"Yura!" Gin mengedarkan pandangannya ke sekeliling ketika tiba di kamar utama. Ia mengira akan menemukan Yura berada di sana, tetapi ia salah. Ruangan itu sepi. Tak ada sosok wanita yang ia cari. Satu detik kemudian, ia mendengar suara gemericik air dari arah lain. ia mendekat ke arah pintu kamar mandi yang tertutup. Barang kali Yura bersembunyi sana. "Sayang!" Gin mengetuknya pintu berkelir putih dihadapannya beberapa kali dan tetap hening, tak ada jawaban. Saat di dorong dengan kekuatan tangan yang tak seberapa, pintu itu terbuka dengan mudahnya. Bilik air itu tak berisi siapa pun. Pria yang masih mengenakan kemeja bernoda darah itu menyugar rambutnya dengan sebelah tangan. Tak ada lagi yang bisa ia periksa. Semuanya ruang-ruang yang ada di dalam kamar utama tersebut kosong. Frustasi, Gin berpikir sejenak. Lalu, ia terpikirkan sesuatu. Dengan cepat ia berlari ke luar ruangan dan menghampiri ruangan yang tak jauh dari sana. Kamar bayi mereka. Saat menarik gagang pintu dan mendo
"Driver sudah jujur padaku. Semalam Sarah mengikutimu sampai ke rumah ini. Itu sebabnya Sarah tahu keberadaanmu dan Yura."Wira berdiri di hadapan dinding kaca pada ruang tengah. Dua tangannya berkacak pinggang dan bibirnya berdecak pelan. Ia Geram dengan istri pertamanya yang selalu saja membuat masalah. Selain mengacaukan suasana hatinya, Sarah telah berhasil memporak-porandakan agendanya.Pagi ini, Ia telah menyusun rencana akan pergi bermain golf bersama beberapa rekan. Kemudian makan siang bersama dengan mereka di restoran milik Martha. Namun, semua rencana itu harus dibatalkan ketika mendapat panggilan dari putranya. Ada kabar yang kurang menyenangkan.Hal yang sempat ia bahas semalam, terjadi lebih cepat dari dugaan. Sarah sudah mengetahui pernikahan Yura dan putranya. Sejak perjalanan dari rumah kepanikan melanda hatinya. Orang tua mana yang tak khawatir dengan keadaan anak anaknya ketika diberitahu mereka baru saja mengalami sebuah insiden? Apalagi, ketika mendengar bahwa Sar
"Aku tak pernah keberatan. Aku justru senang karena ayah mau peduli dengan istriku, tapi bukankah ayah dan bunda juga memiliki kegiatan sendiri?" tanya Gin memastikan. Secara ia tahu benar jika sang ayah dan istri keduanya itu juga ada beberapa kesibukan, terkadang mereka masih aktif melakukan kunjungan ke restoran milik Martha. Mereka bukan orang tua yang hanya berdiam diri di rumah saja."Kegiatan kami tidak banyak, hanya pergi saat ada beberapa agenda saja. Itu bisa diatur. Aku hanya menyarankan supaya setidaknya jika kau bekerja istrimu tidak sendirian. Ada aku dan Martha juga beberapa orang di villa.""Aku terserah Yura saja," jawabnya lalu menunduk ke arah Yura, "bagaimana menurutmu, Ra? Jika tinggal sementara di rumah ayah?"Ditanya demikian, Yura mengeratkan jemari yang sedang menggenggam tangan suaminya."Sebaiknya, tetap di rumah saja. Aku takut merepotkan ayah dan bunda nantinya." "Aku dan Martha tidak pernah kerepotan." Wira menjawab. Pria itu melemparkan pandangan ke arah
Saat tiba di kediaman utama, hari sudah menjelang siang. Gin dan juga Wira berharap-harap cemas. Pasalnya, seorang asisten rumah tangga memberitahunya bahwa Sarah sudah siuman dari efek obat yang diberikan oleh Arum tadi pagi, tetapi wanita itu tak mau bicara. Tidak mau makan siang dan minum obat. Hanya berdiam diri di kamar saja. "Ayah mau bicara dengan ibu kapan?" tanya Gin saat mereka tiba di ruang tengah yang dekat kamar Sarah. Wira menghentikan langkahnya dan mendaratkan tubuh di salah satu sofa. "Kau duluan saja. Aku nanti."Sudah ia duga jawaban Wira akan demikian. Ayah biologisnya itu tak pernah mengutamakan Sarah. Gin membalikkan badan ke arah belakang. "Ayah suaminya," ujarnya mengingatkan Wira akan posisinya dalam keluarga ini."Aku datang ke sini untuk menemanimu. Bukan menemuinya. Tak perlu kujelaskan ulang alasannya, kan?" Wira tak terbantahkan. Selalu saja seperti itu.Gin membuang napas. Ia merasa tak akan ada gunanya untuk berargumen dengan Wira. Laki-laki itu mel
Pintu kamar yang tak terbuka lebar diketuk beberapa kali menjeda kegiatan Yura memilah baju. Sesaat kemudian pintu itu terbuka menampilkan seorang pria bersetelan seragam kantor tengah tersenyum ke arahnya. Satu tangan lelaki itu membawa tas kerja, sedangkan satu tangan lainnya—yang masih terbalut perban— membawa satu jas yang menyampir di lengan. "Hai!" sapa sosok tersebut seraya menutup kembali "Eh? Gin?" Yura terperangah beberapa saat ketika mendapati suaminya pulang lebih awal. Ini baru jam makan siang, sementara biasanya lelaki itu tiba di rumah pukul enam atau bahkan lebih. Pria itu sudah mulai ke kantor beberapa hari ini usai satu minggu lamanya bekerja dari rumah. Hanya untuk menjaganya dari jangkauan Sarah. Padahal, sejak insiden itu, Sarah tak muncul lagi. Bahkan jarang berkirim pesan kepada putranya, Gin pernah mengatakan hal itu kepada Yura. Yura reflek berdiri dan menghampiri suaminya yang sedang berdiri di dekat meja kerja sesang meletakkan tas kerjanya. "Ada apa? Ke
"Selamat petang, Bu Yura." Sapaan Arkatama disambut hangat oleh Yura. Pria itu baru saja selesai membantu menaikkan koper dan tas bawaannya ke bagasi. Sudah lama Yura tak bertegur sapa dengan asisten suaminya ini membuatnya sedikit pangling dengan penampilannya yang kasual.Pekerjaan yang berbeda tempat membuat mereka terhalang jarak yang cukup banyak. Yura saja bahkan lupa kapan terakhir kali dengan Arkatama. "Petang, Pak Arka. Sebentar ya, Gin masih bertemu dengan ayah dan bunda," ujar Yura lalu menoleh ke dalam rumah melihat aktivitas suaminya sudah sampai di ruang tengah sedang berpamitan dengan Wira dan sang bunda di dapur.Arkatama menerbitkan senyum dan mengangguk untuk menanggapi. "Santai saja, Bu, masih ada waktu dua jam untuk tiba di bandara." "Pak Arka di sana dua hari juga?" "Kalau saya tergantung dengan situasinya. Jika memungkinkan dan waktunya cukup dua hari saja, saya akan pulang bersama Tuan. Jika tidak, mungkin saya yang akan tinggal di sana beberapa hari. Ada
"Ada apa, Ayah? Ada hal penting apa yang ingin ayah bicarakan?" Yura bertanya setelah bergabung dengan kedua mertuanya di ruang tengah. Wira dan Martha terlihat saling bertatapan. Lalu, sang bunda mertua yang menganggukkan kepala seolah meyakinkan suaminya untuk membahas sesuatu bersamanya. Wira lantas meraih remote dan mengecilkan volume suara televisi yang menyala di hadapan mereka. Sebuah senyum tipis terkembang dari bibir sang ayah mertua. "Jangan tegang begitu, Yura. Aku tidak akan membahas hal serius, tapi bisa jadi ini cukup penting," ujarnya saat melihat wajah Yura terlihat menegang. sesaat kemudian pria tua itu melanjutkan pertanyaan, "Bagaimana keadaanmu selama beberapa hari terakhir?" Yura membalas senyum meski ia merasa canggung dengan pertanyaan Wira. Wanita itu berusaha melemaskan bahu dan punggungnya, menyandarkan tubuhnya pada sandaran sofa, dan mengendurkan otot wajahnya agar tak terlalu kaku saat berkomunikasi dengan mertuanya. "Aku baik-baik saja, Ayah. Dokter j
Sebuah panggilan video masuk di ponsel Yura. Hal itu membuat ponsel yang ia letakkan di atas meja bergetar tanpa dering. Terpaksa, wanita itu mengecilkan api pada kompornya dan beranjak untuk meraih ponselnya. Nama kontak yang tertera membuatnya sumringah dan antusias untuk segera mengusap layarnya. Gin, pria yang ia rindukan sejak semalam.["Hey,"] sapa lelaki itu ketika panggilan mereka terhubung. Tampak dalam panggilan Gin sedang berada di kamar hotel sedang merapikan rambutnya dengan gel dan sisir. ["Morning, Sweetheart, bagaimana tidurmu tanpa aku? Kau bisa beristirahat dengan baik?"]Yura melekuk senyum manisnya. Ponselnya diletakkan pada sebuah kabinet dengan toples kaca berisi tepung sebagai sandarannya. Sembari mengaduk-aduk campuran nasi dan juga bumbu di atas teflon, Yura menjawab, "Kalau aku bisa bangun pagi itu artinya tidurku nyenyak, Sir!"["Begitu rupanya? Aku senang mendengarnya."]Wanita berbadan dua itu melirik sekilas ke arah jam dinding. "Sudah jam segini mengapa
Tenggorokan Yura terasa kering. Sebenarnya, tidak masalah jika Rama berkenalan dengan putrinya. Tetapi, bukan itu yang menjadi kekhawatirannya. Semua itu tergantung dengan tanggapan Gin. Bagaimana pun juga, pria itu yang bisa menentukan keputusannya."Berikan saja, Sayang. Biarkan Pak Rama mengenal putri kita." Gin menyahut dari arah belakang. Entah kapan pria itu kembali, kini Gin sudah berdiri di sampingnya."Tapi—""Aku tidak keberatan. Tidak ada salahnya," sahut Gin kembali.Yura kemudian mengangguk dan memberikan Raya kepada mantan suaminya. Rama tampak berbinar melihat Raya dalam pangkuannya. Pria itu bahkan tersenyum sendiri.Sebagai mantan istri, Yura paham betul bahwa semenjak pernikahan mereka dulu, Rama selalu mendambakan kehadiran seorang anak. Namun, harapan mereka pupus kala mendapatkan hasil pemeriksaan medis yang menyatakan bahwa Rama tak bisa memiliki keturunan.Yura berharap, kehadiran Raya bisa sedikit mengobati rasa sakit Rama.Cukup lama Rama menimang Raya. Hingga
Sosok itu adalah Rama. Pria yang pernah menjadi suaminya selama kurang lebih lima tahun. Orang yang pernah ia perjuangkan dengan segenap jiwa dan raganya.Yura sudah tidak peduli padanya. Bahkan, dia tidak ingin tahu tentang apa yang dilakukan lelaki itu, hanya tidak menyangka akan bertemu dengan Rama kembali saat ini, di rumah mertuanya sendiri. Dan, Yura melihat perubahan yang sangat besar.Wajah Rama tampak lebih tua dan badannya sedikit kurus. Kumis dan jambangnya terlihat lebih lebat. Penampilannya pun jauh berbeda dengan pertemuan terakhir mereka dahulu. Ia sempat tak percaya bahwa orang yang kini berdiri di hadapannya ini adalah Rama. "Salam kenal, Bu Shinta." Yura menyapa Bu Shinta terlebih dahulu, kemudian mengarahkan padangannya kepada Rama. Ada kecanggungan yang kentara saat Yura bertatap muka dengan Rama, ia tampak ragu saat ingin menyapanya. Demikian halnya dengan Rama yang terlihat menelan ludahnya kasar. Untungnya, interaksi kaku mereka terbaca oleh Bu Shinta. Wanita
Suasana kediaman utama sore hari ini sedikit lebih ramai dari biasanya. Ketika Gin dan Yura sampai di sana, beberapa mobil jasa angkut berada di sana membawa beberapa paket barang. Gin bertanya kepada beberapa satu asisten rumah tangga yang berjaga di sana dan mereka mengatakan bahwa barang yang dibeli oleh sang ayah adalah lukisan yang secara khusus telah dipesan sejak berbulan-bulan lalu."Kenapa Ayah membeli banyak lukisan?" tanya Yura ketika sudah menjauh dari para asisten rumah tangga. "Maksudku, tumben sekali pesan sebanyak ini. Biasanya hanya satu atau dua untuk ganti properti kantor."Ya. Memesan lukisan bukan sesuatu yang tabu di keluarga Satwika. Sebagai menantu, Yura kerap membantu Wira atau pun Gin mencarikan seniman untuk membeli atau membuat lukisan. Namun, untuk kali ini, tampaknya Wira mencari tanpa bantuannya. Bahkan Gin, putranya sendiri, tidak tahu-menahu tentang ini.Gin yang sedang menggendong putrinya juga mengamati keadaan sekitar selama beberapa saat. Kemudian
Beberapa minggu setelah kepergian Sarah.Mendengar suara tangisan bayi yang begitu kencang, Yura mematikan kompornya dan segera berlari ke lantai atas untuk memeriksa. Saat membuka pintu kamar ruang bayi, tubuhnya sejenak terpaku ketika menemukan Gin sedang menimang putrinya.Wanita itu menghela napas panjang. Sejak tadi, ia sibuk di dapur menyiapkan sarapan. Saking sibuknya, sampai lupa dengan Raya. Namun, ketika kembali di sini, ia justru dibuat kagum dengan sikap sang suami. Pria itu bahkan belum berganti baju, masih mengenakan handuk mandi untuk menutupi tubuhnya.“Kenapa wajahmu tampak tegang seperti itu?” tegur Gin dengan suara beratnya."Ah, tidak, aku hampir lupa kalau meninggalkan Raya. Aku pikir kau masih mandi atau siap-siap, tapi ternyata kau sudah di sini."Gin hanya merespon dengan sebuah tawa pelan. "Apa aku tidak boleh menimang putriku sendiri?""Bukan seperti itu, Gin. Aku hanya terkejut saja," tutur Yura usai menggeleng sebagai respon.Gin kembali menarik kedua sudut
Meskipun ada kelegaan dalam hati karena telah menemukan Martha, Wira tetap tak bisa menyembunyikan dukanya. Kepergian Sarah meninggalkan luka mendalam dan penyesalan dalam dirinya. Semua juga tahu, tak ada yang bahagia saat ditinggalkan selamanya. Sejak tadi, pria itu memilih menyendiri di balkon kamar, merenungkan masa lalunya dan memikirkan masa depannya bersama Martha. Bahkan saat doa bersama di gelar di rumah untuk mengenang Sarah, Wira tak ingin bergabung dengan mereka. Ia lebih memilih untuk menikmati kesunyian dan keheningan di balkon kamarnya."Sudah hampir larut, Mas. Mau sampai kapan melamun di situ?"Suara Martha memecah keheningan di balkon. Malam ini, Wira langsung membawa Martha ke kediaman utama malam itu juga. Ia tidak ingin kehilangan jejak Martha lagi, wanita yang telah membawa secercah cahaya di tengah kesedihannya.Ketika tangan Martha menyentuh pundaknya, Wira menoleh. Ia menurunkan kaki dan mematikan puntung rokoknya. "Sudah selesai?" tanyanya, bermaksud menany
Setelah tiga puluh menit berkendara, mobil berwarna hitam milik Wira terparkir rapi di halaman sebuah rumah beraksen kayu. Rumah modern yang sebenarnya biasa saja dan jauh dari kota, tetapi begitu berarti untuk Martha, wanita yang kini menjadi istri satu-satunya. Rumah ini satu-satunya harapan Wira. Walau tak bisa memastikan apakah wanita itu benar-benar ke rumah ini atau tidak, pria tua berkemeja hitam itu hanya mengikuti kata hati. Gantungan kunci yang terlepas, menjadi satu-satunya petunjuk yang ingin ia buktikan.Dan semoga saja, Martha bisa ia temukan di sini.Ting Tong! Ting Tong! Wira menekan bel dan menanti beberapa saat. Hingga akhirnya terdengar suara pintu terbuka, Wira menoleh dengan cepat. Sayangnya, yang ia temukan bukan Martha, tetapi seorang pembantu di rumah itu.“Bapak?” sapa wanita itu kepada Wira. Rupanya, meski pertemuan mereka dulu hanya beberapa kali, tetapi wanita itu masih ingat bahwa Wira adalah suami majikannya.“Ibu pulang ke sini?” tanya Wira tanpa basa-
“Dimana Martha?”Wira menatap lurus dua orang binatu perempuan yang baru saja membukakan pintu. Mereka tampak gagap dengan kemunculan sosok Wira yang tidak terduga. Mungkin, mereka mengira Wira tak akan datang ke tempat ini karena sedang berduka. Dan, saat lelaki itu melempar pertanyaan, mereka semua hanya saling melempar tatap, seolah bingung dengan jawaban apa yang harus diberikan kepada sang majikan. “Saya yakin kalian tidak tuli. Dimana Martha?” Sekali lagi Wira bertanya dengan nada lebih tinggi. Tidak peduli dengan dengan mata yang sembab dan wajah kuyu sehabis dari pemakaman, ia mencecar pegawainya. Dua wanita di hadapannya serentak menunduk. Salah seorang memberanikan diri untuk bicara. “Maaf, Bapak, Ibu …. Sedang pergi.”“I—ibu pergi sejak tiga hari yang lalu dan belum pulang, Pak,” timpal pembantu yang satunya. Wira memijat pelipisnya. Kini kecurigaannya terbukti. Hatinya merasa ada yang tidak beres. Sebab sejak semalam wanita itu tak bisa dihubungi dan ketika dijemput,
Turut Berduka Cita atas meninggalnya Ibu Sarah Gharvita.Puluhan papan karangan bunga berlatar hitam berjajar rapi di sepanjang halaman kediaman keluarga Satwika. Saking banyaknya, sampai harus turun ke bahu jalan. Tak lain halnya dengan pusara, ucapan belasungkawa tak henti mengalir di tempat itu. Sarah tidak tertolong. Setelah jatuh, Wira segera membawa Sarah ke rumah sakit, ia pikir masih ada waktu lebih lama lagi untuk Sarah bertahan, akan tetapi Tuhan menghendaki takdir yang lain.Sarah meninggal dunia tepat dalam pelukan Wira. Setelah semalam di semayamkan, hari ini, jenazahnya dikebumikan.“Istirahatlah dengan tenang,” bisik Wira seraya menabur bunga mawar merah di gundukan tanah yang masih basah. Sebasah wajahnya yang dibanjiri air mata.Semua itu terjadi dengan tiba-tiba. Tidak ada yang menduga kepergian Sarah, bahkan ini lebih cepat dari vonis dokter. Wira orang yang paling terpukul. Meski bertahun-tahun hubungannya dengan Sarah tak baik, sempat pisah ranjang bahkan merasa
“Untuk apa kau mengundang Martha datang?” Wira bertanya dengan sedikit nada panik. Takut, bila Sarah memintanya melakukan hal yang tidak-tidak. Mengingat beberapa teror yang pernah dilakukannya, Wira tak bisa berpikir positif lagi tentang Sarah, sekalipun wanita itu telah banyak berubah. Dan, perihal bertemu Martha itu adalah hal yang kedengarannya mustahil.“Bukan untuk apa-apa. Kau bisa bertanya kepada Yura jika kau tidak percaya.” Sarah tersenyum singkat. Nada bicaranya juga pelan. Tidak ada penekanan sama sekali. “Aku hanya ingin mengenal dia lebih dekat saja. Selama ini, kami belum pernah bicara langsung. Sekarang aku mengerti, mengapa kau lebih memilih dia. Kau bisa mendapatkan apa yang tidak bisa aku berikan darinya.” Tidak banyak yang dilakukan oleh Wira. Hanya menghempas napas panjang setelah istrinya bicara. “Apa tujuanmu ke sini hanya untuk membahas itu? Jika iya, ayo kita pulang saja.”Sarah menolak ajakan itu. “Mengapa di hadapanku kau seolah tidak peduli dengan Marth