Share

Bab 100

Penulis: Norman Tjio
last update Terakhir Diperbarui: 2022-12-24 09:12:24

“Bagaimana kau bisa tahu? Bukankah lukanya adalah luka yang khas?” tanya sang Kauwcu.

“Saudara-saudara yang berada di sini, apakah ada yang pernah melihat jurus pedang Ang Hoat Kiam Sian (Dewa Pedang Berambut Merah)?” tanya Cio San.

Mereka kebanyakan menggeleng, tapi ada satu orang yang menjawab, “Saya pernah.”

Orang ini salah satu pemuka Ma Kauw. Namanya Lok Sim.

“Aku pernah melihat pertempurannya. Sayangnya, melihat pertempurannya sama saja dengan tidak melihat pertempurannya. Ia bergerak sangat cepat!”

Kata Cio San, “Saya sendiri belum pernah melihatnya secara langsung, tapi dari luka musuh-musuhnya, saya bisa melihat bahwa inti jurus pedangnya adalah gerakan ayunan lengan dari bawah ke atas. Apakah begitu, Saudara Lok Sim?”

“Hmmmm, aku tidak memperhatikan secara jelas. Tapi saat Saudara Cio San bilang begitu, aku mulai sedikit ingat. Memang kebanyakan gerakan jurusnya adalah dari bawah ke atas. Bagaimana Saudara bisa tahu, padahal belum pernah melihat?”

“Aku hanya menduga saja, ta
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 101

    “Lihatlah saat mereka mati, mereka tidak menghunus senjata. Semua mayat yang kulihat di depan Rumah Teng Teng seluruhnya menghunus senjata.”“Bisa saja itu karena Dewa Pedang terlalu cepat sehingga ketiga orang ini tidak menghunus senjata.”“Tidak mungkin!” kata sang Kauwcu. “Ketiga orang ini jauh lebih tinggi ilmunya daripada mayat-mayat di depan Rumah Teng-Teng. Setidaknya mereka pasti bisa melakukan perlawanan.”“Benar, Kauwcu. Luk Hoan Tit, adalah Ketua Perkumpulan Golok Emas. Ilmu goloknya sudah menggetarkan kolong langit. Tidak mungkin ia bisa mati tanpa sempat menghunus goloknya sekalipun. Goloknya masih tersarung rapi di pundaknya. Soe Sam Hong, Ketua Perkumpulan Naga Lautan. Terkenal dengan kait saktinya. Kait itu masih tersarung rapi di kedua pinggang. Ban Lang Ma, murid terbaik Siau Lim-pay. Walaupun terkenal dengan ilmu tangan kosongnya, setidaknya tidak mungkin mati hanya karena satu jurus.”“Betul! Pandanganmu tajam, Cucuku.” Pada saat begini, Bun Tek Thian masih bercand

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-24
  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 102

    “Orang yang berpikiran luas, memang tidak boleh menyempitkannya dengan prasangka-prasangka. Aku sungguh kagum.” Sekali lagi sang Kauwcu menjura kepada Cio San. Dan diikuti oleh para anggota Ma Kauw yang lain.Cio San pun tersenyum ramah dan membalas hormat mereka. Diam-diam dalam hati, ia memutuskan untuk begitu saja memperlihatkan dan menceritakan pemikiran-pemikirannya. Ia bukan orang yang senang disanjung. Sejak dulu ia memang tidak pernah disanjung. Orang yang tidak pernah disanjung, seharusnya senang ketika ia disanjung. Tapi Cio San tidak. Memang, ada sementara orang yang merasa diri mereka tidak pantas disanjung-sanjung. Cio San adalah salah satunya.“Ayo kita semua masuk kembali ke dalam. Bun Tek Thian, coba tolong kau urus ketiga mayat itu,” perintah sang Kauwcu.“Siap, Ketua!” semua menjawab serentak.Kapal bergerak dengan lambat. Hari sudah mencapai tengah malam. Nahkoda memutuskan untuk mampir ke dermaga terdekat untuk beberapa keperluan. Cio San lega juga, karena dia tida

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-24
  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 103

    “Aku juga tidak, San-te. Maka kau ikutlah denganku. Luruskan semua ini di hadapan Ciangbunjin. Biar semua fitnahmu terhapuskan.”Dalam hatinya, Cio San ingin sekali pergi bersama Beng Liong. Tapi mana mungkin ia bisa meninggalkan puluhan anggota Ma Kauw yang keracunan? Bagaimana ia bisa mengacuhkan fitnah yang dialami si Dewa Pedang? Ada banyak sekali kejadian yang membuat Cio San meyakinkan diri untuk melibatkan dirinya. Ini adalah urusan besar. Ia melihat banyak sekali hubungannya dengan kejadian yang menimpa hidupnya sendiri.“Sekali lagi maafkan aku, Liong-ko. Aku tidak bisa.” Ia menjura.“Kalau begitu, harap kau maafkan aku. Aku terpaksa harus memaksamu, San-te. Kau tahu bahwa ini bukan keinginanku. Tapi perintah Ciangbunjin adalah membawamu ke Bu Tong-san.”Mereka saling memandang. Mata bertemu mata. Mau tidak mau, mereka saling mengagumi. Yang satu tampan, gagah, dan berbudi luhur. Yang satu cerdas, bebas, dan menarik.“Kudengar, ilmumu hebat sekali, San-te.”“Masih jauh dari e

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-24
  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 104

    Kedua orang itu masih berdiri mematung. Tak percaya dengan apa yang mereka lihat. Beberapa orang lain sudah naik ke atas kapal. Mereka pun tidak percaya atas apa yang mereka lihat. Pemandangan ini terlalu kejam dan terlalu tidak masuk akal.Mereka masih sempat berusaha mencari-cari kehidupan di dalam kapal. Tetapi akhirnya menyerah dan melompat keluar. Kapal telah tenggelam hampir separuh, dan air telah mencapai lutut mereka.Begitu sampai di darat, Beng Liong baru memperhatikan orang-orang yang tadi masuk dan ikut menolong di dalam kapal.Sih Hek Tiauw, sang Rajawali Hitam. Beberapa orang lain adalah anak buahnya.Can Siauw Liong, cengcu (kepala perkampungan) Liong Thian, beserta beberapa orang anak buahnya.Mereka semua memandang hancurnya kapal yang tenggelam dengan sangat cepat itu. Tapi posisi mereka semua mengelilingi Cio San dan Beng Liong. Bisa terbang pun, mereka tidak akan mungkin lolos.Orang-orang pun sudah sangat ramai melihat kejadian ini.“Beng Liong-ciokhee (Tuan Beng

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-24
  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 105

    “Maaf pinceng (aku) turut campur. Tapi mengapa Tuan-tuan berkelahi sesama sendiri?” Perkataannya halus dan sopan. Mau tidak mau, yang menjawab pun harus lebih sopan.Siapa lagi yang bahasanya paling sopan dan tutur-katanya paling halus di antara mereka yang bertempur itu, selain Beng Liong? Maka dialah yang kini menceritakan semuanya.Setelah mendengarkan, Hong Sam-hwesio berkata,“Saudara-saudara, mengenai Beng Liong dan adiknya ini, pinceng bisa bersaksi bagi mereka.”Semua orang mendengarkan.“Beberapa saat yang lalu, Beng Liong dan pinceng sedang bercengkerama. Kami tidak sengaja bertemu di penginapan. Beng Liong dan pinceng membahas banyak kejadian yang terjadi di dunia Kang Ouw. Sepanjang sore sampai malam kami terus mengobrol. Lalu tahu-tahu ada orang lewat di depan penginapan kami. Beng Liong bilang bahwa mungkin saja itu adik seperguruannya yang sudah lama tidak bertemu. Ia lalu menyusul adiknya itu. Lalu saat mereka berdua sedang bercakap-cakap, terdengar teriakan kebakaran

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-24
  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 106

    Mereka berlari cepat.Dalam perjalanannya, Hong Sam-hwesio bercerita bahwa ketika akan berlari ke arah dermaga, ia dihadang oleh kelompok bertopeng. Ada sekitar sepuluh orang yang mengeroyoknya. Semua dengan ilmu aneh yang tidak pernah ia lihat sebelumnya.“Lalu, di mana mereka sekarang, Siansing?” tanya Beng Liong.“Mereka semua pinceng totok dan pinceng taruh di kuil Buddha di pinggir kota,” jawab sang Hwesio (Bhiksu).Tak berapa lama mereka sampai di kuil yang dimaksud. Masuk ke ruang belakang, kamar Hong Sam-hwesio ‘menyandra’ pasukan bertopeng itu. Ternyata begitu kamar terbuka, terlihat tidak ada seorang pun di dalamnya!Hong Sam-hwesio tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Beng Liong terlihat tidak bisa menahan amarah.Cio San semakin kagum dengan pergerakan kelompok bertopeng ini. Pastilah seusai Hong Sam-hwesio menotok dan meninggalkan mereka di kuil ini, ada orang yang datang melepaskan. Cara kerja kelompok bertopeng yang penuh rahasia ini, sungguh membuat hatinya penas

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-24
  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 107

    “Salah satunya. Sebenarnya kami telah mengirimkan murid terbaik kami. Tapi ia tidak melapor sejak sebulan yang lalu. Padahal tidak pernah ia berbuat demikian. Kalau bukan telah terjadi sesuatu, tidak mungkin ia tidak melapor.”Cio San terdiam lagi. Ia masih belum bisa memutuskan untuk bercerita. Setelah berpikir lama, akhirnya ia memilih untuk bercerita.Mendengar peracunan di markas Ma Kauw, 3 mayat di sungai, fitnah atas Ang Hoat Kiam Sian, pembunuhan seluruh anggota beserta Ketua Ma Kauw, serta fitnah atas Beng Liong, membuat kedua orang yang mendengar ini terpaku.“Demi Tuhan, kalau tidak mendengar sendiri, aku merasa seperti membaca cerita dongeng,” kata Beng Liong.Musuh membunuh untuk menyingkirkan saingan. Memfitnah untuk menyingkirkan mereka yang dianggap mengganggu pergerakan.Musuh yang bergerak dalam bayangan. Yang selalu mengintai, dan bergerak saat mereka lengah. Musuh yang tidak bisa mereka duga siapa. Musuh yang ilmu silat dan racunnya sangat berbahaya. Siapapun, sesak

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-24
  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 108

    “Rahasia apa yang ingin Ciokhee sampaikan kepada cayhe?” tanya Cio San.“Kau tahu aku ingin menyampaikan sebuah rahasia?” tanyanya terbelalak. Sampai lupa menggunakan bahasa yang sopan. Orang seperti dia memang mana bisa sopan lama-lama?“Urusan dengan Ciokhee bukankah cuma dua? Mengambil dan mengembalikan barang. Cayhe tidak punya barang yang bisa Ciokhee ambil sekarang. Berarti tinggal urusan mengembalikan barang. Sejauh ini, cayhe hanya punya sebuah buntalan kotor yang tertinggal di atas kapal. Buntalan itu bukan sesuatu yang berharga. Dan cayhe pun bukan orang ternama yang bisa dianggap pantas untuk jadi korban Ciokhee. Jadi kalau bukan urusan rahasia yang amat penting mengenai kejadian semalam, memangnya Ciokhee hendak mengajak cayhe minum arak?” jelas Cio San. Senyumnya itu pun tak pernah hilang meskipun hatinya sedang bersedih.“Bukan main! Kau memang mengagumkan, Cio San. Orang seperti kau, jika tidak kujadikan musuh besar, maka hidupku sungguh membosankan! Maukah kau jadi mus

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-24

Bab terbaru

  • Kisah Para Penggetar Langit   Penutup Kisah - TAMAT

    PENUTUPCio San telah selesai menjura 3 kali di hadapan makam kedua orangtuanya. Ia lalu membersihkan makam itu. Sekuat mungkin ia menahan air matanya. Tak terasa, segala kejadian yang berlalu di dalam hidupnya ini terkenang kembali. Segala penderitaan, ketakutan, kesepian, dan kepedihan hatinya seakan tertumpahkan di hadapan makam kedua orangtuanya ini. Sejak sekian lama, baru kali ini ia berkunjung kesini.Sore telah datang. Warna lembayung langit mulai menghiasi angkasa.Ketika ia selesai membersihkan makam dan membalikkan tubuhnya, betapa kagetnya ia ketika di hadapannya sudah bediri seorang kakek dan seorang nenek. Sang kakek walaupun sudah tua sekali, namun ketampanannya masih terlihat sangat jelas. Tubuhnya pun masih tegap. Begitu pula dengan sang nenek, terlihat masih sangat cantik.Cio San tidak mengenal mereka. Tapi ia tahu mereka berdua tentu suami-istri. Dan ia paham pula, di dunia ini orang yang bisa menyelinap sedekat ini tanpa suara di belakangnya, kemungkinan belum per

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 253

    Cio San mengangguk membenarkan.“Gila!”“Mengapa Beng Liong ingin menghapus dirinya dari kecurigaan? Bukankah tanpa melakukan itu pun, tak ada orang yang akan curiga kepadanya?” tanya Ang Lin Hua.“Ia orang yang terlalu berhati-hati. Ia ingin semua sesempurna mungkin. Selain itu, dia memang ingin menghancurkan musuh-musuhnya,” jelas Cio San.“Karena ingin sempurna, malah terbongkar seluruhnya,” tukas Kao Ceng Lun.“Lanjutkan, Cio San.”“Nah, setelah aku bisa menemukan kunci rahasia itu, awalnya aku mengira Beng Liong hanyalah anak buah biasa. Mungkin ia terlibat karena terpaksa. Aku berpikir keras apa latar belakang semua ini? Pergerakan mereka terlalu rapi, sangat terencana, dan sukar ditebak. Jika hanya sekedar memperebutkan kitab sakti, aku merasa hal ini terlalu berlebihan. Lalu aku mengambil kesimpulan, mungkin semua ini berhubungan dengan perebutan Bu Lim Bengcu di puncak Thay San.”Ia melanjutkan,“Tapi kemudian aku ragu. Jika hanya memperebutkan Bu Lim Bengcu, mengapa orang-ora

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 252

    Entah sudah berapa lama kejadian itu lewat.Kejadian penuh darah di kotaraja.Tapi juga merupakan kejadian dimana keberanian, kesetiakawanan, dan kekuatan ditunjukkan.Mereka kini sedang duduk dengan tenang di atas menara. Menara tempat di mana Cio San berdiri sepanjang hari menatap pertempuran dahsyat itu. Saat itu, di puncak menara, ia telah mengambil keputusan. Tak ada lagi darah yang tertumpahkan oleh tangannya.Saat semua ini berakhir, ia ingin menghilang sejenak. Entah kemana. Entah berbuat apa. Sejenak menikmati kedamaian dunia.Di menara ini, adalah perjamuan sebelum perpisahan itu.Arak sudah mengalir, berbagai makanan pun sudah terhidang. Ada pula tulusnya persahabatan. Jika kau kebetulan mengalami keadaan seperti ini, kau harus terus bersyukur sepanjang masa.Cio San, Cukat Tong, Suma Sun, Luk Ping Hoo, dan Kao Ceng Lun.“Sebaiknya kau harus menceritakan semua ini dari awal,” kata Cukat Tong.Cio San menatap langit.“Awalnya sendiri aku tidak tahu. Cuma mungkin bisa kucerit

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 251

    Ang Lin Hua pun balas tersenyum.Senyum ini.Cio San baru sadar, betapa indahnya wajah Ang Lin Hua saat tersenyum.Ia juga baru sadar, ternyata ia merindukan senyuman ini.“Nona beristirahatlah.”“Baik, Kauwcu. Kauwcu sendiri mohon segera beristirahat.”“Segera,” jawab Cio San. Ia lalu kembali mengobati para korban.Tak terasa, matahari telah kembali menyapa dunia dengan cahayanya yang perlahan tapi pasti.Cio San akhirnya lega. Semua orang telah ditangani dengan baik. Tabib-tabib istana dan tabib-tabib yang ada di kotaraja semua bekerja keras mengobati para pemberani-pemberani ini.Sekali lagi, orang Han mampu mempertahankan tanah airnya dari penjajah Goan. Kegembiraan ini syahdu, karena diliputi oleh semangat kebangsaan yang tinggi, kebanggaan, dan juga kesedihan atas gugurnya para pahlawan. Semua perasaan ini melebur menjadi satu.Cio San keluar ruangan itu.Walaupun di luar udara masih berbau tak sedap karena bercampur amis mayat dan bakaran, tetap saja terasa lebih segar dibandin

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 250

    Cio San dan kawan-kawannya bergerak keluar tembok istana. Peperangan dahsyat sedang berlangsung. Walaupun berjalan dengan payah, Cio San masih memaksa untuk ikut bertarung. Melihat ia akan bergerak, Cukat Tong segera menahannya.“Kau duduk saja di sini,” kata Cukat Tong.“Benar. Dengan keadaanmu yang sekarang, kau tak akan mampu berbuat apa-apa,” tukas Suma Sun membenarkan.Berpikir sejenak, Cio San lalu berkata, “Baiklah. Tolong bawa aku ke puncak tembok benteng.”Sekali bergerak, mereka bertiga sudah tiba di atas puncaknya yang tinggi itu.Di atas tembok besar yang mengelilingi istana kaisar itu terdapat pasukan pemanah yang sibuk menghalau serangan.“Ah, selamat datang para Tayhiap,” kata seseorang.Cio San tidak mengenal siapa dia, tapi Cukat Tong segera menjawab, “Terima kasih, Goanswe (Jenderal). Hamba ingin menitipkan Cio-tayhiap di sini. Apa boleh?”“Tentu saja, Tayhiap.”Dengan sigap, ia mengeluarkan perintah. Dua orang bawahannya sudah datang memapah Cio San, dan seorang lag

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 249

    Apa yang dituliskan di buku menjadi lebih efektif, karena semua yang tidak diperlukan, tidak perlu dituliskan. Karena itu serangan-serangan Beng Liong terlihat lebih dahsyat dan mengagumkan.Sebaliknya, di dalam pemahaman yang dimiliki Cio San, segala hal menjadi bisa, dan segala hal bisa saja menjadi tidak bisa. Ada proses memilih bisa atau tidak bisa, yang membuat gerakannya menjadi sedikit berkurang kedahsyatannya jika dibanding dengan gerakan Beng Liong.Dari tangan kanannya, Beng Liong mengeluarkan jurus-jurus terakhir 18 Tapak Naga. Dari tangan kirinya, ia mengeluarkan ilmu Inti Es yang membuat siapapun yang terkena pukulan itu menjadi es batu. Langkah kakinya lincah seperti langkah-langkah perawan Go Bi-pay yang gemulai namun tak tertangkap mata.Seolah-olah, segala ilmu di dunia ini telah dipelajarinya dengan sangat baik.Seolah-olah, sejak lahir ia memang telah memahami seluruh ilmu itu satu persatu.Ia menggunakannya dengan luwes dan tanpa kecanggungan.Cio San pun menanding

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 248

    Pedang masih di tangan Bwee Hua. Padahal saat mereka masuk tadi, tak seorang pun yang diperbolehkan membawa senjata.Pedang itu terhunus ke depan.Tapi gadis itu tidak bergerak.Begitu pula ibunya yang berdiri membelakanginya. Di hadapan sang ibu, berdiri seorang laki-laki gagah dengan rambut riap-riap. Tangan laki-laki itu buntung sebelah.“Kau akan melawanku dengan keadaan seperti itu?” tanya perempuan tua itu.“Aku telah menanti sejak puluhan tahun yang lalu,” jawab laki-laki itu.“Bagus. Keturunan Suma memang tidak memalukan.”Lalu perempuan tua itu bergerak.Kecepatan yang tak mungkin diikuti dengan mata manusia biasa.Tapi pemuda bermarga Suma itu bukan manusia biasa. Orang mengenalnya sebagai ‘Dewa Pedang Berambut Merah’, Ang Hoat Kiam Sian.Dan ‘dewa’ adalah ‘dewa’.Ia hanya membutuhkan satu gerakan.Satu gerakan sudah cukup.Jika kau adalah ‘Dewa Pedang’ maka kau hanya membutuhkan satu gerakan.Satu gerakan yang tidak mungkin seorang pun mau percaya jika diceritakan.Tidak ad

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 247

    Apa yang terjadi di puncak Thay San telah tersiar ke seluruh dunia. Beng Liong, pemuda belia dari Bu Tong-pay keluar sebagai pemenangnya. Semua orang mengakui, walaupun masih sangat muda, ia sangat pantas memikul tanggung jawab sebagai Ketua Dunia Persilatan.Selama ini, Bu Lim Bengcu selalu dijabat oleh kalangan sepuh. Baru 2 kali, jabatan ini dipegang oleh anak muda. Pertama kali sekitar 50an tahun yang lalu. Hebatnya lagi, kedua-duanya adalah pemuda Bu Tong-pay.Harapan besar kini berada di pundak Beng Liong. Ia diharapkan mampu menuntaskan tugas-tugas berat yang cukup rumit. Salah satunya adalah tugas melawan gangguan dan serangan tentara Mongol di ujung perbatasan. Belum lagi urusan pembunuhan-pembunuhan yang harus ia selesaikan setuntas-tuntasnya. Orang-orang butuh kejelasan, apakah memang Cio San berada di balik semua ini.Hari ini, tepat 30 hari sejak pertandingan di puncak Thay San. Kotaraja ramai dan penuh sesak manusia. Hari ini adalah hari pelantikan Bu Lim Bengcu. Hampir

  • Kisah Para Penggetar Langit   246

    Segala kemegahan dan keramaian itu pun berangsur-angsur memudar. Bu Lim Beng Cu telah terpilih, banyak orang menunjukan wajah puas. Sebagian lagi belum bisa melupakan kejadian dahsyat saat Cio San menghadapi ribuan orang di atas gunung itu.Masing-masing kemudian kembali pulang. Ada yang bersedih karena kehilangan saudara dan teman di gunung ini. Ada yang bahagia karena hasilnya memuaskan. Ada pula yang semakin bersemangat untuk memperdalam ilmu silatnya. Satu hal yang pasti, tidak ada satu pun yang bisa melupakan kejadian dahsyat di gunung itu.Beng Liong tentu saja tidak lupa. Walaupun hatinya gembira telah menyelesaikan tugas ini, tentu saja ia bersedih pula atas semua kejadian yang telah berlangsung. Segera setelah pertandingan selesai dan ia memulihkan tenaganya, ia bersama rombongan Bu Tong-pay segera mencari jalan menuju ke dasar jurang. Di tengah jalan pun mereka bertemu dengan dengan rombongan Siau Lim-pay dan Go Bi-pay yang rupanya memiliki maksud dan tujuan yang sama: menge

DMCA.com Protection Status