"Aku tak pernah keberatan. Aku justru senang karena ayah mau peduli dengan istriku, tapi bukankah ayah dan bunda juga memiliki kegiatan sendiri?" tanya Gin memastikan. Secara ia tahu benar jika sang ayah dan istri keduanya itu juga ada beberapa kesibukan, terkadang mereka masih aktif melakukan kunjungan ke restoran milik Martha. Mereka bukan orang tua yang hanya berdiam diri di rumah saja."Kegiatan kami tidak banyak, hanya pergi saat ada beberapa agenda saja. Itu bisa diatur. Aku hanya menyarankan supaya setidaknya jika kau bekerja istrimu tidak sendirian. Ada aku dan Martha juga beberapa orang di villa.""Aku terserah Yura saja," jawabnya lalu menunduk ke arah Yura, "bagaimana menurutmu, Ra? Jika tinggal sementara di rumah ayah?"Ditanya demikian, Yura mengeratkan jemari yang sedang menggenggam tangan suaminya."Sebaiknya, tetap di rumah saja. Aku takut merepotkan ayah dan bunda nantinya." "Aku dan Martha tidak pernah kerepotan." Wira menjawab. Pria itu melemparkan pandangan ke arah
Saat tiba di kediaman utama, hari sudah menjelang siang. Gin dan juga Wira berharap-harap cemas. Pasalnya, seorang asisten rumah tangga memberitahunya bahwa Sarah sudah siuman dari efek obat yang diberikan oleh Arum tadi pagi, tetapi wanita itu tak mau bicara. Tidak mau makan siang dan minum obat. Hanya berdiam diri di kamar saja. "Ayah mau bicara dengan ibu kapan?" tanya Gin saat mereka tiba di ruang tengah yang dekat kamar Sarah. Wira menghentikan langkahnya dan mendaratkan tubuh di salah satu sofa. "Kau duluan saja. Aku nanti."Sudah ia duga jawaban Wira akan demikian. Ayah biologisnya itu tak pernah mengutamakan Sarah. Gin membalikkan badan ke arah belakang. "Ayah suaminya," ujarnya mengingatkan Wira akan posisinya dalam keluarga ini."Aku datang ke sini untuk menemanimu. Bukan menemuinya. Tak perlu kujelaskan ulang alasannya, kan?" Wira tak terbantahkan. Selalu saja seperti itu.Gin membuang napas. Ia merasa tak akan ada gunanya untuk berargumen dengan Wira. Laki-laki itu mel
Pintu kamar yang tak terbuka lebar diketuk beberapa kali menjeda kegiatan Yura memilah baju. Sesaat kemudian pintu itu terbuka menampilkan seorang pria bersetelan seragam kantor tengah tersenyum ke arahnya. Satu tangan lelaki itu membawa tas kerja, sedangkan satu tangan lainnya—yang masih terbalut perban— membawa satu jas yang menyampir di lengan. "Hai!" sapa sosok tersebut seraya menutup kembali "Eh? Gin?" Yura terperangah beberapa saat ketika mendapati suaminya pulang lebih awal. Ini baru jam makan siang, sementara biasanya lelaki itu tiba di rumah pukul enam atau bahkan lebih. Pria itu sudah mulai ke kantor beberapa hari ini usai satu minggu lamanya bekerja dari rumah. Hanya untuk menjaganya dari jangkauan Sarah. Padahal, sejak insiden itu, Sarah tak muncul lagi. Bahkan jarang berkirim pesan kepada putranya, Gin pernah mengatakan hal itu kepada Yura. Yura reflek berdiri dan menghampiri suaminya yang sedang berdiri di dekat meja kerja sesang meletakkan tas kerjanya. "Ada apa? Ke
"Selamat petang, Bu Yura." Sapaan Arkatama disambut hangat oleh Yura. Pria itu baru saja selesai membantu menaikkan koper dan tas bawaannya ke bagasi. Sudah lama Yura tak bertegur sapa dengan asisten suaminya ini membuatnya sedikit pangling dengan penampilannya yang kasual.Pekerjaan yang berbeda tempat membuat mereka terhalang jarak yang cukup banyak. Yura saja bahkan lupa kapan terakhir kali dengan Arkatama. "Petang, Pak Arka. Sebentar ya, Gin masih bertemu dengan ayah dan bunda," ujar Yura lalu menoleh ke dalam rumah melihat aktivitas suaminya sudah sampai di ruang tengah sedang berpamitan dengan Wira dan sang bunda di dapur.Arkatama menerbitkan senyum dan mengangguk untuk menanggapi. "Santai saja, Bu, masih ada waktu dua jam untuk tiba di bandara." "Pak Arka di sana dua hari juga?" "Kalau saya tergantung dengan situasinya. Jika memungkinkan dan waktunya cukup dua hari saja, saya akan pulang bersama Tuan. Jika tidak, mungkin saya yang akan tinggal di sana beberapa hari. Ada
"Ada apa, Ayah? Ada hal penting apa yang ingin ayah bicarakan?" Yura bertanya setelah bergabung dengan kedua mertuanya di ruang tengah. Wira dan Martha terlihat saling bertatapan. Lalu, sang bunda mertua yang menganggukkan kepala seolah meyakinkan suaminya untuk membahas sesuatu bersamanya. Wira lantas meraih remote dan mengecilkan volume suara televisi yang menyala di hadapan mereka. Sebuah senyum tipis terkembang dari bibir sang ayah mertua. "Jangan tegang begitu, Yura. Aku tidak akan membahas hal serius, tapi bisa jadi ini cukup penting," ujarnya saat melihat wajah Yura terlihat menegang. sesaat kemudian pria tua itu melanjutkan pertanyaan, "Bagaimana keadaanmu selama beberapa hari terakhir?" Yura membalas senyum meski ia merasa canggung dengan pertanyaan Wira. Wanita itu berusaha melemaskan bahu dan punggungnya, menyandarkan tubuhnya pada sandaran sofa, dan mengendurkan otot wajahnya agar tak terlalu kaku saat berkomunikasi dengan mertuanya. "Aku baik-baik saja, Ayah. Dokter j
Sebuah panggilan video masuk di ponsel Yura. Hal itu membuat ponsel yang ia letakkan di atas meja bergetar tanpa dering. Terpaksa, wanita itu mengecilkan api pada kompornya dan beranjak untuk meraih ponselnya. Nama kontak yang tertera membuatnya sumringah dan antusias untuk segera mengusap layarnya. Gin, pria yang ia rindukan sejak semalam.["Hey,"] sapa lelaki itu ketika panggilan mereka terhubung. Tampak dalam panggilan Gin sedang berada di kamar hotel sedang merapikan rambutnya dengan gel dan sisir. ["Morning, Sweetheart, bagaimana tidurmu tanpa aku? Kau bisa beristirahat dengan baik?"]Yura melekuk senyum manisnya. Ponselnya diletakkan pada sebuah kabinet dengan toples kaca berisi tepung sebagai sandarannya. Sembari mengaduk-aduk campuran nasi dan juga bumbu di atas teflon, Yura menjawab, "Kalau aku bisa bangun pagi itu artinya tidurku nyenyak, Sir!"["Begitu rupanya? Aku senang mendengarnya."]Wanita berbadan dua itu melirik sekilas ke arah jam dinding. "Sudah jam segini mengapa
Yura terhenyak. Kakinya mundur selangkah begitu sadar jika Sarah yang ada di hadapannya. Tenggorokannya terasa kering dan lututnya gemetar. Bagaimana tidak? Ia sedang bertatap muka dengan orang yang mengancamnya dan melukai suaminya beberapa waktu lalu. Yura masih menyimpan rasa takut jika Sarah melakukan hal yang sama padanya. Sedangkan Sarah, sedang menatapnya dengan ekspresi datar. Satu lengan wanita itu membawa sebuah tas berwarna putih. "I—ibu Sarah?""Aku datang karena kau tak merespon pesanku," ujarnya dengan nada dingin. Yura menelan ludahnya. Jika kemarin Sarah datang padanya keadaan marah-marah dan berteriak histeris, kini wanita ibu kandung suaminya itu datang dalam keadaan yang jauh berbeda. Ia bersikap tenang dan setiap tatapannya seolah mengandung mata pisau yang tajam. "Maaf, Bu, saya belum pegang ponsel. Saya tidak tahu kalau ibu mengirim pesan," jawab Yura. Hanya itu jawaban yang terlintas di kepalanya. Tidak mungkin ia mengatakan jika sengaja mengabaikan pesanny
Kepala Yura yang menunduk spontan mendongak ke arah sang lawan bicara. Dahinya berkerut samar saat mendengar kalimat yang baru saja diucapkan oleh Sarah. Entah permintaan apa yang ingin ia berikan. Meski demikian, Yura belum ingin berbicara atau pun menginterupsi. Bibirnya terlalu kaku untuk merangkai sebuah kata-kata setelah kalimat demi kalimat menohok hatinya. Hanya berharap semoga saja Wira cepat pulang dan menyelamatkannya dari situasi ini. "Aku tidak menerimamu, Yura. Sampai kapan pun bahkan jika kau bersujud di kakiku aku tak akan pernah merestuimu untuk bersanding dengan putraku." Sarah mengambil setangkai bunga mawar putih segar dalam vas bunga yang terletak di meja. Sejenak mendekatkan kelopaknya ke indera penciumannya."Harapan dalam hidupku hanyalah Gin. Dia, orang yang bisa mewujudkan kebahagiaanku! Jadi, biarkan dia mewujudkan keinginanku! Toh, Dia pantas mendapatkan wanita yang jauh lebih baik darimu." Sarah melanjutkan argumennya. Di sisi lain, Yura belum bisa mena