“Aku juga tidak, San-te. Maka kau ikutlah denganku. Luruskan semua ini di hadapan Ciangbunjin. Biar semua fitnahmu terhapuskan.”Dalam hatinya, Cio San ingin sekali pergi bersama Beng Liong. Tapi mana mungkin ia bisa meninggalkan puluhan anggota Ma Kauw yang keracunan? Bagaimana ia bisa mengacuhkan fitnah yang dialami si Dewa Pedang? Ada banyak sekali kejadian yang membuat Cio San meyakinkan diri untuk melibatkan dirinya. Ini adalah urusan besar. Ia melihat banyak sekali hubungannya dengan kejadian yang menimpa hidupnya sendiri.“Sekali lagi maafkan aku, Liong-ko. Aku tidak bisa.” Ia menjura.“Kalau begitu, harap kau maafkan aku. Aku terpaksa harus memaksamu, San-te. Kau tahu bahwa ini bukan keinginanku. Tapi perintah Ciangbunjin adalah membawamu ke Bu Tong-san.”Mereka saling memandang. Mata bertemu mata. Mau tidak mau, mereka saling mengagumi. Yang satu tampan, gagah, dan berbudi luhur. Yang satu cerdas, bebas, dan menarik.“Kudengar, ilmumu hebat sekali, San-te.”“Masih jauh dari e
Kedua orang itu masih berdiri mematung. Tak percaya dengan apa yang mereka lihat. Beberapa orang lain sudah naik ke atas kapal. Mereka pun tidak percaya atas apa yang mereka lihat. Pemandangan ini terlalu kejam dan terlalu tidak masuk akal.Mereka masih sempat berusaha mencari-cari kehidupan di dalam kapal. Tetapi akhirnya menyerah dan melompat keluar. Kapal telah tenggelam hampir separuh, dan air telah mencapai lutut mereka.Begitu sampai di darat, Beng Liong baru memperhatikan orang-orang yang tadi masuk dan ikut menolong di dalam kapal.Sih Hek Tiauw, sang Rajawali Hitam. Beberapa orang lain adalah anak buahnya.Can Siauw Liong, cengcu (kepala perkampungan) Liong Thian, beserta beberapa orang anak buahnya.Mereka semua memandang hancurnya kapal yang tenggelam dengan sangat cepat itu. Tapi posisi mereka semua mengelilingi Cio San dan Beng Liong. Bisa terbang pun, mereka tidak akan mungkin lolos.Orang-orang pun sudah sangat ramai melihat kejadian ini.“Beng Liong-ciokhee (Tuan Beng
“Maaf pinceng (aku) turut campur. Tapi mengapa Tuan-tuan berkelahi sesama sendiri?” Perkataannya halus dan sopan. Mau tidak mau, yang menjawab pun harus lebih sopan.Siapa lagi yang bahasanya paling sopan dan tutur-katanya paling halus di antara mereka yang bertempur itu, selain Beng Liong? Maka dialah yang kini menceritakan semuanya.Setelah mendengarkan, Hong Sam-hwesio berkata,“Saudara-saudara, mengenai Beng Liong dan adiknya ini, pinceng bisa bersaksi bagi mereka.”Semua orang mendengarkan.“Beberapa saat yang lalu, Beng Liong dan pinceng sedang bercengkerama. Kami tidak sengaja bertemu di penginapan. Beng Liong dan pinceng membahas banyak kejadian yang terjadi di dunia Kang Ouw. Sepanjang sore sampai malam kami terus mengobrol. Lalu tahu-tahu ada orang lewat di depan penginapan kami. Beng Liong bilang bahwa mungkin saja itu adik seperguruannya yang sudah lama tidak bertemu. Ia lalu menyusul adiknya itu. Lalu saat mereka berdua sedang bercakap-cakap, terdengar teriakan kebakaran
Mereka berlari cepat.Dalam perjalanannya, Hong Sam-hwesio bercerita bahwa ketika akan berlari ke arah dermaga, ia dihadang oleh kelompok bertopeng. Ada sekitar sepuluh orang yang mengeroyoknya. Semua dengan ilmu aneh yang tidak pernah ia lihat sebelumnya.“Lalu, di mana mereka sekarang, Siansing?” tanya Beng Liong.“Mereka semua pinceng totok dan pinceng taruh di kuil Buddha di pinggir kota,” jawab sang Hwesio (Bhiksu).Tak berapa lama mereka sampai di kuil yang dimaksud. Masuk ke ruang belakang, kamar Hong Sam-hwesio ‘menyandra’ pasukan bertopeng itu. Ternyata begitu kamar terbuka, terlihat tidak ada seorang pun di dalamnya!Hong Sam-hwesio tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Beng Liong terlihat tidak bisa menahan amarah.Cio San semakin kagum dengan pergerakan kelompok bertopeng ini. Pastilah seusai Hong Sam-hwesio menotok dan meninggalkan mereka di kuil ini, ada orang yang datang melepaskan. Cara kerja kelompok bertopeng yang penuh rahasia ini, sungguh membuat hatinya penas
“Salah satunya. Sebenarnya kami telah mengirimkan murid terbaik kami. Tapi ia tidak melapor sejak sebulan yang lalu. Padahal tidak pernah ia berbuat demikian. Kalau bukan telah terjadi sesuatu, tidak mungkin ia tidak melapor.”Cio San terdiam lagi. Ia masih belum bisa memutuskan untuk bercerita. Setelah berpikir lama, akhirnya ia memilih untuk bercerita.Mendengar peracunan di markas Ma Kauw, 3 mayat di sungai, fitnah atas Ang Hoat Kiam Sian, pembunuhan seluruh anggota beserta Ketua Ma Kauw, serta fitnah atas Beng Liong, membuat kedua orang yang mendengar ini terpaku.“Demi Tuhan, kalau tidak mendengar sendiri, aku merasa seperti membaca cerita dongeng,” kata Beng Liong.Musuh membunuh untuk menyingkirkan saingan. Memfitnah untuk menyingkirkan mereka yang dianggap mengganggu pergerakan.Musuh yang bergerak dalam bayangan. Yang selalu mengintai, dan bergerak saat mereka lengah. Musuh yang tidak bisa mereka duga siapa. Musuh yang ilmu silat dan racunnya sangat berbahaya. Siapapun, sesak
“Rahasia apa yang ingin Ciokhee sampaikan kepada cayhe?” tanya Cio San.“Kau tahu aku ingin menyampaikan sebuah rahasia?” tanyanya terbelalak. Sampai lupa menggunakan bahasa yang sopan. Orang seperti dia memang mana bisa sopan lama-lama?“Urusan dengan Ciokhee bukankah cuma dua? Mengambil dan mengembalikan barang. Cayhe tidak punya barang yang bisa Ciokhee ambil sekarang. Berarti tinggal urusan mengembalikan barang. Sejauh ini, cayhe hanya punya sebuah buntalan kotor yang tertinggal di atas kapal. Buntalan itu bukan sesuatu yang berharga. Dan cayhe pun bukan orang ternama yang bisa dianggap pantas untuk jadi korban Ciokhee. Jadi kalau bukan urusan rahasia yang amat penting mengenai kejadian semalam, memangnya Ciokhee hendak mengajak cayhe minum arak?” jelas Cio San. Senyumnya itu pun tak pernah hilang meskipun hatinya sedang bersedih.“Bukan main! Kau memang mengagumkan, Cio San. Orang seperti kau, jika tidak kujadikan musuh besar, maka hidupku sungguh membosankan! Maukah kau jadi mus
Mayatnya sudah mulai kaku dan dingin. Tapi darah di tenggorokannya masih hangat. Cio San memeriksa luka di leher itu. Sebuah tusukan pedang. Satu tusukan. Satu nyawa. Tidak banyak orang yang mampu membunuh Sih Hek Tiauw hanya dalam satu tusukan. Selain Ang Hoat Kiam Sian, Cio San tidak bisa membayangkan ada orang lain yang punya ilmu pedang sedahsyat itu.Jendela di dekat kamar terbuka lebar. Pasti pembunuhnya melarikan diri dari situ. Cio San memeriksa jendela dan daerah sekitarnya. Tidak ada jejak yang tertinggal. Cio San mencoba mereka-reka apa yang dilakukan pembunuh itu setelah selesai melakukan perbuatannya. Lari keluar jendela adalah jalan yang paling masuk akal. Ia mencoba dengan seksama memperhatikan tanah yang dipijaknya. Hanya sebuah goresan kecil di tanah. Garis kecil yang samar, dan mungkin hanya dianggap sebagai garis biasa di atas tanah. Besarnya hanya seujung kuku. Tapi itu sudah cukup membuat Cio San curiga.Dengan seksama, ia menelusuri garis kecil itu. Ia menemukan
Mimpi pun Cio San tidak menyangka ada kejadian seperti ini. Kedua orang yang tadi menyerangnya pun kini melakukan hal yang sama. Bersujud berkali-kali dan menyebut hal yang sama.“Sam-wi (Kalian bertiga) bangunlah. Dan jelaskan kepadaku apa maksud semua ini,” kata Cio San.Ketiga orang ini lalu bangkit.“Maaf kelancangan kami menyerang Kauwcu (Ketua). Kami hanya ingin menguji apakah benar Tuanlah orang yang dimaksud,” jelas orang yang tadi senjatanya bola rantai.“Sejak kapan aku menjadi ketua kalian?” tanya Cio San.“Semalam berita sudah tersebar. Apa Tuan tidak tahu?”“Berita apa?”“Tuanlah Ma Kauw-kauwcu yang baru!”Ia seperti mendengar petir di siang bolong.“Bagaimana bisa?” tanyanya heran.“Tuan benar-benar tidak tahu?” tanya si bola rantai.“Apa kau pikir aku terlihat seperti orang yang tahu?” ia bertanya sambil tersenyum. Kekagetannya hilang. Ia sudah mulai paham.“Apakah ini semua berasal dari Cukat Tong?” tanyanya.“Benar, Kauwcu. Semalam si Raja Maling Tanpa Tanding datang