Bun Tek Thian tidak habis pikir. Ada orang di dunia ini yang seperti Cio San.
“Jadi selama ini, kau menikmati kugendong-gendong dan kusuapi?” tanyanya.
“’Kan sudah pernah kubilang, jika aku bercerita kepada orang-orang, pasti tak satu pun yang percaya aku digendong-gendong dan disuapi makan oleh salah seorang Tianglo Mo Kauw,” jawab Cio San. “Eh tapi Kakek yang baik, jangan bergerak dan berbicara dulu. Keadaan tubuhmu masih berbahaya. Obat yang kuberikan tadi hanya untuk membantu menahan serangan racun, sama sekali tidak menyembuhkan.”
“Cio San, bukankah kau juga minum arak dan makan makanan yang sama, kenapa kau tidak keracunan?” tanya sang Kauwcu.
“Saya juga tidak mengerti, Kauwcu. Racun itu memang membuat saya lambat bergerak, sehingga ada saudara-saudara Ma Kauw yang tidak sempat tertolong. Saya harus mencoba mengerahkan tenaga dalam say
“Dia tabib ahli pengobatan yang dimiliki Ma Kauw. Semua obat dan racun, dia yang buat.”“Apakah dia juga ahli silat?” tanya Cio San lagi.“Dia sama sekali tidak bisa silat,” tukas Ang Soat-kauwcu.“Berarti dia sudah mati, Kauwcu,” kata Cio San sambil menggeleng-geleng kepala.“Bagaimana kau tahu?”“Jika ada orang yang bisa menciptakan racun yang tanpa bau, tanpa rasa, dan bisa berakibat sehebat tadi, maka orang ini adalah orang yang sangat berbahaya. Begitu dia berhasil membuat racun itu, orang lain pasti berharap dia akan menyimpan rahasia itu rapat-rapat, sehingga tak ada orang lain lagi yang tahu. Dan hanya orang matilah, yang bisa menyembunyikan rahasianya rapat-rapat. Tadi pun Po Che King menyebut nama Keh-losiansing. Berarti dia tahu, dia tak perlu takut Keh-losiansing akan membuka rahasia, karena Keh-losians
Rombongan yang berjumlah 50 orang lebih itu lalu menaiki kapal. Dalam hati, Cio San kagum juga melihat pengaturan partai yang rapi seperti ini. Mereka selalu bersiap menghadapi segala macam persoalan. Ini sudah pasti karena kecerdasan dan kehati-hatian sang Kauwcu.Kapal yang mereka naiki lumayan besar. Lebih dari cukup untuk menampung 50 orang. Pintarnya, mereka menyamarkan kapal ini seperti kapal nelayan biasa. Orang biasa akan mengira kapal ini sebuah kapal nelayan besar yang biasa berlayar di sungai Tiang Kang (Sungai Kuning).Para ‘nelayan’ yang ada di kapal ini pun ada. Mereka terlihat bekerja seperti biasa. Kotor dan bau. Seperti kapal nelayan umumnya. Namun di bagian dalam kapal ini, rapi, wangi, dan mewah sekali. Bau amis dari bagian atas kapal sama sekali tidak tercium di dalam.Di bagian dalam inilah, para anggota Ma Kauw yang terluka beristirahat. Sang Kauwcu menempati kamarnya sendiri. Beberapa p
Cio San menerimanya dengan senang hati. Karena cara terbaik membalas pemberian yang tulus, adalah menerimanya dengan tulus juga. Selimutnya dipakai, apelnya dimakan, dan bantalnya digunakan.Ia tidak merasa jijik, karena ia merasa dirinya tidak lebih tinggi dari siapapun. Ia menyukai kebersihan dan kesehatan. Tapi ia lebih menyukai ketulusan. Karena orang yang tulus akan tetap tulus. Banyak orang yang tampak kotor dan bau, namun ternyata hatinya bersih. Sebaliknya, orang yang tampaknya bersih, kadang menyimpan kekotorannya tersendiri. Siapapun tahu, bahwa wanita tercantik atau pria yang paling tampan pun, ternyata kotorannya bau. Tapi yang menyedihkan adalah, orang-orang yang menyimpan kebusukan di hatinya.Karena itulah, Cio San tidak merasa jijik. Baginya selimut yang dipakai orang najis namun diberikan secara tulus, jauh lebih bersih daripada selimut wangi yang diberikan wanita cantik yang licik.Orang seperti Cio San
Sebuah pertanyaan yang tidak perlu dijawab, tapi Cio San mengangguk sambil tersenyum.“Aku punya arak. Maukah kau minum bersamaku?” Wanita Ma Kauw adalah wanita yang rata-rata berpikiran bebas. Adab sopan santun pun kadang tidak mereka pedulikan.Cio San paham ini. Karena itu ia tidak kaget dan tidak menolak.Jika seorang wanita mengajak laki-laki mabuk, itu karena ia butuh teman bicara.“Engkau pasti merindukan kekasihmu? Siapa namanya?” tanya si wanita.“Namanya Mey Lan,” jawab Cio San.Mereka duduk saling berdampingan. Bersandar di pagar kapal.“Lalu, siapa nama kekasih yang kau pikirkan itu?” tanya Cio San balik, sambil menuangkan arak.“Kau ingin tahu namanya? Kau tidak ingin tahu namaku?” tanya si wanita.“Aku sudah tahu namam
“Nama kekasih hati yang kau rindukan itu.” Cio San tersenyum. Untuk pertanyaan seperti ini, ia harus hati-hati. Karena perempuan jika ditanyakan pertanyaan seperti ini, biasanya cuma ada dua reaksi. Yang pertama adalah senyum berbunga-bunga. Atau marah tak karuan. Untunglah Tio Sim Lin tersenyum,“Kau pasti mengenalnya.” Matanya berbinar-binar dan senyumnya semakin manis.Cio San menatapnya baik-baik. Ia sudah sangat sering melihat wajah seperti ini.“Jangan bilang kau sedang jatuh cinta dengan Bu Tong-enghiong Beng Liong?” kata Cio San.Tio Sim Lin kaget, “Bagaimana kau bisa menebak dengan tepat?”Cio San sudah sering melihat raut muka wanita seperti itu jika mereka membicarakan Beng Liong. Cinta, kagum, namun juga sedih. Kenapa sedih? Karena wanita-wanita itu tahu Beng Liong terlalu tinggi bagi mereka.Bila me
“Kau benar. Tidak ada guna aku menangisi hal yang belum jelas benar.”“Nah. Lebih baik kita masuk ke dalam. Bertemu sahabat-sahabat. Bila kau memiliki sahabat-sahabat terbaik yang mencintaimu apa adanya, dan selalu ada saat kau butuhkan, untuk apa lagi berpikir tentang orang-orang yang mengkhianati cintamu? Orang-orang yang menyakiti hatimu? Dan orang-orang yang tidak peduli denganmu?”Saat mereka masuk kembali ke dalam geladak, kapal mereka berpapasan dengan sebuah perahu kecil. Awalnya, Cio San tidak mempedulikan. Tapi timbul sesuatu di hatinya yang membuat ia kembali keluar. Perahu kecil itu dinahkodai seorang tukang perahu. Tapi penumpangnya, amat sangat menarik hatinya. Penumpangnya adalah si Dewa Pedang Berambut Merah!“Apa yang dia lakukan malam-malam begini? Kemana tujuannya?”Sang Dewa Pedang hanya duduk termenung memandang air. Tidak ada apa-apa di wajahn
“Bagaimana kau bisa tahu? Bukankah lukanya adalah luka yang khas?” tanya sang Kauwcu.“Saudara-saudara yang berada di sini, apakah ada yang pernah melihat jurus pedang Ang Hoat Kiam Sian (Dewa Pedang Berambut Merah)?” tanya Cio San.Mereka kebanyakan menggeleng, tapi ada satu orang yang menjawab, “Saya pernah.”Orang ini salah satu pemuka Ma Kauw. Namanya Lok Sim.“Aku pernah melihat pertempurannya. Sayangnya, melihat pertempurannya sama saja dengan tidak melihat pertempurannya. Ia bergerak sangat cepat!”Kata Cio San, “Saya sendiri belum pernah melihatnya secara langsung, tapi dari luka musuh-musuhnya, saya bisa melihat bahwa inti jurus pedangnya adalah gerakan ayunan lengan dari bawah ke atas. Apakah begitu, Saudara Lok Sim?”“Hmmmm, aku tidak memperhatikan secara jelas. Tapi saat Saudara Cio San bilang begitu, aku mulai sedikit ingat. Memang kebanyakan gerakan jurusnya adalah dari bawah ke atas. Bagaimana Saudara bisa tahu, padahal belum pernah melihat?”“Aku hanya menduga saja, ta
“Lihatlah saat mereka mati, mereka tidak menghunus senjata. Semua mayat yang kulihat di depan Rumah Teng Teng seluruhnya menghunus senjata.”“Bisa saja itu karena Dewa Pedang terlalu cepat sehingga ketiga orang ini tidak menghunus senjata.”“Tidak mungkin!” kata sang Kauwcu. “Ketiga orang ini jauh lebih tinggi ilmunya daripada mayat-mayat di depan Rumah Teng-Teng. Setidaknya mereka pasti bisa melakukan perlawanan.”“Benar, Kauwcu. Luk Hoan Tit, adalah Ketua Perkumpulan Golok Emas. Ilmu goloknya sudah menggetarkan kolong langit. Tidak mungkin ia bisa mati tanpa sempat menghunus goloknya sekalipun. Goloknya masih tersarung rapi di pundaknya. Soe Sam Hong, Ketua Perkumpulan Naga Lautan. Terkenal dengan kait saktinya. Kait itu masih tersarung rapi di kedua pinggang. Ban Lang Ma, murid terbaik Siau Lim-pay. Walaupun terkenal dengan ilmu tangan kosongnya, setidaknya tidak mungkin mati hanya karena satu jurus.”“Betul! Pandanganmu tajam, Cucuku.” Pada saat begini, Bun Tek Thian masih bercand