Mimpi pun Cio San tidak menyangka ada kejadian seperti ini. Kedua orang yang tadi menyerangnya pun kini melakukan hal yang sama. Bersujud berkali-kali dan menyebut hal yang sama.“Sam-wi (Kalian bertiga) bangunlah. Dan jelaskan kepadaku apa maksud semua ini,” kata Cio San.Ketiga orang ini lalu bangkit.“Maaf kelancangan kami menyerang Kauwcu (Ketua). Kami hanya ingin menguji apakah benar Tuanlah orang yang dimaksud,” jelas orang yang tadi senjatanya bola rantai.“Sejak kapan aku menjadi ketua kalian?” tanya Cio San.“Semalam berita sudah tersebar. Apa Tuan tidak tahu?”“Berita apa?”“Tuanlah Ma Kauw-kauwcu yang baru!”Ia seperti mendengar petir di siang bolong.“Bagaimana bisa?” tanyanya heran.“Tuan benar-benar tidak tahu?” tanya si bola rantai.“Apa kau pikir aku terlihat seperti orang yang tahu?” ia bertanya sambil tersenyum. Kekagetannya hilang. Ia sudah mulai paham.“Apakah ini semua berasal dari Cukat Tong?” tanyanya.“Benar, Kauwcu. Semalam si Raja Maling Tanpa Tanding datang
“Awalnya susah, Tuan. Tetapi untunglah berdasarkan ciri-cirinya, kami bisa mengenali jasad beliau. Dari cincin lambang ketua. Lalu kalung dan beberapa gelang. Selain itu, dari gigi geligi beliau, ada beberapa emas yang beliau pakai. Kami semua yakin betul itu jasad beliau,” jawab salah seorang.Ia melanjutkan, “Kami tidak tahu harus marah atau senang kepada Cukat Tong. Ia berani sekali mencuri barang Kauwcu. Tapi justru karena dia lah, Ma Kauw terselamatkan. Ia berhasil menyelamatkan kotak yang sangat penting. Ini kotaknya, Kauwcu. Silahkan Kauwcu buka dan lihat isinya.”Sebuah kotak kayu sederhana. Cio San membukanya.Seketika itu juga, puluhan jarum yang sangat tipis menyerang matanya!Tapi Cio San lebih cepat. Ia sudah siap sejak tadi. Ia hanya memiringkan kepalanya. Puluhan jarum itu lewat di belakangnya, mengenai ketiga orang yang tadi mengantarnya. Mereka semua tewas berkelojotan di lantai.Ketujuh orang yang duduk di depannya, serempak menyerangnya. Tujuh senjata, tujuh titik m
Mereka kini duduk bersama di bawah sebuah pohon. Menikmati arak dan buah-buahan. Mendengar Cukat Tong bercerita.“Segera sesudah bertemu denganmu, aku mengirimkan surat kepada Ang Hoat Kiam Sian, menceritakan apa yang telah terjadi. Aku lalu penasaran apa isi kotak Ma Kauw-kauwcu, karena kotak itu diberi perangkap senjata rahasia yang ganas. Setelah berhasil memecahkan rahasia senjata itu, kotak akhirnya berhasil kubuka. Isinya adalah sebuah surat perintah, yang berisi bahwa kau telah diangkat sebagai Kauwcu baru. Karena merasa surat itu penting, aku membawa kotak itu ke markas Ma Kauw terdekat.”“Mereka menerimaku dengan baik, karena aku kenal beberapa orang disana. Kuceritakan semua yang terjadi. Herannya, mereka tidak begitu kaget. Aku lantas curiga. Untunglah, ketika melangkah pulang dan lewat di depan salah satu kamar rumah bordil, aku melihat si keparat nahkoda itu. Kamarnya terbuka sedikit, saat ada perempuan keluar dari dalam. Dari sedikit celah itu, aku bisa melihatnya sedang
Tidur Cio San sangat pulas. Dari sejak tengah hari, ia tidur sampai sore. Begitu bangun, ia melihat Cukat Tong dan Ang Hoat Kiam Sian masih duduk di sebelahnya. Yang satu duduk diam tenang. Tanpa suara dan tanpa kata-kata. Yang satu sedang menyandar di pohon sambil minum arak.“Kalian berdua sejak tadi duduk saling diam?” tanya Cio San kepada Cukat Tong.Cukat Tong hanya mengangguk.“Dan sejak tadi kau minum arak? Banyak sekali persediaan arakmu.”Cukat Tong mengangguk sambil tertawa. “Aku sudah 3 kali bolak-balik ke warung arak.”Cio San ikut tertawa. Ia duduk menyandar pohon dan ikut minum arak. Arak Lin Cia. Arak ini dibuat dari sari buah-buahan yang dimasukkan ke dalam bilah bambu, lalu di kubur dalam tanah selama berbulan-bulan. Semakin lama dikubur, semakin enak rasanya.Bangun tidur lalu minum arak. Habis minum arak, lantas tidur lagi. Di dunia ini tidak ada yang lebih menggembirakan buat para peminum selain hal ini.”Kau kenal dia darimana?” tanya Cio San sambil menunjuk Ang H
“Sejak awal bertemu dengannya di Rumah Teng Teng. Cara pandang dan sinar matanya yang aneh, membuatku curiga. Setelah kuperhatikan, ketika ia berbicara atau melakukan gerakan apapun, kepalanya agak dimiringkan. Itu tanda kalau dia lebih mengandalkan telinga ketimbang matanya.”“Tapi jurus pedangnya yang mantap dan cepat seperti itu?” tanya Cukat Tong lagi.“Justru karena ia buta, maka jurus pedangnya bisa dahsyat seperti itu. Karena ia tidak bertarung dengan menggunakan mata. Ia bertarung menggunakan hati. Ia adalah contoh manusia yang telah bisa menyatu dengan pedangnya,” jelas Cio San.“Ada sebagian orang yang hidupnya adalah pedang. Yang sebagian lain, pedang adalah hidupnya. Tapi baginya, hidupnya bukan pedang, dan pedang bukan hidupnya. Ia adalah pedang itu sendiri.”Mau tidak mau, Cukat Tong bergidik juga mendengarnya.“Kau tidak tahu asal-usulnya?” tanya Cio San.“Aku tidak tahu pasti. Aku hanya bisa menebak-nebak.” Cukat Tong lalu melanjutkan, “Sekitar dua puluh sampai tiga pu
Menyenangkan juga menaiki kendaraan seperti ini!Cio San merasa ini adalah kendaraan terbaik yang pernah ia naiki. Ia bertanya, “Di mana kau mempelajari kepandaian ini?”“Ada hal-hal rahasia yang tidak boleh diberitahukan kepada orang lain,” jawab Cukat Tong sambil tertawa.“Rahasia? Hmmmmm…” Cio San berpikir.“Wah, kalau kau sudah mulai berpikir, bisa-bisa rahasiaku ketahuan. Hahaha…,” tawa Cukat Tong.“Aku sudah mengerti rahasia besar. Tapi bukan rahasiamu,” jawab Cio San.“Lantas, rahasia siapa?”“Rahasia para pembunuh bertopeng itu. Bagaimana mereka bisa dikuasai dan diperintah oleh otak di belakang mereka,” kata Cio San.“Apa? Rahasia mengapa orang-orang terhormat dan sakti itu mau jadi pembunuh bertopeng?” tanya si Raja Maling.“Benar.”“Hey, katakan padaku apa rahasianya?”“Ada hal-hal rahasia yang tidak boleh diberitahukan kepada orang lain,” Cio San mengejek Cukat Tong dengan meniru kata-kata Cukat Tong sendiri.“Setan buluk! Hahahahahaahahahahahaha…,” mereka berdua tertawa.
Pemandangan di sepanjang sungai sangat indah. Apalagi hari menjelang sore. Sinar matahari yang jatuh di atas sungai sungguh indah. Banyak kapal dan perahu yang berpapasan dengan mereka. Semua melongo dan ternganga melihat kendaraan yang aneh itu. Banyak yang memuji kagum. Cukat Tong dan Cio San membalas dengan senyum dan anggukan.“Berapa lama perjalanan ke Istana Ular?” tanya Cio San.“Kalau pakai kapal biasa, bisa satu setengah hari. Tapi kalau pakai burung ini, besok pagi-pagi sekali kita sudah sampai,” jawab Cukat Tong.“Ah, berarti kita bisa menyusul rombongan pengkhianat itu,” tukas Cio San.“Mudah-mudahan. Kau simpan tenagamu. Pertempuran dan pertarungan masih panjang.”“Bagaimana kalau sambil makan?” jawab Cio San.Ia duduk di tepi ‘rakit’ aneh itu. Dengan sedikit menjentikkan jari saja, dua-tiga ekor ikan sudah ditangkapnya.Cio San lalu meloncat. Dengan ilmu meringankan tubuhnya ia melayang di atas air. Lalu mendarat di tepian sungai. Saat itu, jalur sungai yang mereka lalui
“Dari sepatumu. Baju, celana, dan badanmu kotor. Tapi sepatumu tidak. Aku memperhatikan, kau sering membersihkan sepatu itu dengan tanganmu. Saat kau minum arak pun, kadang-kadang kau melirik ke sepatumu. Jadi mestinya, sepatu itu adalah benda yang sangat berharga bagimu. Pemberian seseorang yang juga sangat berharga bagimu. Tentunya, bukan gurumu yang memberikannya. Karena biasanya, guru lebih suka memberikan benda-benda yang jauh lebih bermanfaat, seperti senjata, kitab sakti, atau mungkin sempritan tulang yang kau gunakan untuk memanggil burung-burung tadi. Sepatu, seperti juga pakaian, adalah pemberian yang ‘penuh cinta’. Benda-benda tersebut diberikan, karena orang itu memperhatikanmu. Jadi siapa orang itu? Tentunya ia kekasihmu.”Cukat Tong terdiam. Semua yang dijelaskan Cio San benar. Ia hanya menggeleng-geleng dan berkata, “Jika Khu-hujin memang benar-benar mempunyai kemampuan seperti ini, maka sudah pasti ia lah otak dibalik semua kejadian pembunuhan bertopeng itu.”“Aku tida
PENUTUPCio San telah selesai menjura 3 kali di hadapan makam kedua orangtuanya. Ia lalu membersihkan makam itu. Sekuat mungkin ia menahan air matanya. Tak terasa, segala kejadian yang berlalu di dalam hidupnya ini terkenang kembali. Segala penderitaan, ketakutan, kesepian, dan kepedihan hatinya seakan tertumpahkan di hadapan makam kedua orangtuanya ini. Sejak sekian lama, baru kali ini ia berkunjung kesini.Sore telah datang. Warna lembayung langit mulai menghiasi angkasa.Ketika ia selesai membersihkan makam dan membalikkan tubuhnya, betapa kagetnya ia ketika di hadapannya sudah bediri seorang kakek dan seorang nenek. Sang kakek walaupun sudah tua sekali, namun ketampanannya masih terlihat sangat jelas. Tubuhnya pun masih tegap. Begitu pula dengan sang nenek, terlihat masih sangat cantik.Cio San tidak mengenal mereka. Tapi ia tahu mereka berdua tentu suami-istri. Dan ia paham pula, di dunia ini orang yang bisa menyelinap sedekat ini tanpa suara di belakangnya, kemungkinan belum per
Cio San mengangguk membenarkan.“Gila!”“Mengapa Beng Liong ingin menghapus dirinya dari kecurigaan? Bukankah tanpa melakukan itu pun, tak ada orang yang akan curiga kepadanya?” tanya Ang Lin Hua.“Ia orang yang terlalu berhati-hati. Ia ingin semua sesempurna mungkin. Selain itu, dia memang ingin menghancurkan musuh-musuhnya,” jelas Cio San.“Karena ingin sempurna, malah terbongkar seluruhnya,” tukas Kao Ceng Lun.“Lanjutkan, Cio San.”“Nah, setelah aku bisa menemukan kunci rahasia itu, awalnya aku mengira Beng Liong hanyalah anak buah biasa. Mungkin ia terlibat karena terpaksa. Aku berpikir keras apa latar belakang semua ini? Pergerakan mereka terlalu rapi, sangat terencana, dan sukar ditebak. Jika hanya sekedar memperebutkan kitab sakti, aku merasa hal ini terlalu berlebihan. Lalu aku mengambil kesimpulan, mungkin semua ini berhubungan dengan perebutan Bu Lim Bengcu di puncak Thay San.”Ia melanjutkan,“Tapi kemudian aku ragu. Jika hanya memperebutkan Bu Lim Bengcu, mengapa orang-ora
Entah sudah berapa lama kejadian itu lewat.Kejadian penuh darah di kotaraja.Tapi juga merupakan kejadian dimana keberanian, kesetiakawanan, dan kekuatan ditunjukkan.Mereka kini sedang duduk dengan tenang di atas menara. Menara tempat di mana Cio San berdiri sepanjang hari menatap pertempuran dahsyat itu. Saat itu, di puncak menara, ia telah mengambil keputusan. Tak ada lagi darah yang tertumpahkan oleh tangannya.Saat semua ini berakhir, ia ingin menghilang sejenak. Entah kemana. Entah berbuat apa. Sejenak menikmati kedamaian dunia.Di menara ini, adalah perjamuan sebelum perpisahan itu.Arak sudah mengalir, berbagai makanan pun sudah terhidang. Ada pula tulusnya persahabatan. Jika kau kebetulan mengalami keadaan seperti ini, kau harus terus bersyukur sepanjang masa.Cio San, Cukat Tong, Suma Sun, Luk Ping Hoo, dan Kao Ceng Lun.“Sebaiknya kau harus menceritakan semua ini dari awal,” kata Cukat Tong.Cio San menatap langit.“Awalnya sendiri aku tidak tahu. Cuma mungkin bisa kucerit
Ang Lin Hua pun balas tersenyum.Senyum ini.Cio San baru sadar, betapa indahnya wajah Ang Lin Hua saat tersenyum.Ia juga baru sadar, ternyata ia merindukan senyuman ini.“Nona beristirahatlah.”“Baik, Kauwcu. Kauwcu sendiri mohon segera beristirahat.”“Segera,” jawab Cio San. Ia lalu kembali mengobati para korban.Tak terasa, matahari telah kembali menyapa dunia dengan cahayanya yang perlahan tapi pasti.Cio San akhirnya lega. Semua orang telah ditangani dengan baik. Tabib-tabib istana dan tabib-tabib yang ada di kotaraja semua bekerja keras mengobati para pemberani-pemberani ini.Sekali lagi, orang Han mampu mempertahankan tanah airnya dari penjajah Goan. Kegembiraan ini syahdu, karena diliputi oleh semangat kebangsaan yang tinggi, kebanggaan, dan juga kesedihan atas gugurnya para pahlawan. Semua perasaan ini melebur menjadi satu.Cio San keluar ruangan itu.Walaupun di luar udara masih berbau tak sedap karena bercampur amis mayat dan bakaran, tetap saja terasa lebih segar dibandin
Cio San dan kawan-kawannya bergerak keluar tembok istana. Peperangan dahsyat sedang berlangsung. Walaupun berjalan dengan payah, Cio San masih memaksa untuk ikut bertarung. Melihat ia akan bergerak, Cukat Tong segera menahannya.“Kau duduk saja di sini,” kata Cukat Tong.“Benar. Dengan keadaanmu yang sekarang, kau tak akan mampu berbuat apa-apa,” tukas Suma Sun membenarkan.Berpikir sejenak, Cio San lalu berkata, “Baiklah. Tolong bawa aku ke puncak tembok benteng.”Sekali bergerak, mereka bertiga sudah tiba di atas puncaknya yang tinggi itu.Di atas tembok besar yang mengelilingi istana kaisar itu terdapat pasukan pemanah yang sibuk menghalau serangan.“Ah, selamat datang para Tayhiap,” kata seseorang.Cio San tidak mengenal siapa dia, tapi Cukat Tong segera menjawab, “Terima kasih, Goanswe (Jenderal). Hamba ingin menitipkan Cio-tayhiap di sini. Apa boleh?”“Tentu saja, Tayhiap.”Dengan sigap, ia mengeluarkan perintah. Dua orang bawahannya sudah datang memapah Cio San, dan seorang lag
Apa yang dituliskan di buku menjadi lebih efektif, karena semua yang tidak diperlukan, tidak perlu dituliskan. Karena itu serangan-serangan Beng Liong terlihat lebih dahsyat dan mengagumkan.Sebaliknya, di dalam pemahaman yang dimiliki Cio San, segala hal menjadi bisa, dan segala hal bisa saja menjadi tidak bisa. Ada proses memilih bisa atau tidak bisa, yang membuat gerakannya menjadi sedikit berkurang kedahsyatannya jika dibanding dengan gerakan Beng Liong.Dari tangan kanannya, Beng Liong mengeluarkan jurus-jurus terakhir 18 Tapak Naga. Dari tangan kirinya, ia mengeluarkan ilmu Inti Es yang membuat siapapun yang terkena pukulan itu menjadi es batu. Langkah kakinya lincah seperti langkah-langkah perawan Go Bi-pay yang gemulai namun tak tertangkap mata.Seolah-olah, segala ilmu di dunia ini telah dipelajarinya dengan sangat baik.Seolah-olah, sejak lahir ia memang telah memahami seluruh ilmu itu satu persatu.Ia menggunakannya dengan luwes dan tanpa kecanggungan.Cio San pun menanding
Pedang masih di tangan Bwee Hua. Padahal saat mereka masuk tadi, tak seorang pun yang diperbolehkan membawa senjata.Pedang itu terhunus ke depan.Tapi gadis itu tidak bergerak.Begitu pula ibunya yang berdiri membelakanginya. Di hadapan sang ibu, berdiri seorang laki-laki gagah dengan rambut riap-riap. Tangan laki-laki itu buntung sebelah.“Kau akan melawanku dengan keadaan seperti itu?” tanya perempuan tua itu.“Aku telah menanti sejak puluhan tahun yang lalu,” jawab laki-laki itu.“Bagus. Keturunan Suma memang tidak memalukan.”Lalu perempuan tua itu bergerak.Kecepatan yang tak mungkin diikuti dengan mata manusia biasa.Tapi pemuda bermarga Suma itu bukan manusia biasa. Orang mengenalnya sebagai ‘Dewa Pedang Berambut Merah’, Ang Hoat Kiam Sian.Dan ‘dewa’ adalah ‘dewa’.Ia hanya membutuhkan satu gerakan.Satu gerakan sudah cukup.Jika kau adalah ‘Dewa Pedang’ maka kau hanya membutuhkan satu gerakan.Satu gerakan yang tidak mungkin seorang pun mau percaya jika diceritakan.Tidak ad
Apa yang terjadi di puncak Thay San telah tersiar ke seluruh dunia. Beng Liong, pemuda belia dari Bu Tong-pay keluar sebagai pemenangnya. Semua orang mengakui, walaupun masih sangat muda, ia sangat pantas memikul tanggung jawab sebagai Ketua Dunia Persilatan.Selama ini, Bu Lim Bengcu selalu dijabat oleh kalangan sepuh. Baru 2 kali, jabatan ini dipegang oleh anak muda. Pertama kali sekitar 50an tahun yang lalu. Hebatnya lagi, kedua-duanya adalah pemuda Bu Tong-pay.Harapan besar kini berada di pundak Beng Liong. Ia diharapkan mampu menuntaskan tugas-tugas berat yang cukup rumit. Salah satunya adalah tugas melawan gangguan dan serangan tentara Mongol di ujung perbatasan. Belum lagi urusan pembunuhan-pembunuhan yang harus ia selesaikan setuntas-tuntasnya. Orang-orang butuh kejelasan, apakah memang Cio San berada di balik semua ini.Hari ini, tepat 30 hari sejak pertandingan di puncak Thay San. Kotaraja ramai dan penuh sesak manusia. Hari ini adalah hari pelantikan Bu Lim Bengcu. Hampir
Segala kemegahan dan keramaian itu pun berangsur-angsur memudar. Bu Lim Beng Cu telah terpilih, banyak orang menunjukan wajah puas. Sebagian lagi belum bisa melupakan kejadian dahsyat saat Cio San menghadapi ribuan orang di atas gunung itu.Masing-masing kemudian kembali pulang. Ada yang bersedih karena kehilangan saudara dan teman di gunung ini. Ada yang bahagia karena hasilnya memuaskan. Ada pula yang semakin bersemangat untuk memperdalam ilmu silatnya. Satu hal yang pasti, tidak ada satu pun yang bisa melupakan kejadian dahsyat di gunung itu.Beng Liong tentu saja tidak lupa. Walaupun hatinya gembira telah menyelesaikan tugas ini, tentu saja ia bersedih pula atas semua kejadian yang telah berlangsung. Segera setelah pertandingan selesai dan ia memulihkan tenaganya, ia bersama rombongan Bu Tong-pay segera mencari jalan menuju ke dasar jurang. Di tengah jalan pun mereka bertemu dengan dengan rombongan Siau Lim-pay dan Go Bi-pay yang rupanya memiliki maksud dan tujuan yang sama: menge