik darimu." Sarah melanjutkan argumennya. Di sisi lain, Yura belum bisa mena
"Ya? Kau kenapa? ada sesuatu yang terjadi denganmu?" Gin mengulang pertanyaan saat Yura hanya membuka bibir dan mengurungkan niat untuk menjawab. Wanita yang tengah mengenakan piyama berwarna putih itu membasahi tenggorokannya yang terasa kering. Pria di hadapannya itu memandangnya begitu intens hingga ia tak bisa melepaskan pandangan dari sang suami.Ia sedang menimbang serta mencari kalimat yang tepat untuk mengatakan semua ketakutannya. Sepanjang hari semua kalimat Sarah terus menggaung di kepala, menghantuinya. Namun, ia juga tak yakin, jika setelah mengatakan semuanya hubungan Gin, Wira, dan Sarah akan baik-baik saja. Yura takut mereka akan semakin terpecah belah, sementara ia tak mau merusak keluarga itu lebih dalam. "Aku hanya .... Semalam mimpi buruk. Aku khawatir mimpi itu menjadi kenyataan. Maaf, moodku terlalu gampang berubah, jadi aku mungkin suasana," jawab Yura pada akhirnya. Pria yang ada di hadapannya lalu melepas napas yang sempat ia tahan hanya untuk mendengarkan
"Semalam aku mendengar ribut-ribut dari kamarmu. Kau bertengkar dengan istrimu?" Wira meletakkan secangkir kopi hitam yang ia bawa dari dapur. Pagi ini Martha dan menantunya sedang pergi berbelanja sehingga kedua lelaki itu harus mengurus dirinya sendiri. Bukan tanpa alasan Wira berkata demikian, semalam ia mendengar suara bising ketika hendak pergi ke dapur untuk mengambil air. Lalu, putra dan menantu yang biasanya menebar keromantisan, pagi ini saling diam.Gin sendiri sengaja tak pergi kekantor. Ia mengambil cuti untuk beristirahat selepas perjalanannya ke luar kota. Lelahnya berlipat ganda karena perdebatan semalam. Pria itu sedang merokok di halaman belakang sembari memberi makan ikan-ikan koi kesayangan sang ayah. Tak jauh dari tempatnya berdiri, ada bangku dan kursi yang kini dijadikan Wira sebagai tempat duduk. Saat melihat kedatangan sang ayah, pria itu segera mendekat."Ayah tak salah dengar," jawab Gin usai melonggarkan pernapasannya."Ada masalah apa lagi? Sebelum pergi
Tin! Tin! Tiiiiin!"Astaga! Kau boleh khawatir dengan istrimu, tapi perhatikan juga keselamatan kita berdua, Son! Kau mau kita yang sekarat di rumah sakit?"Wira menegur ketika Gin menginjak rem secara mendadak. Ia tak melihat jika ada pengendara motor yang tiba-tiba saja menyebrang di hadapannya. Hal itu membuat kekacauan kecil, pengendara di belakangnya juga mengalami hal yang sama. Untunglah kakinya bisa cekatan menghentikan roda-roda mobil tepat waktu. Jika tidak, maka urusan mereka semakin bertambah panjang. Kening Gin mengernyit. "Jaga bicara, Ayah! Aku juga sudah berhati-hati, tapi mana kutahu jika orang tadi melintas di jalur mobil?" Gin melajukan mobilnya kembali seraya mengawasi jalanan di sekitarnya. Ia menepi, mempersilakan mobil di belakangnya untuk melaju lebih dahulu."Tetap saja, seandainya kau pelan sedikit, kau tak perlu mengerem mendadak seperti tadi! Tenanglah. Santai saja." Wira menjawab kembali dengan nada enteng.Bagaimana bisa Gin berpikir dengan baik saat m