Tin! Tin! Tiiiiin!"Astaga! Kau boleh khawatir dengan istrimu, tapi perhatikan juga keselamatan kita berdua, Son! Kau mau kita yang sekarat di rumah sakit?"Wira menegur ketika Gin menginjak rem secara mendadak. Ia tak melihat jika ada pengendara motor yang tiba-tiba saja menyebrang di hadapannya. Hal itu membuat kekacauan kecil, pengendara di belakangnya juga mengalami hal yang sama. Untunglah kakinya bisa cekatan menghentikan roda-roda mobil tepat waktu. Jika tidak, maka urusan mereka semakin bertambah panjang. Kening Gin mengernyit. "Jaga bicara, Ayah! Aku juga sudah berhati-hati, tapi mana kutahu jika orang tadi melintas di jalur mobil?" Gin melajukan mobilnya kembali seraya mengawasi jalanan di sekitarnya. Ia menepi, mempersilakan mobil di belakangnya untuk melaju lebih dahulu."Tetap saja, seandainya kau pelan sedikit, kau tak perlu mengerem mendadak seperti tadi! Tenanglah. Santai saja." Wira menjawab kembali dengan nada enteng.Bagaimana bisa Gin berpikir dengan baik saat m
"Yura?"Meadari seseorang datang, Yura lantas menoleh ke arah sumber suara. Ia lantas mengulur tangan dan meminta bantuan agar bisa duduk. "Bagaimana keadaanmu? Apa yang dokter katakan?" Sembari tetap membantu istrinya duduk, Gin bertanya lagi dengan nada panik. Ia seolah melupakan permasalahan yang membuat mereka tak bicara sejak pagi.Yura lantas menaikkan sudut bibir. Tangannya bergerak mengusap lengan kanan sang suami. "Aku baik.""Baik?" Gin menekuk dahi. "Aku tak bisa tenang karena Bunda bilang kau mengeluh sakit perut. Jangan berbohong kalau kau merasakan sesuatu.""Tidak, Gin. Maaf sudah membuatmu panik, tadi kami bingung karena tiba-tiba perutku terasa kencang dan sakit saat selesai dari kasir. Dokter bilang, aku hanya mengalami kontraksi palsu, itu terjadi karena dehidrasi dan terlalu banyak bergerak," jawab Yura usai menggelengkan kepala, "tapi tak apa, kita sudah boleh pulang. Aku hanya perlu banyak minum saja."Pria itu menghempas napas pelan lagi. Selanjutnya menarik kep
"Apa yang sedang kau pikirkan, Martha?" Wira menegur istrinya yang sedang menyisir rambutnya di depan cermin. Seraya duduk di ranjang dan membaca sebuah katalog harga lukisan, ia memperhatikan Martha yang sejak tadi sibuk menatap pantulan dirinya di cermin. Entah apa yang dipikirkan, wanita itu tampak sedang melamunkan sesuatu.Mendengar teguran itu, Martha menoleh ke arah sang suami. Diletakkannya sisir yang sedang dipegang lalu memulai kegiatannya menyemprotkan vitamin pada kulit kepalanya. "Aku kepikiran dengan Yura. Sepanjang belanja denganku dia lebih banyak diam. Sepertinya mereka sedang ada masalah serius. Apa Mas sudah bicara dengan Gin?"Wira melirik sekilas ke arah Martha, lalu mengembalikan pandangan ke arah layar ponselnya. "Sudah, memang cukup berat, tapi biar mereka yang menyelesaikannya sendiri."Martha mengerutkan dahinya. "Apa masalah mereka?""Sarah," jawab Wira tanpa mendongak sedikit pun, "Yura masih kepikiran dengan ucapan Sarah waktu itu. Dia berpikir terlalu
"Teh untuk siapa, Bi?"Seorang binatu yang sedang membuat secangkir teh tergagap saat melihat sang majikan yang tak pernah pulang, tiba-tiba saja menampakkan batang hidungnya sepagi ini. Pagi ini, Wira bertandang ke rumah utama untuk menepati janjinya kepada Martha, menemani istri pertamanya selama beberapa waktu. Ia sengaja tak memberitahu siapa pun perihal kedatangannya. Jelas itu menjadi tanda tanya besar bagi seisi rumah ini."Ba—bapak? Selamat pagi, maaf saya tidak menyadari kedatangan Bapak." Pria itu hanya tersenyum singkat. "Saya membuat sedang membuat teh untuk Ibu, Bapak ingin dibuatkan juga?"Wira mengangguk pelan. Selanjutnya mengedarkan pandangan ke sekeliling. Seperti biasa, rumah besar ini sepi. Pria itu lantas mengembalikan pandangannya ke arah sang pelayan. "Dimana Sarah?" tanyanya."Ibu ada di taman belakang, Pak, sedang mengurus tanaman anggrek yang baru dibeli beberapa hari lalu," jawab wanita di hadapannya seraya menuangkan teh pada cangkir. Wira mengangkat
Sarah memutuskan untuk tidak menolak tawaran sang suami. Ia tergiur dengan penawaran untuk membeli anggrek langka dari teman Wira. Meski pun masih tak tahu apa maksud tersembunyi dari sikapnya yang mendadak baik. Kini mereka sedang berada di supermarket untuk berbelanja beberapa kebutuhan. Sarah telah memenuhi ruang trolinya dengan beberapa bumbu rempah dan ikan segar pesanan Wira."Kau tidak membeli kunyit? Bukankah gulai juga butuh itu?" tanya Wira kepada Sarah yang sedang serius membandingkan dua merk kaldu temuannya. Sedikit banyak, ia tahu apa yang dibutuhkan dalam masakan yang diminta. Sarah melirik sesaat sebelum menaruh barang pilihannya ke dalam keranjang dorong itu. "Tidak," jawab wanita itu dengan nada dingin. "Bukankah kau dulu bilang jika gulai itu bumbu utamanya kunyit?" pancing Wira lagi."Masih banyak di rumah." Sarah lalu berjalan mendahului Wira. Wira menghempas napas samar. Dengan kedua bahu yang lunglai, ia mengikuti arah langkah istrinya yang mengarah ke rak
Gin berbalik badan. Lelaki itu bernapas lega karena Yura telah menghilang di balik rak-rak besi. Ia tak tahu bagaimana jadinya jika Yura masih bersamanya. Mungkin saja Sarah akan langsung mengamuk.Sementara di hadapannya, sang ibu berdiri seraya membawa sebuah troli berisi beberapa bahan makanan. Wajahnya bingung karena berjumpa dengan putranya di tempat umum seperti ini. "Ibu? Ibu berbelanja dengan siapa?" Satu detik setelah Gin bertanya Wira muncul dari belakang Sarah. Ia pun bertanya-tanya dalam hati. Apa yang terjadi hingga sang ayah mau menemani usai bertahun-tahun acuh padanya. "Seharusnya ibu yang bertanya. Untuk apa kau berada di tempat ini memegang troli itu? Apakah istrimu itu tak mau berbelanja sampai kau harus berada di sini sendirian?" todong Sarah dengan nada yang cukup keras hingga beberapa mata melirik dialog mereka. "Sarah, Yura kan sedang hamil besar jadi wajar saja kalau—""Diam, Wira! Aku tak bicara denganmu!" tukas wanita itu seraya melemparkan tatapan tajam
Sudah hampir seminggu Wira menemani Sarah. Komunikasi mereka memiliki perkembangan walau tak banyak. Sarah masih acuh dan dingin pada suaminya. Berkali-kali bahkan mengusir Wira dan memintanya kembali pada Martha saja. Kendati demikian, Sarah tetap membuatkan sarapan, kopi, dan menyiapkan kebutuhan Wira. Pun Wira sendiri tetap bertahan di rumah. Lalu bagaimana hubungannya dengan Martha? Sejauh ini mereka saling mengerti. Perbincangan mereka sebatas pesan singkat saja. Sekadar ucapan selamat pagi, selamat malam, dan panggilan singkat ketika Sarah tidak bersamanya. "Kau mau kemana, Sarah? Tumben pagi-pagi sudah rapi begini?" Wira baru saja keluar dari kamar mandi. Ia terkejut tatkala melihat Sarah sedang merapikan rambut di depan cermin rias. Wanita itu sudah berdandan dan mengenakan pakaian yang rapi. "Mau pergi," jawab wanita itu seraya merapikan kembali alat riasnya."Ya, tapi, kemana?" Wira menekuk dahinya.Ada dengkusan kasar yang terdengar dari wanita itu. Dengan lirikan ya
Dua mata Yura terbelalak. Apa yang ia duga tak seperti yang ia terka. Wanita bertubuh kurus dan mengenakan blouse putih gading sedang berdiri seraya bersedekap di depan dada. "Tak perlu terkejut dengan kedatanganku," ujar Sarah dengan sebuah senyum miring yang terbit sekilas di bibirnya, "aku tak perlu mengulangi apa tujuanku datang ke sini."Yura menganggukkan kepalanya. "Sebaiknya, kita masuk saja dahulu dan bicara di dalam, Bu," pintanya seraya melebarkan pintu. Sarah kemudian beranjak masuk melewati sang menantu yang tampak gugup.Sarah bisa menbaca ketakutan di wajah Yura. Itu pasti terjadi. Ia datang di saat suami, orang yang merasa melindunginya pergi. "Jadi, bagaimana jawabanmu? Aku tak ingin basa-basi!" Sarah mendaratkan tubuhnya di sofa. Dua matanya menghunus Yura dengan tatapan dingin. "Ibu tak ingin minum dahulu? Biar Yura buatkan teh hangat," ujar Yura kembali berusaha mengulur waktu. Yura berharap Sarah meminta dibuatkan kopi atau teh, atau air putih hangat. Jika me