“Ah, Giiin!”Teriakan panjang itu menggema di penjuru ruangan, berbarengan dengan sebuah pelepasan atas permainan yang baru saja usai. Tak terhitung berapa kali ia meneriakkan nama sang suami disetiap gelinjang yang tercipta pada malam panas ini. Setelahnya, yang terdengar hanyalah deru napas kasar yang bersahutan. Dua tangan wanita masih mencengkeram dua lengan Gin yang sedang masih mengungkung tubuhnya. Tak lama kemudian, pria itu membuat jarak. Gin melepas karet pengaman dan mengikatnya sebelum meleparkan benda itu ke tempat sampah yang tak jauh dari ranjang. Selanjutnya menarik tubuh wanita disampingnya ke dalam dekapan sembari mengatur pernapasan. “Kenapa kau tak pernah berubah, hm? Kau selalu bisa membuatku puas!” bisiknya setelah mendaratkan sebuah kecupan di pipi istrinya, “dan pertanyaanku dari dulu selalu sama, kau menggunakan sesuatu sebelum kita melakukannya?”Yura pun merespon dengan tawa pelan disela napas yang masih tersengal. “Tidak. Aku tidak menggunakan apa-apa.”
Empat bulan berlalu dengan begitu cepat. Kehamilan Yura telah mencapai usia delapan bulan. Kian hari bayinya menunjukkan perkembangan yang signifikan. Perutnya yang berukuran besar terkadang menghambat aktivitasnya. Berat badannya naik drastis meski masih ideal. Sesak napas, pegal linu, dan fisik yang mudah lelah selalu menyerangnya akhir-akhir ini. Tak jarang wanita itu menghentikan kegiatannya sementara waktu untuk mengambil napas panjang. Hanya tinggal hitungan minggu, Yura akan segera bertemu dengan anaknya. Sampai saat ini, ia belum mengetahui jenis kelaminnya sesuai dengan permintaan Gin waktu itu. Satu hal yang pasti, seorang bayi yang ada di dalam tubuhnya semakin aktif setiap harinya. Di beberapa waktu akan menendang kuat sampai Yura mendesis panjang karena tak bisa menahan geli. Perkembangan yang baik juga terjadi kepada hubungan Yura dengan suaminya. Gin memang sibuk akhir-akhir ini, ada banyak proyek yang sedang ia tangani sehingga harus mengorbankan waktu lebih banyak
Mata pria berjas hitam itu mengerjap beberapa kali kala mencermati berbagai rincian keuangan juga total setiap anggaran yang dikeluarkan. Tangan kanannya menorehkan sebuah coretan dengan pulpen bertinta merah untuk hal-hal yang menurutnya belum tepat. Sebelum meninggalkan kantor untuk berkunjung ke anak perusahaannya, Gin harus menyelesaikan setumpuk berkas yang berada di meja kerja. Ada sekitar sepuluh berkas pengajuan yang terdiri dari laporan mingguan, approval pengeluaran dana, pengajuan pengadaan barang inventaris di kantor cabang, hingga beberapa surat undangan ke beberapa acara formal. Menjelang pertengahan tahun ada banyak acara yang harus ia hadiri. Dulu saat belum menikah, ia akan menghadiri setiap undangan bila memungkinkan, akan tetapi saat ini Gin harus memilah dan memilih. Terlebih saat usia kandungan Yura mulai menua, ia harus siap menjadi suami siaga. Saat sedang asik membaca beberapa undangan, pintu ruangan diketuk, membuyarkan konsentrasi. Pemegang jabatan tertin
Sarah tidak main-main dengan perkataannya. Ia dengan sabar menunggu setiap detik yang berlali di sebuah halaman yang cukup strategis. Sarah menjamin, Pria yang menjadi sopir pribadinya tak bisa membantah keinginan tersebut. Ingin melapor pun tak bisa karena ia tahu betul kondisi keuangan keluarganya yang sedang menanggung biaya pendidikan dua anaknya di perguruan tinggi. Begitu mobil yang digunakan Gin meninggalkan halaman perusahaan, ia langsung memerintahkan sang sopir untuk segera mengikutinya. Putranya itu tidak berbohong jika akan pergi ke Prastaga. Nyatanya, setelah belasan menit menyetir mobilnya memasuki halaman kantor dari anak perusahaan Satwika Group. Satu jam setelahnya Gin pergi ke sebuah bangunan rumah sakit yang belum sepenuhnya jadi, juga sebuah proyek seperti villa yang belum banyak digarap. Jujur saja, ia lelah, sang sopir pun berulang kali bertanya apakah masih sanggup dan meneruskan keinginannya atau tidak, tetapi Sarah tetap ingin melanjutkannya. Ia harus tahu
“Dari mana saja kamu?” Saat melintasi ruang tengah, Sarah dikejutkan dengan suara bariton yang familiar di telinganya. Terdengar berat dan mengintimidasi hingga mampu memaksa kedua kaki wanita itu terhenti. Tanpa menoleh pun, Sarah sudah tahu jika itu adalah Adhiwira Satwika, pria yang telah berpuluh-puluh tahun menjadi suaminya, tetapi memilih berkhianat dan menikah dengan wanita lain. Melalui ekor matanya, Sarah menangkap sosok Wira tengah duduk di sofa berbahan beludru sembari melipat tangan di depan dada. “Aku tidak mengulang pertanyaan, Sarah!” Wira kembali bicara karena Sarah tak kunjung menjawab. Kali ini dengan penekanan yang lebih keras di setiap kalimatnya. “Kemana aku pergi, itu bukan urusanmu,” jawab Sarah dengan nada dingin. Wanita itu masih bertahan pada posisinya. “Urusanku karena kau pergi sejak siang dan baru kembali malam hari!” Sarah spontan menoleh, kepalanya miring sedikit dan dua alisnya bertaut samar saat suaminya menaikkan nada bicara. “Apa aku tidak sa
Jika Sarah sedang tenggelam dalam emosi negatifnya, kondisi yang berbeda terjadi kepada Martha. Wanita itu sedang beriang hati, tak sabar menyambut kedatangan menantu dan putranya. Sejak siang hari ia sudah menyibukkan diri, mengacak dapurnya untuk memasak dan menyiapkan jamuan yang terbaik.Makan malam itu diselenggarakan bukan dalam rangka peringatan pernikahannya dengan Wira, atau pun hal spesial yang berkaitan dengan mereka. Hanya makan malam biasa untuk merayakan syukur atas delapan bulan kehamilan menantunya saja. Ia tak sabar bertemu dengan cucunya nanti. Meja makan yang biasanya hanya berisi satu sampai tiga menu saja, kini dipenuhi dengan piring-piring saji yang berjajar rapi. Mulai dari olahan daging sapi hingga ayam pun ada di sana. Lalu, salad sayur spesial juga telah ia siapkan khusus untuk menatunya yang sebentar lagi akan melahirkan.Saat sedang fokus menata meja makan, Martha dikejutkan dengan suara derap langkah kaki dan obrolan samar yang tak begitu jelas. Saat mend
Sekitar pukul enam pagi, Sarah telah tiba di halaman rumah yang sejak semalam mengusik pikirannya. Wanita itu berdiri di atas hamparan batu andesit seraya mengamati setiap detail bangunan yang dominan berwarna hitam tersebut. Ia masih bertanya-tanya tentang siapa pemiliknya. Tentu bukan orang biasa yang mampu membangun rumah megah nan futuristik ini. Ah, tak penting, Sarah hanya ingin tahu siapa wanita yang ia lihat kemarin. Ia harus memastikan ada hubungan apa dengan putranya?Saat tiba di depan sebuah garasi yang terbuka, Sarah melihat sebuah mobil hitam yang terparkir rapi di hadapannya. Tampak bersih seperti habis dibersihkan. Itu mobil yang sering digunakan oleh Gin. Oleh sebab itu, Sarah bisa menyimpulkan bahwa putranya di semalam singgah tempat ini. “Apakah ini alasan Gin tak pernah ada di apartemennya? Dia sudah tinggal bersama dengan wanita yang kemarin kulihat?” Sarah bertanya dalam hati.Perlahan wanita berambut uban itu masuk ke dalam garasi. Ada pintu yang terbuka dan t
Arum dan seorang perawat segera menuruni mobilnya dan berlari secepat mungkin menuju ke dalam rumah mewah yang ditunjukkan padanya. Ia harus mencari keberadaan Arya dan Sarah, pasiennya. Wanita itu baru saja tiba di rumah sakit dimana ia harus praktek pagi ini, akan tetapi tiba-tiba ia mendapat sebuah panggilan dari seorang wanita bernama Yura, istri Arya Girindra Satwika. Sembari menangis dan suara gemetaran, Yura mengatakan bahwa di rumah mereka sedang terjadi insiden dimana Sarah mengamuk histeris dan menggunakan benda tajam untuk melukai orang disekitarnya. Oleh sebab itu, ia membawa seorang perawat pergi ke rumah mereka. Untungnya tidak terlalu jauh dari rumah sakit.Saat masuk melalui sebuah pintu garasi, ia menembus dapur. Tak ada siapa pun. Hanya ada sebuah kompor menyala dengan panci di atasnya. Arum segera menghampiri dan mematikan kompor tersebut. Panci berisi potongan daging sapi dan wortel itu nyaris hangus karena air yang menyusut cukup banyak. Ia pastikan sudah menyal