Gin menyadari sebuah gelagat tak biasa pada istrinya. Begitu mendengar Negara Kangguru itu, Yura terlihat ragu untuk mengatakan setuju. Sabit di bibirnya terlihat jelas memudar. Pria itu mengingat lagi percakapan mereka beberapa waktu lalu. Yura juga menolak setiap ia membahas liburan. Hal itu membuat Gin curiga. Padahal, ia sudah menyiapkan segala rencana jika istrinya mau pergi ke sana. “Ada yang salah? Kemarin kau beralasan karena perusahaan sedang tidak baik, kan? Sekarang, semuanya sudah baik, kita mau menunggu apa lagi?” tanya Gin dengan alis yang terangkat samar, “Atau kau mau ke Jepang, Korea? Atau negara mana yang ingin kau kunjungi? Katakan saja.”“Ah, tidak. Aku tidak punya keinginan untuk berkunjung ke negara mana pun. Menurutku, sebaiknya, kita quality time di rumah saja. Banyak yang harus dipersiapkan, aku belum membuat passport, visa, dan sebagainya. Aku juga baru saja pulang dari rumah sakit. Lebih baik uangnya ditabung untuk keperluan saat lahiran saja lah. Toh, kit
“Ah, Giiin!”Teriakan panjang itu menggema di penjuru ruangan, berbarengan dengan sebuah pelepasan atas permainan yang baru saja usai. Tak terhitung berapa kali ia meneriakkan nama sang suami disetiap gelinjang yang tercipta pada malam panas ini. Setelahnya, yang terdengar hanyalah deru napas kasar yang bersahutan. Dua tangan wanita masih mencengkeram dua lengan Gin yang sedang masih mengungkung tubuhnya. Tak lama kemudian, pria itu membuat jarak. Gin melepas karet pengaman dan mengikatnya sebelum meleparkan benda itu ke tempat sampah yang tak jauh dari ranjang. Selanjutnya menarik tubuh wanita disampingnya ke dalam dekapan sembari mengatur pernapasan. “Kenapa kau tak pernah berubah, hm? Kau selalu bisa membuatku puas!” bisiknya setelah mendaratkan sebuah kecupan di pipi istrinya, “dan pertanyaanku dari dulu selalu sama, kau menggunakan sesuatu sebelum kita melakukannya?”Yura pun merespon dengan tawa pelan disela napas yang masih tersengal. “Tidak. Aku tidak menggunakan apa-apa.”
Empat bulan berlalu dengan begitu cepat. Kehamilan Yura telah mencapai usia delapan bulan. Kian hari bayinya menunjukkan perkembangan yang signifikan. Perutnya yang berukuran besar terkadang menghambat aktivitasnya. Berat badannya naik drastis meski masih ideal. Sesak napas, pegal linu, dan fisik yang mudah lelah selalu menyerangnya akhir-akhir ini. Tak jarang wanita itu menghentikan kegiatannya sementara waktu untuk mengambil napas panjang. Hanya tinggal hitungan minggu, Yura akan segera bertemu dengan anaknya. Sampai saat ini, ia belum mengetahui jenis kelaminnya sesuai dengan permintaan Gin waktu itu. Satu hal yang pasti, seorang bayi yang ada di dalam tubuhnya semakin aktif setiap harinya. Di beberapa waktu akan menendang kuat sampai Yura mendesis panjang karena tak bisa menahan geli. Perkembangan yang baik juga terjadi kepada hubungan Yura dengan suaminya. Gin memang sibuk akhir-akhir ini, ada banyak proyek yang sedang ia tangani sehingga harus mengorbankan waktu lebih banyak
Mata pria berjas hitam itu mengerjap beberapa kali kala mencermati berbagai rincian keuangan juga total setiap anggaran yang dikeluarkan. Tangan kanannya menorehkan sebuah coretan dengan pulpen bertinta merah untuk hal-hal yang menurutnya belum tepat. Sebelum meninggalkan kantor untuk berkunjung ke anak perusahaannya, Gin harus menyelesaikan setumpuk berkas yang berada di meja kerja. Ada sekitar sepuluh berkas pengajuan yang terdiri dari laporan mingguan, approval pengeluaran dana, pengajuan pengadaan barang inventaris di kantor cabang, hingga beberapa surat undangan ke beberapa acara formal. Menjelang pertengahan tahun ada banyak acara yang harus ia hadiri. Dulu saat belum menikah, ia akan menghadiri setiap undangan bila memungkinkan, akan tetapi saat ini Gin harus memilah dan memilih. Terlebih saat usia kandungan Yura mulai menua, ia harus siap menjadi suami siaga. Saat sedang asik membaca beberapa undangan, pintu ruangan diketuk, membuyarkan konsentrasi. Pemegang jabatan tertin
Sarah tidak main-main dengan perkataannya. Ia dengan sabar menunggu setiap detik yang berlali di sebuah halaman yang cukup strategis. Sarah menjamin, Pria yang menjadi sopir pribadinya tak bisa membantah keinginan tersebut. Ingin melapor pun tak bisa karena ia tahu betul kondisi keuangan keluarganya yang sedang menanggung biaya pendidikan dua anaknya di perguruan tinggi. Begitu mobil yang digunakan Gin meninggalkan halaman perusahaan, ia langsung memerintahkan sang sopir untuk segera mengikutinya. Putranya itu tidak berbohong jika akan pergi ke Prastaga. Nyatanya, setelah belasan menit menyetir mobilnya memasuki halaman kantor dari anak perusahaan Satwika Group. Satu jam setelahnya Gin pergi ke sebuah bangunan rumah sakit yang belum sepenuhnya jadi, juga sebuah proyek seperti villa yang belum banyak digarap. Jujur saja, ia lelah, sang sopir pun berulang kali bertanya apakah masih sanggup dan meneruskan keinginannya atau tidak, tetapi Sarah tetap ingin melanjutkannya. Ia harus tahu
“Dari mana saja kamu?” Saat melintasi ruang tengah, Sarah dikejutkan dengan suara bariton yang familiar di telinganya. Terdengar berat dan mengintimidasi hingga mampu memaksa kedua kaki wanita itu terhenti. Tanpa menoleh pun, Sarah sudah tahu jika itu adalah Adhiwira Satwika, pria yang telah berpuluh-puluh tahun menjadi suaminya, tetapi memilih berkhianat dan menikah dengan wanita lain. Melalui ekor matanya, Sarah menangkap sosok Wira tengah duduk di sofa berbahan beludru sembari melipat tangan di depan dada. “Aku tidak mengulang pertanyaan, Sarah!” Wira kembali bicara karena Sarah tak kunjung menjawab. Kali ini dengan penekanan yang lebih keras di setiap kalimatnya. “Kemana aku pergi, itu bukan urusanmu,” jawab Sarah dengan nada dingin. Wanita itu masih bertahan pada posisinya. “Urusanku karena kau pergi sejak siang dan baru kembali malam hari!” Sarah spontan menoleh, kepalanya miring sedikit dan dua alisnya bertaut samar saat suaminya menaikkan nada bicara. “Apa aku tidak sa
Jika Sarah sedang tenggelam dalam emosi negatifnya, kondisi yang berbeda terjadi kepada Martha. Wanita itu sedang beriang hati, tak sabar menyambut kedatangan menantu dan putranya. Sejak siang hari ia sudah menyibukkan diri, mengacak dapurnya untuk memasak dan menyiapkan jamuan yang terbaik.Makan malam itu diselenggarakan bukan dalam rangka peringatan pernikahannya dengan Wira, atau pun hal spesial yang berkaitan dengan mereka. Hanya makan malam biasa untuk merayakan syukur atas delapan bulan kehamilan menantunya saja. Ia tak sabar bertemu dengan cucunya nanti. Meja makan yang biasanya hanya berisi satu sampai tiga menu saja, kini dipenuhi dengan piring-piring saji yang berjajar rapi. Mulai dari olahan daging sapi hingga ayam pun ada di sana. Lalu, salad sayur spesial juga telah ia siapkan khusus untuk menatunya yang sebentar lagi akan melahirkan.Saat sedang fokus menata meja makan, Martha dikejutkan dengan suara derap langkah kaki dan obrolan samar yang tak begitu jelas. Saat mend
Sekitar pukul enam pagi, Sarah telah tiba di halaman rumah yang sejak semalam mengusik pikirannya. Wanita itu berdiri di atas hamparan batu andesit seraya mengamati setiap detail bangunan yang dominan berwarna hitam tersebut. Ia masih bertanya-tanya tentang siapa pemiliknya. Tentu bukan orang biasa yang mampu membangun rumah megah nan futuristik ini. Ah, tak penting, Sarah hanya ingin tahu siapa wanita yang ia lihat kemarin. Ia harus memastikan ada hubungan apa dengan putranya?Saat tiba di depan sebuah garasi yang terbuka, Sarah melihat sebuah mobil hitam yang terparkir rapi di hadapannya. Tampak bersih seperti habis dibersihkan. Itu mobil yang sering digunakan oleh Gin. Oleh sebab itu, Sarah bisa menyimpulkan bahwa putranya di semalam singgah tempat ini. “Apakah ini alasan Gin tak pernah ada di apartemennya? Dia sudah tinggal bersama dengan wanita yang kemarin kulihat?” Sarah bertanya dalam hati.Perlahan wanita berambut uban itu masuk ke dalam garasi. Ada pintu yang terbuka dan t
Tenggorokan Yura terasa kering. Sebenarnya, tidak masalah jika Rama berkenalan dengan putrinya. Tetapi, bukan itu yang menjadi kekhawatirannya. Semua itu tergantung dengan tanggapan Gin. Bagaimana pun juga, pria itu yang bisa menentukan keputusannya."Berikan saja, Sayang. Biarkan Pak Rama mengenal putri kita." Gin menyahut dari arah belakang. Entah kapan pria itu kembali, kini Gin sudah berdiri di sampingnya."Tapi—""Aku tidak keberatan. Tidak ada salahnya," sahut Gin kembali.Yura kemudian mengangguk dan memberikan Raya kepada mantan suaminya. Rama tampak berbinar melihat Raya dalam pangkuannya. Pria itu bahkan tersenyum sendiri.Sebagai mantan istri, Yura paham betul bahwa semenjak pernikahan mereka dulu, Rama selalu mendambakan kehadiran seorang anak. Namun, harapan mereka pupus kala mendapatkan hasil pemeriksaan medis yang menyatakan bahwa Rama tak bisa memiliki keturunan.Yura berharap, kehadiran Raya bisa sedikit mengobati rasa sakit Rama.Cukup lama Rama menimang Raya. Hingga
Sosok itu adalah Rama. Pria yang pernah menjadi suaminya selama kurang lebih lima tahun. Orang yang pernah ia perjuangkan dengan segenap jiwa dan raganya.Yura sudah tidak peduli padanya. Bahkan, dia tidak ingin tahu tentang apa yang dilakukan lelaki itu, hanya tidak menyangka akan bertemu dengan Rama kembali saat ini, di rumah mertuanya sendiri. Dan, Yura melihat perubahan yang sangat besar.Wajah Rama tampak lebih tua dan badannya sedikit kurus. Kumis dan jambangnya terlihat lebih lebat. Penampilannya pun jauh berbeda dengan pertemuan terakhir mereka dahulu. Ia sempat tak percaya bahwa orang yang kini berdiri di hadapannya ini adalah Rama. "Salam kenal, Bu Shinta." Yura menyapa Bu Shinta terlebih dahulu, kemudian mengarahkan padangannya kepada Rama. Ada kecanggungan yang kentara saat Yura bertatap muka dengan Rama, ia tampak ragu saat ingin menyapanya. Demikian halnya dengan Rama yang terlihat menelan ludahnya kasar. Untungnya, interaksi kaku mereka terbaca oleh Bu Shinta. Wanita
Suasana kediaman utama sore hari ini sedikit lebih ramai dari biasanya. Ketika Gin dan Yura sampai di sana, beberapa mobil jasa angkut berada di sana membawa beberapa paket barang. Gin bertanya kepada beberapa satu asisten rumah tangga yang berjaga di sana dan mereka mengatakan bahwa barang yang dibeli oleh sang ayah adalah lukisan yang secara khusus telah dipesan sejak berbulan-bulan lalu."Kenapa Ayah membeli banyak lukisan?" tanya Yura ketika sudah menjauh dari para asisten rumah tangga. "Maksudku, tumben sekali pesan sebanyak ini. Biasanya hanya satu atau dua untuk ganti properti kantor."Ya. Memesan lukisan bukan sesuatu yang tabu di keluarga Satwika. Sebagai menantu, Yura kerap membantu Wira atau pun Gin mencarikan seniman untuk membeli atau membuat lukisan. Namun, untuk kali ini, tampaknya Wira mencari tanpa bantuannya. Bahkan Gin, putranya sendiri, tidak tahu-menahu tentang ini.Gin yang sedang menggendong putrinya juga mengamati keadaan sekitar selama beberapa saat. Kemudian
Beberapa minggu setelah kepergian Sarah.Mendengar suara tangisan bayi yang begitu kencang, Yura mematikan kompornya dan segera berlari ke lantai atas untuk memeriksa. Saat membuka pintu kamar ruang bayi, tubuhnya sejenak terpaku ketika menemukan Gin sedang menimang putrinya.Wanita itu menghela napas panjang. Sejak tadi, ia sibuk di dapur menyiapkan sarapan. Saking sibuknya, sampai lupa dengan Raya. Namun, ketika kembali di sini, ia justru dibuat kagum dengan sikap sang suami. Pria itu bahkan belum berganti baju, masih mengenakan handuk mandi untuk menutupi tubuhnya.“Kenapa wajahmu tampak tegang seperti itu?” tegur Gin dengan suara beratnya."Ah, tidak, aku hampir lupa kalau meninggalkan Raya. Aku pikir kau masih mandi atau siap-siap, tapi ternyata kau sudah di sini."Gin hanya merespon dengan sebuah tawa pelan. "Apa aku tidak boleh menimang putriku sendiri?""Bukan seperti itu, Gin. Aku hanya terkejut saja," tutur Yura usai menggeleng sebagai respon.Gin kembali menarik kedua sudut
Meskipun ada kelegaan dalam hati karena telah menemukan Martha, Wira tetap tak bisa menyembunyikan dukanya. Kepergian Sarah meninggalkan luka mendalam dan penyesalan dalam dirinya. Semua juga tahu, tak ada yang bahagia saat ditinggalkan selamanya. Sejak tadi, pria itu memilih menyendiri di balkon kamar, merenungkan masa lalunya dan memikirkan masa depannya bersama Martha. Bahkan saat doa bersama di gelar di rumah untuk mengenang Sarah, Wira tak ingin bergabung dengan mereka. Ia lebih memilih untuk menikmati kesunyian dan keheningan di balkon kamarnya."Sudah hampir larut, Mas. Mau sampai kapan melamun di situ?"Suara Martha memecah keheningan di balkon. Malam ini, Wira langsung membawa Martha ke kediaman utama malam itu juga. Ia tidak ingin kehilangan jejak Martha lagi, wanita yang telah membawa secercah cahaya di tengah kesedihannya.Ketika tangan Martha menyentuh pundaknya, Wira menoleh. Ia menurunkan kaki dan mematikan puntung rokoknya. "Sudah selesai?" tanyanya, bermaksud menany
Setelah tiga puluh menit berkendara, mobil berwarna hitam milik Wira terparkir rapi di halaman sebuah rumah beraksen kayu. Rumah modern yang sebenarnya biasa saja dan jauh dari kota, tetapi begitu berarti untuk Martha, wanita yang kini menjadi istri satu-satunya. Rumah ini satu-satunya harapan Wira. Walau tak bisa memastikan apakah wanita itu benar-benar ke rumah ini atau tidak, pria tua berkemeja hitam itu hanya mengikuti kata hati. Gantungan kunci yang terlepas, menjadi satu-satunya petunjuk yang ingin ia buktikan.Dan semoga saja, Martha bisa ia temukan di sini.Ting Tong! Ting Tong! Wira menekan bel dan menanti beberapa saat. Hingga akhirnya terdengar suara pintu terbuka, Wira menoleh dengan cepat. Sayangnya, yang ia temukan bukan Martha, tetapi seorang pembantu di rumah itu.“Bapak?” sapa wanita itu kepada Wira. Rupanya, meski pertemuan mereka dulu hanya beberapa kali, tetapi wanita itu masih ingat bahwa Wira adalah suami majikannya.“Ibu pulang ke sini?” tanya Wira tanpa basa-
“Dimana Martha?”Wira menatap lurus dua orang binatu perempuan yang baru saja membukakan pintu. Mereka tampak gagap dengan kemunculan sosok Wira yang tidak terduga. Mungkin, mereka mengira Wira tak akan datang ke tempat ini karena sedang berduka. Dan, saat lelaki itu melempar pertanyaan, mereka semua hanya saling melempar tatap, seolah bingung dengan jawaban apa yang harus diberikan kepada sang majikan. “Saya yakin kalian tidak tuli. Dimana Martha?” Sekali lagi Wira bertanya dengan nada lebih tinggi. Tidak peduli dengan dengan mata yang sembab dan wajah kuyu sehabis dari pemakaman, ia mencecar pegawainya. Dua wanita di hadapannya serentak menunduk. Salah seorang memberanikan diri untuk bicara. “Maaf, Bapak, Ibu …. Sedang pergi.”“I—ibu pergi sejak tiga hari yang lalu dan belum pulang, Pak,” timpal pembantu yang satunya. Wira memijat pelipisnya. Kini kecurigaannya terbukti. Hatinya merasa ada yang tidak beres. Sebab sejak semalam wanita itu tak bisa dihubungi dan ketika dijemput,
Turut Berduka Cita atas meninggalnya Ibu Sarah Gharvita.Puluhan papan karangan bunga berlatar hitam berjajar rapi di sepanjang halaman kediaman keluarga Satwika. Saking banyaknya, sampai harus turun ke bahu jalan. Tak lain halnya dengan pusara, ucapan belasungkawa tak henti mengalir di tempat itu. Sarah tidak tertolong. Setelah jatuh, Wira segera membawa Sarah ke rumah sakit, ia pikir masih ada waktu lebih lama lagi untuk Sarah bertahan, akan tetapi Tuhan menghendaki takdir yang lain.Sarah meninggal dunia tepat dalam pelukan Wira. Setelah semalam di semayamkan, hari ini, jenazahnya dikebumikan.“Istirahatlah dengan tenang,” bisik Wira seraya menabur bunga mawar merah di gundukan tanah yang masih basah. Sebasah wajahnya yang dibanjiri air mata.Semua itu terjadi dengan tiba-tiba. Tidak ada yang menduga kepergian Sarah, bahkan ini lebih cepat dari vonis dokter. Wira orang yang paling terpukul. Meski bertahun-tahun hubungannya dengan Sarah tak baik, sempat pisah ranjang bahkan merasa
“Untuk apa kau mengundang Martha datang?” Wira bertanya dengan sedikit nada panik. Takut, bila Sarah memintanya melakukan hal yang tidak-tidak. Mengingat beberapa teror yang pernah dilakukannya, Wira tak bisa berpikir positif lagi tentang Sarah, sekalipun wanita itu telah banyak berubah. Dan, perihal bertemu Martha itu adalah hal yang kedengarannya mustahil.“Bukan untuk apa-apa. Kau bisa bertanya kepada Yura jika kau tidak percaya.” Sarah tersenyum singkat. Nada bicaranya juga pelan. Tidak ada penekanan sama sekali. “Aku hanya ingin mengenal dia lebih dekat saja. Selama ini, kami belum pernah bicara langsung. Sekarang aku mengerti, mengapa kau lebih memilih dia. Kau bisa mendapatkan apa yang tidak bisa aku berikan darinya.” Tidak banyak yang dilakukan oleh Wira. Hanya menghempas napas panjang setelah istrinya bicara. “Apa tujuanmu ke sini hanya untuk membahas itu? Jika iya, ayo kita pulang saja.”Sarah menolak ajakan itu. “Mengapa di hadapanku kau seolah tidak peduli dengan Marth