Sarah tidak main-main dengan perkataannya. Ia dengan sabar menunggu setiap detik yang berlali di sebuah halaman yang cukup strategis. Sarah menjamin, Pria yang menjadi sopir pribadinya tak bisa membantah keinginan tersebut. Ingin melapor pun tak bisa karena ia tahu betul kondisi keuangan keluarganya yang sedang menanggung biaya pendidikan dua anaknya di perguruan tinggi. Begitu mobil yang digunakan Gin meninggalkan halaman perusahaan, ia langsung memerintahkan sang sopir untuk segera mengikutinya. Putranya itu tidak berbohong jika akan pergi ke Prastaga. Nyatanya, setelah belasan menit menyetir mobilnya memasuki halaman kantor dari anak perusahaan Satwika Group. Satu jam setelahnya Gin pergi ke sebuah bangunan rumah sakit yang belum sepenuhnya jadi, juga sebuah proyek seperti villa yang belum banyak digarap. Jujur saja, ia lelah, sang sopir pun berulang kali bertanya apakah masih sanggup dan meneruskan keinginannya atau tidak, tetapi Sarah tetap ingin melanjutkannya. Ia harus tahu
“Dari mana saja kamu?” Saat melintasi ruang tengah, Sarah dikejutkan dengan suara bariton yang familiar di telinganya. Terdengar berat dan mengintimidasi hingga mampu memaksa kedua kaki wanita itu terhenti. Tanpa menoleh pun, Sarah sudah tahu jika itu adalah Adhiwira Satwika, pria yang telah berpuluh-puluh tahun menjadi suaminya, tetapi memilih berkhianat dan menikah dengan wanita lain. Melalui ekor matanya, Sarah menangkap sosok Wira tengah duduk di sofa berbahan beludru sembari melipat tangan di depan dada. “Aku tidak mengulang pertanyaan, Sarah!” Wira kembali bicara karena Sarah tak kunjung menjawab. Kali ini dengan penekanan yang lebih keras di setiap kalimatnya. “Kemana aku pergi, itu bukan urusanmu,” jawab Sarah dengan nada dingin. Wanita itu masih bertahan pada posisinya. “Urusanku karena kau pergi sejak siang dan baru kembali malam hari!” Sarah spontan menoleh, kepalanya miring sedikit dan dua alisnya bertaut samar saat suaminya menaikkan nada bicara. “Apa aku tidak sa
Jika Sarah sedang tenggelam dalam emosi negatifnya, kondisi yang berbeda terjadi kepada Martha. Wanita itu sedang beriang hati, tak sabar menyambut kedatangan menantu dan putranya. Sejak siang hari ia sudah menyibukkan diri, mengacak dapurnya untuk memasak dan menyiapkan jamuan yang terbaik.Makan malam itu diselenggarakan bukan dalam rangka peringatan pernikahannya dengan Wira, atau pun hal spesial yang berkaitan dengan mereka. Hanya makan malam biasa untuk merayakan syukur atas delapan bulan kehamilan menantunya saja. Ia tak sabar bertemu dengan cucunya nanti. Meja makan yang biasanya hanya berisi satu sampai tiga menu saja, kini dipenuhi dengan piring-piring saji yang berjajar rapi. Mulai dari olahan daging sapi hingga ayam pun ada di sana. Lalu, salad sayur spesial juga telah ia siapkan khusus untuk menatunya yang sebentar lagi akan melahirkan.Saat sedang fokus menata meja makan, Martha dikejutkan dengan suara derap langkah kaki dan obrolan samar yang tak begitu jelas. Saat mend
Sekitar pukul enam pagi, Sarah telah tiba di halaman rumah yang sejak semalam mengusik pikirannya. Wanita itu berdiri di atas hamparan batu andesit seraya mengamati setiap detail bangunan yang dominan berwarna hitam tersebut. Ia masih bertanya-tanya tentang siapa pemiliknya. Tentu bukan orang biasa yang mampu membangun rumah megah nan futuristik ini. Ah, tak penting, Sarah hanya ingin tahu siapa wanita yang ia lihat kemarin. Ia harus memastikan ada hubungan apa dengan putranya?Saat tiba di depan sebuah garasi yang terbuka, Sarah melihat sebuah mobil hitam yang terparkir rapi di hadapannya. Tampak bersih seperti habis dibersihkan. Itu mobil yang sering digunakan oleh Gin. Oleh sebab itu, Sarah bisa menyimpulkan bahwa putranya di semalam singgah tempat ini. “Apakah ini alasan Gin tak pernah ada di apartemennya? Dia sudah tinggal bersama dengan wanita yang kemarin kulihat?” Sarah bertanya dalam hati.Perlahan wanita berambut uban itu masuk ke dalam garasi. Ada pintu yang terbuka dan t
Arum dan seorang perawat segera menuruni mobilnya dan berlari secepat mungkin menuju ke dalam rumah mewah yang ditunjukkan padanya. Ia harus mencari keberadaan Arya dan Sarah, pasiennya. Wanita itu baru saja tiba di rumah sakit dimana ia harus praktek pagi ini, akan tetapi tiba-tiba ia mendapat sebuah panggilan dari seorang wanita bernama Yura, istri Arya Girindra Satwika. Sembari menangis dan suara gemetaran, Yura mengatakan bahwa di rumah mereka sedang terjadi insiden dimana Sarah mengamuk histeris dan menggunakan benda tajam untuk melukai orang disekitarnya. Oleh sebab itu, ia membawa seorang perawat pergi ke rumah mereka. Untungnya tidak terlalu jauh dari rumah sakit.Saat masuk melalui sebuah pintu garasi, ia menembus dapur. Tak ada siapa pun. Hanya ada sebuah kompor menyala dengan panci di atasnya. Arum segera menghampiri dan mematikan kompor tersebut. Panci berisi potongan daging sapi dan wortel itu nyaris hangus karena air yang menyusut cukup banyak. Ia pastikan sudah menyal
"Yura!" Gin mengedarkan pandangannya ke sekeliling ketika tiba di kamar utama. Ia mengira akan menemukan Yura berada di sana, tetapi ia salah. Ruangan itu sepi. Tak ada sosok wanita yang ia cari. Satu detik kemudian, ia mendengar suara gemericik air dari arah lain. ia mendekat ke arah pintu kamar mandi yang tertutup. Barang kali Yura bersembunyi sana. "Sayang!" Gin mengetuknya pintu berkelir putih dihadapannya beberapa kali dan tetap hening, tak ada jawaban. Saat di dorong dengan kekuatan tangan yang tak seberapa, pintu itu terbuka dengan mudahnya. Bilik air itu tak berisi siapa pun. Pria yang masih mengenakan kemeja bernoda darah itu menyugar rambutnya dengan sebelah tangan. Tak ada lagi yang bisa ia periksa. Semuanya ruang-ruang yang ada di dalam kamar utama tersebut kosong. Frustasi, Gin berpikir sejenak. Lalu, ia terpikirkan sesuatu. Dengan cepat ia berlari ke luar ruangan dan menghampiri ruangan yang tak jauh dari sana. Kamar bayi mereka. Saat menarik gagang pintu dan mendo
"Driver sudah jujur padaku. Semalam Sarah mengikutimu sampai ke rumah ini. Itu sebabnya Sarah tahu keberadaanmu dan Yura."Wira berdiri di hadapan dinding kaca pada ruang tengah. Dua tangannya berkacak pinggang dan bibirnya berdecak pelan. Ia Geram dengan istri pertamanya yang selalu saja membuat masalah. Selain mengacaukan suasana hatinya, Sarah telah berhasil memporak-porandakan agendanya.Pagi ini, Ia telah menyusun rencana akan pergi bermain golf bersama beberapa rekan. Kemudian makan siang bersama dengan mereka di restoran milik Martha. Namun, semua rencana itu harus dibatalkan ketika mendapat panggilan dari putranya. Ada kabar yang kurang menyenangkan.Hal yang sempat ia bahas semalam, terjadi lebih cepat dari dugaan. Sarah sudah mengetahui pernikahan Yura dan putranya. Sejak perjalanan dari rumah kepanikan melanda hatinya. Orang tua mana yang tak khawatir dengan keadaan anak anaknya ketika diberitahu mereka baru saja mengalami sebuah insiden? Apalagi, ketika mendengar bahwa Sar
"Aku tak pernah keberatan. Aku justru senang karena ayah mau peduli dengan istriku, tapi bukankah ayah dan bunda juga memiliki kegiatan sendiri?" tanya Gin memastikan. Secara ia tahu benar jika sang ayah dan istri keduanya itu juga ada beberapa kesibukan, terkadang mereka masih aktif melakukan kunjungan ke restoran milik Martha. Mereka bukan orang tua yang hanya berdiam diri di rumah saja."Kegiatan kami tidak banyak, hanya pergi saat ada beberapa agenda saja. Itu bisa diatur. Aku hanya menyarankan supaya setidaknya jika kau bekerja istrimu tidak sendirian. Ada aku dan Martha juga beberapa orang di villa.""Aku terserah Yura saja," jawabnya lalu menunduk ke arah Yura, "bagaimana menurutmu, Ra? Jika tinggal sementara di rumah ayah?"Ditanya demikian, Yura mengeratkan jemari yang sedang menggenggam tangan suaminya."Sebaiknya, tetap di rumah saja. Aku takut merepotkan ayah dan bunda nantinya." "Aku dan Martha tidak pernah kerepotan." Wira menjawab. Pria itu melemparkan pandangan ke arah
Tenggorokan Yura terasa kering. Sebenarnya, tidak masalah jika Rama berkenalan dengan putrinya. Tetapi, bukan itu yang menjadi kekhawatirannya. Semua itu tergantung dengan tanggapan Gin. Bagaimana pun juga, pria itu yang bisa menentukan keputusannya."Berikan saja, Sayang. Biarkan Pak Rama mengenal putri kita." Gin menyahut dari arah belakang. Entah kapan pria itu kembali, kini Gin sudah berdiri di sampingnya."Tapi—""Aku tidak keberatan. Tidak ada salahnya," sahut Gin kembali.Yura kemudian mengangguk dan memberikan Raya kepada mantan suaminya. Rama tampak berbinar melihat Raya dalam pangkuannya. Pria itu bahkan tersenyum sendiri.Sebagai mantan istri, Yura paham betul bahwa semenjak pernikahan mereka dulu, Rama selalu mendambakan kehadiran seorang anak. Namun, harapan mereka pupus kala mendapatkan hasil pemeriksaan medis yang menyatakan bahwa Rama tak bisa memiliki keturunan.Yura berharap, kehadiran Raya bisa sedikit mengobati rasa sakit Rama.Cukup lama Rama menimang Raya. Hingga
Sosok itu adalah Rama. Pria yang pernah menjadi suaminya selama kurang lebih lima tahun. Orang yang pernah ia perjuangkan dengan segenap jiwa dan raganya.Yura sudah tidak peduli padanya. Bahkan, dia tidak ingin tahu tentang apa yang dilakukan lelaki itu, hanya tidak menyangka akan bertemu dengan Rama kembali saat ini, di rumah mertuanya sendiri. Dan, Yura melihat perubahan yang sangat besar.Wajah Rama tampak lebih tua dan badannya sedikit kurus. Kumis dan jambangnya terlihat lebih lebat. Penampilannya pun jauh berbeda dengan pertemuan terakhir mereka dahulu. Ia sempat tak percaya bahwa orang yang kini berdiri di hadapannya ini adalah Rama. "Salam kenal, Bu Shinta." Yura menyapa Bu Shinta terlebih dahulu, kemudian mengarahkan padangannya kepada Rama. Ada kecanggungan yang kentara saat Yura bertatap muka dengan Rama, ia tampak ragu saat ingin menyapanya. Demikian halnya dengan Rama yang terlihat menelan ludahnya kasar. Untungnya, interaksi kaku mereka terbaca oleh Bu Shinta. Wanita
Suasana kediaman utama sore hari ini sedikit lebih ramai dari biasanya. Ketika Gin dan Yura sampai di sana, beberapa mobil jasa angkut berada di sana membawa beberapa paket barang. Gin bertanya kepada beberapa satu asisten rumah tangga yang berjaga di sana dan mereka mengatakan bahwa barang yang dibeli oleh sang ayah adalah lukisan yang secara khusus telah dipesan sejak berbulan-bulan lalu."Kenapa Ayah membeli banyak lukisan?" tanya Yura ketika sudah menjauh dari para asisten rumah tangga. "Maksudku, tumben sekali pesan sebanyak ini. Biasanya hanya satu atau dua untuk ganti properti kantor."Ya. Memesan lukisan bukan sesuatu yang tabu di keluarga Satwika. Sebagai menantu, Yura kerap membantu Wira atau pun Gin mencarikan seniman untuk membeli atau membuat lukisan. Namun, untuk kali ini, tampaknya Wira mencari tanpa bantuannya. Bahkan Gin, putranya sendiri, tidak tahu-menahu tentang ini.Gin yang sedang menggendong putrinya juga mengamati keadaan sekitar selama beberapa saat. Kemudian
Beberapa minggu setelah kepergian Sarah.Mendengar suara tangisan bayi yang begitu kencang, Yura mematikan kompornya dan segera berlari ke lantai atas untuk memeriksa. Saat membuka pintu kamar ruang bayi, tubuhnya sejenak terpaku ketika menemukan Gin sedang menimang putrinya.Wanita itu menghela napas panjang. Sejak tadi, ia sibuk di dapur menyiapkan sarapan. Saking sibuknya, sampai lupa dengan Raya. Namun, ketika kembali di sini, ia justru dibuat kagum dengan sikap sang suami. Pria itu bahkan belum berganti baju, masih mengenakan handuk mandi untuk menutupi tubuhnya.“Kenapa wajahmu tampak tegang seperti itu?” tegur Gin dengan suara beratnya."Ah, tidak, aku hampir lupa kalau meninggalkan Raya. Aku pikir kau masih mandi atau siap-siap, tapi ternyata kau sudah di sini."Gin hanya merespon dengan sebuah tawa pelan. "Apa aku tidak boleh menimang putriku sendiri?""Bukan seperti itu, Gin. Aku hanya terkejut saja," tutur Yura usai menggeleng sebagai respon.Gin kembali menarik kedua sudut
Meskipun ada kelegaan dalam hati karena telah menemukan Martha, Wira tetap tak bisa menyembunyikan dukanya. Kepergian Sarah meninggalkan luka mendalam dan penyesalan dalam dirinya. Semua juga tahu, tak ada yang bahagia saat ditinggalkan selamanya. Sejak tadi, pria itu memilih menyendiri di balkon kamar, merenungkan masa lalunya dan memikirkan masa depannya bersama Martha. Bahkan saat doa bersama di gelar di rumah untuk mengenang Sarah, Wira tak ingin bergabung dengan mereka. Ia lebih memilih untuk menikmati kesunyian dan keheningan di balkon kamarnya."Sudah hampir larut, Mas. Mau sampai kapan melamun di situ?"Suara Martha memecah keheningan di balkon. Malam ini, Wira langsung membawa Martha ke kediaman utama malam itu juga. Ia tidak ingin kehilangan jejak Martha lagi, wanita yang telah membawa secercah cahaya di tengah kesedihannya.Ketika tangan Martha menyentuh pundaknya, Wira menoleh. Ia menurunkan kaki dan mematikan puntung rokoknya. "Sudah selesai?" tanyanya, bermaksud menany
Setelah tiga puluh menit berkendara, mobil berwarna hitam milik Wira terparkir rapi di halaman sebuah rumah beraksen kayu. Rumah modern yang sebenarnya biasa saja dan jauh dari kota, tetapi begitu berarti untuk Martha, wanita yang kini menjadi istri satu-satunya. Rumah ini satu-satunya harapan Wira. Walau tak bisa memastikan apakah wanita itu benar-benar ke rumah ini atau tidak, pria tua berkemeja hitam itu hanya mengikuti kata hati. Gantungan kunci yang terlepas, menjadi satu-satunya petunjuk yang ingin ia buktikan.Dan semoga saja, Martha bisa ia temukan di sini.Ting Tong! Ting Tong! Wira menekan bel dan menanti beberapa saat. Hingga akhirnya terdengar suara pintu terbuka, Wira menoleh dengan cepat. Sayangnya, yang ia temukan bukan Martha, tetapi seorang pembantu di rumah itu.“Bapak?” sapa wanita itu kepada Wira. Rupanya, meski pertemuan mereka dulu hanya beberapa kali, tetapi wanita itu masih ingat bahwa Wira adalah suami majikannya.“Ibu pulang ke sini?” tanya Wira tanpa basa-
“Dimana Martha?”Wira menatap lurus dua orang binatu perempuan yang baru saja membukakan pintu. Mereka tampak gagap dengan kemunculan sosok Wira yang tidak terduga. Mungkin, mereka mengira Wira tak akan datang ke tempat ini karena sedang berduka. Dan, saat lelaki itu melempar pertanyaan, mereka semua hanya saling melempar tatap, seolah bingung dengan jawaban apa yang harus diberikan kepada sang majikan. “Saya yakin kalian tidak tuli. Dimana Martha?” Sekali lagi Wira bertanya dengan nada lebih tinggi. Tidak peduli dengan dengan mata yang sembab dan wajah kuyu sehabis dari pemakaman, ia mencecar pegawainya. Dua wanita di hadapannya serentak menunduk. Salah seorang memberanikan diri untuk bicara. “Maaf, Bapak, Ibu …. Sedang pergi.”“I—ibu pergi sejak tiga hari yang lalu dan belum pulang, Pak,” timpal pembantu yang satunya. Wira memijat pelipisnya. Kini kecurigaannya terbukti. Hatinya merasa ada yang tidak beres. Sebab sejak semalam wanita itu tak bisa dihubungi dan ketika dijemput,
Turut Berduka Cita atas meninggalnya Ibu Sarah Gharvita.Puluhan papan karangan bunga berlatar hitam berjajar rapi di sepanjang halaman kediaman keluarga Satwika. Saking banyaknya, sampai harus turun ke bahu jalan. Tak lain halnya dengan pusara, ucapan belasungkawa tak henti mengalir di tempat itu. Sarah tidak tertolong. Setelah jatuh, Wira segera membawa Sarah ke rumah sakit, ia pikir masih ada waktu lebih lama lagi untuk Sarah bertahan, akan tetapi Tuhan menghendaki takdir yang lain.Sarah meninggal dunia tepat dalam pelukan Wira. Setelah semalam di semayamkan, hari ini, jenazahnya dikebumikan.“Istirahatlah dengan tenang,” bisik Wira seraya menabur bunga mawar merah di gundukan tanah yang masih basah. Sebasah wajahnya yang dibanjiri air mata.Semua itu terjadi dengan tiba-tiba. Tidak ada yang menduga kepergian Sarah, bahkan ini lebih cepat dari vonis dokter. Wira orang yang paling terpukul. Meski bertahun-tahun hubungannya dengan Sarah tak baik, sempat pisah ranjang bahkan merasa
“Untuk apa kau mengundang Martha datang?” Wira bertanya dengan sedikit nada panik. Takut, bila Sarah memintanya melakukan hal yang tidak-tidak. Mengingat beberapa teror yang pernah dilakukannya, Wira tak bisa berpikir positif lagi tentang Sarah, sekalipun wanita itu telah banyak berubah. Dan, perihal bertemu Martha itu adalah hal yang kedengarannya mustahil.“Bukan untuk apa-apa. Kau bisa bertanya kepada Yura jika kau tidak percaya.” Sarah tersenyum singkat. Nada bicaranya juga pelan. Tidak ada penekanan sama sekali. “Aku hanya ingin mengenal dia lebih dekat saja. Selama ini, kami belum pernah bicara langsung. Sekarang aku mengerti, mengapa kau lebih memilih dia. Kau bisa mendapatkan apa yang tidak bisa aku berikan darinya.” Tidak banyak yang dilakukan oleh Wira. Hanya menghempas napas panjang setelah istrinya bicara. “Apa tujuanmu ke sini hanya untuk membahas itu? Jika iya, ayo kita pulang saja.”Sarah menolak ajakan itu. “Mengapa di hadapanku kau seolah tidak peduli dengan Marth