Pemandangan di sepanjang sungai sangat indah. Apalagi hari menjelang sore. Sinar matahari yang jatuh di atas sungai sungguh indah. Banyak kapal dan perahu yang berpapasan dengan mereka. Semua melongo dan ternganga melihat kendaraan yang aneh itu. Banyak yang memuji kagum. Cukat Tong dan Cio San membalas dengan senyum dan anggukan.“Berapa lama perjalanan ke Istana Ular?” tanya Cio San.“Kalau pakai kapal biasa, bisa satu setengah hari. Tapi kalau pakai burung ini, besok pagi-pagi sekali kita sudah sampai,” jawab Cukat Tong.“Ah, berarti kita bisa menyusul rombongan pengkhianat itu,” tukas Cio San.“Mudah-mudahan. Kau simpan tenagamu. Pertempuran dan pertarungan masih panjang.”“Bagaimana kalau sambil makan?” jawab Cio San.Ia duduk di tepi ‘rakit’ aneh itu. Dengan sedikit menjentikkan jari saja, dua-tiga ekor ikan sudah ditangkapnya.Cio San lalu meloncat. Dengan ilmu meringankan tubuhnya ia melayang di atas air. Lalu mendarat di tepian sungai. Saat itu, jalur sungai yang mereka lalui
“Dari sepatumu. Baju, celana, dan badanmu kotor. Tapi sepatumu tidak. Aku memperhatikan, kau sering membersihkan sepatu itu dengan tanganmu. Saat kau minum arak pun, kadang-kadang kau melirik ke sepatumu. Jadi mestinya, sepatu itu adalah benda yang sangat berharga bagimu. Pemberian seseorang yang juga sangat berharga bagimu. Tentunya, bukan gurumu yang memberikannya. Karena biasanya, guru lebih suka memberikan benda-benda yang jauh lebih bermanfaat, seperti senjata, kitab sakti, atau mungkin sempritan tulang yang kau gunakan untuk memanggil burung-burung tadi. Sepatu, seperti juga pakaian, adalah pemberian yang ‘penuh cinta’. Benda-benda tersebut diberikan, karena orang itu memperhatikanmu. Jadi siapa orang itu? Tentunya ia kekasihmu.”Cukat Tong terdiam. Semua yang dijelaskan Cio San benar. Ia hanya menggeleng-geleng dan berkata, “Jika Khu-hujin memang benar-benar mempunyai kemampuan seperti ini, maka sudah pasti ia lah otak dibalik semua kejadian pembunuhan bertopeng itu.”“Aku tida
Cukat Tong mengendalikan burung-burung dengan sangat baik. Cio San memperhatikan saja. Dalam hati, ia sangat mengagumi Cukat Tong. Tidak mudah menjadi Raja Maling seperti dia. Di dunia ini, tidak ada yang tidak bisa dicurinya. Tapi tetap saja dia miskin. Pakaian kotor. Kepala penuh kudis pula.Memang, ada sebagian orang yang walaupun dalam posisi dan kekuasaan yang besar, tetap tidak mau menyalahi orang. Tetap tidak mau mengambil keuntungan. Tidak mau merugikan orang lain.Itulah kenapa Cio San sangat mengagumi Cukat Tong. Usia mereka beda belasan tahun. Bertemu pun baru beberapa hari. Tapi kecocokan dan kesamaan hati, membuat mereka merasa telah bersahabat selama puluhan tahun.Sepanjang jalan, mereka bercanda dan tertawa-tawa. Perahu dan kapal yang berpapasan dengan mereka, selain heran dengan kendaraannya, juga heran mengapa kedua orang ini bisa tertawa lepas bahagia seperti tidak ada satu pun di dunia ini yang bisa membuat mereka bersedih.Malam semakin larut. Bintang dan rembulan
Dari ketidakpahaman muncul kepahaman, dan dari kepahaman muncul ketidakpahaman.Sudah berapa juta kali hal itu kita dengarkan, namun berapa dari kita yang benar-benar melihatnya di dalam kenyataan?Cio San tidak tahu jika ia sedang menggunakan Thay Kek Kun. Ia hanya bersilat sekenanya. Mengikuti gelombang. Seperti dulu, pada saat ia bersilat menghadapi gelombang banjir di dalam goa. Dalam ketidaktahuannya itu, ia telah merapalkan Thay Kek Kun tingkat tertinggi. Tingkat paling sempurna.Pikirannya kosong. Bersih oleh prasangka. Bersih oleh segala macam aturan jurus. Ilmu mengalir dari tubuhnya secara alami. Bagaikan air yang mengalir dari gunung ke laut. Seperti angin yang berhembus dari lembah-lembah ke pantai-pantai.Seperti itulah ilmunya sebenarnya. Tanpa ia pernah paham atau sadari.Para penyerangnya pun hancur dalam satu kali serang. Mereka yang menggunakan tenaga paling dahsyat untuk menyerangnya, menderita luka yang paling dahsyat pula. Karena semakin dahsyat tenaga lawan, sema
Lama sekali mereka saling diam. Cio San masih tidak percaya dengan apa yang tadi ia lakukan. Ia tidak tahu kalau selama ini ia memiliki kekuatan dan kesaktian yang menakjubkan.“Apa yang kau lakukan tadi, setidaknya membuat si ‘otak besar’ ketakutan juga. Mereka pasti tidak menyangka kau adalah musuh yang setangguh itu,” kata Cukat Tong memecah kesunyian.Cio San mengangguk.“Setidaknya, kini dia sedang pusing memikirkan berbagai langkah,” katanya.“Jika ia tahu kau sehebat itu, tentunya dia tidak akan buang-buang waktu dan tenaga untuk mengajakmu bertempur. Ia pasti memikirkan cara yang lebih licik. Racun misalnya. Tapi racun pun tidak bisa melukaimu,” ujar Cukat Tong.“Dia sudah tahu satu kelemahanku,” tukas Cio San.“Apa itu?”“Aku tidak bisa melempar senjata rahasia. Hahahahaah…….,” tawa Cio San yang ditimpali dengan tawa Cukat Tong.“Kau tahu, aku juga punya satu kelemahan yang fatal,” kata Cio San.“Apa?”“Aku tidak bisa menunggang kuda.”“Hahahahahaahah…” Mereka berdua tertawa.
Cio San mengelak. Hanya memiringkan sedikit badannya ke kiri. Tanpa melangkahkan kaki, bagian atas tubuhnya bisa berputar jauh sampai ke belakang. Cukat Tong terkaget lagi. Cio San memang tak pernah berhenti menimbulkan kekagumannya. Orang yang badannya bisa selentur itu yang pernah dilihatnya, memang baru Cio San.Gerakan Cio San tadi dilakukan di saat-saat terakhir ujung serangan jari itu akan menyentuhnya. Orang manapun yang melihat, pasti akan menyangka jari itu sudah masuk menembus ulu hatinya. Gerakannya jauh lebih cepat dari serangan yang datang. Bahkan si nenek sendiri terbelalak, karena menyangka serangannya sudah menemui sasaran.Tapi si nenek tidak lama kagetnya. Karena ia tahu kini daerah punggungnya sudah terbuka. Dengan gerakan sangat cepat, kakinya sudah menendang. Tendangan belakang yang dilakukan dengan cara membengkokkan kaki dan lutut ke ke belakang.Serangan ini mengincar kepala Cio San. Dengan menggunakan punggung kirinya, Cio San mendorong tubuh si nenek.Si nene
Telapak tangan si nenek sudah menempel di dada Cio San. Kepulan asap keluar dari tubuh mereka. Cio San menutup matanya. Si nenek justru matanya semakin terbelalak.Duaaaarrrrrrrrrrrrr……….!!!!!!!Suara ledakan besar terdengar. Tubuh si nenek terlempar beberapa tombak ke belakang. Meluncur sangat cepat! Si nenek seperti tidak bisa berbuat apa-apa ketika tubuhnya akan menghunjam tangga batu di belakangnya. Ia hanya menunggu kematian saat nanti tulang punggungnya menghunjam tangga batu.Cukat Tong bergerak, tapi posisinya terlalu jauh, dan gerakannya sedikit terlambat.Tapi bukankah yang sedikit itu justru menentukan hidup atau mati??Si nenek menutup mata.Pluk!Tubuhnya tidak menghunjam tangga batu, melainkan ujung telapak Cio San.Entah bagaimana, Cio San telah berada di sana. Menahan hunjaman tubuh si nenek, hanya dengan putaran telapak tangan. Tenaga hunjaman yang sekeras dan secepat itu, langsung buyar hanya oleh putaran telapak tangan yang sederhana!Cukat Tong terhenyak lagi, “Tha
Cio San tidak menjawab pertanyaan Cukat Tong. Ia hanya tersenyum walaupun air mata sedikit menggenang di matanya.Malah si nenek usai membaca surat itu lantas bersoja, bersujud di hadapan Cio San.“Salam hormat, Kauwcu. Semoga panjang umur!”Cio San segera bergegas menuju si nenek dan membantunya berdiri.Katanya, ”Buat apa segala adat begini, Nona.”“Mari ikut hamba masuk,” kata si nenek.Mereka bertiga masuk ke dalam Istana Ular. Pemandangan di dalam lebih mengerikan dibandingkan dengan yang diluar. Puluhan mayat berserakan. Ada yang sudah menjadi arang, ada yang masih utuh. Banjir darah menggenang hampir di seluruh lantai. Cio San dan Cukat Tong hanya geleng-geleng kepala. Katanya pada Cukat Tong, “Urusan kubur-mengubur ini ternyata masih panjang.” Ditimpali oleh Cukat Tong dengan tertawa sedikit meringis.“Kauwcu, mohon ceritakan apa yang telah terjadi?” tanya si nenek pada Cio San.Cio San lalu bercerita sejak awal. Mulai dari saat ia ditotok Bun Tek Thian, dibawa ke markas Ma Ka
PENUTUPCio San telah selesai menjura 3 kali di hadapan makam kedua orangtuanya. Ia lalu membersihkan makam itu. Sekuat mungkin ia menahan air matanya. Tak terasa, segala kejadian yang berlalu di dalam hidupnya ini terkenang kembali. Segala penderitaan, ketakutan, kesepian, dan kepedihan hatinya seakan tertumpahkan di hadapan makam kedua orangtuanya ini. Sejak sekian lama, baru kali ini ia berkunjung kesini.Sore telah datang. Warna lembayung langit mulai menghiasi angkasa.Ketika ia selesai membersihkan makam dan membalikkan tubuhnya, betapa kagetnya ia ketika di hadapannya sudah bediri seorang kakek dan seorang nenek. Sang kakek walaupun sudah tua sekali, namun ketampanannya masih terlihat sangat jelas. Tubuhnya pun masih tegap. Begitu pula dengan sang nenek, terlihat masih sangat cantik.Cio San tidak mengenal mereka. Tapi ia tahu mereka berdua tentu suami-istri. Dan ia paham pula, di dunia ini orang yang bisa menyelinap sedekat ini tanpa suara di belakangnya, kemungkinan belum per
Cio San mengangguk membenarkan.“Gila!”“Mengapa Beng Liong ingin menghapus dirinya dari kecurigaan? Bukankah tanpa melakukan itu pun, tak ada orang yang akan curiga kepadanya?” tanya Ang Lin Hua.“Ia orang yang terlalu berhati-hati. Ia ingin semua sesempurna mungkin. Selain itu, dia memang ingin menghancurkan musuh-musuhnya,” jelas Cio San.“Karena ingin sempurna, malah terbongkar seluruhnya,” tukas Kao Ceng Lun.“Lanjutkan, Cio San.”“Nah, setelah aku bisa menemukan kunci rahasia itu, awalnya aku mengira Beng Liong hanyalah anak buah biasa. Mungkin ia terlibat karena terpaksa. Aku berpikir keras apa latar belakang semua ini? Pergerakan mereka terlalu rapi, sangat terencana, dan sukar ditebak. Jika hanya sekedar memperebutkan kitab sakti, aku merasa hal ini terlalu berlebihan. Lalu aku mengambil kesimpulan, mungkin semua ini berhubungan dengan perebutan Bu Lim Bengcu di puncak Thay San.”Ia melanjutkan,“Tapi kemudian aku ragu. Jika hanya memperebutkan Bu Lim Bengcu, mengapa orang-ora
Entah sudah berapa lama kejadian itu lewat.Kejadian penuh darah di kotaraja.Tapi juga merupakan kejadian dimana keberanian, kesetiakawanan, dan kekuatan ditunjukkan.Mereka kini sedang duduk dengan tenang di atas menara. Menara tempat di mana Cio San berdiri sepanjang hari menatap pertempuran dahsyat itu. Saat itu, di puncak menara, ia telah mengambil keputusan. Tak ada lagi darah yang tertumpahkan oleh tangannya.Saat semua ini berakhir, ia ingin menghilang sejenak. Entah kemana. Entah berbuat apa. Sejenak menikmati kedamaian dunia.Di menara ini, adalah perjamuan sebelum perpisahan itu.Arak sudah mengalir, berbagai makanan pun sudah terhidang. Ada pula tulusnya persahabatan. Jika kau kebetulan mengalami keadaan seperti ini, kau harus terus bersyukur sepanjang masa.Cio San, Cukat Tong, Suma Sun, Luk Ping Hoo, dan Kao Ceng Lun.“Sebaiknya kau harus menceritakan semua ini dari awal,” kata Cukat Tong.Cio San menatap langit.“Awalnya sendiri aku tidak tahu. Cuma mungkin bisa kucerit
Ang Lin Hua pun balas tersenyum.Senyum ini.Cio San baru sadar, betapa indahnya wajah Ang Lin Hua saat tersenyum.Ia juga baru sadar, ternyata ia merindukan senyuman ini.“Nona beristirahatlah.”“Baik, Kauwcu. Kauwcu sendiri mohon segera beristirahat.”“Segera,” jawab Cio San. Ia lalu kembali mengobati para korban.Tak terasa, matahari telah kembali menyapa dunia dengan cahayanya yang perlahan tapi pasti.Cio San akhirnya lega. Semua orang telah ditangani dengan baik. Tabib-tabib istana dan tabib-tabib yang ada di kotaraja semua bekerja keras mengobati para pemberani-pemberani ini.Sekali lagi, orang Han mampu mempertahankan tanah airnya dari penjajah Goan. Kegembiraan ini syahdu, karena diliputi oleh semangat kebangsaan yang tinggi, kebanggaan, dan juga kesedihan atas gugurnya para pahlawan. Semua perasaan ini melebur menjadi satu.Cio San keluar ruangan itu.Walaupun di luar udara masih berbau tak sedap karena bercampur amis mayat dan bakaran, tetap saja terasa lebih segar dibandin
Cio San dan kawan-kawannya bergerak keluar tembok istana. Peperangan dahsyat sedang berlangsung. Walaupun berjalan dengan payah, Cio San masih memaksa untuk ikut bertarung. Melihat ia akan bergerak, Cukat Tong segera menahannya.“Kau duduk saja di sini,” kata Cukat Tong.“Benar. Dengan keadaanmu yang sekarang, kau tak akan mampu berbuat apa-apa,” tukas Suma Sun membenarkan.Berpikir sejenak, Cio San lalu berkata, “Baiklah. Tolong bawa aku ke puncak tembok benteng.”Sekali bergerak, mereka bertiga sudah tiba di atas puncaknya yang tinggi itu.Di atas tembok besar yang mengelilingi istana kaisar itu terdapat pasukan pemanah yang sibuk menghalau serangan.“Ah, selamat datang para Tayhiap,” kata seseorang.Cio San tidak mengenal siapa dia, tapi Cukat Tong segera menjawab, “Terima kasih, Goanswe (Jenderal). Hamba ingin menitipkan Cio-tayhiap di sini. Apa boleh?”“Tentu saja, Tayhiap.”Dengan sigap, ia mengeluarkan perintah. Dua orang bawahannya sudah datang memapah Cio San, dan seorang lag
Apa yang dituliskan di buku menjadi lebih efektif, karena semua yang tidak diperlukan, tidak perlu dituliskan. Karena itu serangan-serangan Beng Liong terlihat lebih dahsyat dan mengagumkan.Sebaliknya, di dalam pemahaman yang dimiliki Cio San, segala hal menjadi bisa, dan segala hal bisa saja menjadi tidak bisa. Ada proses memilih bisa atau tidak bisa, yang membuat gerakannya menjadi sedikit berkurang kedahsyatannya jika dibanding dengan gerakan Beng Liong.Dari tangan kanannya, Beng Liong mengeluarkan jurus-jurus terakhir 18 Tapak Naga. Dari tangan kirinya, ia mengeluarkan ilmu Inti Es yang membuat siapapun yang terkena pukulan itu menjadi es batu. Langkah kakinya lincah seperti langkah-langkah perawan Go Bi-pay yang gemulai namun tak tertangkap mata.Seolah-olah, segala ilmu di dunia ini telah dipelajarinya dengan sangat baik.Seolah-olah, sejak lahir ia memang telah memahami seluruh ilmu itu satu persatu.Ia menggunakannya dengan luwes dan tanpa kecanggungan.Cio San pun menanding
Pedang masih di tangan Bwee Hua. Padahal saat mereka masuk tadi, tak seorang pun yang diperbolehkan membawa senjata.Pedang itu terhunus ke depan.Tapi gadis itu tidak bergerak.Begitu pula ibunya yang berdiri membelakanginya. Di hadapan sang ibu, berdiri seorang laki-laki gagah dengan rambut riap-riap. Tangan laki-laki itu buntung sebelah.“Kau akan melawanku dengan keadaan seperti itu?” tanya perempuan tua itu.“Aku telah menanti sejak puluhan tahun yang lalu,” jawab laki-laki itu.“Bagus. Keturunan Suma memang tidak memalukan.”Lalu perempuan tua itu bergerak.Kecepatan yang tak mungkin diikuti dengan mata manusia biasa.Tapi pemuda bermarga Suma itu bukan manusia biasa. Orang mengenalnya sebagai ‘Dewa Pedang Berambut Merah’, Ang Hoat Kiam Sian.Dan ‘dewa’ adalah ‘dewa’.Ia hanya membutuhkan satu gerakan.Satu gerakan sudah cukup.Jika kau adalah ‘Dewa Pedang’ maka kau hanya membutuhkan satu gerakan.Satu gerakan yang tidak mungkin seorang pun mau percaya jika diceritakan.Tidak ad
Apa yang terjadi di puncak Thay San telah tersiar ke seluruh dunia. Beng Liong, pemuda belia dari Bu Tong-pay keluar sebagai pemenangnya. Semua orang mengakui, walaupun masih sangat muda, ia sangat pantas memikul tanggung jawab sebagai Ketua Dunia Persilatan.Selama ini, Bu Lim Bengcu selalu dijabat oleh kalangan sepuh. Baru 2 kali, jabatan ini dipegang oleh anak muda. Pertama kali sekitar 50an tahun yang lalu. Hebatnya lagi, kedua-duanya adalah pemuda Bu Tong-pay.Harapan besar kini berada di pundak Beng Liong. Ia diharapkan mampu menuntaskan tugas-tugas berat yang cukup rumit. Salah satunya adalah tugas melawan gangguan dan serangan tentara Mongol di ujung perbatasan. Belum lagi urusan pembunuhan-pembunuhan yang harus ia selesaikan setuntas-tuntasnya. Orang-orang butuh kejelasan, apakah memang Cio San berada di balik semua ini.Hari ini, tepat 30 hari sejak pertandingan di puncak Thay San. Kotaraja ramai dan penuh sesak manusia. Hari ini adalah hari pelantikan Bu Lim Bengcu. Hampir
Segala kemegahan dan keramaian itu pun berangsur-angsur memudar. Bu Lim Beng Cu telah terpilih, banyak orang menunjukan wajah puas. Sebagian lagi belum bisa melupakan kejadian dahsyat saat Cio San menghadapi ribuan orang di atas gunung itu.Masing-masing kemudian kembali pulang. Ada yang bersedih karena kehilangan saudara dan teman di gunung ini. Ada yang bahagia karena hasilnya memuaskan. Ada pula yang semakin bersemangat untuk memperdalam ilmu silatnya. Satu hal yang pasti, tidak ada satu pun yang bisa melupakan kejadian dahsyat di gunung itu.Beng Liong tentu saja tidak lupa. Walaupun hatinya gembira telah menyelesaikan tugas ini, tentu saja ia bersedih pula atas semua kejadian yang telah berlangsung. Segera setelah pertandingan selesai dan ia memulihkan tenaganya, ia bersama rombongan Bu Tong-pay segera mencari jalan menuju ke dasar jurang. Di tengah jalan pun mereka bertemu dengan dengan rombongan Siau Lim-pay dan Go Bi-pay yang rupanya memiliki maksud dan tujuan yang sama: menge