"Ada apa, Ayah? Ada hal penting apa yang ingin ayah bicarakan?" Yura bertanya setelah bergabung dengan kedua mertuanya di ruang tengah. Wira dan Martha terlihat saling bertatapan. Lalu, sang bunda mertua yang menganggukkan kepala seolah meyakinkan suaminya untuk membahas sesuatu bersamanya. Wira lantas meraih remote dan mengecilkan volume suara televisi yang menyala di hadapan mereka. Sebuah senyum tipis terkembang dari bibir sang ayah mertua. "Jangan tegang begitu, Yura. Aku tidak akan membahas hal serius, tapi bisa jadi ini cukup penting," ujarnya saat melihat wajah Yura terlihat menegang. sesaat kemudian pria tua itu melanjutkan pertanyaan, "Bagaimana keadaanmu selama beberapa hari terakhir?" Yura membalas senyum meski ia merasa canggung dengan pertanyaan Wira. Wanita itu berusaha melemaskan bahu dan punggungnya, menyandarkan tubuhnya pada sandaran sofa, dan mengendurkan otot wajahnya agar tak terlalu kaku saat berkomunikasi dengan mertuanya. "Aku baik-baik saja, Ayah. Dokter j
Sebuah panggilan video masuk di ponsel Yura. Hal itu membuat ponsel yang ia letakkan di atas meja bergetar tanpa dering. Terpaksa, wanita itu mengecilkan api pada kompornya dan beranjak untuk meraih ponselnya. Nama kontak yang tertera membuatnya sumringah dan antusias untuk segera mengusap layarnya. Gin, pria yang ia rindukan sejak semalam.["Hey,"] sapa lelaki itu ketika panggilan mereka terhubung. Tampak dalam panggilan Gin sedang berada di kamar hotel sedang merapikan rambutnya dengan gel dan sisir. ["Morning, Sweetheart, bagaimana tidurmu tanpa aku? Kau bisa beristirahat dengan baik?"]Yura melekuk senyum manisnya. Ponselnya diletakkan pada sebuah kabinet dengan toples kaca berisi tepung sebagai sandarannya. Sembari mengaduk-aduk campuran nasi dan juga bumbu di atas teflon, Yura menjawab, "Kalau aku bisa bangun pagi itu artinya tidurku nyenyak, Sir!"["Begitu rupanya? Aku senang mendengarnya."]Wanita berbadan dua itu melirik sekilas ke arah jam dinding. "Sudah jam segini mengapa
Yura terhenyak. Kakinya mundur selangkah begitu sadar jika Sarah yang ada di hadapannya. Tenggorokannya terasa kering dan lututnya gemetar. Bagaimana tidak? Ia sedang bertatap muka dengan orang yang mengancamnya dan melukai suaminya beberapa waktu lalu. Yura masih menyimpan rasa takut jika Sarah melakukan hal yang sama padanya. Sedangkan Sarah, sedang menatapnya dengan ekspresi datar. Satu lengan wanita itu membawa sebuah tas berwarna putih. "I—ibu Sarah?""Aku datang karena kau tak merespon pesanku," ujarnya dengan nada dingin. Yura menelan ludahnya. Jika kemarin Sarah datang padanya keadaan marah-marah dan berteriak histeris, kini wanita ibu kandung suaminya itu datang dalam keadaan yang jauh berbeda. Ia bersikap tenang dan setiap tatapannya seolah mengandung mata pisau yang tajam. "Maaf, Bu, saya belum pegang ponsel. Saya tidak tahu kalau ibu mengirim pesan," jawab Yura. Hanya itu jawaban yang terlintas di kepalanya. Tidak mungkin ia mengatakan jika sengaja mengabaikan pesanny
Kepala Yura yang menunduk spontan mendongak ke arah sang lawan bicara. Dahinya berkerut samar saat mendengar kalimat yang baru saja diucapkan oleh Sarah. Entah permintaan apa yang ingin ia berikan. Meski demikian, Yura belum ingin berbicara atau pun menginterupsi. Bibirnya terlalu kaku untuk merangkai sebuah kata-kata setelah kalimat demi kalimat menohok hatinya. Hanya berharap semoga saja Wira cepat pulang dan menyelamatkannya dari situasi ini. "Aku tidak menerimamu, Yura. Sampai kapan pun bahkan jika kau bersujud di kakiku aku tak akan pernah merestuimu untuk bersanding dengan putraku." Sarah mengambil setangkai bunga mawar putih segar dalam vas bunga yang terletak di meja. Sejenak mendekatkan kelopaknya ke indera penciumannya."Harapan dalam hidupku hanyalah Gin. Dia, orang yang bisa mewujudkan kebahagiaanku! Jadi, biarkan dia mewujudkan keinginanku! Toh, Dia pantas mendapatkan wanita yang jauh lebih baik darimu." Sarah melanjutkan argumennya. Di sisi lain, Yura belum bisa mena
"Ya? Kau kenapa? ada sesuatu yang terjadi denganmu?" Gin mengulang pertanyaan saat Yura hanya membuka bibir dan mengurungkan niat untuk menjawab. Wanita yang tengah mengenakan piyama berwarna putih itu membasahi tenggorokannya yang terasa kering. Pria di hadapannya itu memandangnya begitu intens hingga ia tak bisa melepaskan pandangan dari sang suami.Ia sedang menimbang serta mencari kalimat yang tepat untuk mengatakan semua ketakutannya. Sepanjang hari semua kalimat Sarah terus menggaung di kepala, menghantuinya. Namun, ia juga tak yakin, jika setelah mengatakan semuanya hubungan Gin, Wira, dan Sarah akan baik-baik saja. Yura takut mereka akan semakin terpecah belah, sementara ia tak mau merusak keluarga itu lebih dalam. "Aku hanya .... Semalam mimpi buruk. Aku khawatir mimpi itu menjadi kenyataan. Maaf, moodku terlalu gampang berubah, jadi aku mungkin suasana," jawab Yura pada akhirnya. Pria yang ada di hadapannya lalu melepas napas yang sempat ia tahan hanya untuk mendengarkan
"Semalam aku mendengar ribut-ribut dari kamarmu. Kau bertengkar dengan istrimu?" Wira meletakkan secangkir kopi hitam yang ia bawa dari dapur. Pagi ini Martha dan menantunya sedang pergi berbelanja sehingga kedua lelaki itu harus mengurus dirinya sendiri. Bukan tanpa alasan Wira berkata demikian, semalam ia mendengar suara bising ketika hendak pergi ke dapur untuk mengambil air. Lalu, putra dan menantu yang biasanya menebar keromantisan, pagi ini saling diam.Gin sendiri sengaja tak pergi kekantor. Ia mengambil cuti untuk beristirahat selepas perjalanannya ke luar kota. Lelahnya berlipat ganda karena perdebatan semalam. Pria itu sedang merokok di halaman belakang sembari memberi makan ikan-ikan koi kesayangan sang ayah. Tak jauh dari tempatnya berdiri, ada bangku dan kursi yang kini dijadikan Wira sebagai tempat duduk. Saat melihat kedatangan sang ayah, pria itu segera mendekat."Ayah tak salah dengar," jawab Gin usai melonggarkan pernapasannya."Ada masalah apa lagi? Sebelum pergi
Tin! Tin! Tiiiiin!"Astaga! Kau boleh khawatir dengan istrimu, tapi perhatikan juga keselamatan kita berdua, Son! Kau mau kita yang sekarat di rumah sakit?"Wira menegur ketika Gin menginjak rem secara mendadak. Ia tak melihat jika ada pengendara motor yang tiba-tiba saja menyebrang di hadapannya. Hal itu membuat kekacauan kecil, pengendara di belakangnya juga mengalami hal yang sama. Untunglah kakinya bisa cekatan menghentikan roda-roda mobil tepat waktu. Jika tidak, maka urusan mereka semakin bertambah panjang. Kening Gin mengernyit. "Jaga bicara, Ayah! Aku juga sudah berhati-hati, tapi mana kutahu jika orang tadi melintas di jalur mobil?" Gin melajukan mobilnya kembali seraya mengawasi jalanan di sekitarnya. Ia menepi, mempersilakan mobil di belakangnya untuk melaju lebih dahulu."Tetap saja, seandainya kau pelan sedikit, kau tak perlu mengerem mendadak seperti tadi! Tenanglah. Santai saja." Wira menjawab kembali dengan nada enteng.Bagaimana bisa Gin berpikir dengan baik saat m
"Yura?"Meadari seseorang datang, Yura lantas menoleh ke arah sumber suara. Ia lantas mengulur tangan dan meminta bantuan agar bisa duduk. "Bagaimana keadaanmu? Apa yang dokter katakan?" Sembari tetap membantu istrinya duduk, Gin bertanya lagi dengan nada panik. Ia seolah melupakan permasalahan yang membuat mereka tak bicara sejak pagi.Yura lantas menaikkan sudut bibir. Tangannya bergerak mengusap lengan kanan sang suami. "Aku baik.""Baik?" Gin menekuk dahi. "Aku tak bisa tenang karena Bunda bilang kau mengeluh sakit perut. Jangan berbohong kalau kau merasakan sesuatu.""Tidak, Gin. Maaf sudah membuatmu panik, tadi kami bingung karena tiba-tiba perutku terasa kencang dan sakit saat selesai dari kasir. Dokter bilang, aku hanya mengalami kontraksi palsu, itu terjadi karena dehidrasi dan terlalu banyak bergerak," jawab Yura usai menggelengkan kepala, "tapi tak apa, kita sudah boleh pulang. Aku hanya perlu banyak minum saja."Pria itu menghempas napas pelan lagi. Selanjutnya menarik kep
Tenggorokan Yura terasa kering. Sebenarnya, tidak masalah jika Rama berkenalan dengan putrinya. Tetapi, bukan itu yang menjadi kekhawatirannya. Semua itu tergantung dengan tanggapan Gin. Bagaimana pun juga, pria itu yang bisa menentukan keputusannya."Berikan saja, Sayang. Biarkan Pak Rama mengenal putri kita." Gin menyahut dari arah belakang. Entah kapan pria itu kembali, kini Gin sudah berdiri di sampingnya."Tapi—""Aku tidak keberatan. Tidak ada salahnya," sahut Gin kembali.Yura kemudian mengangguk dan memberikan Raya kepada mantan suaminya. Rama tampak berbinar melihat Raya dalam pangkuannya. Pria itu bahkan tersenyum sendiri.Sebagai mantan istri, Yura paham betul bahwa semenjak pernikahan mereka dulu, Rama selalu mendambakan kehadiran seorang anak. Namun, harapan mereka pupus kala mendapatkan hasil pemeriksaan medis yang menyatakan bahwa Rama tak bisa memiliki keturunan.Yura berharap, kehadiran Raya bisa sedikit mengobati rasa sakit Rama.Cukup lama Rama menimang Raya. Hingga
Sosok itu adalah Rama. Pria yang pernah menjadi suaminya selama kurang lebih lima tahun. Orang yang pernah ia perjuangkan dengan segenap jiwa dan raganya.Yura sudah tidak peduli padanya. Bahkan, dia tidak ingin tahu tentang apa yang dilakukan lelaki itu, hanya tidak menyangka akan bertemu dengan Rama kembali saat ini, di rumah mertuanya sendiri. Dan, Yura melihat perubahan yang sangat besar.Wajah Rama tampak lebih tua dan badannya sedikit kurus. Kumis dan jambangnya terlihat lebih lebat. Penampilannya pun jauh berbeda dengan pertemuan terakhir mereka dahulu. Ia sempat tak percaya bahwa orang yang kini berdiri di hadapannya ini adalah Rama. "Salam kenal, Bu Shinta." Yura menyapa Bu Shinta terlebih dahulu, kemudian mengarahkan padangannya kepada Rama. Ada kecanggungan yang kentara saat Yura bertatap muka dengan Rama, ia tampak ragu saat ingin menyapanya. Demikian halnya dengan Rama yang terlihat menelan ludahnya kasar. Untungnya, interaksi kaku mereka terbaca oleh Bu Shinta. Wanita
Suasana kediaman utama sore hari ini sedikit lebih ramai dari biasanya. Ketika Gin dan Yura sampai di sana, beberapa mobil jasa angkut berada di sana membawa beberapa paket barang. Gin bertanya kepada beberapa satu asisten rumah tangga yang berjaga di sana dan mereka mengatakan bahwa barang yang dibeli oleh sang ayah adalah lukisan yang secara khusus telah dipesan sejak berbulan-bulan lalu."Kenapa Ayah membeli banyak lukisan?" tanya Yura ketika sudah menjauh dari para asisten rumah tangga. "Maksudku, tumben sekali pesan sebanyak ini. Biasanya hanya satu atau dua untuk ganti properti kantor."Ya. Memesan lukisan bukan sesuatu yang tabu di keluarga Satwika. Sebagai menantu, Yura kerap membantu Wira atau pun Gin mencarikan seniman untuk membeli atau membuat lukisan. Namun, untuk kali ini, tampaknya Wira mencari tanpa bantuannya. Bahkan Gin, putranya sendiri, tidak tahu-menahu tentang ini.Gin yang sedang menggendong putrinya juga mengamati keadaan sekitar selama beberapa saat. Kemudian
Beberapa minggu setelah kepergian Sarah.Mendengar suara tangisan bayi yang begitu kencang, Yura mematikan kompornya dan segera berlari ke lantai atas untuk memeriksa. Saat membuka pintu kamar ruang bayi, tubuhnya sejenak terpaku ketika menemukan Gin sedang menimang putrinya.Wanita itu menghela napas panjang. Sejak tadi, ia sibuk di dapur menyiapkan sarapan. Saking sibuknya, sampai lupa dengan Raya. Namun, ketika kembali di sini, ia justru dibuat kagum dengan sikap sang suami. Pria itu bahkan belum berganti baju, masih mengenakan handuk mandi untuk menutupi tubuhnya.“Kenapa wajahmu tampak tegang seperti itu?” tegur Gin dengan suara beratnya."Ah, tidak, aku hampir lupa kalau meninggalkan Raya. Aku pikir kau masih mandi atau siap-siap, tapi ternyata kau sudah di sini."Gin hanya merespon dengan sebuah tawa pelan. "Apa aku tidak boleh menimang putriku sendiri?""Bukan seperti itu, Gin. Aku hanya terkejut saja," tutur Yura usai menggeleng sebagai respon.Gin kembali menarik kedua sudut
Meskipun ada kelegaan dalam hati karena telah menemukan Martha, Wira tetap tak bisa menyembunyikan dukanya. Kepergian Sarah meninggalkan luka mendalam dan penyesalan dalam dirinya. Semua juga tahu, tak ada yang bahagia saat ditinggalkan selamanya. Sejak tadi, pria itu memilih menyendiri di balkon kamar, merenungkan masa lalunya dan memikirkan masa depannya bersama Martha. Bahkan saat doa bersama di gelar di rumah untuk mengenang Sarah, Wira tak ingin bergabung dengan mereka. Ia lebih memilih untuk menikmati kesunyian dan keheningan di balkon kamarnya."Sudah hampir larut, Mas. Mau sampai kapan melamun di situ?"Suara Martha memecah keheningan di balkon. Malam ini, Wira langsung membawa Martha ke kediaman utama malam itu juga. Ia tidak ingin kehilangan jejak Martha lagi, wanita yang telah membawa secercah cahaya di tengah kesedihannya.Ketika tangan Martha menyentuh pundaknya, Wira menoleh. Ia menurunkan kaki dan mematikan puntung rokoknya. "Sudah selesai?" tanyanya, bermaksud menany
Setelah tiga puluh menit berkendara, mobil berwarna hitam milik Wira terparkir rapi di halaman sebuah rumah beraksen kayu. Rumah modern yang sebenarnya biasa saja dan jauh dari kota, tetapi begitu berarti untuk Martha, wanita yang kini menjadi istri satu-satunya. Rumah ini satu-satunya harapan Wira. Walau tak bisa memastikan apakah wanita itu benar-benar ke rumah ini atau tidak, pria tua berkemeja hitam itu hanya mengikuti kata hati. Gantungan kunci yang terlepas, menjadi satu-satunya petunjuk yang ingin ia buktikan.Dan semoga saja, Martha bisa ia temukan di sini.Ting Tong! Ting Tong! Wira menekan bel dan menanti beberapa saat. Hingga akhirnya terdengar suara pintu terbuka, Wira menoleh dengan cepat. Sayangnya, yang ia temukan bukan Martha, tetapi seorang pembantu di rumah itu.“Bapak?” sapa wanita itu kepada Wira. Rupanya, meski pertemuan mereka dulu hanya beberapa kali, tetapi wanita itu masih ingat bahwa Wira adalah suami majikannya.“Ibu pulang ke sini?” tanya Wira tanpa basa-
“Dimana Martha?”Wira menatap lurus dua orang binatu perempuan yang baru saja membukakan pintu. Mereka tampak gagap dengan kemunculan sosok Wira yang tidak terduga. Mungkin, mereka mengira Wira tak akan datang ke tempat ini karena sedang berduka. Dan, saat lelaki itu melempar pertanyaan, mereka semua hanya saling melempar tatap, seolah bingung dengan jawaban apa yang harus diberikan kepada sang majikan. “Saya yakin kalian tidak tuli. Dimana Martha?” Sekali lagi Wira bertanya dengan nada lebih tinggi. Tidak peduli dengan dengan mata yang sembab dan wajah kuyu sehabis dari pemakaman, ia mencecar pegawainya. Dua wanita di hadapannya serentak menunduk. Salah seorang memberanikan diri untuk bicara. “Maaf, Bapak, Ibu …. Sedang pergi.”“I—ibu pergi sejak tiga hari yang lalu dan belum pulang, Pak,” timpal pembantu yang satunya. Wira memijat pelipisnya. Kini kecurigaannya terbukti. Hatinya merasa ada yang tidak beres. Sebab sejak semalam wanita itu tak bisa dihubungi dan ketika dijemput,
Turut Berduka Cita atas meninggalnya Ibu Sarah Gharvita.Puluhan papan karangan bunga berlatar hitam berjajar rapi di sepanjang halaman kediaman keluarga Satwika. Saking banyaknya, sampai harus turun ke bahu jalan. Tak lain halnya dengan pusara, ucapan belasungkawa tak henti mengalir di tempat itu. Sarah tidak tertolong. Setelah jatuh, Wira segera membawa Sarah ke rumah sakit, ia pikir masih ada waktu lebih lama lagi untuk Sarah bertahan, akan tetapi Tuhan menghendaki takdir yang lain.Sarah meninggal dunia tepat dalam pelukan Wira. Setelah semalam di semayamkan, hari ini, jenazahnya dikebumikan.“Istirahatlah dengan tenang,” bisik Wira seraya menabur bunga mawar merah di gundukan tanah yang masih basah. Sebasah wajahnya yang dibanjiri air mata.Semua itu terjadi dengan tiba-tiba. Tidak ada yang menduga kepergian Sarah, bahkan ini lebih cepat dari vonis dokter. Wira orang yang paling terpukul. Meski bertahun-tahun hubungannya dengan Sarah tak baik, sempat pisah ranjang bahkan merasa
“Untuk apa kau mengundang Martha datang?” Wira bertanya dengan sedikit nada panik. Takut, bila Sarah memintanya melakukan hal yang tidak-tidak. Mengingat beberapa teror yang pernah dilakukannya, Wira tak bisa berpikir positif lagi tentang Sarah, sekalipun wanita itu telah banyak berubah. Dan, perihal bertemu Martha itu adalah hal yang kedengarannya mustahil.“Bukan untuk apa-apa. Kau bisa bertanya kepada Yura jika kau tidak percaya.” Sarah tersenyum singkat. Nada bicaranya juga pelan. Tidak ada penekanan sama sekali. “Aku hanya ingin mengenal dia lebih dekat saja. Selama ini, kami belum pernah bicara langsung. Sekarang aku mengerti, mengapa kau lebih memilih dia. Kau bisa mendapatkan apa yang tidak bisa aku berikan darinya.” Tidak banyak yang dilakukan oleh Wira. Hanya menghempas napas panjang setelah istrinya bicara. “Apa tujuanmu ke sini hanya untuk membahas itu? Jika iya, ayo kita pulang saja.”Sarah menolak ajakan itu. “Mengapa di hadapanku kau seolah tidak peduli dengan Marth