"Teh untuk siapa, Bi?"Seorang binatu yang sedang membuat secangkir teh tergagap saat melihat sang majikan yang tak pernah pulang, tiba-tiba saja menampakkan batang hidungnya sepagi ini. Pagi ini, Wira bertandang ke rumah utama untuk menepati janjinya kepada Martha, menemani istri pertamanya selama beberapa waktu. Ia sengaja tak memberitahu siapa pun perihal kedatangannya. Jelas itu menjadi tanda tanya besar bagi seisi rumah ini."Ba—bapak? Selamat pagi, maaf saya tidak menyadari kedatangan Bapak." Pria itu hanya tersenyum singkat. "Saya membuat sedang membuat teh untuk Ibu, Bapak ingin dibuatkan juga?"Wira mengangguk pelan. Selanjutnya mengedarkan pandangan ke sekeliling. Seperti biasa, rumah besar ini sepi. Pria itu lantas mengembalikan pandangannya ke arah sang pelayan. "Dimana Sarah?" tanyanya."Ibu ada di taman belakang, Pak, sedang mengurus tanaman anggrek yang baru dibeli beberapa hari lalu," jawab wanita di hadapannya seraya menuangkan teh pada cangkir. Wira mengangkat
Sarah memutuskan untuk tidak menolak tawaran sang suami. Ia tergiur dengan penawaran untuk membeli anggrek langka dari teman Wira. Meski pun masih tak tahu apa maksud tersembunyi dari sikapnya yang mendadak baik. Kini mereka sedang berada di supermarket untuk berbelanja beberapa kebutuhan. Sarah telah memenuhi ruang trolinya dengan beberapa bumbu rempah dan ikan segar pesanan Wira."Kau tidak membeli kunyit? Bukankah gulai juga butuh itu?" tanya Wira kepada Sarah yang sedang serius membandingkan dua merk kaldu temuannya. Sedikit banyak, ia tahu apa yang dibutuhkan dalam masakan yang diminta. Sarah melirik sesaat sebelum menaruh barang pilihannya ke dalam keranjang dorong itu. "Tidak," jawab wanita itu dengan nada dingin. "Bukankah kau dulu bilang jika gulai itu bumbu utamanya kunyit?" pancing Wira lagi."Masih banyak di rumah." Sarah lalu berjalan mendahului Wira. Wira menghempas napas samar. Dengan kedua bahu yang lunglai, ia mengikuti arah langkah istrinya yang mengarah ke rak
Gin berbalik badan. Lelaki itu bernapas lega karena Yura telah menghilang di balik rak-rak besi. Ia tak tahu bagaimana jadinya jika Yura masih bersamanya. Mungkin saja Sarah akan langsung mengamuk.Sementara di hadapannya, sang ibu berdiri seraya membawa sebuah troli berisi beberapa bahan makanan. Wajahnya bingung karena berjumpa dengan putranya di tempat umum seperti ini. "Ibu? Ibu berbelanja dengan siapa?" Satu detik setelah Gin bertanya Wira muncul dari belakang Sarah. Ia pun bertanya-tanya dalam hati. Apa yang terjadi hingga sang ayah mau menemani usai bertahun-tahun acuh padanya. "Seharusnya ibu yang bertanya. Untuk apa kau berada di tempat ini memegang troli itu? Apakah istrimu itu tak mau berbelanja sampai kau harus berada di sini sendirian?" todong Sarah dengan nada yang cukup keras hingga beberapa mata melirik dialog mereka. "Sarah, Yura kan sedang hamil besar jadi wajar saja kalau—""Diam, Wira! Aku tak bicara denganmu!" tukas wanita itu seraya melemparkan tatapan tajam
Sudah hampir seminggu Wira menemani Sarah. Komunikasi mereka memiliki perkembangan walau tak banyak. Sarah masih acuh dan dingin pada suaminya. Berkali-kali bahkan mengusir Wira dan memintanya kembali pada Martha saja. Kendati demikian, Sarah tetap membuatkan sarapan, kopi, dan menyiapkan kebutuhan Wira. Pun Wira sendiri tetap bertahan di rumah. Lalu bagaimana hubungannya dengan Martha? Sejauh ini mereka saling mengerti. Perbincangan mereka sebatas pesan singkat saja. Sekadar ucapan selamat pagi, selamat malam, dan panggilan singkat ketika Sarah tidak bersamanya. "Kau mau kemana, Sarah? Tumben pagi-pagi sudah rapi begini?" Wira baru saja keluar dari kamar mandi. Ia terkejut tatkala melihat Sarah sedang merapikan rambut di depan cermin rias. Wanita itu sudah berdandan dan mengenakan pakaian yang rapi. "Mau pergi," jawab wanita itu seraya merapikan kembali alat riasnya."Ya, tapi, kemana?" Wira menekuk dahinya.Ada dengkusan kasar yang terdengar dari wanita itu. Dengan lirikan ya
Dua mata Yura terbelalak. Apa yang ia duga tak seperti yang ia terka. Wanita bertubuh kurus dan mengenakan blouse putih gading sedang berdiri seraya bersedekap di depan dada. "Tak perlu terkejut dengan kedatanganku," ujar Sarah dengan sebuah senyum miring yang terbit sekilas di bibirnya, "aku tak perlu mengulangi apa tujuanku datang ke sini."Yura menganggukkan kepalanya. "Sebaiknya, kita masuk saja dahulu dan bicara di dalam, Bu," pintanya seraya melebarkan pintu. Sarah kemudian beranjak masuk melewati sang menantu yang tampak gugup.Sarah bisa menbaca ketakutan di wajah Yura. Itu pasti terjadi. Ia datang di saat suami, orang yang merasa melindunginya pergi. "Jadi, bagaimana jawabanmu? Aku tak ingin basa-basi!" Sarah mendaratkan tubuhnya di sofa. Dua matanya menghunus Yura dengan tatapan dingin. "Ibu tak ingin minum dahulu? Biar Yura buatkan teh hangat," ujar Yura kembali berusaha mengulur waktu. Yura berharap Sarah meminta dibuatkan kopi atau teh, atau air putih hangat. Jika me
"Kemana saja, Martha? Aku khawatir karena kau tak membalas pesanku dan mengangkat panggilanku."Wira melayangkan protes kepada Martha saat sambungan teleponnya terhubung melalui panggilan video. Ia mencoba menghubungi istri keduanya itu beberapa kali tetapi baru tersambung detik ini. Dari layar ponselnya, Wira melihat Martha sedang menutup beberapa tas di sampingnya.["Maaf, Mas, aku sedang menyiapkan baju untuk dibawa ke rumah Gin dan ponselku ter-mode diam jadi aku tidak tahu jika kau menelpon."] Martha menerbitkan senyumnya. ["Mas sudah sarapan?"]Wira menggeleng. "Belum. Sarah malah pergi dan sampai sekarang belum pulang."["Pergi kemana?"] "Katanya ingin mencari mawar. Tadinya, mau ku antar sekalian ku ajak sarapan di luar, tapi dia tidak mau." Wira membuang napas panjangnya. "Entahlah, Martha. Aku sudah tidak tahu lagi bagaimana agar Sarah tak bersikap dingin padaku. Rasanya aku ingin pulang dan hidup bersamamu seperti biasanya saja."Mendengar keluhan itu, Martha iba, tetapi w
"Bagaimana dengan keadaan Sarah, Arum?"Wira segera bangkit berdiri kala Arum telah keluar dari kamar Sarah. Selama istrinya diperiksa kecemasan terus melanda hatinya. Sembari menerka-nerka sendiri apa yang terjadi dengan wanita itu.Sesampainya di hadapan Wira, sang psikiater itu melekuk senyum kecil. Diikuti dengan hempasan napas yang cukup samar. "Tekanan darah ibu tinggi, Pak. Obat pagi tidak diminum. Saya sudah cek obat untuk minggu ini masih utuh, tidak berkurang satu pun," jawab Arum kemudian. "A—apa? Bagaimana bisa? Selama di rumah, setiap hari aku sendiri yang memberikan obatnya, mana mungkin masih utuh, Arum?"Arum menurunkan kedua bahunya bersamaan. Perempuan itu lalu merogoh sesuatu dalam saku jas kerjanya. Ia menyerahkan satu plastik berisi butiran pil dengan berbagai macam bentuk dan menyerahkannya kepada Wira."Yang diminum ibu hanya vitamin saja. Obat yang ini penting agar ibu tetap stabil, ada penurun tekanan darah dan anti-depresan. Saya minta mulai hari ini harus
"Bagaimana hasil pemeriksaan istrimu, Gin?" Wira menoleh ke arah Gin yang baru saja menemani ibunya tidur. Sembari menyulut rokok juga menyesap secangkir kopi, ia berusaha memeriksa ponsel milik Sarah. Terutama bagian percakapan dengan putrinya yang sudah meninggal. Rencana Wira untuk memeriksa ponsel Sarah harus tertunda hingga malam hari. Sarah terus terbangun dan meminta untuk ditemani. Alhasil, ia harus menunggu matahari tenggelam. Kebetulan, Gin menepati janjinya untuk datang malam ini. Sekadar menjenguk kondisi Sarah usai diberitahu bahwa wanita itu mengalami demam. "Yura tetap tidak bisa melakukan persalinan normal, Ayah. Tekanan darahnya yang tinggi terlalu berisiko. Setelah dicek juga pinggulnya juga sempit. Dokter menyarankan untuk operasi tiga hari lagi. Besuk sore, Yura sudah harus opname di rumah sakit," jawab Gin lalu mendudukkan diri di seberang sang ayah. Dua alia Wira terangkat. Pandangannya tertuju pada manik hitam milik sang putra. "Kenapa cepat sekali? Apa ada