Yura meletakkan secangkir teh bunga chamomile di atas meja bundar berbahan kaca. Selanjutnya turut duduk di samping sang suami yang sedang bersantai di ruang tengah, menikmati sebuah acara talk show seorang pengusaha asal indonesia yang telah merambah pasar luar negeri. Kebetulan pria itu pulang tepat waktu hari ini.Gin lantas menoleh ke arah Yura yang kini menyandarkan kepala di pundak kirinya. Selanjutnya lelaki itu merentangkan tangannya agar sang istri berada di dalam pelukan. “Kenapa? Kau lelah?” Yura menggeleng. “Tidak. Aku hanya ingin dipeluk,” gumamnya dengan kedua mata yang terpejam. “Bagaimana keadaan ibu? Semuanya baik?”“Sudah mau makan dan minum obat lagi. Aku juga berharap semoga terus membaik. Maaf ya, kalau terkadang aku jadi mengabaikanmu.”“Aku tidak keberatan untuk itu, yang penting kau pulang dan mengabariku.”“Apa yang kau lakukan seharian ini? Menyenangkan?” Gin menggerakkan tangannya untuk mengusap rambut Yura, detik setelahnya mendaratkan sebuah kecupan rin
Gin menyadari sebuah gelagat tak biasa pada istrinya. Begitu mendengar Negara Kangguru itu, Yura terlihat ragu untuk mengatakan setuju. Sabit di bibirnya terlihat jelas memudar. Pria itu mengingat lagi percakapan mereka beberapa waktu lalu. Yura juga menolak setiap ia membahas liburan. Hal itu membuat Gin curiga. Padahal, ia sudah menyiapkan segala rencana jika istrinya mau pergi ke sana. “Ada yang salah? Kemarin kau beralasan karena perusahaan sedang tidak baik, kan? Sekarang, semuanya sudah baik, kita mau menunggu apa lagi?” tanya Gin dengan alis yang terangkat samar, “Atau kau mau ke Jepang, Korea? Atau negara mana yang ingin kau kunjungi? Katakan saja.”“Ah, tidak. Aku tidak punya keinginan untuk berkunjung ke negara mana pun. Menurutku, sebaiknya, kita quality time di rumah saja. Banyak yang harus dipersiapkan, aku belum membuat passport, visa, dan sebagainya. Aku juga baru saja pulang dari rumah sakit. Lebih baik uangnya ditabung untuk keperluan saat lahiran saja lah. Toh, kit
“Ah, Giiin!”Teriakan panjang itu menggema di penjuru ruangan, berbarengan dengan sebuah pelepasan atas permainan yang baru saja usai. Tak terhitung berapa kali ia meneriakkan nama sang suami disetiap gelinjang yang tercipta pada malam panas ini. Setelahnya, yang terdengar hanyalah deru napas kasar yang bersahutan. Dua tangan wanita masih mencengkeram dua lengan Gin yang sedang masih mengungkung tubuhnya. Tak lama kemudian, pria itu membuat jarak. Gin melepas karet pengaman dan mengikatnya sebelum meleparkan benda itu ke tempat sampah yang tak jauh dari ranjang. Selanjutnya menarik tubuh wanita disampingnya ke dalam dekapan sembari mengatur pernapasan. “Kenapa kau tak pernah berubah, hm? Kau selalu bisa membuatku puas!” bisiknya setelah mendaratkan sebuah kecupan di pipi istrinya, “dan pertanyaanku dari dulu selalu sama, kau menggunakan sesuatu sebelum kita melakukannya?”Yura pun merespon dengan tawa pelan disela napas yang masih tersengal. “Tidak. Aku tidak menggunakan apa-apa.”
Empat bulan berlalu dengan begitu cepat. Kehamilan Yura telah mencapai usia delapan bulan. Kian hari bayinya menunjukkan perkembangan yang signifikan. Perutnya yang berukuran besar terkadang menghambat aktivitasnya. Berat badannya naik drastis meski masih ideal. Sesak napas, pegal linu, dan fisik yang mudah lelah selalu menyerangnya akhir-akhir ini. Tak jarang wanita itu menghentikan kegiatannya sementara waktu untuk mengambil napas panjang. Hanya tinggal hitungan minggu, Yura akan segera bertemu dengan anaknya. Sampai saat ini, ia belum mengetahui jenis kelaminnya sesuai dengan permintaan Gin waktu itu. Satu hal yang pasti, seorang bayi yang ada di dalam tubuhnya semakin aktif setiap harinya. Di beberapa waktu akan menendang kuat sampai Yura mendesis panjang karena tak bisa menahan geli. Perkembangan yang baik juga terjadi kepada hubungan Yura dengan suaminya. Gin memang sibuk akhir-akhir ini, ada banyak proyek yang sedang ia tangani sehingga harus mengorbankan waktu lebih banyak
Mata pria berjas hitam itu mengerjap beberapa kali kala mencermati berbagai rincian keuangan juga total setiap anggaran yang dikeluarkan. Tangan kanannya menorehkan sebuah coretan dengan pulpen bertinta merah untuk hal-hal yang menurutnya belum tepat. Sebelum meninggalkan kantor untuk berkunjung ke anak perusahaannya, Gin harus menyelesaikan setumpuk berkas yang berada di meja kerja. Ada sekitar sepuluh berkas pengajuan yang terdiri dari laporan mingguan, approval pengeluaran dana, pengajuan pengadaan barang inventaris di kantor cabang, hingga beberapa surat undangan ke beberapa acara formal. Menjelang pertengahan tahun ada banyak acara yang harus ia hadiri. Dulu saat belum menikah, ia akan menghadiri setiap undangan bila memungkinkan, akan tetapi saat ini Gin harus memilah dan memilih. Terlebih saat usia kandungan Yura mulai menua, ia harus siap menjadi suami siaga. Saat sedang asik membaca beberapa undangan, pintu ruangan diketuk, membuyarkan konsentrasi. Pemegang jabatan tertin
Sarah tidak main-main dengan perkataannya. Ia dengan sabar menunggu setiap detik yang berlali di sebuah halaman yang cukup strategis. Sarah menjamin, Pria yang menjadi sopir pribadinya tak bisa membantah keinginan tersebut. Ingin melapor pun tak bisa karena ia tahu betul kondisi keuangan keluarganya yang sedang menanggung biaya pendidikan dua anaknya di perguruan tinggi. Begitu mobil yang digunakan Gin meninggalkan halaman perusahaan, ia langsung memerintahkan sang sopir untuk segera mengikutinya. Putranya itu tidak berbohong jika akan pergi ke Prastaga. Nyatanya, setelah belasan menit menyetir mobilnya memasuki halaman kantor dari anak perusahaan Satwika Group. Satu jam setelahnya Gin pergi ke sebuah bangunan rumah sakit yang belum sepenuhnya jadi, juga sebuah proyek seperti villa yang belum banyak digarap. Jujur saja, ia lelah, sang sopir pun berulang kali bertanya apakah masih sanggup dan meneruskan keinginannya atau tidak, tetapi Sarah tetap ingin melanjutkannya. Ia harus tahu
“Dari mana saja kamu?” Saat melintasi ruang tengah, Sarah dikejutkan dengan suara bariton yang familiar di telinganya. Terdengar berat dan mengintimidasi hingga mampu memaksa kedua kaki wanita itu terhenti. Tanpa menoleh pun, Sarah sudah tahu jika itu adalah Adhiwira Satwika, pria yang telah berpuluh-puluh tahun menjadi suaminya, tetapi memilih berkhianat dan menikah dengan wanita lain. Melalui ekor matanya, Sarah menangkap sosok Wira tengah duduk di sofa berbahan beludru sembari melipat tangan di depan dada. “Aku tidak mengulang pertanyaan, Sarah!” Wira kembali bicara karena Sarah tak kunjung menjawab. Kali ini dengan penekanan yang lebih keras di setiap kalimatnya. “Kemana aku pergi, itu bukan urusanmu,” jawab Sarah dengan nada dingin. Wanita itu masih bertahan pada posisinya. “Urusanku karena kau pergi sejak siang dan baru kembali malam hari!” Sarah spontan menoleh, kepalanya miring sedikit dan dua alisnya bertaut samar saat suaminya menaikkan nada bicara. “Apa aku tidak sa
Jika Sarah sedang tenggelam dalam emosi negatifnya, kondisi yang berbeda terjadi kepada Martha. Wanita itu sedang beriang hati, tak sabar menyambut kedatangan menantu dan putranya. Sejak siang hari ia sudah menyibukkan diri, mengacak dapurnya untuk memasak dan menyiapkan jamuan yang terbaik.Makan malam itu diselenggarakan bukan dalam rangka peringatan pernikahannya dengan Wira, atau pun hal spesial yang berkaitan dengan mereka. Hanya makan malam biasa untuk merayakan syukur atas delapan bulan kehamilan menantunya saja. Ia tak sabar bertemu dengan cucunya nanti. Meja makan yang biasanya hanya berisi satu sampai tiga menu saja, kini dipenuhi dengan piring-piring saji yang berjajar rapi. Mulai dari olahan daging sapi hingga ayam pun ada di sana. Lalu, salad sayur spesial juga telah ia siapkan khusus untuk menatunya yang sebentar lagi akan melahirkan.Saat sedang fokus menata meja makan, Martha dikejutkan dengan suara derap langkah kaki dan obrolan samar yang tak begitu jelas. Saat mend