Jika Sarah sedang tenggelam dalam emosi negatifnya, kondisi yang berbeda terjadi kepada Martha. Wanita itu sedang beriang hati, tak sabar menyambut kedatangan menantu dan putranya. Sejak siang hari ia sudah menyibukkan diri, mengacak dapurnya untuk memasak dan menyiapkan jamuan yang terbaik.Makan malam itu diselenggarakan bukan dalam rangka peringatan pernikahannya dengan Wira, atau pun hal spesial yang berkaitan dengan mereka. Hanya makan malam biasa untuk merayakan syukur atas delapan bulan kehamilan menantunya saja. Ia tak sabar bertemu dengan cucunya nanti. Meja makan yang biasanya hanya berisi satu sampai tiga menu saja, kini dipenuhi dengan piring-piring saji yang berjajar rapi. Mulai dari olahan daging sapi hingga ayam pun ada di sana. Lalu, salad sayur spesial juga telah ia siapkan khusus untuk menatunya yang sebentar lagi akan melahirkan.Saat sedang fokus menata meja makan, Martha dikejutkan dengan suara derap langkah kaki dan obrolan samar yang tak begitu jelas. Saat mend
Sekitar pukul enam pagi, Sarah telah tiba di halaman rumah yang sejak semalam mengusik pikirannya. Wanita itu berdiri di atas hamparan batu andesit seraya mengamati setiap detail bangunan yang dominan berwarna hitam tersebut. Ia masih bertanya-tanya tentang siapa pemiliknya. Tentu bukan orang biasa yang mampu membangun rumah megah nan futuristik ini. Ah, tak penting, Sarah hanya ingin tahu siapa wanita yang ia lihat kemarin. Ia harus memastikan ada hubungan apa dengan putranya?Saat tiba di depan sebuah garasi yang terbuka, Sarah melihat sebuah mobil hitam yang terparkir rapi di hadapannya. Tampak bersih seperti habis dibersihkan. Itu mobil yang sering digunakan oleh Gin. Oleh sebab itu, Sarah bisa menyimpulkan bahwa putranya di semalam singgah tempat ini. “Apakah ini alasan Gin tak pernah ada di apartemennya? Dia sudah tinggal bersama dengan wanita yang kemarin kulihat?” Sarah bertanya dalam hati.Perlahan wanita berambut uban itu masuk ke dalam garasi. Ada pintu yang terbuka dan t
Arum dan seorang perawat segera menuruni mobilnya dan berlari secepat mungkin menuju ke dalam rumah mewah yang ditunjukkan padanya. Ia harus mencari keberadaan Arya dan Sarah, pasiennya. Wanita itu baru saja tiba di rumah sakit dimana ia harus praktek pagi ini, akan tetapi tiba-tiba ia mendapat sebuah panggilan dari seorang wanita bernama Yura, istri Arya Girindra Satwika. Sembari menangis dan suara gemetaran, Yura mengatakan bahwa di rumah mereka sedang terjadi insiden dimana Sarah mengamuk histeris dan menggunakan benda tajam untuk melukai orang disekitarnya. Oleh sebab itu, ia membawa seorang perawat pergi ke rumah mereka. Untungnya tidak terlalu jauh dari rumah sakit.Saat masuk melalui sebuah pintu garasi, ia menembus dapur. Tak ada siapa pun. Hanya ada sebuah kompor menyala dengan panci di atasnya. Arum segera menghampiri dan mematikan kompor tersebut. Panci berisi potongan daging sapi dan wortel itu nyaris hangus karena air yang menyusut cukup banyak. Ia pastikan sudah menyal
"Yura!" Gin mengedarkan pandangannya ke sekeliling ketika tiba di kamar utama. Ia mengira akan menemukan Yura berada di sana, tetapi ia salah. Ruangan itu sepi. Tak ada sosok wanita yang ia cari. Satu detik kemudian, ia mendengar suara gemericik air dari arah lain. ia mendekat ke arah pintu kamar mandi yang tertutup. Barang kali Yura bersembunyi sana. "Sayang!" Gin mengetuknya pintu berkelir putih dihadapannya beberapa kali dan tetap hening, tak ada jawaban. Saat di dorong dengan kekuatan tangan yang tak seberapa, pintu itu terbuka dengan mudahnya. Bilik air itu tak berisi siapa pun. Pria yang masih mengenakan kemeja bernoda darah itu menyugar rambutnya dengan sebelah tangan. Tak ada lagi yang bisa ia periksa. Semuanya ruang-ruang yang ada di dalam kamar utama tersebut kosong. Frustasi, Gin berpikir sejenak. Lalu, ia terpikirkan sesuatu. Dengan cepat ia berlari ke luar ruangan dan menghampiri ruangan yang tak jauh dari sana. Kamar bayi mereka. Saat menarik gagang pintu dan mendo
"Driver sudah jujur padaku. Semalam Sarah mengikutimu sampai ke rumah ini. Itu sebabnya Sarah tahu keberadaanmu dan Yura."Wira berdiri di hadapan dinding kaca pada ruang tengah. Dua tangannya berkacak pinggang dan bibirnya berdecak pelan. Ia Geram dengan istri pertamanya yang selalu saja membuat masalah. Selain mengacaukan suasana hatinya, Sarah telah berhasil memporak-porandakan agendanya.Pagi ini, Ia telah menyusun rencana akan pergi bermain golf bersama beberapa rekan. Kemudian makan siang bersama dengan mereka di restoran milik Martha. Namun, semua rencana itu harus dibatalkan ketika mendapat panggilan dari putranya. Ada kabar yang kurang menyenangkan.Hal yang sempat ia bahas semalam, terjadi lebih cepat dari dugaan. Sarah sudah mengetahui pernikahan Yura dan putranya. Sejak perjalanan dari rumah kepanikan melanda hatinya. Orang tua mana yang tak khawatir dengan keadaan anak anaknya ketika diberitahu mereka baru saja mengalami sebuah insiden? Apalagi, ketika mendengar bahwa Sar
"Aku tak pernah keberatan. Aku justru senang karena ayah mau peduli dengan istriku, tapi bukankah ayah dan bunda juga memiliki kegiatan sendiri?" tanya Gin memastikan. Secara ia tahu benar jika sang ayah dan istri keduanya itu juga ada beberapa kesibukan, terkadang mereka masih aktif melakukan kunjungan ke restoran milik Martha. Mereka bukan orang tua yang hanya berdiam diri di rumah saja."Kegiatan kami tidak banyak, hanya pergi saat ada beberapa agenda saja. Itu bisa diatur. Aku hanya menyarankan supaya setidaknya jika kau bekerja istrimu tidak sendirian. Ada aku dan Martha juga beberapa orang di villa.""Aku terserah Yura saja," jawabnya lalu menunduk ke arah Yura, "bagaimana menurutmu, Ra? Jika tinggal sementara di rumah ayah?"Ditanya demikian, Yura mengeratkan jemari yang sedang menggenggam tangan suaminya."Sebaiknya, tetap di rumah saja. Aku takut merepotkan ayah dan bunda nantinya." "Aku dan Martha tidak pernah kerepotan." Wira menjawab. Pria itu melemparkan pandangan ke arah
Saat tiba di kediaman utama, hari sudah menjelang siang. Gin dan juga Wira berharap-harap cemas. Pasalnya, seorang asisten rumah tangga memberitahunya bahwa Sarah sudah siuman dari efek obat yang diberikan oleh Arum tadi pagi, tetapi wanita itu tak mau bicara. Tidak mau makan siang dan minum obat. Hanya berdiam diri di kamar saja. "Ayah mau bicara dengan ibu kapan?" tanya Gin saat mereka tiba di ruang tengah yang dekat kamar Sarah. Wira menghentikan langkahnya dan mendaratkan tubuh di salah satu sofa. "Kau duluan saja. Aku nanti."Sudah ia duga jawaban Wira akan demikian. Ayah biologisnya itu tak pernah mengutamakan Sarah. Gin membalikkan badan ke arah belakang. "Ayah suaminya," ujarnya mengingatkan Wira akan posisinya dalam keluarga ini."Aku datang ke sini untuk menemanimu. Bukan menemuinya. Tak perlu kujelaskan ulang alasannya, kan?" Wira tak terbantahkan. Selalu saja seperti itu.Gin membuang napas. Ia merasa tak akan ada gunanya untuk berargumen dengan Wira. Laki-laki itu mel
Pintu kamar yang tak terbuka lebar diketuk beberapa kali menjeda kegiatan Yura memilah baju. Sesaat kemudian pintu itu terbuka menampilkan seorang pria bersetelan seragam kantor tengah tersenyum ke arahnya. Satu tangan lelaki itu membawa tas kerja, sedangkan satu tangan lainnya—yang masih terbalut perban— membawa satu jas yang menyampir di lengan. "Hai!" sapa sosok tersebut seraya menutup kembali "Eh? Gin?" Yura terperangah beberapa saat ketika mendapati suaminya pulang lebih awal. Ini baru jam makan siang, sementara biasanya lelaki itu tiba di rumah pukul enam atau bahkan lebih. Pria itu sudah mulai ke kantor beberapa hari ini usai satu minggu lamanya bekerja dari rumah. Hanya untuk menjaganya dari jangkauan Sarah. Padahal, sejak insiden itu, Sarah tak muncul lagi. Bahkan jarang berkirim pesan kepada putranya, Gin pernah mengatakan hal itu kepada Yura. Yura reflek berdiri dan menghampiri suaminya yang sedang berdiri di dekat meja kerja sesang meletakkan tas kerjanya. "Ada apa? Ke