Kepala Yura yang menunduk spontan mendongak ke arah sang lawan bicara. Dahinya berkerut samar saat mendengar kalimat yang baru saja diucapkan oleh Sarah. Entah permintaan apa yang ingin ia berikan. Meski demikian, Yura belum ingin berbicara atau pun menginterupsi. Bibirnya terlalu kaku untuk merangkai sebuah kata-kata setelah kalimat demi kalimat menohok hatinya. Hanya berharap semoga saja Wira cepat pulang dan menyelamatkannya dari situasi ini. "Aku tidak menerimamu, Yura. Sampai kapan pun bahkan jika kau bersujud di kakiku aku tak akan pernah merestuimu untuk bersanding dengan putraku." Sarah mengambil setangkai bunga mawar putih segar dalam vas bunga yang terletak di meja. Sejenak mendekatkan kelopaknya ke indera penciumannya."Harapan dalam hidupku hanyalah Gin. Dia, orang yang bisa mewujudkan kebahagiaanku! Jadi, biarkan dia mewujudkan keinginanku! Toh, Dia pantas mendapatkan wanita yang jauh lebih baik darimu." Sarah melanjutkan argumennya. Di sisi lain, Yura belum bisa mena
"Ya? Kau kenapa? ada sesuatu yang terjadi denganmu?" Gin mengulang pertanyaan saat Yura hanya membuka bibir dan mengurungkan niat untuk menjawab. Wanita yang tengah mengenakan piyama berwarna putih itu membasahi tenggorokannya yang terasa kering. Pria di hadapannya itu memandangnya begitu intens hingga ia tak bisa melepaskan pandangan dari sang suami.Ia sedang menimbang serta mencari kalimat yang tepat untuk mengatakan semua ketakutannya. Sepanjang hari semua kalimat Sarah terus menggaung di kepala, menghantuinya. Namun, ia juga tak yakin, jika setelah mengatakan semuanya hubungan Gin, Wira, dan Sarah akan baik-baik saja. Yura takut mereka akan semakin terpecah belah, sementara ia tak mau merusak keluarga itu lebih dalam. "Aku hanya .... Semalam mimpi buruk. Aku khawatir mimpi itu menjadi kenyataan. Maaf, moodku terlalu gampang berubah, jadi aku mungkin suasana," jawab Yura pada akhirnya. Pria yang ada di hadapannya lalu melepas napas yang sempat ia tahan hanya untuk mendengarkan
"Semalam aku mendengar ribut-ribut dari kamarmu. Kau bertengkar dengan istrimu?" Wira meletakkan secangkir kopi hitam yang ia bawa dari dapur. Pagi ini Martha dan menantunya sedang pergi berbelanja sehingga kedua lelaki itu harus mengurus dirinya sendiri. Bukan tanpa alasan Wira berkata demikian, semalam ia mendengar suara bising ketika hendak pergi ke dapur untuk mengambil air. Lalu, putra dan menantu yang biasanya menebar keromantisan, pagi ini saling diam.Gin sendiri sengaja tak pergi kekantor. Ia mengambil cuti untuk beristirahat selepas perjalanannya ke luar kota. Lelahnya berlipat ganda karena perdebatan semalam. Pria itu sedang merokok di halaman belakang sembari memberi makan ikan-ikan koi kesayangan sang ayah. Tak jauh dari tempatnya berdiri, ada bangku dan kursi yang kini dijadikan Wira sebagai tempat duduk. Saat melihat kedatangan sang ayah, pria itu segera mendekat."Ayah tak salah dengar," jawab Gin usai melonggarkan pernapasannya."Ada masalah apa lagi? Sebelum pergi
Tin! Tin! Tiiiiin!"Astaga! Kau boleh khawatir dengan istrimu, tapi perhatikan juga keselamatan kita berdua, Son! Kau mau kita yang sekarat di rumah sakit?"Wira menegur ketika Gin menginjak rem secara mendadak. Ia tak melihat jika ada pengendara motor yang tiba-tiba saja menyebrang di hadapannya. Hal itu membuat kekacauan kecil, pengendara di belakangnya juga mengalami hal yang sama. Untunglah kakinya bisa cekatan menghentikan roda-roda mobil tepat waktu. Jika tidak, maka urusan mereka semakin bertambah panjang. Kening Gin mengernyit. "Jaga bicara, Ayah! Aku juga sudah berhati-hati, tapi mana kutahu jika orang tadi melintas di jalur mobil?" Gin melajukan mobilnya kembali seraya mengawasi jalanan di sekitarnya. Ia menepi, mempersilakan mobil di belakangnya untuk melaju lebih dahulu."Tetap saja, seandainya kau pelan sedikit, kau tak perlu mengerem mendadak seperti tadi! Tenanglah. Santai saja." Wira menjawab kembali dengan nada enteng.Bagaimana bisa Gin berpikir dengan baik saat m
"Yura?"Meadari seseorang datang, Yura lantas menoleh ke arah sumber suara. Ia lantas mengulur tangan dan meminta bantuan agar bisa duduk. "Bagaimana keadaanmu? Apa yang dokter katakan?" Sembari tetap membantu istrinya duduk, Gin bertanya lagi dengan nada panik. Ia seolah melupakan permasalahan yang membuat mereka tak bicara sejak pagi.Yura lantas menaikkan sudut bibir. Tangannya bergerak mengusap lengan kanan sang suami. "Aku baik.""Baik?" Gin menekuk dahi. "Aku tak bisa tenang karena Bunda bilang kau mengeluh sakit perut. Jangan berbohong kalau kau merasakan sesuatu.""Tidak, Gin. Maaf sudah membuatmu panik, tadi kami bingung karena tiba-tiba perutku terasa kencang dan sakit saat selesai dari kasir. Dokter bilang, aku hanya mengalami kontraksi palsu, itu terjadi karena dehidrasi dan terlalu banyak bergerak," jawab Yura usai menggelengkan kepala, "tapi tak apa, kita sudah boleh pulang. Aku hanya perlu banyak minum saja."Pria itu menghempas napas pelan lagi. Selanjutnya menarik kep
"Apa yang sedang kau pikirkan, Martha?" Wira menegur istrinya yang sedang menyisir rambutnya di depan cermin. Seraya duduk di ranjang dan membaca sebuah katalog harga lukisan, ia memperhatikan Martha yang sejak tadi sibuk menatap pantulan dirinya di cermin. Entah apa yang dipikirkan, wanita itu tampak sedang melamunkan sesuatu.Mendengar teguran itu, Martha menoleh ke arah sang suami. Diletakkannya sisir yang sedang dipegang lalu memulai kegiatannya menyemprotkan vitamin pada kulit kepalanya. "Aku kepikiran dengan Yura. Sepanjang belanja denganku dia lebih banyak diam. Sepertinya mereka sedang ada masalah serius. Apa Mas sudah bicara dengan Gin?"Wira melirik sekilas ke arah Martha, lalu mengembalikan pandangan ke arah layar ponselnya. "Sudah, memang cukup berat, tapi biar mereka yang menyelesaikannya sendiri."Martha mengerutkan dahinya. "Apa masalah mereka?""Sarah," jawab Wira tanpa mendongak sedikit pun, "Yura masih kepikiran dengan ucapan Sarah waktu itu. Dia berpikir terlalu
"Teh untuk siapa, Bi?"Seorang binatu yang sedang membuat secangkir teh tergagap saat melihat sang majikan yang tak pernah pulang, tiba-tiba saja menampakkan batang hidungnya sepagi ini. Pagi ini, Wira bertandang ke rumah utama untuk menepati janjinya kepada Martha, menemani istri pertamanya selama beberapa waktu. Ia sengaja tak memberitahu siapa pun perihal kedatangannya. Jelas itu menjadi tanda tanya besar bagi seisi rumah ini."Ba—bapak? Selamat pagi, maaf saya tidak menyadari kedatangan Bapak." Pria itu hanya tersenyum singkat. "Saya membuat sedang membuat teh untuk Ibu, Bapak ingin dibuatkan juga?"Wira mengangguk pelan. Selanjutnya mengedarkan pandangan ke sekeliling. Seperti biasa, rumah besar ini sepi. Pria itu lantas mengembalikan pandangannya ke arah sang pelayan. "Dimana Sarah?" tanyanya."Ibu ada di taman belakang, Pak, sedang mengurus tanaman anggrek yang baru dibeli beberapa hari lalu," jawab wanita di hadapannya seraya menuangkan teh pada cangkir. Wira mengangkat
Sarah memutuskan untuk tidak menolak tawaran sang suami. Ia tergiur dengan penawaran untuk membeli anggrek langka dari teman Wira. Meski pun masih tak tahu apa maksud tersembunyi dari sikapnya yang mendadak baik. Kini mereka sedang berada di supermarket untuk berbelanja beberapa kebutuhan. Sarah telah memenuhi ruang trolinya dengan beberapa bumbu rempah dan ikan segar pesanan Wira."Kau tidak membeli kunyit? Bukankah gulai juga butuh itu?" tanya Wira kepada Sarah yang sedang serius membandingkan dua merk kaldu temuannya. Sedikit banyak, ia tahu apa yang dibutuhkan dalam masakan yang diminta. Sarah melirik sesaat sebelum menaruh barang pilihannya ke dalam keranjang dorong itu. "Tidak," jawab wanita itu dengan nada dingin. "Bukankah kau dulu bilang jika gulai itu bumbu utamanya kunyit?" pancing Wira lagi."Masih banyak di rumah." Sarah lalu berjalan mendahului Wira. Wira menghempas napas samar. Dengan kedua bahu yang lunglai, ia mengikuti arah langkah istrinya yang mengarah ke rak